Anda di halaman 1dari 62

BAGIAN ILMU KEGAWATDARURATAN LAPORAN KASUS

DESEMBER, 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Oleh:
Magefira Hasanuddin, S.Ked

Pembimbing:

Dr.dr. Rizha Anshori Nasution, Sp.BS., FINPS., FICS

(Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kegawatdaruratan)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Magefira Hasanuddin, S.Ked

Judul Refarat : Trauma Medulla Spinalis

telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka


Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kegawatdaruratan
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, Desember 2021

Pembimbing,

Dr.dr. Rizha Anshori Nasution, Sp.BS., FINPS., FICS

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus dengan
judul “TRAUMA MEDULLA SPINALIS” ini dapat terselesaikan. Salam dan
shalawat senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar
sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing Dr.dr.
Rizha Anshori Nasution, Sp.BS., FINPS., FICS yang telah memberikan
petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai
dengan selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang
penuh serta usaha yang maksimal dalam menyusun laporan kasus ini, masih
banyak celah yang dapat diisi untuk menyempurnakan laporan kasus ini, baik dari
isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa
penulis harapkan.
Demikian, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara
umum dan penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

Makassar, Desember 2021

Magefira Hasanuddin, S.Ked

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING..........................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................5

A. Definisi......................................................................................................5

B. Anatomi, Histologi dan Fisiologi..............................................................5

C. Klasifikasi...............................................................................................20

D. Epidemiologi...........................................................................................23

E. Etiologi....................................................................................................24

F. Patomekanisme.......................................................................................24

G. Diagnosis.................................................................................................29

H. Penatalaksanaan......................................................................................31

I. Diagnosis Banding..................................................................................40

J. Komplikasi & Prognosis.........................................................................42

BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................43

BAB IV DISKUSI KASUS.................................................................................52

BAB VI KESIMPULAN....................................................................................57

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................59

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera medula spinalis yang disebut juga cedera spinal, trauma spinal,

spinal cord injury (SCI) adalah trauma pada medula spinalis dan atau struktur di

sekitarnya yang dapat menyebabkan perubahan sementara atau permanen terhadap

fungsi motorik, sensorik, dan atau otonom. Cedera medula spinalis harus

senantiasa dipikirkan pada kasus cedera kepala ataupun trauma multipel. Hal ini

karena sekitar 5% pasien cedera kepala juga mengalami SCI. Sebaliknya, sekitar

25% pasien SCI juga mengalami trauma/cedera kepala (minimal cedera kepala

ringan).2

Insiden trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 kasus per 1 juta

penduduk per tahun , Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%),

jatuh (25%), cedera yang berhubungan dengan olahraga misalnya berkuda (10%).

Sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Faktor risiko cedera spinalis 25%

karena pengguna alkohol, dan kejadian pada laki-laki berkisar 80- 85%, dan

wanita antara 15-20%. 3

Tatalaksana pasien SCI memerlukan penanganan multidisiplin yang

meliputi dokter bedah saraf atau bedah ortopedi, dokter saraf, dan fisioterapi.2

Tingginya angka kejadian kasus ini memerlukan perhatian khusus dan

penanganan yang tepat dan cepat karena pada dasarnya prognosis kasus ini adalah

baik bila ditangani dengan segera. Namun seringkali pasien datang dengan onset

yang telah kronik dengan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering dan

fatal salah satunya adalah thrombosis vena dalam. Dalam kasus ini dititik beratkan

4
pada pencegahan komplikasi tersebut, disamping rehabilitasi dan edukasi.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung

maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga

menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau

kematian.4

B. Anatomi, Fisiologi, Histologi

ANATOMI

Penutup Menings

Medulla spinalis dikelilingi oleh tiga lapisan menings, yang bersambung

dengan menings yang membungkus otak. Ketiga menings memiliki akar saraf

yang muncul dari Medulla spinalis dan berlanjut dengan selubung jaringan ikat

saraf perifer pada Pia mater vaskular yang melekat erat pada Medulla spinalis dan

akarnya. Duramater dan arachnoid mater nonvaskular meluas ke caudal sampai ke

tingkat vertebra sakral-5, di mana mereka bergabung dengan filum terminale

untuk membentuk ligamen coccygeal atau filum duramater. Ruang subarachnoid,

yang berisi cairan serebrospinal (CSF) dan pembuluh darah mengelilingi medula

spinalis dan disebut cistern spinal atau lumbal antara conus medullaris dan

vertebra sacral-2 . Di antara dura mater (setara dengan dura mater bagian dalam

yang mengelilingi otak) dan periosteum dari kolumna vertebralis (setara dengan

5
dura mater luar yang mengelilingi otak) adalah ruang epidural yang mengandung

pleksus vena dan lemak.1

AKAR SARAF SPINAL DAN SARAF PERIFER.

Medlla spinalis melakukan proses transmisi melalui serabut saraf vertebra,

dan cabang-cabangnya. Serabut saraf muncul dari medula spinalis dan tak

terputus dari akar dorsal dan ventral yang bergabung membentuk 31 pasang akar

dorsal dan ventral. Di sekitar foramen intervertebralis, akar dorsal dan akar ventral

bergabung untuk membentuk saraf tulang belakang, yang mensuplai persarafan

pada segmen tubuh. Secara keseluruhan terdapat 8 pasang cervical (C), 12 pasang

toraks (T), 5 pasang lumbal (L), 5 pasang sakral (S), dan 1 pasang akar dan saraf

tulang ekor (Co)Cervical-1 dan coccygeal-1 biasanya hanya memiliki akar

ventral. Segmen medulla spinalis dan sarafnya dinamai menurut vertebra yang

sesuai. Saraf servikal C1 sampai C7 diberi nomor untuk vertebra tepat di bagian

kaudal foramen yang dilaluinya. Pada manusia, karena hanya ada tujuh vertebra

servical, C8 dan semua saraf tulang belakang lainnya diberi nomor untuk vertebra.

Karena medula spinalis jauh lebih pendek daripada kolumna vertebralis, nervus

lumbal dan nervus sakralis memiliki akar yang panjang sebagai cauda equina

(ekor kuda) di dalam cisterna spinalis. Komponen Fungsional Saraf Tulang

Belakang mengandung serabut saraf yang diklasifikasikan menjadi salah satu dari

empat komponen fungsional, yaitu (1) aferen somatik, (2) aferen viseral (3) eferen

somatik, dan (4) eferen viseral . Komponen yang didistribusikan ke seluruh tubuh

disebut general, sedangkan komponen yang mempersarafi dinding tubuh dan

ekstremitas bersifat somatik dan yang mempersarafi visera bersifat viseral.


6
Selanjutnya, serabut saraf sensorik adalah aferen dan serabut saraf motorik adalah

eferen.1

Gambar 1 : susunan vertebra.1

7
Gambar 2. Neuron refleks sistem saraf somatik di sebelah kiri, dan refleks viseral
dari sistem saraf simpatik di sebelah kanan.1

Gambar 3 Persarafan dermatomal (segmental) kulit. Saraf trigeminal memiliki


tiga dermatom: divisi oftalmik (V1), divisi maksila (V2), dan divisi mandibula
(V3).1
8
Akar Ventral

Akar ventral (motorik) terdiri dari serat eferen yang menyampaikan output

dari medulla spinalis. Ada dua komponen fungsional: (1) serabut saraf eferen

somatik general (GSE), yang mempersarafi otot polos volunter, dan (2) seabut

saraf eferen viseral general (GVE), yang membawa pengaruh ke otot polos

involunter, otot jantung, dan kelenjar.1

Dorsal spinal root Body region innervateda

C2 Occipital

C4 Leher dan bahu atas

T1 Dada atas dan bagian dalam tangan

T4 Mammae

T10 umbilikus

L1 Regio inguinal

L4 Jempol kaki, lateral paha, medial kaki

S3 Medial paha

S5 Regio Perianal

9
Ventral spinal root Muscles innervated

C5–6 Musculus Biceps brachii (fleksi elbow)

C6–8 Musculus Triceps brachii (ekstensi elbow)

T1–8 Musculus thoracicus

T6–12 Musculus Abdominalis

L2–4 Musculus Quadriceps femoris (refleks tendon patellar )

L5–S1–2 Musculus Gastrocnemius (ankle jerk, Achilles tendon reflex)

Gambar 4 Serabut sensoris radiks dorsalis dan lamina medula spinalis. Serat alfa
A bermielin berat dari spindel neuromuskular dan organ tendon berakhir di lamina
VI, VII, dan IX . Serat beta A bermielin dari mekanoreseptor kulit dan berakhir di
lamina III-VI. Serabut A delta dan C yang bermielin tipis dan tidak bermielin dari
nosiseptor berakhir di lamina I–V.1
Suplai Darah  Medula Spinalis.6

10
Jaringan Anastomosis arterial

Medula spinalis menerima darah dari jaringan anastomosis arteri pada

permukaannya. Ada 3 arteri longitudinal yang memiliki nama, tetapi pembuluh

darah tersebut saling berhubungan ketika berjalan turun di sepanjang medula

spinalis sehingga pola vaskular menyerupai rantai anastomosis dibandingkan

dengan tiga pembuluh darah independen yang berbeda . Arteri spinalis anterior

arteri spinalis anterior yang tidak berpasangan berjalan turun di permukaan ventral

medula spinalis pada tepi interior fisura Mediana anterior. Pembuluh darah ini

menerima kontribusi segmental dari beberapa arteri dan menyuplai bagian ventral

substansia grisea medula spinalis melalui pembuluh darah performance yang

disebut sebagai arteri sulko-komisuralis. Arteri-arteri tersebut bercabang secara

segmental dari arteri spinalis anterior dan berjalan secara transversal melalui

fisura mediana untuk masuk ke parenkim. Setiap arteri sulko-komisuralis

Menyuplai setengah medula spinalis.  Struktur penting yang disuplai oleh arteri

spinalis anterior meliputi kornu anterrius medula spinalis, traktus spinotalamikus

lateralis, dan sebagian traktus piramidalis.

Arteri spinalis posterolaterales

Arteri spinalis posterolaterales adalah pembuluh pembuluh darah

longitudinal mayor di sisi dorsal media spinalis;  mereka berjalan turun di medula

spinalis di antara radiks posterior dan lateralis pada masing-masing sisi. seperti

arteri spinalis anterior, pembuluh darah-pembuluh darah ini berasal dari

penggabungan beberapa arteri segmental; penggabungan ini dapat tidak lengkap

di beberapa  tempat. Arteri spinalis posterolaterales menyuplai kolumna


11
posterior,  radiks posterior, dan kornu posterius. Aksis longitudinalis berhubungan

melalui anastomosis radikular. Pembuluh darah-pembuluh darah ini menyuplai

kolumna anterior dan kolumna lateralis melalui cabang-cabang perforantes.

Arteri-arteri medula spinalis saling berhubungan dengan banyak

anastomosis. Karena itu,  stenosis atau oklusi di proksimal salah satu arteri ini

biasanya tidak menimbulkan gejala.  Namun,   di perifer,  arteri arteri medula

spinalis merupakan end artery yang fungsional;  oklusi embolik intramedular pada

arteri sulko-komisuralis dengan demikian menyebabkan infarks medula spinalis.

Arteri yang berperan pada jaringan arterial medula spinalis 

Medula spinalis embrionik menerima suplai darah dari arteri segmental,

sesuai dengan segmentasi metameri medula spinalis. Seiring berjalan

perkembangan, banyak arteri yang mengalami regresi, hanya meninggalkan

beberapa pembuluh darah utama untuk menyuplai medula spinalis. Tidak

mungkin untuk mengetahui arteri segmental original mana yang menetap pada

individu yang matur, kecuali dengan angiografi. Namun demikian, suplai darah

medula spinalis tetap menerima kontribusi dari beberapa level segmental yang

relatif konstan.

Di bagian atas regio cervicalis, arteri spinalis anterior menerima sebagian

besar darahnya dari arteri vertebralis. pada prinsipnya,  kedua arteri vertebralis

dapat menyuplai darah ke arteri spinalis anterior,  tetapi arteri vertebralis pada

satu sisi biasanya lebih dominan. lebih jauh ke bagian bawah medula spinalis,

pembuluh darah longitudinal arteri dan posterior menerima sebagian besar darah

mereka baik dari arteri vertebralis atau dari rami servikalis arteri subklavia (atau
12
keduanya).arteri arteri medula spinalis terutama berasal dari tronkus

costocervicalis atau tronkus tirocervicalis. Dari T3 ke bawah, arteri spinalis

anterior mendapatkan darah dari cabang aorta: arteri segmentalis torasika dan

arteri segmentalis lumbalis, selain cabang-cabang yang menyuplai otot, jaringan

ikat, dan tulang, juga memberikan beberapa cabang ke arteri spinalis anterior atau

arteri spinalis posterolateralis. Cabang-cabang ini adalah arteri segmentalis

medula spinalis yang tidak mengalami regresi pada perkembangan embrionik.

masing-masing terbagi menjadi cabang anterior dan posterior, yang masing-

masing memasuki kanalis spinalis di radiks anterior dan posterior. Karena medula

spinalis memanjang lebih sedikit daripada columna vertebralis selama

perkembangan, masing-masing arteri radikularis memasuki medula spinalis pada

jarak tertentu di atas tempat asalnya. Biasanya ada satu arteri segmental besar

yang menyuplai medula spinalis bagian bawah, yang disebut arteri radikularis

magna atau, Yang lebih umum, arteri adamkiewicz. “Pergerakan ke atas” medula

spinalis pada masa perkembangan membuat arteri ini bergabung dengan arteri

spinalis pada sudut akut (hairpin configuration).

Drainase Vena

Darah vena medula spinalis mengalir ke dalam vena Epimedularis yang

membentuk jaringan vena di ruang subarachnoid, disebut pleksus venosus spinalis

internus atau jaringan vena epimedularis. Pembuluh darah-pembuluh darah ini

berhubungan melalui vena radikularis dengan pleksus venosus epiduralis (pleksus

venosus eksternus, pleksus venosus vertebralis ekstornus anterior dan posterior).

13
Darah vena kemudian mengalir dari pleksus venosus epiduralis ke vena-vena

besar di tubuh.

Kemampuan Vena radikularis yang terbatas untuk mengalirkan darah dari

vena Epimedularis dapat terlampaui dengan adanya malformasi arteriovenosus.

Bahkan bila volume shunt  relatif rendah. Hasilnya adalah peningkatan tekanan

vena secara cepat. bahkan tekanan yang kecil dapat merusak jaringan medula

spinalis.

FISIOLOGI.9

Organisasi Medula Spinalis Untuk Fungsi Motorik

Substansia grisea adalah merupakan area integrasi bagi refleks-refleks

medula. Sinyal-sinyal sensorik hampir seluruhnya memasuki medula spinalis

melalui radiks sensorik (posterior). sudah memasuki medula spinalis, setiap sinyal

sensorik akan menuju dua tempat tujuan yang terpisah. (1)  Satu cabang saraf

sensorik akan berakhir segera setelah memasuki substansia grisea medula spinalis

dan akan memulai refleks lokal di segmen yang bersangkutan serta efek-efek lokal

lainnya. (2) Cabang lainnya mentransmisikan sinyal ke sistem saraf pusat yang

lebih tinggi-ke tingkat yang lebih tinggi di medula spinalis sendiri, ke Batang

otak, atau bahkan ke korteks serebri.

14
Gambar 5 Hubungan Antar Serat - serat sensorik dan serat - serat kortikonspinal

yang berkaitan dengan interneuron dan neuron motorik anterior medula spinalis.9

Setiap segmen medula spinalis (pada tingkat setiap saraf spinal) mempunyai

beberapa juta neuron dalam substansia griseanya. Disamping neuron sensorik

pemancar. neuron neuron ini terdapat dalam 2 jenis, yaitu neuron motorik anterior

dan interneuron.

Neuron motorik anterior. Pada setiap segmen radiks anterior substansia

grisea terdapat beberapa ribu neuron yang berukuran 50 sampai 100% lebih besar

daripada neuron-neuron lainnya dan disebut sebagai neuron motorik anterior..

Neuron-neuron ini keluar meninggalkan medula spinalis melalui radiks anterior

dan langsung menginervasi serat-serat otot rangka. Neuron-neuron tersebut terdiri

atas 2 jenis neuron, yaitu neuron motorik Alfa dan neuron motorik Gamma.

Neuron motorik Alfa. Neuron motorik Alfa menjulurkan serabut saraf

motorik tipe A Alfa (Aa) yang besar, berdiameter 14 um; serabut tersebut

15
bercabang beberapa kali telah memasuki otot dan mempersarafi serat-serat otot

rangka yang besar. Perangsangan pada satu serat saraf Alfa akan mengeksitasi tiga

sampai beberapa ratus serat otot rangka, yang secara kolektif disebut sebagai unit

motorik. penjalaran impuls saraf yang menuju otot rangka dan perancangannya

pada unit motorik otot.

Neuron motorik Gamma. Bersama dengan dengan neuron alfa yang

menyebabkan kontraksi serat otot otot rangka, neuron motorik gamma yang

berukuran jauh lebih kecil dan jumlahnya sekitar satu setengah kali lebih banyak,

berlokasi di radiks anterior medula spinalis. Neuron motorik gamma ini

mengirimkan impuls melalui sel saraf motorik jenis A gamma (Ay)  yang lebih

kecil, berdiameter rata-rata 5 um,  ke serat otot rangka khusus yang kecil, yang

disebut serat intrafusal, diperlihatkan pada gambar 54- 2 dan 54 - 3.  serat ini

membentuk bagian tengah kumparan otot, yang membantu mengatur “tonus” otot

dasar.

16
Gambar 6 serat sensorik perifer dan neuron neuron motorik anterior yang

mempersarafi otot rangka.9

Interneuron. Interneuron dapat dijumpai di semua daerah substansia grisea

medula spinalis- dalam Kornu dorsalis, Kornu anterior, dan area-area lain yang

terletak diantara kedua area tersebut. Jumlah sel-sel ini kira-kira 30 kali jumlah

neuron motorik anterior. Neuron ini kecil dan sangat mudah dirangsang,

seringkali mengeluarkan aktivitas spontan dan mampu mengirimkan impuls

dengan kecepatan sampai 1500 kali per detik. Neuron ini saling berhubungan satu

sama lain, dan sebagian besar secara langsung mempersarafi neuron motorik

anterior.  hubungan di antara interneuron dan neuron motorik anterior

bertanggungjawab untuk sebagian besar fungsi integrasi medula spinalis.

Hanya beberapa sinyal sensorik yang datang dari saraf-saraf spinal atau

sinyal dari otak berakhir secara langsung di neuron motorik anterior. Sebaliknya,

hampir seluruh sinyal tersebut mula-mula akan dihantarkan melalui interneuron,

tempat sinyal tersebut diolah secara tepat. traktus Kortikospinalis dan otak

diperlihatkan hampir seluruhnya berakhir di  interneuron spinalis, tempat sinyal-

sinyal dari traktus Tersebut digabungkan dengan traktus spinalis lain atau saraf

saraf spinal sebelum akhirnya Berkonvergensi menuju ke neuron motorik anterior

untuk mengatur fungsi otot.9

HISTOLOGI

Medula Spinalis: Daerah Mid-Torakal (Potongan Transversal)

Di daerah torakal medula spinalis berbeda dari daerah cervical. medula spinalis

torakal mempunyai cornu posterior grisea (6) Yang lebih tipis dan cornu anterior,
17
grisea (10,20) yang lebih kecil dengan neuron motorik yang lebih sedikit (10,20).

Sebaliknya, cornu lateral, grisea (8,19) dri divisi simpatis susunan saraf otonam.

Di sekitar medula spinalis terdapat lapisan jaringan ikat meninges. jaringan ikat

ini adalah duramater (2) di sebelah luar yang merupakan jaringan fibrosa tebal,

araknoid mater (3) Yaitu lapisan Tengah yang lebih tipis, dan pia mater (4) Yang

merupakan lapisan lebih dalam yang tipis dan melekat erat pada permukaan

medula spinalis. didalam pia mater Terdapat banyak pembuluh darah spinal

(1,12)  anterior dan posterior dengan berbagai ukuran. di antara araknoid mater

pia mater terdapat spatium subarachoideum (14). Trabekula halus berada didalam

spam subarachnoideum (14) menghubungkan pia mater (4) dengan araknoid

mater (3). Semasa hidup, spatium subarachnoideum (14) terisi oleh cairan

serebrospinalis. Di antara araknoin mater (3) dan dura mater (2) terdapat ruang

subdural (13)

Gambar 7 Gambar 7.1 Medula Spinalis: Daerah Mid-Torakal (Potongan

Transversal)

18
Di daerah torakal medula spinalis berbeda dari daerah cervical. medula

spinalis torakal mempunyai cornu posterior grisea (6) Yang lebih tipis dan cornu

anterior, grisea (10,20) yang lebih kecil dengan neuron motorik yang lebih sedikit

(10,20). Sebaliknya, cornu lateral, grisea (8,19) dri divisi simpatis susunan saraf

otonam.

Di sekitar medula spinalis terdapat lapisan jaringan ikat meninges. jaringan

ikat ini adalah duramater (2) di sebelah luar yang merupakan jaringan fibrosa

tebal, araknoid mater (3) Yaitu lapisan Tengah yang lebih tipis, dan pia mater (4)

Yang merupakan lapisan lebih dalam yang tipis dan melekat erat pada permukaan

medula spinalis. didalam pia mater Terdapat banyak pembuluh darah spinal

(1,12)  anterior dan posterior dengan berbagai ukuran. di antara araknoid mater

pia mater terdapat spatium subarachoideum (14). Trabekula halus berada didalam

spam subarachnoideum (14) menghubungkan pia mater (4) dengan araknoid

mater (3). Semasa hidup, spatium subarachnoideum (14) terisi oleh cairan

serebrospinalis. Di antara araknoin mater (3) dan dura mater (2) terdapat ruang

subdural (13)

19
Gambar 8 Medula Spinalis: kornu  anterior grisea, neuron motorik, dan subtansia

alba anterior yang berdekatan.

Pada pembesaran lebih kuat potongan kecil medula spinalis memperlihatkan

substansia grisea, substansia Alba, neuron, neurogliya,  dan akson yang dipulas

dengan hematoksilin dan eosin. sel-sel pada Kornu anteriior grisea di medula

spinalis daerah torakal adalah neuron motorik multipolar (2,6).  Sitoplasmanya 

memiliki inti (7) vesikuler, nukleolus (7) Yang jelas terlihat, dan gumpalan kasar

material basofilik yang disebut substansi (badan) Nissl (3). Substansi nissl meluas

ke dalam dendrit (5) namun tidak ke dalam akson. pada suatu neuron terlihat akar

suatu akson dan  colliculus axonalis (axon hillock) (4), Yang tidak mengandung

substansi Nissl dan merupakan ciri khas colliculus axonalis.

C. Klasifikasi.10
Klasifikasi Cedera Medula Spinalis

Cedera medula spinalis diklasifiksikan berdasarkan :

1. Levelnya

2. Beratya defisit neurologis

3. Sindroma medula spinalis

4. morfologi

LEVEL

Level neurorologis adalah segmen paling kaudhal yang masih memiliki

fungsi sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. bila istilah level sensorik

yang dipakai berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling caudal dari medula

spinalis dengan fungsi sensorik normal. level motorik juga didefinisikan hampir
20
sama, sebagai fungsi motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan

kekuatan paling tidak 3/6.  pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi

sensorik dan atau motorik di bawah segmen normal terendah hal ini disebut

dengan zona preservasi parsial. sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan

level trauma pada kedua Sisi sangat penting.

BERATNYA  DEFISIT NEUROLOGIS

Cedera Medula Spinalis Dibagi Menjadi :

Komplit Dan Inkomplit Paraplegia

Komplit Dan Inkomplit Tetraplegia 

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari

semua Jaras medula spinalis. adanya fungsi motorik atau sensorik di bawah level

trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. tanda-tanda cedera inkomplit

meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral

sparing, kontraksi sfingter ani volunteer, dan fleksi ibu jari kaki volunteer. Refleks

sakral, seperti refleks bulbocavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk dalam

sacral sparing.

SINDROM MEDULA SPINALIS

Pada karakteristik cedera neurologis tentu sering ditemukan pada pasien

dengan cedera medula spinalis. pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak

membingungkan pemeriksa

Central Cord Syndrome  ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih

banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan

kehilangan sensorik yang bervariasi. biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya
21
trauma hiperekstensi pada pasien yang mengalami canalis stenosis cervical

sebelumnya (seringkali disebabkan proses  osteoarthritis degeneratif). Dari

anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh ke depan dengan dampak pada daerah

wajah. dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang cervical atau  dislokasi.

perbaikan biasanya mengikuti pola yang khas, ekstremitas bawah mengalami

perbaikan lebih dahulu, diikuti dengan fungsi kandung kemih, dan ekstremitas

atas serta tangan terakhir. prognosis pada Central cord syndrome  Lebih baik

dibandingkan dengan cedera inkomplit lainnya. Central cord syndrome

diperkirakan terjadi akibat gangguan vaskuler di daerah diperdarahi oleh Arteri

spinalis anterior. Arteri ini memberikan suplai ke daerah Sentral medula spinalis

karena serabut motorik di segmen cervical secara topografis tersusun ke arah

Sentral medula spinalis, lengan serta tangan adalah yang terpengaruh paling

parah.

Anterior Cord Syndrome Ditandai dengan paraplegi dan kehilangan

sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. fungsi kolumna

posterior (posisi, Vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya Anterior

Cord Syndrome Disebabkan infark pada daerah medula spinalis yang diperdarahi

oleh Arteri spinalis anterior. prognosis paling buruk dibandingkan cedera

inkomplit lainnya.

Sindrom Brown Sequard Terjadi akibat hemiseksi medula spinalis, biasanya

akibat trauma tembus, hal ini jarang terjadi. namun, variasi dari gambaran klasik

tidak jarang terjadi. dalam kasus yang murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan

motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna


22
postorior), Disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai

1/2 level dibawah level trauma (traktus spinothalamikus). walaupun sindrom ini

disebabkan trauma tembus langsung ke medula spinalis, biasanya masih mungkin

terjadi perbaikan.

MORFOLOGI

Cedera tulang spinal dapat dideskripsikan sebagai fraktur, fraktur dislokasi,

cedera medula spinalis tanpa abnormalitas radiologist - spinal cord injury without

radiographic abnormalities (SCIWORA), dan cedera penetrasi. masing-masing

kategori dibagi menjadi stabil dan tidak stabil. namun, menentukan stabilitas dari

masing-masing Tipe trauma tidaklah mudah, dan bahkan banyak para ahli yang

belum sepakat. sehingga trauma pada tatalaksana inisial, semua pasien dengan

trauma yang dibuktikan secara radiologis dan semua pasien dengan defisit

neurologis harus dianggap mengalami cedera spinal yang tidak stabil. pasien

pasien seperti ini harus dimobilisasi sampai di lakukan konsultasi dengan dokter

yang kompeten, biasa nya ahli beda saraf atau ortopedi.

D. Epidemiologi
Insiden trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 kasus per 1 juta

penduduk per tahun. Di Amerika, trauma medulla spinalis terjadi pada 10.000

pasien setiap tahun.1 Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda. Penyebab

tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), cedera yang

berhubungan dengan olahraga misalnya berkuda (10%). Sisanya akibat kekerasan

dan kecelakaan kerja. Faktor risiko cedera spinalis 25% karena pengguna alkohol,

dan kejadian pada laki-laki berkisar 80- 85%, dan wanita antara 15-20%.3
23
Data dari WHO pada tahun 2013, terdapat 250.000 sampai 500.000 orang

yang mengalami SCI setiap tahunnya. Pada tahun 2018, estimasi prevalensi ini

meningkat 2 kali lipat . Data dari The US National SCI Statistics Center

memperkirakan sekitar 273.000 orang di Amerika mengalami SCI..2

Trauma medulla spinalis memiliki insiden tahunan 40-80 per juta orang dan

Sekitar 90% kasus berada di negara-negara terbelakang.7

E. Etiologi
Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan

dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis

atau kauda ekuina.4 Mekanisme tersering pada cedera medula spinalis ialah gaya

translasional tidak langsung pada vertebra seperti hiperekstensi dan fleksirotasi

mendadak yang mengakibatkan cedera medula spinalis. Cedera juga dapat

diakibatkan oleh kompresi langsung pada medula spinalis, kejadian cedera medula

spinalis tersering disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas ,

jatuh , olahraga, atau kecelakaan kerja.4

F. Patomekanisme.5
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,

atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa

rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie

tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu menyatu dalam waktu satu jam

setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada

substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.
24
Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan

struktural luas.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan

hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan

kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan

trauma hiperekstensi.

2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi

medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran

darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat

kompresi tulang.

Mekanisme kerusakan primer

Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:

(1) gaya impact dan kompresi persisten

(2) gaya impact tanpa kompresi

(3) tarikan medula spinalis

(4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.

Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut

berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf


25
terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat

pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel

pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami

kerusakan pada 72 jam setelah trauma.

Gambar 9 Patofisiologi kerusakan prime

Mekanisme kerusakan sekunder

Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya

kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok

neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi


26
sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses

imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain.

Gambar 8 Paatosiologi kerusakan sekunder

Proses imunologi pada kerusakan sekunder

Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino

eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam

growth factor untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta

sprouting atau penyebaran ujung saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan

27
debris atau sisa sel melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat

trauma, awalnya didapatkan predominasi infl itrasi neutrofil yang melepaskan

enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular,

tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan

memfagositosis sel rusak.Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi

oleh berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-

1). Protein ini akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma;

penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat

mensupresmieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan

meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang

berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-

6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi

TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor

lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor

nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang meregulasi proses infl amasi,

proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi respons imun pada trauma medula

spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder.

Apoptosis

Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, infl amasi, radikal

bebas, dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons

sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi

pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan

mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur, jalur
28
pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible

nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik

lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan

kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel.

Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis

factor meningkat pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf,

mikroglia, dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase,

seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor.

Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF.

Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder

Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara

lain aktivasi reseptor μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik.

Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan

menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin

dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi

trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel.

G. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis

neurologis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi MRI

Thorakolumbal.3

anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum

dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar,

29
kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan

peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat

bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami

kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum

dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna

mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat

dilakukan dalam kondisi tertentu.

Secara klinis, cedera medula spinalis dapat dinilai dengan menggunakan

pemeriksaan fisis terstandar dari International Standards for Neurological and

Functional Classifcation of spinal cord injury Patients yaitu panduan American

spinal , Association (ASIA) impairment scale atau biasa disebut AIS. Panduan

AIS berguna untuk menilai fungsi sensoris dan motoris pada pasien dengan cedera

medula spinalis. Hasil dari setiap pemeriksaan dijabarkan pada formulir AIS

dalam bentuk skala dan dikategorikan dalam skor ASIA. Terdapat 5 kategori skor

ASIA, yaitu ASIA A yang merupakan cedera komplit, ASIA B, C dan D yang

merupakan cedera inkomplit dan ASIA E yang masuk dalam kategori

normal,Selain dari pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang sangat penting

dalam diagnosis cedera medula spinalis. Pemeriksaan radiologi seperti x-ray

konvensional, CT-scan dan MRI merupakan modalitas pilihan pada pasien dengan

cedera medula spinalis. Saat ini MRI menjadi pilihan utama pada cedera medula

spinalis akut dikarenakan sensitivitas yang tinggi pada jaringan lunak dan dapat

memprediksi perkembangan status neurologis pasien.8


30
Pada pasien yang sadar penuh namun mempunyai gejala, CT-scan tulang

belakang servikal merupakan pencitraan awal yang harus dilakukan. Jika hasil

CTscan tersebut normal dan pasiennya masih mempunyai keluhan, perlu

dilakukan pemeriksaan MRI, terutama pada short T1 inversion recovery (STIR).

Jika tidak terdapat fasilitas CT-scan dan MRI, maka perlu dilakukan pencitraan

rontgen tiga posisi, yaitu anteroposterior, lateral, dan open mouth odontoid view).

Instabilitas tulang belakang servikal dapat dievaluasi dengan pencitraan servikal

potongan lateral pada posisi fleksi – ekstensi.2

Klasifikasi ASIA/IMSOP2

tidak ada fungsi motorik dan sensorik di bawah level


Grade A Komplit
cedera, khususnya pada segmen S4 – S5

Hanya fungsi sensorik yang ada di bawah level


Grade B Inkomplit
neurologik memanjang sampai di segmen S4 – S5

Beberapa fungsi motorik masih ada di bawah level cedera

Grade C Inkomplit dan lebih dari setengah otot di bawah level memiliki

mempunyai kekuatan otot kurang dari 3

Fungsi motorik ada di bawah level cedera dan

Grade D Inkomplit kebanyakan otot kekuatannya lebih dari atau sama

dengan 3

Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

31
H. Penatalaksanaan.5
Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit

Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai

studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam

menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.

Evaluasi

Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer

terdiri atas:

A. Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

B. Breathing dan ventilasi

C. Circulation dengan kontrol perdarahan

D. Disabilitas (status neurologis)

E. Exposure/environmental control

Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level

trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan

motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan

pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada

tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani.

Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus

vaskuler simpatis di bawah level trauma.5

Pemeriksaan jalan nafas (airway = A) dilakukan bersamaan dengan

pengaturan vertebra servikal (c-spine control). Bila dicurigai ada trauma servikal
32
dapat dipasang rigid cervical collar. Bila tidak ada, lakukan fiksasi leher

semaksimal mungkin misalnya dengan menyangga kedua sisi kepala dan leher

pasien dengan bantal pasir. Pada orang dewasa, untuk membebaskan jalan nafas

lakukan manuver jaw thrust bukan head tiltchin lift. Bila harus melakukan

penatalaksanaan jalan nafas dengan melakukan sapuan jari (finger swipe),

pengisapan (suction), intubasi, atau trakeostomi, pertahankan kesegarisan kepala-

leher-punggung, demikian pula jika harus melakukan elevasi kepala 30o . Jangan

lakukan pemeriksaan kaku kuduk atau manipulasi leher lainnya pada kecurigaan

cedera servikal. Jangan lakukan manipulasi punggung pada kecurigaan cedera

medula spinalis di bawah level servikal. Pada pasien dengan SCI servikal atas

dapat mengalami kesulitan bernafas. Pasien perlu diberikan oksigen 4-6

liter/menit dan dilakukan pemeriksaan AGD. Jika terjadi tanda-tanda syok pada

kasus SCI, perlu dibedakan apakah syok tersebut merupakan syok hipovolemik

atau neurogenik. Pada syok hipovolemik didapatkan tanda berupa takikardi dan

ekstremitas yang dingin bersama dengan hipotensi, sedangkan pada syok

neurogenik didapatkan tanda bradikardi dan ekstremitas yang hangat yang

menyertai hipotensi. Kita juga dapat membedakan kedua jenis syok tersebut

dengan memberikan cairan isotonis seperti asering, NaCl 0,9%, atau ringer laktat

sebanyak dua liter. Jika tidak ditemukan perbaikan, maka perlu dicurigai adanya

syok neurogenik. Koreksi cairan yang berlebihan pada syok neurogenik berbahaya

karena mampu menyebabkan edema paru. Sering kali koreksi syok neurogenik

membutuhkan pemberian vasopresor seperti dopamine atau norepinephrine.

Pasien SCI dapat diberikan cairan kristaloid dan koloid. Kristaloid yang biasa
33
diberikan adalah NaCl 0,9% atau ringer solution. Koloid yang biasa diberikan

adalah gelatin atau HES (200/0,5 atau 300/0,4). Cairan yang digunakan jangan

mengandung glukosa karena setidaknya terdapat dua hal yang dapat ditimbulkan.

Pertama metabolisme glukosa secara cepat dapat menghasilkan cairan “bebas”

sehingga menyebabkan terjadinya edema. Kedua, terdapat risiko terjadinya

hiperglikemia dengan peningkatan laju glikolisis anaerob sehingga kadar laktat

akan meningkat dan menurunkan pH.5.2

Penatalaksanaan Gawat Darurat

Stabilisasi vertebra Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra

servikal dapat diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan

meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas

struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen

bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak

dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula

spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas

menetap pada manajemen konservatif.5

Medikamentosa

Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi

jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres

mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema,

perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik

seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik,

glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP
34
yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman

fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi.

Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor

opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium,

termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil

baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.5

Terapi kerusakan primer

Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang

berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada

awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan

kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi

lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah

kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan

vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena

penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi

perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.5

Terapi kerusakan sekunder

Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk

keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat

mengingat patofi siologi yang sangat variatif.5

Kortikosteroid

Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,

mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,


35
menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.

Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema.

Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar

antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif

menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi

iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan

ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The

National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30

mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin

setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan

pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian

NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama

15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam

berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,

dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,

metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma.

Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus

sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24

jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi

lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon.

Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1

dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan

lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit


36
(ICU), dan kematian.5

21-Aminosteroid (Lazaroid)

21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan

mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya

adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel,

namun penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluaran yang lebih

baik.5

GM-1 Gangliosid

Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel.

Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik.

(GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi

pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah

kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam

pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru menyatakan

masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.5

Antagonis opioid

Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson

sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik

dibanding metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik

tangkap, yaitu golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan

norbinaltorfi min) pada hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan

sirkulasi pembuluh darah, pengurangan infl uks kalsium, peningkatan kadar

magnesium, serta modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum


37
dilakukan uji klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem

dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid

dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.5

Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH

Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai

fungsi melawan faktor-faktor pengganggu seperti opioid endogen, platelet

activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan

menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan

mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena

bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/ kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan

memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan

setelah injury.5

Penyekat Kanal Kalsium

Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik,

vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang

dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil

merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin adalah golongan

penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke, memiliki

fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium

intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu

dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan

efeknya pada aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih belum

38
terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada

keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam hitungan detik

pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi menunjukkan

bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional

menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga

sempit dan penggunaannya selektif.5

Magnesium

Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder. Pada tikus

dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO4 600 mg/kgBB

mempunyai efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked potential dan

mempunyai efek mencegah peroksidase lipid, namun untuk memastikan efek pada

kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan serangkaian uji klinis pada

manusia.5

Penyekat Kanal Natrium

Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma.

Efek obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan

tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo menggunakan tetrodotoksin dan

golongan lain, seperti QX314, masih belum menunjukkan efek yang diharapkan,

begitu pula penggunaan riluzol oleh Schwartz dan Fehlings masih belum

menghasilkan perbaikan klinis.5

Modulasi metabolisme asam arakidonat

Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, dan

leukotrien akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga


39
menimbulkan iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim COX dianggap dapat

bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme asam arakidonat

memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit.

Penggunaan naloxon digabung dengan indomethacin dan prostasiklin yang

dimulai 1 jam pascatrauma memiliki efek lebih meng untungkan dibandingkan

dengan naloxon sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat

(NSAID dan COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog (iloprost) me nunjukkan

manfaat terhadap aliran darah.5

Strategi pengobatan lain

Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2 dalam

percobaan memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan penggunaan

neurotrophic growth factor; antibodi inhibitor degenerasi aksonal telah dicobakan

begitu pula dengan transplantasi sel saraf, semuanya memberi kan hasil baik

sebatas percobaan. Target berikut yang lebih penting adalah memotong jalur

apoptosis yang dicetuskan oleh kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta

antiapoptosis protein (BCl-2). Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai

imunomodulator yang ber fungsi sebagai promotor regenerasi akson.5

I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding Trauma medulla spinalis bisa berupa kelainan pada

medulla spinalis yang terjadi tanpa didahului trauma diantaranya :

PENYAKIT DEMIELINISASI

Ditandai dengan destruksi patologis selubung mielin pada otak dan medula

spinalis. Contoh penyakitnya seperti multiple sklerosis dengan lesi demielinisasi


40
multiple, hjielitis transversal terjadi bila proses demielinisasi ini sampai ke

medula spnalis. Lesi ini berupa inflamasi biasanya karena infeksi yirus, onsetnya

gradual dalam beberapa hari, klinisnya menyerupai transeksi akut namun

penyembuhan cepat dan sering komplit. 12

PENYAKIT DEGENERATIF

Penyakit Motor Neuronal Termasuk penyakit bawaan dan dapatan dengan

degenerasi progresif motor neuron di medula spinalis dengan atropi dan fasikulasi

otot volunter. Lesi serupa pada nuklei motorik nervus kranialis atau kortek

motorik mengiringi hilangnya sel-sel kornu anterior medula spinalis. Pada anak-

anak, penyakit motor neuron biasanya bawaan (autosomal resesif) dan biasanya

tidak disertai gangguan upper motor neuron. Pada dewasa, amiotropik lateral

sklerosis (ALS) sebagai prototipe penyakit ini dengan degenerasi dan hilangnya

kedua upper maupun lower motor neuron. Sekitar 5-20% kasusnya diturunkan

dengan autosomal dominan. ALS ditandai dengan gambaran lower motor neuron

(kelemahan otot, atropi dan fasikulasi) dan gambaran upper motor neuron

(kelemahan spastik dan hiperrefleksia). Onset penyakit ini usia pertengahan

sampai akhir kehidupan. Tersangkut pautnya nuklei motorik nervus kranialis

berupa dysfagia, dysartria dan aspirasi pneumonia. Perjalanan penyakit ini

biasanya berakhir dengan gagal nafas, pneumonia dan komplikasi imobilisasi

yang lama. 12

DEGENERASI MEDULA SUBAKUT

Kekurangan vitamin BI2 berat dapat menimbulkan degenerasi substansia

alba kolumna dorsal dan lateral. Hilangnya proprioseptif sensasi taktil, gait
41
ataksia, kelemahan otot spastik, hiperrefleksia dan Babinski positif akibat

terserangnya traktus kortikospinal lateral dan posterior.12

J. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi

Pasien SCI rentan mengalami trombosis vena dalam / deep vein

thrombosis (DVT) akibat disfungsi neurologis, imobilisasi, dan hiperkoagulasi.

Pasien juga mengalami kerusakan jaringan dan bila pasien menjalani operasi,

pasien dapat berisiko mengalami perdarahan di sekitar jaringan saraf. DVT dapat

menyebabkan emboli pulmo sehingga penggunaan antikoagulan menjadi sangat

penting pada pasien yang berisiko tinggi. Namun sayangnya, penggunaan

antikoagulan ini juga meningkatkan risiko terjadinya pembentukan hematom,

pembesaran kontusio medula spinalis, perburukan defisit neurologis, perdarahan,

dan mortalitas.2

Prognosis

Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit.

Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat membaik dan hidup

mandiri. Kurang dari 5% pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit

dapat sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera,

kemungkinan pulih adalah 0%. Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom

dapat kembali dalam 1 minggu sampai 6 bulan paska cedera. Kemungkinan

pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan.3

42
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien :

Nama : Tn. M

Tanggal lahir/Umur : 5 Maret 2000/21 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : Asm. Yon Raider 700 Tamalanrea

Pekerjaan : TNI

Berat badan : 70 Kg

Rekam medis : 69 75 02

MRS : 14 November 2021

B. Anamnesis :

Keluhan Utama : Sesak nafas disertai nyeri dada dan punggung

Anamnesis Terpimpin

Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak tadi malam

disertainyeri dada dan punggung yang dirasakan setelah adanya tanda kekerasan

pada punggung belakang ± 1 minggu yang lalu yang membuat pasien berjalan

bungkuk. Riwayat demam 3 hari yang lalu, flu & batuk (-). Pada saat di

perawatan, pasien mengeluhkan kedua tungkai mulai melemah secara perlahan


43
setelah bangun pagi, disertai rasa baal di area punggung ke bawah dan rasa nyeri

pada punggung.

Riwayat penyakit dahulu

Hipertensi (-), DM (-), riwayat trauma sebelumnya (± 1 minggu yang lalu).

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama.

C. Primary Survey

 Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada suara nafas tambahan.

Dilakukan stabilisasi cervical menggunakan hard cervical collar.

 Breathing :

- Look : bernafas spontan, gerak nafas simetris kiri dan kanan, jejas (-).

- Listen : suara nafas bronchovesiculer, RH (-/-), WH(-/-). Respiratory

rate : 28x/menit.

- Feel : hembusan nafas (+)

 Circulation : nadi teraba kuat (96x/menit), TD: 164/98 mmHg, akral

hangat, CRT <2 detik, turgor baik. Tanda perdarahan (-), dilakukan

pemasangan IVFD RL 18 tpm dan pemasangan kateter urin.

 Disability : GCS 15 (E4M6V5), pupil bulat isokor ø 2,5 mm ODS, RCL

(+/+), RCTL (+/+).

 Exposure : tidak ada benda yang mengganggu, Suhu : 36,6oC

44
D. Secondary Survey (Head to Toe Examination)
Keadaan umum : sakit berat/ gizi cukup/ composmentis

Glasgow Coma Scale : E4M6V5

Tekanan darah : 164/98 mmHg

Nadi : 96x/menit

Pernapasan : 28x/menit

Suhu : 36,6oC

SpO2 : 98%

Kepala : konjungtiva anemis (-/-), ikterus (-/-), pupil bulat

isokor diameter 2,5mm ODS, RCL (+/+), RCTL

(+/+)

Paru : simetris kiri dan kanan, bunyi paru vesikular, RH

(-/-), WH (-/-)

Jantung : bunyi jantung I/II regular, murmur (-)

Abdomen : datar, mengikuti gerak nafas, massa (-), nyeri tekan

(-), peristaltik kesan menurun

Extremitas : akral hangat, turgor baik, CRT <2 detik,

Motorik :
Pergerakan kekuatan Tonus
N N 5 5 N N
↓ ↓ 0 0 ↓ ↓
Rf Rp
45
+2 +2 - -
+2 +2 - -
Sensorik : anastesia dari akral hingga Th 4, hipestesia dari

Th4 hingga Th 2.

Otonom : BAB terakhir SMRS, BAK via kateter

E. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium:
14/11/21
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
WBC 23.64 3.6 – 11.0 103/uL
RBC 4.23 4.4 – 5.9 106/uL
HGB 11.7 11.7 – 15.5 g/dL
PLT 282 150 – 450 103/uL
GDS 123 < 200 mg/dl
SGOT 84 0 – 37 U/L
SGPT 137 0 – 42 U/L
Ureum 19 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.66 0.6 – 1.2 mg/dl
15/11/21
Na 125.0 136 – 145 mmol/L
K 3.40 3.5 – 5.1 mmol/L
Cl 86.0 98 – 106 mmol/L
18/11/21
GDS 142 < 200 mg/dl
Na 136 136 – 145 mmol/L
K 4.0 3.5 – 5.1 mmol/L
Cl 99 98 – 106 mmol/L
20/11/21
CT 9’00’’ 6–5 detik
BT 2’30’’ 1.0 – 3.0 detik
PT 16.3 10.4 – 14.4 detik
APTT 18.8 26.4 – 37.6 detik
FT4 16.78 9 – 20 pmol/L
TSH 1.39 0.25 – 5.0 uUl/ml
SGOT 57 0 – 31 U/L
SGPT 76 0 – 42 U/L
Albumin 2.9 3.8 – 5.0 g/dl
Ureum 40 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.69 0.6 – 1.2 mg/dl

46
WBC 24.23 3.6 – 11.0 103/uL
RBC 4.09 4.4 – 5.9 106/uL
HGB 11.1 11.7 – 15.5 g/dL
PLT 289 150 – 450 103/uL
22/11/21
WBC 27.01 3.6 – 11.0 103/uL
RBC 3.83 4.4 – 5.9 106/uL
HGB 10.6 11.7 – 15.5 g/dL
PLT 286 150 – 450 103/Ul

USG Abdomen (15/11/21)

Kesan :

- Hydronefrosis bilateral ec distended VU

- Distended VU ec neurogenic bladder

47
- Sludge VU

- Dilatasi loop usus

- Efusi pleura dextra

Foto Lumbosacral AP/Lateral (15/11/21)

Kesan :

- Muscle spasm

- Sugestif ileus paralitik

Foto MRI Cervicothoracal (16/11/21)

48
Kesan :

- Suggestive hematoma extradural pada sisi posterior level C3-Th4,

mendesak lig. Longitudinale spinal cord ke anterior

- Kompresi spinal cord disertai myelopathy pada level C4-Th2

- Efusi pleura bilateral (incidental finding)

Foto Polos Abdomen 3 Posisi (17/11/21)

49
Kesan : Gambaran ileus Paralitik

CT Scan Thorax potongan axial tanpa kontras (19/11/21)

50
Kesan :

- Efusi pleura bilateral

- Suggestive sigmoid volvulus

F. Diagnosis : Paraparese ec. Trauma Medulla Spinalis

G. Penatalaksanaan

IGD ICU
51
• IVFD RL 18 tpm Post OP Laminectomy  stabilisasi
• Inj santagesic/tgc cervical
• Tramadol tab 2x1 • Imobilisasi, terpasang collar
• Lansoprazole 1x1 neck
• Dexanta 3x1 • Posisi kepada datar sesuai
• Ulsidex 3x1 sumbu tubuh
• Domperidon 3x1 • Omeprazole 1 flc/12 jam
• Pct 1 fl/extra • Neurosanbe 1 amp/24 jam
• Santagesic 1 amp/TGC
• Citicolin 200 mg/8 jam
• Methylprednisolon 125 mg/24
jam
• Imipenem 1 gr/8 jam
• Amikacin 1 gr/24 jam
• Methycobal 1 amp/8 jam
• Paracetamol 1 gr/6 jam
• Asam traneksamat 500 mg/8
jam
• Oxynorm 1cc/jam
• Midazolam 3 mg/jam

BAB IV
DISKUSI KASUS
52
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak tadi malam disertai

nyeri dada dan punggung yang dirasakan setelah adanya tanda kekerasan pada

punggung belakang ± 1 minggu yang lalu yang membuat pasien berjalan

bungkuk. Riwayat demam 3 hari yang lalu. Pada saat di perawatan, pasien

mengeluhkan kedua tungkai mulai melemah secara perlahan setelah bangun pagi,

disertai rasa baal di area punggung ke bawah dan rasa nyeri pada punggung.

Sesuai dengan landasan teori yang menyatakan bahwa trauma medulla

spinalis cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang

menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan

neurologis.

Berdasarkan pemeriksaan fisik dapat dinilai keadaan umumnya tampak sakit

berat, pada pemeriksaan motoric ekstremitas bawah didapatkan hasil pergerakan

motoric ekstremits bawah melemah, tidak ada kekuatan dan tonus otot melemah,

untuk pemeriksaan sensorik didapatkan hasil anastesia dari akral hingga Th 4,

hipestesia dari Th4 hingga Th 2.

Sesuai dengan landasan teori dimana Ketika terjadi lesi pada Thorakal-2

hingga Lumbal-1 maka akan terjadi paraparese pada ekstremitas bawah tipe

UMN. Pada kasus Anterior Cord Syndrome juga Ditandai dengan paraplegi dan

kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. fungsi

kolumna posterior (posisi, Vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya

Anterior Cord Syndrome Disebabkan infark pada daerah medula spinalis yang

diperdarahi oleh Arteri spinalis anterior. Pemeriksaan klinis juga sesuai dengan
53
klasifikasi dari ASIA/IMSOP yang berarti jenis trauma medulla spinalis ini masuk

dalam kategori grade C dengan jenis trauma inkomplit dimana Beberapa fungsi

motorik masih ada di bawah level cedera dan lebih dari setengah otot di bawah

level memiliki mempunyai kekuatan otot kurang dari 3 .

Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang dengan hasil laboratorium darah

lengkap yaitu didapatkan leukositosis, peningkatan kadar SGOT dan SGPT.

Pemeriksaan MRI cervicothorakal menunjukka hasil Suggestive hematoma

extradural pada sisi posterior level C3-Th4, mendesak lig. Longitudinale spinal

cord ke anterior, Kompresi spinal cord disertai myelopathy pada level C4-Th2.

Sesuai dengan landasan teori dimana pada pemeriksaan laboratorium juga

harus dievaluasi dengan baik agar kelainan metabolic lainnya dapat diketahui,

dari hasil pemeriksaan laboratrium diatas sudah menunjukkan bahwa ada focus

infeksi lain juga yang ditandai dengan peningkatan kadar leukosit, begitupun

dengan peniingkatan kadar enzim hepar. Untuk pemeriksaan radiologi MRI

merupakan modalitas pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. Saat

ini MRI menjadi pilihan utama pada cedera medula spinalis akut dikarenakan

sensitivitas yang tinggi pada jaringan lunak dan dapat memprediksi

perkembangan status neurologis pasien.

Pada pasien diberikan tatalaksana di UGD berupa :


54
- IVFD RL 18 tpm

- Inj santagesic/tgc

- Tramadol tab 2x1

- Lansoprazole 1x1

- Dexanta 3x1

- Ulsidex 3x1

- Domperidon 3x1

- Pct 1 fl/extra

Sesuai dengan landasan teori dimana Pasien SCI dapat diberikan cairan

kristaloid dan koloid. Kristaloid yang biasa diberikan adalah NaCl 0,9% atau

ringer solution. Koloid yang biasa diberikan adalah gelatin atau HES (200/0,5

atau 300/0,4).

Dan diberikan tatalaksana di ICU berupa :

Post OP Laminectomy  stabilisasi cervical

• Imobilisasi, terpasang collar neck

• Posisi kepada datar sesuai sumbu tubuh

• Omeprazole 1 flc/12 jam

• Neurosanbe 1 amp/24 jam

• Santagesic 1 amp/TGC

• Citicolin 200 mg/8 jam

• Methylprednisolon 125 mg/24 jam

• Imipenem 1 gr/8 jam

55
• Amikacin 1 gr/24 jam

• Methycobal 1 amp/8 jam

• Paracetamol 1 gr/6 jam

• Asam traneksamat 500 mg/8 jam

• Oxynorm 1cc/jam

• Midazolam 3 mg/jam

Sesuai landasan teori dimana Observasi primer terdiri atas: A: Airway

maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

A :Airway

B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan

D: Disabilitas (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

Pemeriksaan jalan nafas (airway = A) dilakukan bersamaan dengan

pengaturan vertebra servikal (c-spine control). Bila dicurigai ada trauma servikal

dapat dipasang rigid cervical collar. Bila tidak ada, lakukan fiksasi leher

semaksimal mungkin misalnya dengan menyangga kedua sisi kepala dan leher

pasien dengan bantal pasir. Pada orang dewasa, untuk membebaskan jalan nafas

lakukan manuver jaw thrust bukan head tiltchin lift. Bila harus melakukan

penatalaksanaan jalan nafas dengan melakukan sapuan jari (finger swipe),

pengisapan (suction), intubasi, atau trakeostomi, pertahankan kesegarisan

kepala-leher-punggung, demikian pula jika harus melakukan elevasi kepala 30o .

Jangan lakukan pemeriksaan kaku kuduk atau manipulasi leher lainnya pada
56
kecurigaan cedera servikal. Jangan lakukan manipulasi punggung pada

kecurigaan cedera medula spinalis di bawah level servikal. Pada pasien dengan

SCI servikal atas dapat mengalami kesulitan bernafas. Pasien perlu diberikan

oksigen 4-6 liter/menit dan dilakukan pemeriksaan AGD. Vertebra servikal dapat

diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal

pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan

penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkutan.

Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar

antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif

menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi

iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan

ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The

National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30

mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin

setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan

pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian

NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama

15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam

berikutnya. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai

jeda 8 jam pascatrauma.

57
BAB V

KESIMPULAN

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung

maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga

menimbulkan gangguan neurologis

Trauma medulla spinalis memiliki insiden tahunan 40-80 per juta orang dan

Sekitar 90% kasus berada di negara-negara terbelakang.

Cedera medula spinalis diklasifiksikan berdasarkan :

1. Levelnya

2. Beratya defisit neurologis

3. Sindroma medula spinalis

4. morfologi

Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan

dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis

atau kauda ekuina.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan

hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang

dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior

dan trauma hiperekstensi.

2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi

58
medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya

usia.

3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu

aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat

kompresi tulang.

Observasi primer terdiri atas:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal

B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan

D: Disabilitas (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit.

Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat membaik dan hidup

mandiri.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Et al. The Spinal Cord In: The

Human Nervous System;2005. p. 129-136.

2. Atmadja AS, Sekeon SA, Ngantung DJ. Diagnosis and Treatent of Traumatic

Spnal Injury. Jurnal Sinaps. 2021; 4(1): 26-33.

3. Sompa AW, Zaki A, Rahmadhani R. Paraparese Flaccid Ecausa Fraktur

Kompresi Medulla Spinalis Onset Kronik. Alami Jurnal. 2018; 2(2): 1-5.

4. Pertiwi GM, Berawi K. Diagmosis dan Tatalaksana Trauma Medula Spinalis.

J Medula Unila. 2017; 7(2): 48-50.

5. Gondowardaja Y, Purwata TE. Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan

Tata Laksana Medikamentosa. CDK-219. 2014; 41(8): 567-571.

6. Baehr M, Frotscher M. Selubung Otak dan Medula Spinalis; Cairan

Serebrospinalis dan Sistem Ventrikular In: Diagnosis Ropik Neurologi DUUS

Edisi 4. Jakarta: EGC; 2012. p. 391-394.

7. Khosravi S, Khayyamfar A, Shemshadi M, Et al. Indicators of Quality of

Care in Individuals With Traumatic Spinal Cord Injury: A Scoping Review.

Global Spine Jurnal. 2021; 12(1): 167.

8. Yunus RE, Budianto T, Siregar TP, Et al. Peran Magnetic Resonance

Imgaging Dalam Diagnosis dan Prognosis Cedera Medula Spinalis Akut.

Neurona. 2020; 37(4): 295.

60
9. Guyton, Arthur, C Hall, John,E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.. 12th ed.

Jakarta: EGC;2014. p. 705-706.

10. Merrick C. ATLS Student Course Manual 10th ed: American Collage Of

Surgeon: 2018. p. 190-192.

11. Eroschenko VP. Jaringan Saraf In: Atlas Hisstologi DiFiore.

Jakarta:EGC;2008. p. 144-145.

12. Mahadewa TG. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang

Belakang: Sagung seto; 2009. p. 25-26.

61

Anda mungkin juga menyukai