Email : chintyaracheloktavina@gmail.com
Februari 2022
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan
mendasar dengan ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua
Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah.
Kewenangan dimaksud diantaranya adalah keleluasaan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan
arah, tujuan dan target pengguanaan anggaran. Seiring dengan reformasi, maka perlu dilakukan
perubahan-perubahan di berbagai bidang untuk mendukung agar reformasi dapat berjalan dengan
baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi merupakan "Perubahan secara drastis untuk
perbaikan (bidang sosial, politik, ekonomi, agama, dll) di suatu masyarakat atau negara. Menurut
pendapat salahsatu para ahli yaitu Sedarmayanti (2009: 67) reformasi merupakan proses upaya
sistematis, terpadu, komperhensif, ditujukan untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik
(good governance). Sehingga dapat disimpulkan bahwa reformasi pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan perubahan terhadap sistem dalam melakukan
proses dan pertanggungjawaban keuangan daerah dari sistem sebelumnya kepada sistem yang telah
disempurnakan.
Dalam dua dasawarsa terakhir (1998 s.d. 2018) sistem tata kelola keuangan pemerintah daerah di
Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan tersebut dapat terlihat dari serangkaian
proses reformasi yang terjadi pada manajemen keuangan daerah yang semakin kompleks.
Manajemen keuangan daerah yang telah mengalami reformasi melingkupi reformasi pajak daerah,
restrukturisasi organisasi unit kerja pengelolaan keuangan daerah, reformasi anggaran daerah
dengan penerapan anggaran kinerja, penghilangan dana luar anggaran (non budget), penerapan
sistem perbendaharaan akun tunggal yang terpadu, standardisasi kompetensi pengelola keuangan
daerah, dan penerapan transaksi nontunai. Tujuan reformasi manajemen keuangan daerah tersebut
adalah untuk meningkatkan kualitas tata kelola keuangan daerah, memperbaiki transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
keuangan daerah, meningkatkan pelayanan publik, serta meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
BAB II
KAJIAN LITERATUR
Pengelolaan keuangan pemerintahan di Indonesia dapat dijumpai sejak masa lampau. Sejak
dari zaman kerajaan hingga sekarang setiap pemerintahan mempunyai pengelolaan keuangannya
sendiri yang digunakan sebagai acuan terlaksananya pembangunan dalam pemerintahan.
Perkembangan manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase utama, yaitu;
1) era Orde Lama (1945-1966), 2) era Orde Baru (1966-1998), 3) era Orde Reformasi (1998-
sekarang). Pada era Orde Lama, pelaksanaan tata kelola keuangan negara sebagian besar masih
melanjutkan sistem keuangan warisan pemerintah kolonial Belanda. Peraturan perundangan tentang
tata cara pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan negara Republik Indonesia waktu itu
mengadopsi Indische Comptabiliteitswer Stbl. 1864 No. 106 yang telah diperbaharui dalam
Stbl.1925 No. 448, selanjutnya beberapa kali diubah dan ditambah terakhir menjadi Undang-
Undang No. 9 tahun 1968. Pelaksanaan tata kelola keuangan daerah di Era Orde Baru mash
meneruskan UU No. 9 Tahun 1968. Pemerintah waktu itu menerbitkan peraturan perundangan
tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, yaitu U No. 5 Tahun 1974 menggantikan UU No. 18
Tahun 1965. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi berdasarkanU No. 5 Tahun
1974 dalam praktiknya masih bersifat sentralistis, perencanaan program dan anggaran ditentukan
dari atas (top down), menggunaan sistem anggaran tradisional, mendasarkan pada rezim anggaran
berimbang (balance budget), penggunaan sistem pembukuan tunggal (single entry) dan akuntansi
basis kas (cash basis). Selama masa Orde Baru belum ada sistem akuntansi keuangan daerah, yang
ada baru sebatas tata buku. Tata kelola keuangan daerah era Orde Baru berlangsung selama lebih
dari 30 tahun dan berakhir dengan munculnya gerakan reformasi tahun 1997/1998. Salah satu
hikmah reformasi tersebut adalah dimulainya era bar pelaksanaan otonomi daerah yaitu dengan
diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 23 Tahun 2014 jo.
UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. Sementara itu pelaksanaan desentralisasi tiskai
diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. UU No. 25 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi di era Orde Reformasi memiliki karakteristik yang berbeda
dengan era Orde Baru, yaitu tidak lagi bersifat sentralistis tetapi desentralisasi, perencanaan
program pembangunan dan anggaran tidak lagi top down tetapi partisipatif (bottom: up), tidak lagi
menggunakan anggaran tradisional tetapi anggaran berbasis kinerja, tidak lagi menggunakan sistem
pembukuan tunggal tetapi sistem pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping), dan tidak
lagi menggunakan akuntansi basis kas tetapi basis akrual.
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan terlambat hampir dua
dasawarsa dibandingkan dengan yang telah dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa, Amerika
Serikat, bahkan dengan beberapa negara berkembang di Asia. Sebagai contoh Malaysia, Filipina,
Singapura, dan New Zealand sudah sejak tahun 1970an dan 1980an secara progresif telah
melakukan serangkaian reformasi di bidang manajemen keuangan publik. Namun meskipun
terlambat, reformasi manajemen keuangan sektor publik di Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Tonggak reformasi manajemen keuangan daerah dimulai sejak diberlakukannya UU
No. 22 Tahun 1999 dan U No. 25 Tahun 1999. Kedua peraturan perundangan tersebut merupakan
payung hukum pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
1. Perubahan sistem penganggaran daerah dari sistem anggaran tradisional menjadi sistem
anggaran berbasis kinerja.
2. Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi pada bagian
keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.
3. Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry bookkeeping)
menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping) menggunakan akuntansi
basis kas tetapi basis akrual.
4. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis).
Keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Dengan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa ruang lingkup keuangan
daerah meliputi:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman,
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar
tagihan pihak ketiga,
3. Penerimaan daerah,
4. Pengeluaran daerah,
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan daerah,
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Analisis mengenai kondisi dan proyeksi keuangan daerah perlu dilakukan untuk mengetahui
kemampuan daerah dalam mendanai rencana pembangunan. Dengan melakukan analisis keuangan
daerah yang tepat akan menghasilkan kebijakan yang efektif dalam pengelolaan keuangan daerah.
A. Kebijakan Umum Pendapatan Daerah
a) Pendapatan Asli Daerah
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari empat jenis, yaitu: Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah.
b) Dana Perimbangan
Dana Perimbangan merupakan pendapatan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Dana
Perimbangan dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil
Bukan Pajak/ Sumber Daya Alam; Dana Alokasi Umum (DAU); dan Dana Alokasi
Khusus (DAK).
c) Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Lain – lain pendapatan daerah yang sah terdiri dari Pendapatan Hibah, Dana Bagi Hasil
Pajak dari Provinsi dan Pemda Lainnya, Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus, serta
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemda lainnya.
B. Kebijakan Umum Belanja Daerah
✓ Proporsi Penggunaan Anggaran
Realisasi secara umum dari kebijakan belanja daerah pada periode tahun anggaran
sebelumnya yang digunakan sebagai bahan untuk menentukan kebijakan pembelanjaan
dimasa mendatang dalam rangka peningkatan kapasitas pendanaan pembangunan daerah
yang adalah sebagai berikut:
1) Proporsi Realisasi Belanja Terhadap Anggaran Belanja
Secara umum tentang belanja daerah yang disajikan secara series menginformasikan
mengenai tingkat realisasi belanja.
2) Proporsi belanja untuk pemenuhan kebutuhan aparatur
Secara umum tentang belanja daerah yang menginformasikan mengenai proporsi
belanja untuk pemenuhan kebutuhan aparatur.
3) Pengeluaran wajib dan mengikat serta Prioritas Utama
Realisasi pengeluaran wajib dan mengikat serta prioritas utama dilakukan untuk
menghitung kebutuhan pendanaan belanja dan pengeluaran pembiayaan yang tidak
dapat dihindari atau harus dibayar dalam suatu tahun anggaran.
KERANGKA PENDANAAN
Tujuan dari Analisis kerangka pendanaan adalah untuk menghitung kapasitas total keuangan
daerah, yang akan dialokasikan untuk mendanai belanja/pengeluaran periodik wajib dan mengikat
serta prioritas utama dan program program pembangunan jangka menengah daerah selama 5 (lima)
tahun ke depan serta alokasi untuk belanja daerah dan pengeluaran daerah lainnya.
Tahap awal yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi seluruh penerimaan daerah sebagaimana
telah dihitung pada bagian di atas dan ke pos-pos mana sumber penerimaan tersebut akan
dialokasikan.
Kapasitas keuangan daerah adalah total pendapatan dan penerimaan daerah setelah dikurangkan
dengan Kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan dan
Kegiatan lanjutan yang akan didanai pada tahun anggaran berikutnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya kemandirian daerah, adanya
transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah yang semakin responsif terhadap
masyarakat, meningkatnya partisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkatnya efisiensi
dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik, serta meningkatnya demokratisasi di
daerah. Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga
fase, yaitu: 1) era Orde Lama (1945-1966), 2) era Orde Baru (1966- 1998), dan 3) era Orde
Reformasi (1998-sekarang). Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi
perubahan sistem anggaran, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan
sistem akuntansi, dan perubahan basis akuntansi.
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang
keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator
keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu
periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD.
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan
analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Analisis mengenai
kondisi dan proyeksi keuangan daerah perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan daerah dalam
mendanai rencana pembangunan. Dengan melakukan analisis keuangan daerah yang tepat akan
menghasilkan kebijakan yang efektif dalam pengelolaan keuangan daerah.
Kerangka pendanaan bertujuan untuk menghitung kerangka kebutuhan dana organisasi dalam
rangka mencapai sasaran strategisnya selama lima tahun ke depan. Perhitungan dibuat berdasarkan
proyeksi dalam lima tahun.