Anda di halaman 1dari 12

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Kasus Korupsi di Bidang Bisnis

Oleh:

KELOMPOK VI

NAMA :

1. RAFAELA MARIA ERMITA (1906040009)

2. APRILIA BOE (1906040018)

3. KRISTIN NABUNOME (1906040019)

4. ALEXANDER HARUN (1906040087)

5. BLANDINA LENGGU (1906040078)

6. YUNI HAILITIK (1906040070)

KELAS: B

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
A. Pendahuluan : Korupsi di Bidang Bisnis Ekonomi

Secara umum definisi korupsi dalam UU no. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan
bahwa tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dari definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa korupsi adalah salah satu bentuk kejahahatan yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan
publik, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun swasta. Korupsi memberikan dampak negatif bagi
berbagai segi kehidupan, tidak hanya perekonomian, namun juga politik dan sosial masyarakat. Hal ini
membuat korupsi dipandang sebagai masalah serius yang mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat,
melemahkan lembaga-lembaga dan nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan serta mengancam pembangunan
berkelanjutan dan supremasi hukum.

Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, tindakan korupsi dapat terjadi di
berbagai bidang kehidupan seperti bidang pendidikan, pemerintahan, maupun bisnis ekonomi. Sama halnya
korupsi pada bidang pendidikan dan pemerintahan, korupsi pada bidang bisnis ekonomi juga dilakukan oleh
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan pada bidang bisnis ekonomi
ini seringkali disebut pihak swasta yang secara lebih detail disebut pihak korporasi (perusahaan). Menurut
hukum pidana dan perdata di Indonesia, korporasi memiliki sedikit perbedaan arti. Menurut hukum perdata,
korporasi adalah badan hukum yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata,
seperti membuat perjanjian yang terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (natural person) dan badan
hukum (legal person). Sedangkan menurut hukum pidana, korporasi tidak hanya mencakup badan hukum
seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum,
tetapi juga termasuk didalamnya firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap.

Dari pengertian korporasi secara hukum pidana dan perdata diatas, dapat dilihat contoh-contoh
korporasi yang ada di Indonesia, diantaranya : PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Gudang Garam Tbk, PT Semen Gresik
Tbk, PT Pertamina (Persero), PT HM Sampoerna, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Semen Indonesia Tbk, Pt
Indofood Sukses Makmur Tbk, dan masih banyak lagi.

Contoh-contoh pihak korporasi di atas-lah yang memegang peranan utama dalam ekonomi dari
pihak swasta bagi keberlangsungan hidup negara Indonesia saat ini. Namun, tidak jarang pihak-pihak swasta
tersebut mengambil inisiatif “jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi yang dapat menyebabkan
kerugian, baik bagi korporasi itu sendiri secara khususnya dan bagi negara sebagai pihak yang menampung
serta menjaga eksistensi sektor swasta ini pada umumnya.

B. Jenis-Jenis Korupsi di Bidang Bisnis

Dalam hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini
pihak korporasi, jenis-jenis korupsi pada umumnya menyangkut jenis korupsi fraud (kecurangan). Suatu
asoasiasi profesi internasional pemeriksa fraud (Association of Fraud Examiner / AFCE), mendefinisikan
fraud sebagai setiap bentuk kejahatan dengan penipuan sebagai jenis operandi (cara operasi orang per orang
atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya) utama, termasuk dengan kesengajaan
atau tindakan untuk memperoleh suatu properti atau uang dengan tipu muslihat, penipuan atau bentuk
lainnya. AFCE kemudian mengelompokkan berbagai jenis fraud dan salah satunya adalah korupsi yang
meliputi : (1) Konflik Kepentingan, (2) Penyuapan, (3) Gratifikasi Ilegal, dan (4) Pemerasan.

Menurut Ronal R. Cressey (1950), menyebutkan bahwa korupsi bagi pihak swasta (fraud) terjadi
karena 3 faktor, yakni :

1. Tekanan atau Motif Individu (pressure)

Merupakan faktor individu berupa adanya dorongan untuk melakukan fraud, yang mana pada
umumnya dipengaruhi oleh masalah finansial. Misalnya hutang atau tagihan yang menumpuk,
gaya hidup mewah, ketergantungan narkoba, dll

2. Rasionalisasi (Rationalization)

Merupakan faktor lingkungan, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakan yang
dilakukannya, misalnya alasan membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya
ataupun merasa bahwa masa kerja „pelaku‟ cukup lama sehingga berhak mendapatkan lebih dari
yang telah ia dapatkan sekarang.

3. Kesempatan (Opportunity)

Merupakan faktor karena adanya kelemahan sistem sehingga memungkinkan pelaku mempunyai
kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Biasanya hal ini disebabkan karena internal
control dalam suatu organisasi sangat lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan
wewenang.

Berdasarkan data KPK sampai 31 Oktober 2016, dapat dilihat bahwa di negara Indonesia sendiri,
jumlah pelaku tindak pidana korupsi dari sektor swasta terus meningkat hingga mencapai 150 orang dalam
periode 2004-2016. Angka pelaku korupsi dari sektor swasta menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok
jabatan lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa secara umum terdapat beberapa jenis tindakan
korupsi yang dapat dilakukan oleh pihak swasta, diantaranya :

a. Gratifikasi

Berdasarkan penjelasan pasal 12B UU 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas yang meliputi pemberian :

 Uang

 Rabat (Diskon)
 Komisi

 Pinjaman tanpa Bunga

 Tiket Perjalanan

 Fasilitas Penginapan

 Perjalanan Wisata

 Pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.

Pemberian tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan
dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik. Jika gratifikasi tersebut diberikan dari pihak
swasta kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka gratifikasi tersebut dapat
dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
tugasnya. Namun ketentuan ini tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara dapat menjadi
sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Tanpa penanganan yang baik, konflik
kepentingan dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Beberapa bentuk
konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain :

1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest dan kewajiban timbal balik atas
sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu.

2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional


penyelenggara negara.

3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya


tindak pidana korupsi.

Pihak swasta atau korporasi harus memahami siapa saja pihak penerima gratifikasi yang wajib
melaporkan pemberian (dalam hal ini penyelenggara negara dan pegawai negeri), untuk
kemudian dapat dipilah pihak mana yang sebaiknya tidak diberikan pemberian dalam bentuk
apapun sehingga terhindar dari tindak pidana korupsi dalam hal ini suap.

Tidak semua pemberian kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara adalah ilegal. Setiap
pemberian akan dianalisa sejauhmana pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan penerima
dan kaitan dengan kewajiban dan tugasnya. Gratifikasi pada dasarnya bersifat netral, namun
dapat dikategorikan sebagai suap jika diberikan kepada pihak pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya.

b. Suap
Penyuapan merupakan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dan bersinggungan dengan
pejabat pemerintahan yang dilakukan oleh korporasi atau pihak swasta dalam bentuk pemberian
barang, uang, janji dan bentuk lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan dari pihak penerima suap.

Tindak pidana suap sudah diatur sejak lama dalam KUHP maupun Undang-Undang No. 11
Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Dalam kaitannya dengan korupsi, dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi setidaknya terdapat 12 pasal yang mengatur mengenai suap.

Pihak korporasi perlu memahami sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi pemberi suap. Suap
selalu melibatkan aktif pemberi (dalam hal ini orang termasuk korporasi) yang melakukan
penyuapan terhadap penerima (pegawai negeri atau penyelenggara negara) dengan umumnya
disertai kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai besaran atau nilai penyuapan yang
ditransaksikan dan cara penyerahannya.

c. Uang Pelicin

Uang pelicin atau facilitation payment menjadi perhatian karena hal ini menjadi hal yang
dihadapi sehari-hari para pelaku bisnis. Uang pelicin secara umum didefinisikan sebagai
sejumlah pemberian (biasanya dalam bentuk uang) untuk memulai, mengamankan,
mempercepat akses pada terjadinya suatu layanan.

Lebih detail, uang pelicin didefinisikan oleh Antonia Argandona dalam tulisannya Corruption
and Companies : The Use of Facilitating Payment, memenuhi kriteria sbb :

1. Pemberian uang pelicin tidak bermaksud atau mengisyaratkan pemberian


penutup kesepakatan bisnisnya untuk mempengaruhi bisnis, melainkan lebih
kepada untuk mempercepat dan mengurangi ketidaknyamanan yang terkait
dengan proses administratif.

2. Umumnya, pemberi uang pelicin mencatat transaksi pemberian itu, sedangkan


penerima tidak mencatatkannya.

3. Penerima uang pelicin biasanya pejabat publik atau pegawai level rendah di
sebuah organisasi dan biasanya mampu mengatur hal-hal prosedural, tapi tidak
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.

4. Jumlah pembayaran yang diberikan adalah bernilai kecil dalam waktu yang
tetap dan transaksi dilakukan secara rahasia.

Uang pelicin tersebut diberikan dengan berbagai tujuan. Sebagaian besar diberikan sebagai jalan
pintas untuk mendapatkan layanan publik, sementara yang lain ditujukan untuk memberikan
semacam hadiah atau ucapan terima kasih dan sebagian lain menyebutkan sebagai satu-satunya
cara untuk mendapatkan pelayanan. Pemberian uang pelicin merupakan salah satu bentuk
tindakan suap. Kaitannya dengan uang suap, terdapat beberapa perbedaan. Uang pelicin
merupakan suap skala kecil yang dalam praktiknya, uang pelicin umumnya dalam nominal yang
tergolong kecil bila dibandingkan dengan pemberian uang suap, meski tidak tertutup pula
kemungkinan dilakukan dalam nominal besar. Sementara itu, pemberian uang suap tidak sebatas
mempengaruhi proses administratif seperti pada pemberian uang pelicin, tapi lebih jauh lagi
yakni untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.

d. Pemerasan

Pada kasus pemerasan, pihak yang berperan aktif adalah pegawai negeri dan penyelenggara
negara dengan melakukan pemerasan kepada orang atau korporasi tertentu yang memerlukan
pelayanan. Dalam kaitannya dengan korporasi, pemerasan termuat dalam UU Tipikor dalam
pasal 12e : “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau denga menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya”.

Pemerasan sering dijadikan alasan bagi pihak pemberi sebagai dalih pemberian. Namun
demikian unsur “memaksa” menjadi sangat penting untuk dibuktikan pada pengenaan pasal ini.
pemerasan tidak harus dalam bentuk atau nilai yang besar. Dalam nilai dan nominal lebih kecil
dapat ditemukan dalam bentuk pungutan liar.

C. Kasus Korupsi di Bidang Bisnis

Kasus Alih Fungsi Hutan Provinsi Riau ( Suap Gubernur Riau Rp 2 Miliar, Gulat Manurung
Divonis Tiga Tahun Penjara)

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Riau, Gulat
Medali Emas Manurung divonis tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider tiga bulan
kurungan. Gulat terbukti menyuap Gubernur Riau Annas Maamun sebesar 166.100 dolar Singapura
atau setara dengan Rp 2 miliar dalam pengajuan alih fungsi hutan di Provinsi Riau.

“Menyatakan terdakwa Gulat Medali Emas terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi. Menjatuhkan pidana dengan pidana selama tiga tahun dan pidana denda Rp 100 juta,”
ujar hakim Supriyono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23/2/2015).

Putusan tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hakim
menjatuhkan pidana 4,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 150 juta subsider enam bulan kurungan.
Atas perbuatannya, Gulat dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ada pun hal-hal yang memberatkan, yaitu Gulat dianggap tidak mendukung pemerintah dalam upaya
pemberantasan korupsi. Gulat juga tidak mengakui perbuatannya selama persidangan. “Terdakwa
mencederai tatanan birokrasi pemerintahan Indonesia dalam upaya bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme,” kata hakim.

Sementara, hal yang meringankan Gulat adalah ia berlaku sopan selama persidangan dan belum pernah
berurusan dengan hukum. Mendengar putusan tersebut, Gulat masih mempertimbangkan untuk
mengajukan banding. “Kami berencana untuk pikir-pikir dulu,” kata Gulat.

Sejumlah uang yang diberikan Gulat kepada Annas dimaksudkan agar Annas memasukkan areal
perkebunan sawitnya ke dalam usulan revisi dari kawasan hutan menjadi bukan hutan. Areal kebun
kelapa sawit yang diajukan Gulat berada di Kabupaten Kuantan Singigi seluas 1.188 hektar dan Bagan
Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektar.

Pada 17 September 2014, Annas menerbitkan surat revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan
di Provinsi Riau yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang merupakan revisi atas
surat usulan pertama. Pada usulan pertama disebutkan bahwa kebun untuk masyarakat miskin yang
tersebar di beberapa kabupaten/kota, di antaranya Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.700 hektar.

Ada pun dalam usulan kedua, dalam surat tersebut ditambahkan lokasi kebun untuk masyarakat miskin
juga terdapat di Kabupaten Siak seluas 2.045 hektar disertai lampiran peta revisi usulan yang telah
dimasukkan areal kelapa sawit titipan Gulat. Kemudian pada 22 September 2014, Annas meminta uang
sebesar Rp 2,9 miliar kepada Gulat terkait pengurusan usulan revisi perubahan luas bukan kawasan
hutan di Provinsi Riau. Namun, Gulat hanya mampu menyediakan uang sebesar 166.100 dollar AS atau
senilai Rp 2 miliar.

Uang tersebut dibawa Gulat ke Jakarta untuk diserahkan kepada Annas yang sedang berada di
rumahnya di kawasan Cibubur. Tak lama setelah transaksi antara Gulat dan Annas dilakukan, petugas
KPK menangkap tangan kedua orang itu beserta lima orang lainnya yang berada di rumah tersebut.
Dari tangkap tangan tersebut, KPK menyita uang sejumlah 156.000 dollar Singapura dan Rp 460 juta.

Analisis Kasus:

Contoh kasus di atas termasuk kedalam jenis tindak pidana korupsi Suap (Penyuapan). Tindakan
penyuapan tersebut dilakukan oleh Gulat Medali Emas Manurung kepada Annas Maamun selaku
Gubernur Riau. Dengan tujuan agar Annas memasukkan areal perkebunan sawitnya ke dalam usulan
revisi dari kawasan hutan menjadi bukan hutan. Areal kebun kelapa sawit yang diajukan Gulat berada
di Kabupaten Kuantan Singigi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir
seluas 1.214 hektar. Sebagai Sanksi atas tindakannya, Gulat Medali Emas Manurung divonis tiga tahun
penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Atas perbuatannya, Gulat
dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Korupsi secara tidak bias menimbulkan distorsi (simpangan) didalam sektro publik dengan
pengusaan lahan terhadap bisnis yang dikembangkan dan mengalihka investasi publik. Dlam persoalan
ini pentingnya memiliki political will (keinginan politik) dari sosok seorang pemimpin yang
berintegritas dalam merespon segala permasalahan kebijakan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau.
Maka situasi seperti ini seharusnya memberikan proteksi kepada kepentingan politik dan bisnis tanpa
adanya keberpihakan pada salah satu kelompok.

Berbagai fakta korupsi tersebut sesungguhnya menjadi bukti bahwa korupsi berpotensi dilakukan
oleh siapa saja yang ikut terlibat. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa korupsi tidak saja menjadi
persoalan hukum, melainkan juga persoalan mentalitas individu seseorang yang diberikan mandat
sebagai pemimpin.

D. Hukuman bagi Tindakan Korupsi di Bidang Bisnis

Hukuman bagi tindak pidana korupsi terlebih khususnya bagi tindakan korupsi di bidang bisnis
seperti yang telah dipaparkan di atas, telah termuat dalam peraturan perundang-undangan. Beberapa
peraturan tersebut diantaranya :
E. Pesan Moral dari Tindakan Korupsi di Bidang Bisnis

Dari paparan materi diatas, terdapat beberapa pesan moral yang dapat diambil dan dijadikan sebagai
pelajaran untuk kita semua, diantaranya :

1. Hendaknya menjadi manusia yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran. Karena dengan
begitu kita dapat menjalankan kehidupan dengan nyaman dan dapat terhindar dari indikasi untuk
melakukan kejahatan, salah satunya ialah tindakan korupsi.

2. Apabila suatu saat kita diberikan tanggung jawab yang besar, misalnya menjadi orang yang
mengabdi kepada negara, ada baiknya kita tidak mudah tergoda dengan para pengusaha
korporasi yaitu mereka-mereka yang memegang peran penting dari sektor swasta. Dalam hal ini
apabila diberikan “sesuatu”, yang mana hal ini apabila dilakukan untuk tujuan tertentu dapat
mengarah kepada tindakan korupsi. Sehingga perlu adanya rasa tanggung jawab yang tinggi
terhadap tugas yang diemban. Tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada kita harus
disertai dengan rasa keadilan, bahwa setiap orang yang kita layani, dalam hal ini masyarakat
umum ataupun pihak swasta memiliki kesempatan yang sama, tanpa embel-embel diberikan
“sesuatu” baru kita melayani mereka dengan pelayanan khusus.

3. Kita juga sebaiknya memiliki rasa keberanian yang tinggi untuk dapat melaporkan atau
memberitahu kepada pihak yang berwenang, apabila di sekitar kita ada indikasi telah terjadinya
tindakan korupsi, sebagai bagian dari pengamalan nilai pendidikan anti korupsi dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai
agama, sehingga kita dapat mengetahui tindakan yang kita ambil, apakah sudah sesuai dengan
ajaran agama yang kita anut atau kah sudah terlalu jauh melenceng.
Referensi

Susanti, Dwi Siska dkk. 2016. Dasar Hukum Tentang Korupsi Terkait Sektor Bisnis. Jakarta : Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Novia Widya Utami. 2021. Tujuan Korporasi dalam Membantu Ekonomi Negara. Tersedia :
https://ajaib.co.id/korporasi-adalah-perusahaan-cari-tahu-istilah-korporasi/ . (Diakses 4 Maret
2022)

Anda mungkin juga menyukai