Disusun oleh :
Anggota Kelompok
Era disrupsi adalah era dimana segala kemungkinan sulit untuk diprediksi dan
diperlukan inovasi untuk menghadapi tuntutan zaman yang semakin modern. Inovasi dalam
pelayanan publik dibutuhkan untuk mengubah sikap dan paradigma dari masyarakat itu
sendiri. Terdapat berbagai strategi maupun langkah dalam upaya mengubah sikap masyarakat
tersebut. Menurut Kurnia, Edi (2013:156) menyatakan, bahwa “salah satu teori yang dapat
mengubah sikap adalah pendekatan fungsional yang menunjukkan bahwa mengubah motivasi
dasar individu dapat mengubah sikap individu terhadap suatu objek tertentu.” Dengan
demikian diperlukan strategi inovasi yang cenderung memposisikan fungsi dari produk jasa
yang diunggulkan dan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan dari lembaga maupun instansi publik. Karena bagaimanapun lembaga pemerintah
1
tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam melayani kebutuhan masyarakat, baik
yang bersifat kebutuhan pelayanan umum maupun dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan
dasar. Dari latar belakang masalah diatas kami tertarik untuk membahas tentang Inovasi
Pelayanan Publik Pada Era Disrupsi Di Indonesia agar dapat mengetahui bagaimana
inovasi pelayanan publik pada era disrupsi dan kunci sukses serta faktor penghambat inovasi
dalam pelayanan publik di Indonesia.
2
PEMBAHASAN
Inovasi adalah suatu penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang
sudah dikenal sebelumnya, orang atau wirausahaan yang selalu berinovasi, maka ia dapat
dikatakan sebagai seorang wirausahawan yang inovatif. Seorang yang inovatif akan berupaya
melakukan perbaikan, menyajikan sesuatu yang baru atau unik yang berbeda dengan yang
sudah ada. Pengertian inovasi di bidang pelayanan publik merupakan ide kreatif teknologi
atau cara baru dalam teknologi pelayanan untuk memperbarui yang sudah ada atau
menciptakan terobosan atau penyederhanaan dibidang aturan, pendekatan, prosedur, metode,
maupun struktur organisasi pelayanan yang memberikan hasil yang lebih baik dari segi
kuantitas maupun kualitas pelayanan.
1. Gagasan baru yaitu suatu olah pikir dalam menangani suatu fenomena yang sedang
terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan, gagasan baru ini dapat berupa penemuan
dari suatu gagasan pemikiran, ide, sistem sampai pada kemungkinan gagasan yang
mengkristal.
2. Produk dan jasa yaitu hasil langkah lanjutan dari adanya gagasan baru yang ditindak
lanjuti dengan berbagai aktifitas, kajian, penelitian dan percobaan sehingga
melahirkan konsep yang lebih konkret dalam bentuk produk dan jasa yang siap
dikembangkan dan diimplementasikan termasuk hasil inovasi dibidang pendidikan.
Menurut lewis dan Gilman (2005), pelayanan publik adalah kepercayaan publik.
Pelayanan publik dilaksanakan secara bertanggungjawab dan sesuai dengan ketentuan dan
peraturan yang ada. Nilai akuntabilitas pelayanan yang diberikan dapat memberikan
kepercayaan kepada masyarakat tentang pelayanan yang diberikan. Dalam pemberian
3
pelayanan, menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya secara
profesional, akuntabel dan optimal. Pelayanan yang optimal adalah harapan semua
masyarakat agar tercipta kualitas pelayanan yang lebih baik. Optimalisasi pelayanan publik
menurut pendapat Indri dan Hayat (2015), yaitu memberikan pelayanan secara profesional
dan berkualitas yang mempunyai implikasi positif terhadap kepuasan masyarakat.
1. Layanan dengan lisan. Layanan yang dilakukan oleh pegawai bidang hubungan
masyarakat, bidang informasi dan bidang lainnya yang tugasnya memberikan
penjelasan kepada siapa saja yang membutuhkan.
2. Layanan dengan tulisan. Layanan ini merupakan bentuk layanan yang paling
menonjol dalam implementasi tugas, tidak hanya dari aspek jumlah tetapi juga dari
aspek peranannya. Layanan melalui tulisan ini dinilai cukup efesien terutama untuk
layanan jarak jauh karena faktor baiya.
3. Layanan bentuk perbuatan. Layanan ini sering terkombinasi dengan layanan lisan,
sebab hubungan lisan terbanyak dilakukan dalam hubungan pelayanan secara umum,
namun fokusnya diperbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh orang berkepentingan.
Istilah “disrupsi” telah dikenal puluhan tahun lalu, tetapi baru populer setelah guru
besar Harvard Business School, Clayton M. Christensen, menulis buku berjudul The
Innovator Dilemma (1997). Buku ini berisi tentang persaingan dalam dunia bisnis, lebih
khusus inovasi. Christensen ingin menjawab pertanyaan penting, mengapa perusahaan-
perusahaan besar bahkan pemimpin pasar (incumbent) bisa dikalahkan oleh perusahaan yang
4
lebih kecil, padahal perusahaan kecil tersebut kalah dalam hal dana dan sumber daya
manusia. Jawabannya terletak pada perubahan besar yang dikenal dengan disrupsi. Disrupsi
tidak hanya sekedar perubahan, tetapi perubahan besar yang mengubah tatanan.
Terdapat dua hal yang menjadi karakteristik dan penyebab terjadinya hal ini. Alasan
yang pertama karena perubahan langsung mengarah ke bagian fundamental yakni model
bisnis, sehingga mereka yang tidak menggunakan cara itu, langsung keluar dari ekosistem.
Kedua, disrupsi selalu dimulai dari low-end atau pasar bawah. Hal inilah yang membuat
pemain lama yang biasanya bermain di pasar atas (high-end) tidak menyadari bahwa pasar
akan di disrupsi oleh pemain baru. Disisi lainnya, seiring berjalannya waktu perusahaan baru
yang awalnya bermain di pasar bawah mulai memiliki pondasi bisnis yang kuat, dan dengan
natural mereka melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan kualitas dan ikut bermain
dipasar atas. Dan pada akhirnya, pemain baru mendisrupsi perusahaan yang saat itu sudah
besar dan menjadi pemimpin.
Menurut Kasali (2017) disrupsi tidak hanya bermakna fenomena perubahan hari ini
(today change) tetapi juga mencerminkan makna fenomena perubahan hari esok (the future
change). Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa perubahan pada era disrupsi pada hakikatnya
tidak hanya berada pada cara atau strategi tetapi juga pada pada aspek fundamental bisnis.
Domain era disrupsi merambah dari mulai struktur biaya, budaya hingga pada ideologi
industri. Implikasinya, pengelolaan bisnis tidak lagi berpusat pada kepemilikan individual,
tetapi menjadi pembagian peran atau kolaborasi atau gotong royong. Di dalam dunia
perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari berkembangnya riset-riset
kolaborasi antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi
berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) tetapi didorong untuk menemukan
potensi masalah maupun potensi nilai ekonomi yang dapat membantu masyarakat untuk
mengantisipasi berbagai masalah sosial ekonomi dan politik di masa depan.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah menjadikan segala sesuatu yang tidak
mungkin menjadi lebih mungkin terjadi. Keberhasilan sebuah inovasi tersebut menjadi
indikator bahwa ide maupun gagasan yang ada menjadi sebuah ide yang bersifat solutif.
Menurut Suwarno, Yogi (2008), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi inovasi
pelayanan, dapat dianalisis menjadi 2 (dua) yaitu: (a) lingkungan internal; dan (b) lingkungan
eksternal. Lingkungan internal adalah lingkungan di dalam organisasi yang berpengaruh
5
terhadap kinerja, meliputi visi, misi, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, organisasi,
manajemen, keuangan dan pemasaran. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi lingkungan
makro dan lingkungan mikro. Lingkungan makro meliputi demografi, sosioekonomi,
teknologi, politik, dan sosial budaya, serta lingkungan mikro meliputi pelanggan dan pesaing.
Hal ini pula yang menjadikan inovasi sebagai leading factor dalam upaya peningkatan
sebuah pelayanan. Hal itu juga menuntut beragam informasi yang ada harus dikelola dengan
baik. Misalnya telah muncul konsep tentang Sistem Informasi Manajemen (SIM) di dalam
sebuah lembaga, terurama di lembaga publik ataupun formal. Menurut Halvorsen (dalam
Yogi. S, 2018) terdapat 6 (enam) tipologi inovasi di sektor publik, yaitu: (a) a new or
improved service; (b) process innovation; (c) administrative innovation; (d) system
innovation; (e) conceptual innovation; dan (f) radical change of rationality. Berdasarkan
tipologi inovasi tersebut, maka terdapat beberapa hal mengenai inovasi di sektor publik.
Pertama, dari segi perbaikan pelayanan atau adanya pelayanan baru yang bertujuan untuk
memberikan pilihan dan pemenuhan kebutuhan dari masyarakat sebagai pelanggan pelayanan
sebuah jasa tertentu. Kemudian adanya inovasi proses, dimana terdapat perubahan dalam
penyediaan pelayanan. Setelah itu dalam tipologi inovasi, yakni inovasi administrative.
Disinilah letak dari pusat kendali perbaikan sebuah layanan.
6
(value added). Dalam konteks pelayanan publik, inovasi bisa diartikan sebagai pembaharuan
atau kreativitas maupun ciptaan baru dalam pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas
layanan (Diah N.F, 2014). Oleh karena itu sesuatu yang baru dapat menjadikan pelayanan
publik mengarah ke arah lebih maju, jika semua pihak mau menerima dan
mengimplementasikan inovasi yang muncul pada penyelenggara layanan publik tersebut.
Salah satunya menurut Dayang E.D (2015) menyatakan, bahwa terdapat 4 (empat)
bentuk inovasi pelayanan, diantaranya Rehabilitasi Ruang Publik; Mempercepat Pelayanan;
Area Permainan; Jejaring Sosial. Rehabilitasi ruang publik dari segi penataan juga
mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
membuat nyaman bagi masyarakat ketika akan mendapatkan pelayanan jasa dari
penyelenggara pelayanan. Penyediaan fasilitas ruang yang nyaman merupakan upaya
peningkatan pelayanan masyarakat. Serta adanya area merokok merupakan upaya
perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan.
7
6. Keberhasilan inovasi menuntut ketersediaan sumber daya (man, money, materials,
methods, times, and environment), harus dijamin ketersediaannya (ingat: no-one
wants to pay – risk aversion behavior)
7. Aparatur sektor publik sesungguhnya memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaan,
sangat termotivasi untuk bekerja, berorientasi hasil dan mendahulukan kepentingan
masyarakat (di samping para oknum aparatur yang merusak sistem untuk kepentingan
pribadi atau golongannya)
8. Pemerintah harus mendorong inovasi, namun juga harus memiliki reservasi bahwa
capaian kinerja akan bervariasi, dan harus memberi ruang untuk perbaikan.
8
Gugus Antisipasi Cegah Antrian Panjang dengan Antar Obat ke Rumah Pasien-RSUD
Blambangan Kabupaten Banyuwangi (www.menpan.go.id, 2018).
9
PENUTUP
Kesimpulan
Inovasi dan pemerintahan memang tidak akan lepas sebagai dua hal yang saling
berikatan. Begitu pula dengan pelayanan publik yang tidak lepas dari kualitas pelayanan dan
kebijakan. Kebijakan yang memihak kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan jasa. Masyarakat pun diharapkan
dapat diuntungkan dengan adanya kebijakan sebagai payung hukum untuk mengatur dan
mengontrol penyelenggaraan pelayanan publik. Kompetisi yang sangat ketat telah mendorong
sektor swasta untuk mengembangkan dan memandang inovasi sebagai alat untuk
meningkatkan kualitas produk, proses, dan pelayanan, dan dengan demikian mereka
mendapatkan keuntungan kompetitif dan meningkatkan keuntungan. Walaupun arahnya
sedikit berbeda, di sektor publik pun progres dalam proses inovasi difokuskan sebagai sebuah
alat untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas telah berkembang dengan cukup baik,
bahkan mungkin lebih menantang dibandingkan dengan apa yang terjadi di sektor swasta.
Walaupun pada umumnya sektor publik sering kali ketinggalan dalam banyak hal
dibandingkan dengan sektor swasta, tetapi tidak juga bisa dikatakan bahwa sektor publik
tidak mengembangkan inovasi atau hanya sebagai pengikut dari inovasi-inovasi yang telah
dikembangkan oleh sektor swasta. Inovasi pada sektor publik hanya akan berhasil apabila
masyarakat banyak memiliki kemampuan untuk menjangkaunya. Inovasi menjadi tidak
memiliki arti apa-apa, dan tidak membuat perbedaan apabila tidak dapat dimanfaatkan oleh
publik secara luas. Inovasi juga harus memperhatikan budaya dan identitas lokal, sebagai
bagian dari proses adaptasi inovasi yang lebih baik. Pemanfaatan identitas lokal, tidak hanya
strategis dalam mendekatkan inovasi kepada penggunanya, tetapi juga bagian dari apresiasi
terhadap budaya yang kita miliki. Hal ini akan diharapkan menjadi sebuah solusi yang tepat
berkaitan dengan permasalahan yang muncul pada Era Disrupsi
10
Daftar Pustaka
Buku
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2017. Era Disrupsi Peluang dan Tantangan
Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Christensen Clayton (1997) The Innovator’ s Dilemma; When New Technologies Cause
Great Firms to Fail. President and Fellows of Harvard College
Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman. 2005. The Ethics Challenge in Public Service: A
Problem-Solving Guide. Market Street, San Fransisco: Jossey-Bass.
Jurnal
Arik Ariyani, Lely Indah Mindarti, dan Mohammad Nuh. Inovasi Pelayanan Publik (Studi
pada Pelayanan Kesehatan Melalui Program Gebrakan Suami Siaga di Puskesmas
Gucialit Kabupaten Lumajang). JIAP Vol. 2 No. 4 (2016)
Ari Kusumah Wardani. Urgensi Inovasi Pelayanan Bidang Administrasi Publik Di Era
Disrupsi. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara Vol 6, No 2 (2019)
Dayang E.D. 2015. Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota
Samarinda. Jurnal Ilmu Pemerintahan.3.(3).
Diah N.F. 2014. Inovasi Pelayanan Publik BUMN (Studi Deskriptif tentang Inovasi Boarding
Pass System dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kereta Api PT KAI di Stasiun
Gubeng Surabaya).Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik.2.(1).1-10.
11
Rizvanda Meyliano Dharma Putra. Inovasi Pelayanan Publik Di Era Disrupsi (Studi Tentang
Keberlanjutan Inovasi E-Health Di Kota Surabaya). Jurnal Kebijakan dan Manajemen
Publik Volume 6, Nomor 2, Mei-Agustus 2018
Robbins, Stephen P., 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi, Alih Bahasa
Jusuf Udaya. Jakarta : Arcan.
Lainnya
http://pusdikmin.com/perpus/file/Inovasi%20Di%20Sektor%20Publik%20PIM3.pdf
Apa itu Disrupsi? Menelaah Definisi dan Cara Sukses Menghadapi Era Disrupsi -
Divedigital.ID
http://digilib.uinsby.ac.id/21560/3/Bab%202.pdf
12