Anda di halaman 1dari 13

1

MAKALAH

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG DI JADIKAN KOMBATAN


DALAM KONFLIK BERSENJATA”
Oleh :

Frangga Wijaya
Nim : 201891053
Kelas : Reguler II

Diajukan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester

Dosen : Ricky Wattimena, SH., MH.


Mata kuliah : Hukum Humaniter

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM STUDI DI LUAR KAMPUS UTAMA
UNIVERSITAS PATTIMURA
DI KABUPATEN KEPULAUAN ARU
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang “Perlindungan Hukum terhadap Anak yang di
jadikan Kombatan dalam Konflik Bersenjata”. Makalah ini telah saya susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Saya
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tugas makalah ini. Akhir kata saya
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Dobo, 20 April 2021

Frangga Wijaya
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 4

A. Latar Belakang................................................................................................... 4

B. Rumusan masalah............................................................................................. 6

C. Tujuan................................................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 7

A. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata


Internasional...................................................................................................... 7

B. Bagaimana Implementasi Pengaturan Kombatan Anak dalam Konflik


Bersenjata dilihat dari Hukum Internasional.................................................. 9

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 12

Kesimpulan.............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 13
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya dalam mewujudkan perdamaian dunia telah sering kali dilakukan


oleh berbagai pihak. Namun dari semua upaya yang telah dilakukan, perang
atau sengketa bersenjata masih tetap saja menjadi salah satu ciri dalam
kebudayaan dari peradaban manusia. Penggunaan senjata menjadi salah satu
alternatif dalam menyelesaikan konflik atau perbedaan pendapat yang timbul
dari kehidupan bersosialisasi antar negara. Dalam sejarah peradaban manusia,
perang atau sengketa bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang
hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan di muka bumi.
Konflik bersenjata yang terjadi di berbagai belahan dunia ternyata telah
memanfaatkan dan memberikan dampak yang buruk terhadap anak-anak. Sejak
Perang Dunia II anak-anak telah dilibatkan dalam partisipasi aktif dengan
memasukkan mereka kedalam angkatan bersenjata reguler. Partisipasi aktif
anak-anak dalam permusuhan telah menarik perhatian masyarakat
internasional.
Jadi perang adalah salah satu bentuk peristiwa yang akan selalu
mewarnai kehidupan manusia dalam sejarah kehidupan dan peradaban manusia
dan perang merupakan sesuatu hal yang sulit dihindari dan dihilangkan.
Sengketa bersenjata atau perang adalah suatu kegiatan yang mempunyai
dampak yang sangat luas. Karena tidak hanya berdampak pada bagi negara
yang melakukannya tapi juga negara lain yang juga mempunyai perhatian
khusus terhadap dampak yang ditimbulkan oleh peperangan. Tidak ada hal
positif atau keuntungan yang didapatkan dari peperangan melainkan hanya
kerugian besar dan penderitaan yang sangat besar bagi umat manusia seperti
pembunuhan yang membabi buta, penghancuran sarana dan prasarana publik
maupun milik pribadi, perampasan harta benda dan sebagainya.
1

11
Fadillah Agus,1997:1
Maria Teresa Dutli, 1990: 421
5

Hal yang paling penting dari semua itu adalah kerugian bagi penduduk
sipil, anak-anak maupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan. Anak-anak yang
dianggap sebagai sebagai penerus generasi bangsa merupakan korban yang
paling rentan terhadap berbagai jenis konflik bersenjata. Tidak hanya secara
psikis maupun fisik. Telah disebutkan dalam Global Report on Childs Soldier
2001, lebih dari 300.000 anak di bawah usia 18 tahun baik laki-laki maupun
perempuan direkrut oleh angkatan bersenjata pemerintah, milisi ataupun
kelompok bersenjata bukan negara, dan mereka dijadikan sebagai tentara,
mata-mata, atau pekerjaan lain yang terlibat secara langsung dalam konflik
bersenjata. anak-anak yang seharusnya memperoleh kebudayaan akan
perdamaian (culture of peace), telah dididik oleh pelatihan militer dan
indoktrinasi dalam gerakan kepemudaan ataupun sekolah-sekolah.
Kombatan adalah mereka yang ikut secara langsung dalam suatu
permusuhan dan harus dibedakan dengan penduduk sipil yang tidak ikut serta
dalam suatu permusuhan. Perlunya pembedaan demikian adalah untuk
mengetahui siapa saja yang boleh turut serta dalam permusuhan sehuingga
boleh dijadikan sasaran serangan dan siapa saja yang tidak turut serta dalam
permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran serangan.
Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi
kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah berstatus horse de combat
harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan
hak-hak sebagai tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949.
Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana
diatur dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949.

B. Rumusan Masalah

2
Balthimus, 2003:1
Haryomataram, 1984: 63
6

1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata


Internasional ?
2. Bagaimana implementasi pengaturan kombatan anak dalam konflik
Bersenjata dilihat dari Hukum Internasional ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik


Bersenjata Internasional !
2. Bagaimana implementasi pengaturan kombatan anak dalam konflik
Bersenjata dilihat dari Hukum Internasional !

BAB II
7

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata


Internasional

Partisipasi langsung anak dalam konflik bersenjata. Pemanfaatan anak


dalam suatu konflik bersenjata dapat meliputi perekrutan anak sebagai tentara
anak dan partisipasi anak dalam permusuhan. Rekrutmen termasuk segala cara
(baik formal maupun de facto) yang mana seorang menjadi anggota angkatan
bersenjata atau kelompok bersenjata, tercakup di dalamnya mobilisasi (wajib
militer), rekrutmen secara suka rela maupun rekrutmen dengan paksaan. Kata-
kata partisipasi dijelaskan dalam Statuta International Criminal Court (ICC)
sebagai using (menggunakan) dan participate (partisipasi). Mencakup kedua
partisipasi langsung dalam permusuhan dan juga partisipasi aktif dalam kegiatan
militer yang berhubungan dengan pertempuran, seperti menjadi penunjuk
jalan/pemandu, mata-mata, melakukan sabotage dan penggunaan anak-anak
sebagai umpan/pengalih perhatian, kurir atau di pos militer.
Yang tidak termasuk dalam partisipasi adalah aktivitas yang secara jelas
tidak berhubungan dengan permusuhan, seperti mengantar makanan ke markas
atau penggunaan anak untuk pekerjaan domestik. Pengaturan mengenai
keterlibatan anak dalam konflik bersenjata diatur dalam berbagai konvensi
internasional, baik dalam lingkup hukum humaniter sendiri, seperti Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 maupun dalam
lingkup hukum internasional yang lain, seperti Konvensi Hak Anak dan Protokol
Tambahannya, Statuta ICC dan juga Konvensi ILO.
Dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak ditemukan definisi tentang
siapa saja yang dikategorikan sebagai anak. Konvensi Jenewa 1949 hanya
mengatur persoalan pemberian perlindungan terhadap anak dari akibat
pertempuran. Hal ini bisa dikatakan bahwa Konvensi Jenewa tidak pernah
melarang anak untuk ikut secara aktif dalam pertempuran.
Pasal 49 Konvensi Jenewa III mengatakan bahwa Negara Penahan dapat
menggunakan tenaga kerja tawanan perang yang sehat jasmaninya, dengan
memperhatikan umur, jenis kelamin, pangkat dan pembawaan jasmani mereka,
dan dengan maksud terutama memelihara mereka dalam keadaan jasmani dan
8

rohani yang baik. Anak-anak yang berpartisipasi dalam permusuhan tetapi


mereka bukan kombatan menjadi tanggung jawab dari negara kewarga-
negaraannya. Sekalipun hukuman disiplin boleh diterapkan pada orang-orang
yang diinternir, tetapi umur, jenis kelamin dan kondisi kesehatan mereka harus
ikut dipertimbangkan dalam penerapan hukuman tersebut. Hukuman disiplin
yang diterapkan tidak boleh melanggar perikemanusiaan, ganas atau berbahaya
bagi kesehatan orang-orang yang diinternir.
Aturan mengenai perekrutan tentara anak juga terdapat dalam
International Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) yang
ditandangani pada 20 Nopember 1989, dan mulai berlaku sejak 2 September
1990. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai keterlibatan anak dalam
konflik bersenjata hanya terdapat dalam satu pasal saja, yaitu pasal 38 yang
memuat berbagai kewajiban negara untuk tidak merekrut anak di bawah usia 15
tahun dan memberikan perlindungan bagi anak yang terkena dampak konflik
bersenjata. Pasal ini tidak memberikan pengaturan yang baru dalam hal
pelibatan anak dalam konflik bersenjata, tetapi hanya merupakan pengulangan
dari pasal 77 ayat (2) Protokol Tambahan I tahun 1977. Konvensi ini hanya
melarang partisipasi langsung anak di bawah 15 tahun dalam suatu
permusuhan. Pengaturan ini lebih longgar jika dibandingkan dengan hukum
humaniter yang mengatur tentang konflik bersenjata non-internasional, yang
dengan tegas melarang partisipasi anak baik langsung maupun tidak langsung
dalam permusuhan. Tetapi, ayat 1 pasal 38 ini merujuk kepada hukum
humaniter internasional yang relevan tentang perlindungan kepada anak-anak,
oleh karena itu apabila terdapat keraguan-keraguan hukum mana yang akan
diterapkan dalam suatu situasi, maka berdasarkan asas lex specialis yang
berlaku adalah hukum humaniter internasional.

3
Bathlimus, 0000: 2
4
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, International Committee of the
Red Cross, Geneva, 1977
9

Perlindungan hukum yang diberikan kepada anak lebih tertuju pada akibat
sengketa bersenjata yang akan menimpa atau berdampak pada anak. Sebagai
bagian dari penduduk sipil, anak-anak yang tidak turut serta dalam suatu
permusuhan mendapatkan perlindungan umum tanpa perbedaan yang
merugikan apapun yang didasarkan atas suku, kewarganegaraan, agama atau
pendapat politik, dan dimaksudkan untuk meringankan penderitaan yang
disebabkan oleh perang. Selain penduduk sipil secara umum yang harus
mendapatkan perlindungan, terdapat beberapa kategori yang juga perlu
mendapatkan perlindungan, yaitu orang asing, termasuk juga anak-anak di
wilayah pendudukan. Selain orang asing maka kategori penduduk sipil yang lain
adalah mereka yang tinggal di wilayah pendudukan. Kategori terakhir adalah
mereka yang termasuk dalam interniran sipil.

B. Bagaimana Implementasi Pengaturan Kombatan anak dalam konflik


Bersenjata dilihat dari Hukum Internasional.

Penggunaan tentara anak terdapat diseluruh benua Afrika,di Amerika


Tengah dan Selatan, di bagian-bagian Eropa, dan sepanjang Asia. Myanmar,
Angola, Afganistan, Honduras, Siera Leone, Guatemala, Chechyna, Kolumbia,
Srilanka, Uganda, Mozambique, Liberia, Republik Kongo, Buthan, Sudan, dan
Irak adalah sebagian tempat yang masih menggunakan tentara anak atau
tempat yang terdapat bekas sejumlah tentara anak yang menderita secara fisik,
psikologis, dan trauma emosional dari siksaan-siksaan. Salah satu penggunaan
tentara anak dalam konflik bersenjata di Benua Afrika adalah di Republik
Demokratik Kongo. Konflik yang terjadi di salah satu wilayah di Republik
Demokratik Kongo yang bernama Ituri yang melibatkan UPC sebagai salah satu
pihak yang bertikai.

Jenis – jenis perlindungan anak dalam konflik bersenjata berdasarkan


pengaturan internasional sebagai berikut :
1. Perlindungan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949;
Berdasarkan prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional, yang
membagi penduduk yang sedang terlibat dalam suatu konflik bersenjata
menjadi kombatan dan penduduk sipil, maka anak dalam di golongkan
10

menjadi 2 (dua) macam, yaitu child civilian dan childsoldiertentara anak.


Tentara anak adalah anak yang terlibat dalam konflik bersenjata, dan tentara
anak tersebut dikatakan sebagai kombatan.
2. Perlindungan berdasarkan protocol tambahan I 1977;
Perlindungan berdasarkan Protokol tambahan I 1977 membuat perlindungan
yang lebih spesifik dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1949,
yaitu adalah pasal yang mengatur mengenai tentara anak. Pasal 77 Protokol
ini merupakan pasal yang mengatur mengenai tentara anak dan pada pasal
tersebut anak-anak yang direkrut menjadi tentara anak mendapatkan
perlindungan khusus.
3. Perlindungan berdasarkan Konvensi hak anak 1989;
Konvensi hak anak 1989 merupakan konvensi yang secara khusus mengatur
mengaenai hak-hak anak. Konvensi ini tidak secara khusus menyebutkan
mengenai tentara anak. Konvensi ini memberikan perlindungan terhadap
anak, salah satunya adalah perlindungan anak dalam konflik bersenjata.
4. Perlindungan berdasarkan protocol pilihan kedua dari konvensi hak anak
mengenai keterlibatan anak dalam konflik bersenjata.
Protocol pilihan ini merupakan pilihan tambahan dari konvensi hak anak 1989
yang melengkapi ketentuan-ketentuan mengenai anak dalam konflik
bersenjata.

Penggunaan tentara anak tidak dapat di benarkan. Karena hal ini


bertentanan dengan hukum international yang diatur dalam protocol tambahan
tahun 1977, konvensi hak anak tahun 1989 dan protocol opsional konvensi hak
anak mengenai larangan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata tahun 2000.
Lebih jauh lagi, adalah merupakan suatu kesalahan yang fatal bagi suatu
bangsa jika membiarkan anak-anak yang notabene merupakan kunci takdir
keberadaan suatu bangsa di masa depan, tewas sia-sia di medan perang atau
cacat lahir dan batinnya. Karena anak-anak adalah pewaris dan penjamin
eksestensi bangsa, maka selama anak-anak berada dalam keberadaan aman
dan tercukupi segala kebutuhannya, maka selama itu pula bangsa tersebut akan
eksis dan lestari. Fenomena tentara anak menyebabkan berbagai implikasi
apabila ditinjau dari sisi kemanusiaan.
11

Fenomena ini menunjukan bahwa hak-hak anak itu telah di langgar oleh
LTTE. Hak tersebut dapat di kaitkan dengan hukum internasional karena
merupakan hukum legal yang melindungi dan memperjuangkan hak-hak anak
yang terviolasi. Ketika menjadi tentara anak dalam konflik bersenjata, anak-anak
tamil kehilangan haknya. Hak-hak ini terutama hak atas kelangsungan hidup
(hak atas kehidupa yang layak dan pelayanan kesehatan), hak untuk
berkembang (hak pendidikan dan waktu luang), serta hak perlindungan. Anak-
anak tamil saat itu hanya memikirkan bagaimana mereka dapat bertahan hidup
dalam kondisi konflik. Problematika pelanggaran HAM bagi tentara anak, apabila
dikaitkan dengan Hukum Internasional, terkait dengan hakhak yang tercantum
dalam pasal-pasal Konvensi Hak Anak serta Hukum Internasional lain yang
relefan, seperti konvensi pekerja anak ILO 182, yang merupakan hukum pekerja
internasional tentang larangan merekrut wajib militer anak sebagai tenaga militer
dalam konflik bersenjata karena merupakan bentuk terburuk dari pekerja anak,
serta Statuta Roma yang merupakan Hukum Kejahatan Internasional. Statute ini
mengkategorikanperekrutan dan penggunaan anak-anak sebagai kejahatan
perang (War Crime).
Masa kanak-kanak Vinojan berakhir ketika perang sipil di Sri Lanka
berkobar. Dia terpaksa bergabung dengan kelompok pemberontak Macan Tamil
untuk menyelamatkan kakaknya dari wajib militer pemberontak. Saat
pemberontak menghadapi pertempuran terakhir, Mei lalu, Vinojan telah
menjelma menjadi petarung tangguh dan terpaksa turut berjuang menghadapi
militer Sri Lanka.
Remaja 17 tahun ini kini mendambakan kehidupan normal seperti anak-
anak lainnya. “Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang “tentara” anak,
walaupun kita tahu di Aceh dulu sempat terjadi konflik bersenjata yang
melibatkan anak untuk angkat senjata,” Laporan global tentang tentara anak
periode April 2004 hingga Oktober 2007 menyebutkan bahwa praktik tentara
anak di Aceh berakhir seiring dengan penandatanganan perdamaian antara
Pemerintah Republik Indonesia dan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
4

BAB III
4
Tempo.Co. Den Haag.Perekrutan’TentaraBocah’ Kongo diadili diDen Haag.
5
http://www.antaranews.com/print/103145/
12

PENUTUP

Kesimpulan

Bedasarkan hasil pembahasan tentang permasalahan di atas maka dapat


disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa Hukum Internasional sudah cukup mengatur tentang perlindungan anak


dalam konflik bersenjata, baik yang menyangkut keterlibatan anak secara
langsung maupun tidak langsung dalam suatu permusuhan dan juga
perlindungan anak sebagai korban konflik bersenjata. Hanya saja, agar
ketentuan hukum internasional tersebut dapat efektif berlaku maka harus
dimasukkan dalam pengaturan hukum nasional masing-masing negara;
2. Represi yang kuat memaksa anakanak dalam wilayah konflik untuk bergabung
dalam kelompok bersenjata yang dapat menyebabkan dan meningkatkan
intensitas tentara anak, yang terdiri dari beberapa variable antara lain:
kemiskinan, kesenjangan ekonomi, maldevelopment, toleransi yang lemah dan
diskriminasi, selfdetermination penurunan kualitas lingkungan, budaya
kekerasan, konflik etnis, fundamentalisme agama, dictator otoriter, militerisasi
masyarakat, dan sebagainya.
3. Penerapan kerja lapangan yang akan mencegah perekrutan tentara anak
dengan cara memeberikan sosialisasi kepada pihak orang tua dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk membawa anak-anak dibawah umur ke penampungan guna
perlindungan, pembinaan, pendidikan dan hal-hal lain berkaitan dengan survival
untuk membekali anak-anak agar tetap mendapatkan hak mereka yang sudah
diatur dalam Konvensi Hak-hak anak dan aturan lainnya yang diatur dalam
Hukum Humaniter Internasional.
13

DAFTAR PUSTAKA

Arlina Permanasari dkk., 1999. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC

Bathlimus, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata, Makalah


disampaikan pada Penataran Tingkat Lanjut HHI dan HAM, Kerja sama
Fakultas Hukum Unair dengan ICRC, Surabaya, 7 – 11 Oktober 2002.

Course Materials on International Humanitarian Law, Kerjasama Pusat Studi Hukum


Humaniter Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan ICRC, April 1996

Direktorat Jendral Hukum dan Perundangundangan Departemen Kehakiman, 1999.


Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, Direktorat Jendral Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Jakarta

Haryomataram, 1984. Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Press 1994. Sekelumit


tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press

AlpaslanOzerde and SukanyaPodder. Child Soldiers from Recruitment to


Reintegration: Palgrave macmillan.

Arlinapermanasari, et.al Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No. 2, (Jakarta : Pusat Studi
Hukum Humaniter dan HAM (terAs), 2006).

Handbook for parliamentarians No. 1, 1999. Respect for Interntional Humanitarian


Law.: ICRC.

MochtarKusumaatmadja, Konvensikonvensi Palang Merah 1949, 1989.

Anda mungkin juga menyukai