PENGANTAR......................................................................................................ix
PENDAHULUAN................................................................................................1
1. Hukum Taklifi.................................................................................27
2. Hukum Wadh’i................................................................................69
1. AL-QUR’AN..................................................................................99
Kemu’jizatan al-Qur’an..................................................................105
2. SUNNAH........................................................................................149
Perbuatan Rasul...............................................................................164
3. PENGAMBILAN HUKUM DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH
.........................................................................................................166
Dilalah.............................................................................................203
Nasakh.............................................................................................282
4. IJMA’..............................................................................................307
Kehujjahan Ijma’.............................................................................314
Tingkatan Ijma’...............................................................................317
5. FATWA SAHABAT.......................................................................328
6. QIYAS............................................................................................336
Kehujjahan Qiyas............................................................................340
7. ISTIHSAN......................................................................................401
8. ‘U R F (Tradisi)..............................................................................416
9. MASHALIH MURSALAH............................................................423
10. DZARI’AH.....................................................................................438
11. ISTISHHAB....................................................................................450
1. Maslahat Mu’tabarah......................................................................548
2. Tingkatan Muslahat.........................................................................557
BAB 7 : IJTIHAD...........................................................................................567
2. Tingkatan Mujtahid.........................................................................579
1. Ushul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi
nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi ethymologi, ushul fiqh
terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan
merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing dari mudhaf
memberikan definisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita mengetahui pengertian lafazh
“ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka yang mempunyai hati, tetapi mereka tidak
(ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
adalah tidak jauh dari pengertian menurut ethymologi. Hanya saja pengertian fiqh
(mendetail)”.
Dari definisi tersebut,, dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu Fiqh itu ada
2 macam, yaitu:
ke-Esa-an Allah, terutama para rasul serta penyampaian risalah Allah oleh
para rasul, keyakinan tentang harin kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat
dalilnya al-Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok
itu disebut riba, maka hal itu disertai dalilnya dari al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu bbertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidal (pula) dianiaya”. (Q.S. al-
Baqarah: 279)
Bila dikatakan, bahwa memakan harta benda orang lain dengan cara yang
tidak sah itu haram, maka disebutkan pula dalilnya dari al-Qur’an yang berbunyi:
Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqh adalah hukum yang
terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta
dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian “ashl” (jamaknya : “ushul”) menurut ethymologi adalah
dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan
pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan
definisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang
dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain,
dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan, bahwa perintah (amar)
itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.
Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau
tidak, maka ia mengemukakan firman Allah di dalam surat ar-Rum 31, al-Mujadalah
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya . Dan tidak ada
Dari contoh contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh,
bahwa ushul fiqh merupakan methode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh
Qur’an harus di dahulukan dari pada Qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasar
kan nash al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i
manthiq (logica) dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang
memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan
ilmu nahwu dengan bahasa Arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang
Arab. Demikian juga ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’
(jamak dari faqih) agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistinbathkan (menggali)
hukum.
Di samping itu, fungsi ushul fiqh adalah membedakan antara istinbath yang
benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan
antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Dan ilmu
manthiq untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah
pula.
2. Dari penjelasan tentang hubungan antara ushul fiqh dengan fiqh serta
perbedaan masing-masing, maka jelas pula bahwa obyek ushul fiqh berbeda dengan
obyek fiqh. Obyek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia
hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut (Fiqh dan Ushul Fiqh) sama-sama
membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-
perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi methode penetapan
hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-
dalil tersebut.
Dalam hal ini, ushul fiqh menjelaskan tentang kehujjahan al-Qur’an, bahwa
al-Qur’an harus didahulukan dari pada Hadits, dan al-Qur’an merupakan sumber
hukum yang pertama. Juga tentang dalil-dalil yang zhanni dan yang qath’i (pasti),
serta jalan yang harus ditempuh ketika terjadi pertentangan antara zhahir nash al-
Qur’an dan Hadits. Ushul fiqh juga menjelaskan tentang perbedaan dilalah
terhadap dilalah yang ‘am. Begitu juga obyek dari dalil-dalil tersebut, yaitu orang
yang menjadi sasaran dari hukum syara’ yang harus melaksanakan kewajiban dan
menjauhi larangan. Ushul Fiqh juga menjelaskan tentang keadaan seseorang yang
lupa dan sebagainya yang dapat menggugurkan atau meringankan tuntutan hukum
syara’.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obyek pembahasan ushul fiqh adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan methodologi yang dipergunakan oleh ahli
fiqh di dalam menggali hukum syara’, sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar.
Jadi obyek pembahasan ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang
dibebani hukum syara’ sesuai dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang yang
ahli (berhak) untuk hukum syara’, serta orang - orang yang tidak berhak, kaidah-
kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-
hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyas dan menetapkan
titik persamaan (‘illat jami’ah) antara hukum pokok (asal) yang diqiyasi dan hukum
kaidah-kaidah umum yang dijadikan landasan oleh qiyas, atau menjadikan qiyas
sebagai hukum asal lantaran tidak ada nash yang khusus untuk mengqiyaskan hukum-
Di samping itu, ushul fiqh juga menjelaskan tentang hukum hukum syara’
methodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk menggali hukum syara”.
Allah SWT . Karena pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum-hukum syara’
hanyalah Allah SWT. Sedangkan dalil-dalil yang ada hanyalah berfungsi sebagai
jelasan yang merinci al-Qur’an, karena Rasulullah SAW. tidak mengucapkan sesuatu
menurut kemauan hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang lain adalah merupakan
ditinjau dari segi hakekatnya, kriterianya, dan macam-macamnya, Hakim (Allah) dari
segi dalil-dalil yang menetapkan hukumnya, mahkum’ alaih (orang yang dibebani
cabang yang merupakan teori umum tentang hukum Islam. Kaidah ini diajarkan di
Fakultas Syari’ah dengan nama Qawa’id Fiqhiyyah. Sebagian pengkaji masih belum
jelas letak perbedaan antara ushul fiqh dengan Qawa’id Fiqhiyyah, sehingga kita
Perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan ushul fiqh ialah bahwa ushul
fiqh, sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, adalah kaidah atau methode yang
dipergunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’, agar tidak terjadi
yang serupa (sejenis) lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqh yang
Jadi Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun
Seperti yang dapat kita lihat dalam kitab Qawa’id al-Ahkam karya Izzuddin ibn Abdis
Salam Asy-Syafi’i, kitab al-Furuq karya al Qarafi al-Maliki, kitab al-Asybah wan
Nazha’ ir karya Ibnu Nujain al Hanafi, kitab al-Qawanin karya Ibnu Jizi al-Maliki,
kitab Tabshirat al-Hukkam dan Qawa’id Ibnu Hajib al-Kubra yang memuat berbagai
Qawa’id Fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqh, bukan ushul fiqh yang didasarkan
demikian kita dapat menetapkan hubungan ketiga disiplin ilmu tersebut sebagai
berikut: ushul fiqh adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqh yang bermacam-
macam dan dapat dihubungkan antara yang satu dengan yang lain, maka ditetapkan
suatu kaidah umum yang menghimpun hukum-hukum tersebut yang disebut teori atau
kaedah fiqh.
5. Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu Fiqh, meskipun ilmu
Fiqh dibukukan lebih dahulu dari pada ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan tumbuhnya
ilmu Fiqh, tentu ada methode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan
Jika penggalian hukum fiqh setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah pada
masa sahabat, maka para fuqaha’ pada masa itu seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi
Thalib dan Umar ibn Khattab tidak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar
dan batasan. Bila seseorang mendengar bahwa Ali bin Abi Thalib menetapkan sanksi
(pidana) bagi orang yang meminum minuman keras, dan orang yang menuduh orang
lain berbuat zina tanpa ada bukti, tentu beliau melaluai prosedur penetapan hukum
yang legal, atau menetapkan hukum berdasarkan preventif. Begitu juga ketika Ibnu
Mas’ud memberikan fatwa, bahwa ‘iddahnya perempuan yang ditinggal mati oleh
Allah:
Artinya: “Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
Dia memberikan fatwa demikian karena menurut asumsinya bahwa surat at-
Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah ushul fiqh bahwa ayat yang turun
kemudian (akhir) itu menasakh (menghapus) ayat yang turun lebih dahulu atau
menunjukkan adanya methode ushul fiqh. Artinya kita harus meyakini bahwa ijtihad
banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyaknya para ulama’ tabi’in
yang memberikan fatwa, seperti Sa’id ibn Musayyab dan kawan - kawan di Madinah,
‘Alqamah dan Ibrahim an Nakha’i di Irak. Sebagai dasar di dalam memberikan fatwa,
mereka mempunyai al-Qur’an, Hadits dan fatwa-fatwa sahabat. Bila tidak terdapat
keterangan dari nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hukum
dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.
Jalan yang ditempuh oleh Ibrahim an-Nakha’i dan fuqaha ‘Iraq di dalam menetapkan
Pada periode tabi’in ini, kita menjumpai methode penetapan hukum syara’
yang lebih banyak dibanding periode sebelumnya (masa sahabat), karena setiap
penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin
istinbath dan petunjuk-petunjuknya, sebagaimana dapat kita lihat dengan jelas dari
satunya, dan tidak keluar (menyimpang) dari fatwa-fatwa tersebut . Dia sama sekali
tidak mau mengambil pendapat para tabi’in, karena dia berpendapat bahwa mereka
sama (sederajat) dengan dirinya. Dalam berijtihad, dia menyamakan antara qiyas dan
pengikut Abu Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika
perdebatan tersebut.”
pada amal (tradisi) penduduk Madinah. Hal itu di jelaskan di dalam kitab-kitabnya,
yang dilakukan oleh Imam Shairafi al-Mahir. Begitu juga penolakannya terhadap
sebagian atsar yang dinisbatkan kepada Rasulullah lantaran bertentangan dengan nash
al-Qur’an atau ketetapan yang telah masyhur dalam kaidah agama, seperti
Artinya: “Apabila ada anjing menjilat pada bejana kamu sekalian , maka
Atau penolakannya terhadap hadits tentang khiyar majlis dan hadits tentang
seperti yang dijelaskan di dalam kitab al-Kharaj dan dalam penolakannya terhadap
diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para imam yang telah mendahuluinya. Juga
rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga beliau
memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Iraq.
Dengan modal tersebut serta pengetahuannya tentang fiqh Madinah yang dia
pelajari dari Imam Malik, fiqh Iraq yang dia pelajari dari Imam Muhammad bin
Hasan dan fiqh Makkah yang dia pelajari ketika berdomisili di sana serta dengan
kecerdasannya yang luar biasa, maka dia menyusun kaedah-kaedah yang menjelaskan
tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaedah-kaedah itulah yang
masalah-masalah fiqh lebih dahulu dari pada pembukuan ilmu Ushul Fiqh. Karena
ushul fiqh sebagai dasar dan pegangan dalam menggali hukum serta untuk
mengetahui istinbath yang benar dan istinbath yang salah, maka ushul fiqh
merupakan kaedah, sedangkan materinya adalah fiqh. Setiap kaedah selalu timbulnya
lebih akhir dari pada materi. Ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab) timbulnya lebih
akhir dari pada bahasa yang fusha, para penyair telah mengalunkan sya’irmya dengan
susunan tertentu sebelum Imam Khalil ibn Ahmad al-Farahidy menyusun kaedah
‘arudh. Begitu juga manusia telah berdiskusi dan berfikir sebelum Aritoteles
Imam Syafi’i adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang
pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Dia mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang bahasa Arab, sehingga termasuk barisan tokoh-tokoh ahli bahasa.
Dia juga mendalami ilmu hadits sehingga termasuk ahli hadits yang ternama. Di
samping itu, dia juga menguasai setiap permasalahn fiqh pada masa itu dan sangat
‘alim tentang perbedaan pendapat para ulama sejak periode sahabat sampai saat itu.
Dia juga sangat berminat untuk mengetahui sebab- sebab perselisihan dan perbedaan
sarana yang diperlukan Imam Syafi’i menggali masalah-masalah fiqh yang ada
beberapa kaedah yang menjadi dasar pertimbangan pendapat ulama’ terdahulu dan
dijadikan dasar pijakan ulama berikutnya dalam menggali hukum-hukum syara’. Dari
dasar tersebut terlihat bahwa mereka saling berdekatan, bukan saling berjauhan.
mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari nash al-Qur’an dan Hadits. Dengan belajar di
Makkah di mana dia mewarisi ilmunya Abdullah ibn Abbas yang dikenal sebagai
dan belajarnya dengan ulama’ ahli hadits serta perbandingannya dengan al-Qur’an,
dia mampu mengetahui kedudukan Hadits terhadap al-Qur’an, terutama ketika terjadi
para sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan kaedah-kaedah qiyas dan juga
sebagai dasar untuk menetapkan kaedah-kaedah dalam menggali hukum. Dalam hal
ini bukan berarti dialah yang menciptakan seluruh kaedah tersebut, tetapi hanyalah
menganalisa secara dalam methode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama’
fiqh yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptakan methode
penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama
membukukan ilmu Logica, dia tidaklah menciptakan dasar-dasar berfikir, akan tetapi
ilmu Ushul Fiqh ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu
ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad al-Baqir bin Ali ibn Zainal Abidin, yang
kemudian diikuti oleh puteranya yang bernama Imam Abu Abdillah Ja’far ash-
berikut:
“Ketahuilah bahwa oarang yang pertama kali menyusun ushul fiqh, membuka
al-Baqir, kemudian berikutnya adalah putranya yang bemama al-Imam Abu Abdillah
masalah fiqh yang disusun oleh ulama’ mutaakhkhirin sesuai dengan sistematika
bersambung (muttashil)”
Kritik kita cukup pada kata-kata Sayyid Hasan ash-Shadr saja, tanpa harus
membantahnya dalam menghubungkan ushul fiqh ini kepada kedua imam tersebut.
Kata-kata Sayyid Hasan ash-Shadr bahwa "Keduanya telah mendiktekan", bukan "
sebagai orang pertama dalam masalah penyusunan satu kitab yang khusus membahas
ilmu Ushul Fiqh ini. Sedangkan kedua imam Syi’ah tersebut sama sekali tidak
Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa menghubungkan ushul fiqh ini
kepada kedua imam Syi’ah tersebut adalah sama dengan ulama madzhab Hanafi yang
mereka, bahwa lafazh yang ‘am (umum) menurut pendapat Abu Hanifah dan sahabat-
nya adalah menunjukkan pengertian yang pasti (dilalah qath’ iyyah), juga pendapat
mereka bahwa lafazh yang khash itu tidak dapat mentakhshish lafazh yang ‘am,
kecuali bila lafazh yang khash itu terpisah dan bersamaan waktunya itu
tersebut tidak mempunyai karangan, yang ada hanya buku didiktekan secara tidak
teratur. Jika dikatakan bahwa pemikiran kedua imam tersebut adalah mendahului
syara’ itu sudah ada dalam pemikiran para imam mujtahid sejak periode sahabat, tabi
‘in dan ulama’ berikutnya, yang disampaikan secara lisan dan menjadi dasar bagi fiqh
mereka. Kalau Imam Ja’far telah mendiktekan sebagian kaidah ushul fiqh tersebut
method-methodenya.
10. Jika kedua imam Syi’ah tersebut tidak menyusun satu kitab ushul fiqh
secara sistematis, berarti kedua imam Syi’ah tidak mendahului Imam Syafi’i di dalam
menyusun ilmu Ushul Fiqh. Karena Imam Syafi’i menyusun ilmu ini secara
sistematis per-bab dan per-fasal yang tidak hanya terbatas pada suatu pembahasan
yang terputus dari pembahasan yang lain. Dia telah membahas tentang al-Qur’an,
lafzhiyah yang meliputi ‘am, khas, musytarak, mujmal dan mufasshal. Masalah ijma’
dan hakekat ijma’ juga didiskusikan secara ilmiah yang belum pernah dilakukan oleh
Cara Imam Syafi’i menjelaskan tentang hakekat ilmu Ushul Fiqh per-bab dan
per-fasal demikian tidak didahului oleh siapapun. Atau dengan kata lain, sampai
sekarang tidak diketahui orang yang mendahuluinya. Hal ini bukan berarti
gurunya dan Imam Abu Hanifah yang menjadi guru para fuqaha’ ahli qiyas, karena
sempuma dari segala segi, sehingga tidak bisa dijangkau oleh mujtahid sesudahnya.
Akan tetapi mujtahid yang datang berikutnya sifatnya hanya menambah dan
Fiqh ini. Sebagaimana dalam bidang filsafat dan logika, orang-orang yang hidup
dan memperjelas ilmu logika (manthiq). Sedangkan penyusun ilmu tersebut secara
11. Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang dan
meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu. karena sistematika yang
dipergunakan oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dalam kitab ar-
Risalah, kitab Jima’ul ilmi dan kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh
merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar
dan yang salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan
dijadikan pedoman dalam usaha penggalian hukum- hukum syara’ pada setiap masa.
Imam Syafi’i telah mempergunakan methode ushul fiqh ini untuk mendiskusikan
pendapat-pendapat fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat
Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap
pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan kritiknya terhadap kitab Imam
al-Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pendapat-
menggunakan methode ushul fiqh ini secara konsisten dan tidak menyimpang
sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi madzhab
Syafi’i. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk mempertahankan madzhabnya, Karena
kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh
menurut Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi
12. Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang
disusun oleh Imam Syafi’i, tetapi setelah periode Imam Syafi’i, mereka berbeda
2. Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah- kaidah ushul
fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidak menyetujui bagian yang
lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini
ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh Imam Syafi’i dengan
menambah kaidah lain, yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyyah
yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’
(kesepakatan) penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal
ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah istihsan, mashalih
cocok bagi mereka, meninggalkan yang tidak cocok dan menambah kaidah-kaidah
yang mereka perlukan yang tidak ada dalam ushul fiqh imam Syafi’i. Barang kali
methode ushul fiqh yang paling dekat dengan ushul fiqh Imam Syafi’i adalah
methode ushul fiqh madzhab Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah narasumber dan
materi fiqh, madzhab Hanbali lebih dekat kepada madzhab Maliki. Insya Allah nanti
Sebenamya para fuqaha’ dari keempat madzhab itu tidak ada yang menentang
dalil-dalil yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni al-Qur’an, Sunnah (Hadits),
Ijma’ dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara
Imam Syafi’i dengan ulama madzhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.
13. Para fuqaha’ madzhab Syafi’i telah banyak mensyarah, menjabarkan dan
menjelaskan ushul fiqh. Dengan demikian, makin lama ushul fiqh di kalangan
madzhab Syafi’i semakin hidup dan berkembang, bertambah jelas dan rinci, terutama
selama periode ijtihad. Para ulama di luar madzhab Syafi’i juga memperoleh
muthlaq maupun ijtihad pada dasar-dasar madzhab tertentu, namun hal itu tidak
mclemahkan ilmu Ushul Fiqh. Bahkan banyak dilakukan pengkajian dan penelitian
terhadap bab-bab ushul fiqh, untuk menguji masalah-masalah fiqh yang tidak
yang mereka ikuti. Dengan meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh, orang-orang
madzhab tersebut.
Oleh karena itu, pada masa taqlid, ilmu Ushul Fiqh juga tidak kehilangan nilai
beberapa pendapat yang berbeda-beda pada saat terjadi berdebatan, yang masing-
14. Setelah madzhab-madzhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap
1. Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai
Hanafi menyebutkan, bahwa lafazh yang ‘am itu menunjukkan hukum qath’i
lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qar iyyah (penunjukan yang
pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha’ yang memulai
menurut Syafi’i), kerana Imam Syafi’i adalah orang yang pertama kali menjelaskan
aliran tersebut dalam kajiannya secara teoritis murni. Aliran ini juga disebut aliran
Kedua aliran ini akan dijelaskan secara ringkas dalam periodisasi sejarah fiqh.
15. Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa aliran yang disebut dengan
Ushulus Syafi’iyyah atau Ushulul Mutakallimin mengacu kepada aliran teoritis murni,
Di antara ulama dalam aliran ini ada yang menyalahi Imam Syafi’i dalam
Imam Syafi’i tidak menjadikan ijma’ sukuti (kesepakatan para ulama secara diam-
diam) sebagai hujjah. Akan tetapi Imam al-Amidi, pengikut madzhab Syafi’i, men-
teoritis Imam Syafi’i tersebut. Karena aliran ini ada kesamaannya dengan kajian
mereka untuk mengetahui hal-hal yang bersifat esensial secara rasional. Kajian
mereka dalam aliran ini sama dengan kajian mereka dalam ilmu kalam secara
mendalam tanpa taqlid. Oleh karena itu, aliran ini juga discbut aliran mutakallimin.
fikiran, keburukan suatu perbuatan dan sebagainya, serta kesepakatan mereka bahwa
semua hukum selain peribadatan itu bersifat rasional. Mereka sepakat bahwa
mensyukuri nikmat adalah wajib, akan tetapi mereka berselisih, apakah kewajiban
berkaitan dengan perbuatan, dan tidak menciptakan methode untuk menggali hukum.
permasalahan yang ada dalam disiplin ilmu kalam yang merupakan pokok agama dan
tidak ada hubungannya dengan ilmu Fiqh. Di antaranya ialah masalah terpeliharanya
para nabi dari perbuatan dosa sebelum diangkat menjadi nabi. Mereka telah membuat
membahas suatu masalah tidak didasarkan pada fanatisme madzhab tertentu dan tidak
landasan bagi masalah-masalah fiqh serta secara menggalinya. Pandangan yang netral
tersebut membuahkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang netral (murni) yang dipelajari
secara mendetail dan terjauh dari fanatisme. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini
mempunyai nilai ilmiah yang tinggi yang berpengaruh kepada para pelajar yang
Mayoritas ulama’ madzhab yang menutup pintu ijtihad adalah karena mereka
tidak dapat mengikuti aliran teoritis ini dalam ushul fiqh. Oleh karena itu, jika pintu
ijtihad dibuka bagi umum, maka methode ijtihad yang telah dipraktekkan oleh para
17. Telah banyak kitab-kitab ushul fiqh yang disusun menurut aliran teoritis
ini, antara lain yang termasyur dengan ulama terdahulu ada tiga kitab, yaitu:
1. Al-Mu’tamad oleh Abu Hasan Muhammad ibn Ali al-Basri, seorang ulama
2. Al-Burhan, oleh Imam Haramain, seorang ulama madzhab Syafi’i yang wafat
penjelasan lebih lanjut, sehingga menyebabkan para ulama banyak yang mengarang
kitab tersebut ialah Imam Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya al-Mahshul dan Imam
Abu Husain Ali yang terkenal dengan sebutan Imam al-Amidi (wafat tahun 631 H)
18. Sebagaimana telah disebutkan bahwa aliran yang kedua adalah aliran yang
dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang (furu’). Ulama yang mengkaji aliran ini
kaidah ini sebagai alat legitimasi bagi istinbathnya dan sebagai bahan untuk
argumentasi. Sehingga kajian ushul fiqh dalam aliran ini semata-mata hanya untuk
Sebagai ulama berpendapat, bahwa yang pertama kali mempelopori aliran ini
adalah ulama madzhab Hanafi. Mereka tidak mempunyai kaidah ushul fiqh yang
tumbuh pada masa istinbath, sebagaimana dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi dalam
timbulnya perselisihan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berkisar pada
kaidah-kaidah Ushul yang telah dijelaskan Imam al-Bazdawi dalam kitabnya dan
pembahasan mereka. Menurut orang yang bukan ahli fiqh bila pintu ijtihad telah
ditutup dan tidak diperhitungkannya pemahaman syarat dan sifat sama sekali; dalil
yang mewajibkan sesuatu itu mewujudkan atas hukum wajib secara mutlak, dan
para imam. Dengan demikian, tidak wajib untuk menjadikan pedoman kaidah-kaidah
Ushul Fiqh madzhab Syafi’i merupakan methode untuk menggali hukum syara’ yang
bersifat dinamis dan dapat dijadikan pedoman, sedang ushul fiqh madzhab Hanafi
bersifat statis dan terbatas pada masalah-masalah furu’ yang telah dibukukan. Ulama-
mempertahankan madzhabnya saja. Sehingga ushul fiqh mereka itu hanya kaidah-
Meskipun methode ushul fiqh madzhab Hanafi tampaknya statis dan mandul
tertentu, akan tetapi secara umum methode tersebut mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan pemikiran fiqh. Pengaruh tersebut antara lain berikut ini:
yang universal dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada
masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hukum,
permasalahan yang ierjadi pada saat itu dan belum pemah terjadi pada masa
maka menjadi luaslah cakrawala hukum. Demikian juga para ulamanya tidak hanya
mandek pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari para imam madzhab saja, tetapi
imam terdahulu.
(Methodologi madzhab Hanafi). Adapun kitab ushul fiqh yang mula-mula disusun
menurut aliran ini adalah kitab al-Ushul karya Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
Sedang yang lebih luas dan mendetail adalah kitab Ushulul Fiqh karya Abu Bakar ar-
Razi yang terkenal dengan nama al-Jashshash (wafat 380 H), kemudian disusul kitab
kecil yang bernama Ta’sisun Nazhar karya ad-Dabusi (wafat 430 H). Dalam kitab
tersebut dijelaskan secara ringkas kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah disepakati dan
lain.
Setelah itu, muncullah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat
483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi, sebuah
kitab ushul fiqh yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang
paling jelas dan mudah yang disusun menurut methode madzhab Hanafi. Kemudian
muncul pula Imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth yang menyusun sebuah
kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya lebih luas dan mendetail. Setelah
itu terbitlah beberapa kitab yang disusun menurut methode tersebut yang meresume
dan menjabarkan kitab- kitab terdahulu, seperti kitab al-Manar dan lain-lain.
21. Adalah suatu hal yang wajar bila dikatakan bahwa para ulama yang
memperdalam ilmu ushul fiqh, baik dari madzhab Syafi’i, Maliki maupun Hanbali
telah banyak yang menyusun kitab ushul fiqi menurut methode Hanafi dalam
‘lmil Ushul, karya al-Qarafi. Kitab tersebut disusun menurut methode madzhab
dalam masalah-masalah furu’. Kitab At-Tamhid fi Takhrijil Furu’ alal Ushul karya
Imam Asnawi (wafat 777 H), seorang pengikut madzhab Syafi’i. Dalam kitab
masalah-masalah furu’. Demikian juga kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis oleh Ibnu
Dari keterangan tersebut, maka jelaslah bahwa methode madzhab Hanafi telah
dimanfa’atkan oleh beberapa ulama dari empat madzhab. Bahkan madzhab Syi’ah
Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah juga menggunakan methode madzhab Hanafi dalam
terbitlah kitab-kitab fiqh yang disusun berdasarkan kedua methode tersebut. Mula-
sesuai dengan methode madzhab. Kitab-kitab tersebut disusun oleh para ulama yang
ahli dari madzhab Syafi’i dan Hanafi. Di antara kitab-kitab tersebut adalah kitab
Badi’un Nizham karya Ahmad bin Ali As-Sa’ati al-Baghdadi (wafat 694 H) yang
menghimpun kitab Ushul al-Bazdawi dan kitab al-lhkam karya al-Amidi. Setelah itu
kitab Tanqihul Ushul karya Syekh Sadrus Syari’ah Abdullah bin Mas’ud al-Bukhari
(wafat 747 H) yang di beri syarah berjudul at-Taudhih. Dalam kitab tersebut dia
menghimpun kitab Ushul al-Bazdawi, kitab al-Mahsul karaya ar-Razi dan kitab al-
ialah kitab Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahhab as-Subki asy-Syafi’i
(wafat 771 H), kitab at-Tahrir karya Kamaluddin ibnul Humam (wafat 861 H) dan
23. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa obyek Ushul Fiqh ialah menjelaskan
methode penggalian hukum syara’ (istinbath) dan timbangan dalil untuk menetapkan
hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci. Agar
pembahasan Ushul Fiqh menjadi jelas, maka terlebih dahulu harus diuraikan tentang
hakekat hukum syara’ serta pembagiannya, karena hukum-hukum syara’ itulah yang
menjadi ketetapan dalil-dalil tersebut. Atau dengan kata lain, bahwa dalil-dalil itulah
terhadap status hukum tersebut. Kemudian harus dibicarakan pula obyek tuntutan
hukum, yakni perbuatan manusia, dan siapakah yang digolongkan mukallaf itu.
Karena itulah sebagian ulama memberikan definisi tentang Fiqh sebagi ilmu yang
Dengan demikian obyek pembahasan ilmu Fiqh dapat dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Hukum Syara’
2. Al-Hakim (yang menetepkan hukum), yaitu Allah SWT, dan cara untuk
dalam bab ini juga dibicarakan dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang
diperselisihkan.
orang mukallaf.
4. Mahkum ‘alaih (subyek hukum atau yang menanggung hukum), yaitu orang
mukallaf (orang yang dibebani hukum). Dalam bab ini akan dibicarakan
halangi taklif.
Bab 1 Hukum Syara’
syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Sasaran kedua disiplin
ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqh meninjau
hukum syara’ dari segi methodologi dan sumber-sumbemya, sementara ilmu Fiqh
meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang
perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).
Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah
hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
(mani’) dan ungkapan-ungkapan lain yang akan dijelaskan pada bab-bab yang akan
Yang dimaksud dengan iqtidha’ ialah suatu tuntutan, baik tuntutan untuk
Hukum haram misalnya, merupakan larangan yang pasti, dan hukum wajib
menunjukkan perintah yang pasti. Adapun yang dimaksud dengan hukum takhyir
ialah, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk
ketentuan waktunya.
Sedang yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah, bahwa Allah SWT
kematian seseorang menjadi sebab berhaknya ahli waris terhadap pemilikan harta
pusaka dari orang mati. Atau hubungan antara dua hal, yang satu menjadi syarat bagi
terwujudnya yang lain, seperti syarat mengambil air wudhu untuk mengerjakan
Oleh karena itu, hukum syara’ yang berupa iqtidha’ (perintah dan larangan),
dan takhyir (pilihan) disebut hukum taklifi, sedang hukum yang menghubungkan
antara dua hal disebut hukum wadh’i. Dengan demikian, hukum syara’ terbagi
HUKUM TAKLIFI
25. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah hukum yang
menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau
shalat, membayar zakat dan menunaikan haji ke Baitullah. Sedang hukum yang
menunjukkan larangan, seperti larangan memakan harta benda anak yatim sesuai
dengan fiman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152 yang berbunyi:
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang
Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
Contoh yang lain adalah larangan memakan harta benda orang lain dengan
lain di antara kamu dengan jalan yang batil”. (Q.S. al-Baqarah: 881)
yang telah dijelaskan di atas. Demikian juga ziarah kubur di mana Rasulullah SAW.
telah bersabda:
Artinya: “(Dulu) saya telah melarang kalian ziarah kubur, (tapi sekarang)
26. Keterangan di atas itulah yang dimaksud dengan hukum taklifi. Tentang
hukum wadh’i, sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas ialah, hubungan
dijadikan Allah antara dua hal, di mana yang satu merupakan sebab, syarat atau mani’
bagi yang lain. Contoh “sebab” adalah, menyaksikan bulan (tanggal 1 Ramadhan)
SAW:
Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempa
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. al-
Baqarah : 185)
Adapun contoh syarat ialah mengambil air wudhu menjadi syarat bagi sahnya
shalat; adanya ahli waris yang hidup setelah matinya orang yang diwaris harta
bendanya, menjadi syarat bagi sahnya pembagian harta pusaka; hadimya para saksi
menjadi syarat bagi sahnya pemikahan; bersetubuh dengan isteri yang janda dan telah
mempunyai anak dengan suami yang dahulu menjadi syarat bagi haramnya menikah
dengan anak tirinya (bagi suami janda tersebut bila sudah cerai); menghadap kiblat
Sedang contoh mani’ ialah pembunuhan atau murtad (keluar dari Islam)
menjadi mani’ (halangan) bagi seseorang untuk memperoleh pembagian harta pusaka,
Artinya: “Orang yang berbeda agamanya, tidak berhak untuk saling mewaris
harta bendanya”.
Adanya sebab, syarat atau mani’ itu menimbulkan keabsahan hukum yang
berarti positif, atau tidak sah yang berarti negatif. Dengan terpenuhinya sebab dan
syarat, serta tidak adanya mani’, maka suatu tindakan itu dianggap sah, jika tidak,
Berikut ini akan dibicarakan kedua macam hukum tersebut (hukum taklifi dan
27. Sebagimana telah kami jelaskan, bahwa hukum taklifi adalah ketetapan
Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Sedang bentuk perintah dan
larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk
pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunnah). Demikian juga
dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, dan bila tidak pasti maka
disebut makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
Dengan demikian, hukum taklifi itu terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Mandub,
Hanafi hukum taklifi terbagi menjadi 7, yaitu: Fardhu, Wajib, Mandub, Makruh
tahrim, Makruh tanzih, Haram dan Mubah. Perbedaan tersebut akan dijelaskan ketika
membicarakan pembagian hukum taklifi yang telah disepakati (yang berjumlah lima
macam).
WAJIB
28. Menurut pendapat jumhur, bahwa hukum wajib itu identik dengan fardhu.
Itulah yang akan dibicarakan sekarang, dan setelah itu akan dibicarakan pengertian
Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang
mahtum dan lazim. Sebagian ulama ahli Ushul Fiqh memberikan definisi bahwa
“Wajib adalah suatu perintah, di mana orang yang meninggalkan adalah tercela”.
Orang yang meninggalkan shalat tercela, orang yang tidak membayar zakat tercela,
orang yang tidak menghormat kedua orang tua tercela, demikian juga orang yang
meninggalkan setiap kewajiban adalah berhak memperoleh cercaan dan siksaan đari
Allah. Definisi tersebut bukanlah ta’rif bil had, melainkan ta’rif bir rasmi. Bila ta’rif
bil had menjelaskan hal-hal yang hakiki (essensial), maka ta’rif bir rasmi
mengunggulkan definisi ini dengan mengatakan bahwa wajib syar’i adalah perintah
syara’.
fardhu tidak sama dengan wajib menurut syara, meskipun secara ethymologi (bahasa)
pengertian fardhu sebagian sama dengan wajib. Hal tersebut disebabkan telah ada
kesepakatan antara madzhab Hanafi dengan Jumhur, bahwa baik itu wajib maupun
fardhu sama-sama memakai perintah yang pasti. Hanya saja, menurut madzhab
Hanafi, fardhu adalah perintah yang berdasarkan dalil qath’i (pasti) yang tidak ada
kebimbangan lagi, sedang wajib adalah perintah yang berdasarkan dalil zhanni yang
bawah kepastian perintah yang fardhu. Sehingga ada ulama yang berpendapat, bahwa
orang yang meninggalkan perbuatan fardhu menurut syara’, maka batallah amal
ibadahnya. Seperti orang yang menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak wuquf di Arafah,
maka batallah ibadah hajinya. Akan tetapi orang yang meninggalkannya wajib,
ibadahnya masih sah. Seperti orang yang menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak
mengerjakan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, berarti ibadah hajinya batal karena
kewajiban Sa’i bukan berdasarkan dalil qath’i (pasti), tetapi hanya berdasarkan dalil
Di samping itu juga masih ada perbedaan yang lain, yaitu bahwa orang yang
ingkar terhadap ibadah fardhu, ia tergolong kufur, sementara orang yang mengingkari
hukum wajib, ia tidak kufur. Seperti orang ingkar terhadap fardhunya shalat dan
zakat, ia tergolong kufur, karena ia ingkar terhadap perintah yang telah ditetapkan
Allah berdasarkan dalil qath’i yang sama sekali tidak dapat diragukan. Sedang orang
yang mengingkari perintah-perintah yang wajib berdasarkan dalil zhanni yang masih
pasti itu sebagai fardhu ‘amali. Dengan demikian seakan-akan mereka membagi
1. Fardhu dalam keyakinan dan amal (perbuatan), yaitu fardhu yang berdasarkan
dalil qath’i.
2. Fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zhanni. Hal
bahwa dalil-dalil zhanni itu wajib diamalkan, tetapi tidak wajib diyakini.
pada bentuk praktisnya. Akan tetapi dalam madzhab Hanafi terdapat masalah-
masalah cabang yang menimbulkan khilaf dalam praktek. Sebagai contoh, menurut
madzhab Syafi’i, bahwa membaca surat al-Fatihah pada waktu shalat hukumnya
fardhu, sehingga orang yang tidak membaca Fatihah shalatnya tidak sah. Akan tetapi
menurut madzhab Hanafi, orang yang tidak membaca Fatihah shalatnya tetap sah,
pada perbedaan antara pengertian fardhu dengan wajib, tetapi lebih disebabkan oleh
perbedaan dalam memberikan interprestasi terhadap fiman Allah dalam surat al-
Muzzammil:
Artinya: “Kerena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an”.
adalah surat al-Fatihah, karena Rasulullah SAW ketika shalat selalu membaca surat
lihar”.
Sedang madzhab Hanafi tetap berpendapat bahwa ayat tersebut berifat umum
yang memberikan kebebasan untuk membaca surat apa saja, meskipun bukan surat al-
Fatihah.
karena madzhab Syafi’i dan yang lain tidak mengingkari adanya perbedaan antara
dalil-dalil qath’i dan zhanni. Oleh karena itu, Imam al-Amidi dalam al-lhkam
berpendapat, bahwa perbedaan cara menetapkan hukum-hukum wajib dan fardhu dari
aspek jelas dan samarnya, atau kuat dan lemahnya, tidak akan menimbulkan
Pembagian Wajib
30. Wajib terbagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat ditinjau
dari segi tertentu, misalnya dari segi waktu, segi dzatiyah hukum yang diperintahkan;
segi umum dan khususnya perintah, dan segi kadar/ukuran perintah, dan lain-lain.
31. Dari segi masa pelaksanaannya, wajib terbagi menjadi 2 macam, pertama
wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu,
melaksanakan tidak berdosa. Seperti mengqadha’ puasa Ramadhan bagi orang yang
tidak berpuasa lantaran ada ‘udzur. Menurut pendapat Imam Hanafi, qadha’ puasa
Ramadhan boleh dilaksanakan kapan saja, tanpa dibatasi oleh waktu. Sedang Imam
Syafi’i berpendapat, bahwa qadha’ tersebut dibatasi oleh tahun di mana orang
tidak harus dilakukan cepat, tapi boleh dilaksanakan sewaktu-waktu. Contoh lain
adalah masalah membayar kaffarat sumpah yang pelaksanaanya tidak di- batasi oleh
waktu. Akan tetapi sebagian ulama Zhahiri mewajibkan membayar kaffarat sebelum
Tetapi hal itu tidak mengandung larangan untuk membayar kaffarat setelah
menerjang sumpah. Demikian, banyak perintah wajib dalam masal-masalah fiqh yang
32. Ibadah haji adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pada waktu
tertentu. Di antara syarat sahnya ibadah haji harus dilaksanakan pada bulan tertentu,
dan sebagian rukunnya harus dilaksanakan pada hari tertentu yaitu wukuf di Arafah
Demikian pula beberapa amalan haji harus dilaksanakan pada waktu tertentu, yang
Tetapi semua itu dilihat dari segi pelaksanaan bukan dari segi hukum wajib
yang asal. Karena asal diwajibkannya haji tidak ditentukan oleh waktu, ini menurut
ulama yang berpendapat bahwa wajibnya haji adalah sewaktu-waktu. Jadi haji
berbeda dengan shalat dan puasa yang harus dilaksanakan pada waktu tertentu.
Karena datangnya waktu haji tidak menjadi sebab atas wajibnya melaksanakan haji.
yang pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Sedang bagian yang kedua
adalah wajib yang harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Waktu tertentu
tersebut merupakan tanda atas wajibnya melaksanakan suatu perintah, karena Allah
telah menjadikan waktu tertentu tersebut sebagai tanda yang menunjukkan atas
wajibnya suatu perintah. Seperti waktu shalat, apabila sudah masuk maka menjadi
tanda atas wajibnya melaksanakan shalat tersebut. Jika waktu Ashar telah masuk,
maka wajiblah melaksanakan shalat Ashar. Demikian juga bila bulan Ramadhan telah
tiba, maka wajiblah menjalankan ibadah puasa, sesuai dengan firman Allah:
Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. al-
Baqarah : 185)
Wajib muwassa’ adalah ibadah yang waktunya luas (panjang) yang cukup untuk
sambil melaksanakan ibadah yang lain. Seperti ibadah shalat yang mempunyai waktu
panjang. Waktu zhuhur misalnya cukup untuk melaksanakan shalat zhuhur dan
shalat-shalat yang lain, bahkan shalat zhuhur itu hanya memerlukan waktu yang
yang hanya memerlukan sebagian waktu yang telah disediakan yang boleh dikerjakan
kapan saja, asalkan masih dalam batas waktu yang tersedia. Tapi sebagian ulama ahli
Ushul Fiqh berpendapat, bahwa perintah untuk melaksanakan wajib muwassa’ adalah
pada bagian waktu yang pertama. Sehingga jika seseorang telah melaksanakan
jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tuntutan tersebut
tetap berlangsung hingga habis waktunya. Dengan demikian kewajiban tersebut harus
Oleh karena itu, menurut pendapat ini, setiap waktu merupakan masa yang
terpenuhi. Di samping itu, karena waktu yang disediakan untuk melaksanakan wajib
muwassa’ itu cukup untuk melaksanakan ibadah wajib dan ibadah yang lain, maka
seharusnya pelaksanaan ibadah wajib itu harus disertai niat dan tujuan melaksanakan
kewajiban itu untuk membedakan antara ibadah yang wajib dengan yang tidak wajib.
Bagi orang yang melaksanakan shalat zhuhur, harus niat menjalankan shalat fardhu
zhuhur, agar menjadi jelas bahwa shalat yang dikerjakan itu shalat zhuhur, bukan
yang lain.
35. Wajib mudhayyaq ialah suatu ibadah wajib, di mana waktu yang
melaksanakan ibadah yang lain. Seperti puasa pada bulan Ramadhan, di mana
sepanjang hari pada bulan tersebut hanya dapat dipergunakan hanya untuk ibadah
puasa Ramadhan saja, tidak dapat diisi dengan ibadah puasa yang lain, yang telah
Artinya: “Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. al-
Baqarah : 185)
Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa apabila seseorang berniat
menjalankan puasa sunat pada bulan Ramadhan, maka puasa tersebut tetap menjadi
puasa fardhu Ramadhan. Karena sepanjang hari di bulan Ramadhan itu tidak bisa
untuk melaksanakan ibadah puasa, selain puasa Ramadhan. Sehingga apabila ada
seseorang yang niat puasa selain puasa Ramadhan pada bulan tersebut, berarti ia telah
mendesak kewajiban puasa fardhu dari waktu yang telah ditentukan. Dan akan sia-
sialah puasanya itu, karena ibadah fardhu harus didahulukan dari ibadah yang lain.
36. Dari pembahasan tentang fardhu yang pelaksanaanya dibatasi waktu dan
fardhu yang tidak dibatasi oleh waktu, dapatlah dibuat beberapa kaidah:
dibatasi dengan waktu muwassa’ (waktu yang luas), karena fardhu tersebut dapat
dilaksankan setiap saat dalam waktu tersebut. Demikian juga dengan waktu naqdhi
pengulangan pemikiran), ia dibatasi dengan adanya sebab, di mana waktu itu dimulai
37. Dari segi tertentunya sebuah tuntutan, maka wajib dibag menjadi dua
macam, yaitu:
1. Wajib mu’ayyan.
2. Wajib mukhayyar.
Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang hanya mempunya satu tuntutan,
seperti membayar hutang, memenuhi akad, membayar zakat dan sebagainya. Wajib
mu’ayyan ini tidak ada altematif lain kecuali memenuhi tuntutan tersebut.
Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu
macam tuntutan, tetapi mempunya dua atau tiga altematif yang dapat dipilih. Contoh
kewajiban yang mempunyai dua altematif ialah bahwa bagi imam (penguasa)
mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan
orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka. Sedang bagi orang yang tidak
mampu diwajibkan mengerjakan puasa tiga hari, sesuai dengan fiman Allah dalam
surat al-Maidah:
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya
Contoh lain adalah masalah haji, di mana orang yang menjalankan ibadah haji
diperbolehkan memilih antara haji ifrad (niat hanya mengerjakan ibadah haji saja);
atau haji tamattu’ (niat mengerjakan ibadah umrah, setelah selesai bertahallul,
kemudian ia niat mengerja- kan ibadah haji pada bulan-bulan haji); atau haji qiran
(niat sekaligus untuk mengerjakan ibadah haji dan umrah secara bersama-sama).
seseorang sama sekali tidak mengerjakan tuntutan tersebut, maka berdosalah ia dan
berhak disiksa karena tidak mengerjakan tuntutan tersebut sama sekali. Tetapi jika ia
melaksanakan salah satu atau sebagian dari wajib mukhayyar, maka gugurlah
kewajibannya, dan ia tidak tertimpa dosa. Jadi wajib mukhayyar sama dengan wajib
yang dibatasi oleh zaman muwassa’, di mana perintah wajib tersebut boleh dikerjakan
kapan saja asal tidak melampaui waktu yang telah disediakan. Jika telah dikerjakan
pada sebagian waktu tersebut, maka gugurlah ia dari dosa. Demikian juga wajib
mukhayyar, apabila telah dikerjakan salah satu atau sebagian dari altematif-altermatif
wajib yang ada, maka becbaslah ia dari dosa. Perbedaannya, kalau pilihan dalam
wajib mukhayyar adalah berkaitan dengan sasaran perintah, sedang dalam zaman
38. Ditinjau dari segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam,
yaitu:
harta pusaka.
2. Wajib yang tidak mempunyai ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar
mengusap kepala (ketika berwudhu’), ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam
Dalam hal ini terdapat dua contoh menarik untuk kita bahas, yaitu:
memenuhi satu nisab dan telah berputar satu tahun. Sedang kewajiban
Di samping kewajiban membayar zakat dan zakat fitrah tersebut, masih ada
harta benda untuk kepentingan agama Allah). Apabila seseorang melihat seorang
tidak dapat dipastikan ukurannya. Oleh karena itu para ulama mengatakan, bahwa
bagi orang yang kaya (mampu mendermakan sebagian harta bendanya), dia
tersebut.
zakat dan kewajiban memberikan harta benda yang dicintainya kepada sanak kerabat,
anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Dan jelaslah di sini Allah telah menetapkan
wajibnya membayarkan zakat yang telah ditentukan ukurannya dan kewajiban lain
kerabat yang fakir tersebut. Demikian juga memberikan nafkah kepada isteri
tidak ada ketentuan yang pasti. Karena dasar yang dijadikan landasan dalam
kemampuan kepada ukuran, maka nafkah tersebut menjadi suatu yang dapat
diperkirakan ukurannya.
Para ulama berpendapat, bahwa apabila harta benda yang wajib dibayarkan itu
tertentu ukuran atau jumlahnya, maka jika tidak dibayarkan pada waktunya, menjadi
hutang yang sewaktu-waktu harus dibayar. Zakat misalnya, apabila tidak dikeluarkan
pada waktunya, maka menjadi hutang atas orang yang berkewajiban zakat. Jika
sampai mati belum juga dibayarkan, maka harus dibayar dari harta pusakanya,
sebagaimana hutang kepada orang lain. Hanya saja hal ini masih diperselisihkan oleh
para fuqaha’.
jika tidak dibayarkan pada waktunya menjadi hutang yang sewaktu-waktu harus
dibayar. Tetapi jika jumlahnya tidak ditentukan sebelumnya, maka menurut Imam
Hanafi dan kawan-kawan tidak menjadi hutang yang harus dibayar sewaktu-waktu.
Hanya saja menurut pendapat Jumhur Fuqaha’ apabila seorang suami tidak
tertentu, tetapi sebagai ganti dari hak isteri yang belum diterimakan. Oleh karena itu,
penetuan Qadhi (hakim) terhadap nafkah yang belum diberikan itu berlaku, dan jika
Kita tidak bisa mengatakan bahwa yang benar sebelum nafkah tersebut
diputuskan oleh hakim sudah ditentukan jumlahnya terlebih dahulu. Karena dasar
dalam memberikan nafkah adalah memenuhi kebutuhan yang layak, sehingga tidak