Anda di halaman 1dari 17

BAB I

SIKAP BAHASA INDONESIA

1.1 Pentingnya Bahasa Indonesia


Bahasa adalah alat berkomunikasi dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah
sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Hal ini tidak dapat dimungkiri oleh siapa
pun yang hidup di dunia ini. Dan bukan hal yang baru lagi jika dikatakan bahwa bahasa
dan masyarakat merupakan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak mungkin
ada masyarakat tanpa bahasa, dan tak pula mungkin ada bahasa tanpa masyarakat.
Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota mayarakat, yaitu individu-
individu sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan berkeinginan. Pikiran, perasaan,
dan keinginan baru berwujud bila dinyatakan, dan alat untuk menyatakan itu adalah
bahasa.
Kita dikenal dan menjadi populer di lingkungan kerja kita atau lingkungan
lain apabila kita dapat memahami orang lain dan membuat orang lain memahami kita.
Kita berhasil dalam belajar atau memberi penyuluhan atau berdagang, misalnya, juga
apabila kita dapat memahami orang lain dan membuat orang lain memahami kita.
Makin mampu kita memahami orang lain dan membuat orang lain memahami kita,
makin popular dan berhasil kita dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain,
kepopuleran dan keberhasilan itu bergantung pada adanya saling memahami di antara
sesama manusia.
Saling memahami dan saling mengerti erat berhubungan dengan penggunaan
sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami orang lain dengan baik
apabila kita mendengarkan dengan baik kapan yang dikatakan orang lain atau membaca
dengan bai kapa yang ditulis orang lain. Kita dapat membuat oaring lain memahami
kita dengan baik apabila kita berbicara atau menulis dengan baik pula. Dengan kata
lain, saling memahami bertalian dengan keterampilan membaca, dan keterampilan
menulis.
Kita mendengarkan orang lain, membaca tulisan orang lain, berbicara
dengan orang lain, dan menulis untuk orang lain, berarti kita berkomunikasi dengan
orang lain. Agar komunikasi itu dapat berdaya guna (efektif), kita perlu membina
keterampilan kita menelaah, mengamati, mendengarkan, membaca, berbicara, dan
menulis. Kita harus dapat menelaah, bukan hanya melihat-lihat apa-apa yang kita baca.
Kita harus dapat mengamati, bukan hanya melihat apa yang kita lihat. Kita harus dapat
mendengarkan, bukan hanya mendengar apa yang dikatakan orang. Kita harus dapat
membaca untuk memahami isi bacaan, bukan membaca kata-kata. Kita harus dapat
berbicara dan menulis sehingga orang lain dapat memahami apa yang kita bicarakan

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 1


dan kita tulis. Semua keterampilan itu dapat kita miliki apabila kita pelajari, kita bina
terus-menerus. Semua keterampilan itu tidak kita miliki sejak kita dilahirkan.
Setelah dilahirkannya bahasa Indonesia tanggal 2 Mei 1926, Sumpah
Pemuda diikrarkan dan dikukuhkan pada tahun 28 Oktober 1928, dan Undang-Undang
Dasar 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, karena pemakaian
Bahasa Indonesia semakin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Kita
mendengar radio dan televisi menyiarkan berita tentang bermacam peristiwa kehidupan
bangsa-bangsa dan dunia dalam bahasa Indonesia. Kita mendengar orang berbicara
dalam bahasa Indonesia di kantor, dunia pendidikan, dalam pertemuan di rukun
tetangga, di rukun kampung, dan di kelurahan, dalam pertemuan diskusi, seminar,
lokakarya, konferensi, symposium, dan pertemuan-pertemuan lain. Kita mendengar
pidato-pidato kenegaraan juga disampaikan dengan bahasa Indonesia. Kita melihat
berbagai jenis buku tentang ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, agama, dan
kebudayaan ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kita melihat surat kabar, majalah, dan
terbitan lain ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kita juga melihat semua mata pelajaran di
lembaga-lembaga pendidikan baik sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan
tinggi disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Andaikata kata tidak menguasai Bahasa Indonesia, apa yang akan terjadi?
Jelaslah, kita tidak dapat memahami berita yang kita dengar; kita tidak dapat
memahami pembicaraan orang lain; kita tidak dapat memahami buku atau terbitan lain
yang kita baca; kita tidak dapat memahami apapun yang dituturkan atau ditulis dalam
bahasa Indonesia. Jika demikian, kita akan menjadi orang yang “buta kemajuan zaman’.
Oleh karena itu, kita perlu mempelajari bahasa Indonesia, bahasa nasional dan bahasa
negara kita, dengan sungguh-sungguh sehingga kita benar-benar menguasainya baik
sebagai alat komunikasi sehari-hari maupun sebagai alat pemanfaatan ilmu dan
teknologi.
Dalam era globalisasi saat ini, bahasa Indonesia mempunyai peranan yang
sangat penting. Dengan menguasai kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar
atau yang seiring di sebut bahasa baku, seorang akan mampu berkomunikasi dengan
baik kepada sesamanya. Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia seseorang akan
mencerminkan jiwa, kepribadian, dan kepandaian seseorang. Pentingnya bahasa
Indonesia tersebut telah dibuktikan dengan diangkatnya bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara.
Karena pentingnya bahasa Indonesia tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia telah menempuh berbagai cara, antara lain: (1) memantapkan fungsi dan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara; (2)
membakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia; (3) membakukan Pedoman
Istilah Bahasa Indonesia; (4) menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia; 5) menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dari tingkat dasar samapai ke perguruan
tinggi; (6) mengadakan penyuluhan bahasa Indonesia bagi masyarakat Indonesia,
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 2
melalui televisi, radio, media cetak, dan media lainnya; (7) pencanangan Bulan Bahasa
setiap bulan Oktober; dan (8) mengadakan Kongres Bahasa Indonesia setiap lima tahun
sekali.
Meskipun berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia,
ternyata, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau bahasa baku, baik ragam lisan
maupun ragam tulis. Ketidakmampuan menggunakan bahasa baku tersebut tidak hanya
dialami masyarakat awam, tetapi dialami juga masyarakat terpelajar. Bahkan
masyarakat kita dewasa ini, terutama masyarakat terpelajar, semakin ‘keracunan’
menggunakan istilah asing dalam berkomunikasi sehari-hari. Penggunaan bahasa asing
semakin meluas ke berbagai bidang dan aspek. Hal tersebut menjadi keprihatinan para
pakar dan pemerhati bahasa Indonesia.
Pada umumnya orang Indonesia dapat berbahasa Indonesia untuk keperluan
sehari-hari, dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan. Kita,
pembaca tulisan ini, tentulah juga mampu berbahasa Indonesia sebagai alat
perhubungan; mampu membaca isi majalah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan
mampu, misalnya, menulis surat dalam bahasa Indonesia. Kemampuan itu, kemampuan
tiap pembaca, jelas beragam; ada yang mampu membaca hanya dengan menafsirkan
serta menyimpulkan isi bacaan, ada yang mampu menulis dengan bahasa Indonesia
yang tidak teratur, pilihan kata yang baik, dan ejaan yang tertib.
Kemampuan berbahasa Indonesia itu tentu saja dapat ditingkatkan terus-
menerus melalui kegiatan belajar dan berlatih menggunakan bahasa Indonesia yang
terus-menerus pula. Sebagai warga negara yang baik, kita seyogianya dan sepatutnya
mempelajari seluk-beluk pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa
Indonesia yang baik ialah bahasa Indonesia yang sopan, yang santun, dan yang tidak
bercampur aduk dengan kata-kata asing atau dialek. Kita tidak bersantun bahasa apabila
kita menggunakan kata mampus alih-alih menggunakan kata meninggal untuk orang tua
kita. Bahasa Indonesia yang benar ialah bahasa Indonesia yang penggunaannya
mematuhi aturan atau kaidah tata bahasa Indonesia dan ejaan bahasa Indonesia yang
baku. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari buku-buku tata bahasa Indonesia,
panduan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, panduan yang membimbing
bagaimana sebenarnya kita memakai bahasa Indonesia, bahasa yang efektif.

1.2 Sikap Negatif Pemakai Bahasa Indonesia


Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia, seharusnya memiliki
rasa kesetiaan/cinta, kepedulian, kebanggaan, dan rasa memiliki bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa menyampaikan
perasaan dan pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang lain. Mereka
semestinya setia, peduli, bangga memiliki bahasa yang demikian itu. Namun, berbagai
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 3
kenyataan yang terjadi, tidaklah demikian, bangsa kita tidak terlalu bangga dengan
bahasanya sendiri. Banyak guru dan dosen yang kurang dapat berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Demikian juga para sarjana dan guru besar kita. Kondisi ini
memprihatinkan, sebab setia atau mencintai bahasa sesungguhnya tidak akan
menurunkan martabat bangsa. Lebih lanjut lagi, orang Indonesia cenderung memiliki
rasa kekurangpedulian, kurang ada rasa bangga kepada bahasa Indonesia, dan kurang
ada rasa memiliki Bahasa Indonesia. Rasa cinta, peduli, rasa bangga, dan rasa memiliki
kepada Bahasa Indonesia belum lagi tertanam pada setiap orang Indonesia. Rasa
menghargai bahasa asing (dahulu bahasa Belanda, sekarang bahasa Inggris) masih terus
menampak pada sebagian besar bangsa Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa
asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Bahkan, mereka seolah tidak
mau tahu perkembangan bahasa Indonesia.
Pada dasarnya, bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa adalah penanda
identitas. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa “Bahasa Anda adalah Kasta Anda”.
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertengkaran. Bahasa Indonesia bukan pula untuk
mempertegas perbedaan, tetapi untuk memperjuangkan persamaan, dan sejatinya,
karena bahasa Indonesialah kita bersatu. Namun, pada kenyataannya, bahasa bisa jadi
tidak lagi menunjukkan bangsa. Ketika generasi muda atau kaum melenial tidak lagi
merasa memiliki, peduli, dan bangga berbahasa Indonesia, maka di banyak momen rasa
sikap memiliki, peduli, dan bangga berbahasa Indonesia kian menipis. Bahkan lebih
jauh lagi, tidak jarang kaum melenial generasi muda yang lebih menghargai bahasa
asing. Bahasa pun bisa jadi tidak lagi menunjukkan jati diri bangsa. Ketika pemakai
bahasa Indonesia lebih memilih bahasa kebohongan (hoax) dalam keseharian, merebak
dan maraknya ujaran kebencian, hujatan, caci maki, menghakimi, pencemaran nama
baik, bahkan fitnah menjadi tanda perginya jati dri bangsa secara perlahan.
Berkenaan dengan sikap negatif pemakai bahasa Indonesia, ada fenomena
negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain, sebagai
berikut.
a. Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya
menggunakan bahasa asing (Inggris), walaupun mereka tidak menguasai bahasa
Indonesia dengan baik.
b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing
(Inggris), tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai
bahasa Indonesia.
c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan
baik.
d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah
menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa
Indonesianya kurang sempurna.
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 4
Kenyatan-kenyataan tersebut merupakan fenomena sikap pemakai bahasa
Indonesia yang negatif dan tidak baik. Hal itu akan berdampak negatif pula pada
perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis,
menganggap rendah, dan tidak percaya kemampuan bahasa Indonesia dalam
mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan lengkap, jelas, dan sempurna. Akibat
lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan
ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan
itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background,
reality, airport, masing-masing untuk ‘halaman’, ‘latar belakang’, ‘kenyataan’, dan
‘lapangan terbang atau bandara’.
b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga
ditemukan kata dan istilah asing yang ‘amat asing’, ‘terlalu asing’, atau ‘hiper asing’.
Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut,
misalnya rokh, fihak, fatsal, syah. Padahal, kata-kata tersebut cukup diucapkan dan
ditulis roh, pihak, pasal, dan sah.
c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik, tetapi
menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia
yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak mempunyai
satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia
telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya, kalau mereka kesulitan menjelaskan atau
menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia, mereka akan mencari
jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, penggunaan kata yang
mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan,
pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.

Kenyataan-kenyataan dan akibat-akibat tersebut kalau tidak diperbaiki akan


berakibat perkembangan bahasa Indonesia terhambat. Cinta bahasa Indonesia bukan
berarti menidakbolehkan bahasa asing. Cinta bahasa Indonesia berarti ada kemauan
untuk mengenal, memahami, menghormati, dan menggunakan bahasa Indonesia kapan
pun dan di mana pun. Bangga berbahasa Indonesia artinya mau menggunakan bahasa
orang Indonesia, mau menghormati bahasa ibu, dan mau menguasai bahasa asing dan
semua bahasa sesuai tempatnya, budayanya, dan kebanggaannya.
Peduli kepada bahasa Indonesia artinya sikap perhatian yang lebih kepada
bahasa Indonesia agar dapat berbahasa yang baik dan santun. Peduli kepada bahasa
Indonesia bukan hanya menggunakan bahasa yang benar, tetapi juga ikut perhatian
menjaga agar tidak menebarkan bahasa kebohongan (hoax) dalam keseharian, bahasa
ujaran kebencian, bahasa hujatan, caci maki, menghakimi, pencemaran nama baik, dan
fitnah. Maka dari itu, peduli kepada bahasa Indonesia menjadi penting, karena bahasa
Indonesia tidak dirancang untuk membuat kebohongan yang terdengar jujur, dan

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 5


kebencian yang tekesan dihormati. Sikap rasa memiliki bahasa Indonesia yaitu sikap
kesadaran bertanggung jawab untuk memelihara, membina, dan mengembangkan
bahasa Indonesia agar terpelihara pemakaiannya. Sikap positif terhadap bahasa dan
berbahasa akan menghasilkan perasaan memiliki bahasa. Artinya bahasa sudah
dianggap kebutuhan pribadi, milik pribadi, dijaga, dibina, dipelihara, dan
dikembangkan.
Dengan demikian, sebagai warga negara Indonesia yang baik,
sepantasnyalah bahasa Indonesia wajib untuk dicintai, dijaga dan dipelihara. Bahasa
Indonesia harus dibina dan dikembangkan dengan baik karena bahasa Indonesia
merupakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Setiap orang Indonesia
patutlah bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, janganlah menganggap remeh dan
bersikap negatif serta berusaha agar selalu cermat dan teratur menggunakan bahasa
Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mestilah mengembangkan
budaya malu apabila tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

1.3 Jati Diri dan Eksistensi Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi
Sebelum kita masuk kedalam eksistensi bahasa Indonesia ada baiknya kita
mengenal apa itu globalisasi. Globalisasi merupakan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas
suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana
antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait,
dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Era globalisasi dicirikan
oleh derasnya arus informasi, sehingga pengaruh bahasa asing sangat terasa dan
mencolok. Bahasa asing ada di mana-mana, dengan masuknya bermacam-macam hasil
perkembangan tekhnologi dan informasi. Jika kita lihat setiap muncul produk teknologi
terbaru akan muncul pula bahasa asing baru yang siap meledak dan menyebar dalam
masyarakat. Bahkan di ruang publik, di pusat perbelanjaan, dan pasar-pasar tradisional
kita akan mudah menjumpai istilah-istilah asing yang begitu familiar ditelinga
masyarakat. Bahasa Indonesia jelas mengalami ancaman, terutama akibat makin tidak
terkendalinya pemakaian kata dan istilah asing. Karena itu, peningkatan pendidikan
bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi-perguruan tinggi, atau
lembaga pendidikan baik formal ataupun nonformal perlu dilakukan melalui
peningkatan kemampuan akademik para pengajarnya.
Demikian juga halnya dengan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai sarana
pengembangan penalaran, karena pembelajaran bahasa Indonesia selain untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir,
bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan. Untuk itu, peningkatan fungsi bahasa
Indonesia sebagai sarana keilmuan perlu terus dilakukan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Seirama dengan ini, peningkatan mutu pengajaran
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 6
bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi-perguruan tinggi, atau
lembaga pendidikan baik formal ataupun nonformal lainnya perlu terus dilakukan untuk
menyemarakkan dan menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar,
Pemerintah telah menempuh politik kebahasaan, dengan menetapkan bulan
Oktober sebagai Bulan Bahasa. Namun, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara
jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Banyak
para penuturnya masih dihinggapi sikap rendah diri, sehingga merasa lebih modern,
terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan
maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, walaupun sudah ada padanannya
dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan
susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas.
Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu
dan kacau, kosa-katanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran
untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat
sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya. Melihat persoalan di atas, tidak ada
kata lain, kecuali menegaskan kembali pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan
kaidah yang baik dan benar. Hal ini di samping dapat dimulai dari diri sendiri, juga
perlu didukung oleh pembelajaran bahasa Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan
baik formal ataupun nonformal.
Ada anggapan bahwa bahasa Inggris berpotensi sebagai “kendala”
penanaman rasa cinta dan sikap positif kepada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris
cenderung dinilai memiliki gengsi atau tingkatan yang lebih tinggi daripada bahasa
Indonesia. Dalam dunia remaja misalnya, Anda akan dikatakan terlalu resmi, terlalu
berlebihan jika menggunakan bahasa Indonesia yang benar dalam berkomunikasi,
berbeda jika anda menggunakan bahasa asing (Inggris) dalam berkomunikasi, di mata
masyarakat Anda memiliki gengsi yang lebih jika dibandingkan menggunakan bahasa
Indonesia. Jika kita berbicara tentang gengsi sosial dalam hubungannya dengan bahasa
Indonesia secara jujur masih memerlukan penanganan yang serius, baik yang
menyangkut pembinaan maupun pengembangannya. Gengsi sosial bahasa Indonesia
masih kalah tinggi dengan gengsi sosial bahasa asing (terutama bahasa Inggris)
memang kita akui, dan hal ini merupakan tantangan. Namun, hal ini janganlah
membuat kita tinggal diam dan pesimis. Sebaliknya, kita harus melakukan upaya-upaya
yang dapat mengangkat gengsi sosial atau martabat bahasa Indonesia sehingga dapat
sejajar dengan bahasa-bahasa asing yang sudah maju, mempunyai nama, dan
berpengaruh besar di kalangan masyarakat.
Salah satu cara yang bisa dilakukan agar bahasa Indonesia mempunyai
gengsi sosial yang tinggi di kalangan masyarakat Indonesia adalah memberikan
penghargaan yang proporsional kepada anggota masyarakat yang mampu berbahasa
Indonesia (baik lisan maupun tulis) dengan baik dan benar, sebagai bagian dari prestasi
yang bersangkutan. Misalnya, sebagai persyaratan pengangkatan pegawai negeri atau
karyawan, sebagai persyaratan promosi jabatan, pemberian royalti yang layak kepada

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 7


penulis/pengarang di bidang masing-masing dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Karena jika kita perhatikan di dalam surat kabar atau media
elektronik khususnya rubrik lowongan pekerjaan di antara sekian banyak persyaratan
untuk menjadi pelamar kita tidak akan menemukan atau sedikit menemukan
persyaratan yang mencantumkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar,
yang akan kita temukan adalah persyaratan kemampuan berbahasa Inggris atau
memiliki sertifikat tes TOEFL. Hal ini jelas menunjukkan bahwa gengsi bahasa
Indonesia masih kalah dibandingkan bahasa Inggris.
Berpijak pada uraian di atas, dalam era globalisasi dewasa ini, jati diri
bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia,
sehingga eksistensi bahasa Indonesia akan terus hidup baik di dalam negeri ataupun di
luar negeri. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh
dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan bahkan tidak cocok dengan bahasa
dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar dan pengaruh asing ini sangat besar
kemungkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak
jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus
dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa
Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan
berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa
Indonesia dengan memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain,
pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang
patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai
dengan situasi dan kondisinya. Pada akhirnya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa
menunjukkan bukan sebuah sikap taat, tunduk, melainkan wujud sebentuk rasa hormat
kepada, dan rasa bangga terhadap norma-norma bahasa Indonesia yang sudah
sepatutnya kita junjung Bersama. Lagi pula, orang suka lupa bahwa bahasa adalah
cermin sempurna diri pemakainya.
Setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya
adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ialah menumbuhkembangkan dan
membinaa sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini
dapat dilakukan dengan (1) sikap cinta atau kesetiaan bebahasa Indonesia; (2) sikap
kepedulian kepada bahasa Indonesia; (3) sikap kebanggaan kepada bahasa Indonesia;
dan (4) sikap rasa memiliki bahasa Indonesia. Yang perlu dipahami adalah sikap positif
terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku.
Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia dan menutup
diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan man
pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif inilah
yang yang bisa menamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 8


tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa memiliki kelebihan
dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan
yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin
berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya
dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk
menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta dan
setia kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga
negara Indonesia mesti peduli, bangga, dan memiliki bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa peduli, bangga, dan memiliki inilah
yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam.
Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar.
Berdasarkan uraian di atas, haruskah kita mengorbankan bahasa nasional
kita untuk melayani pelancong asing dan perusahaan asing? Sebagai contoh, ketika
sampai di Jakarta, pembaca pasti terkejut karena mengira bahasa Inggris sudah menjadi
bahasa resmi ibu kota Jakarta. Betapa tidak? Di jalan-jalan kota itu terpampang tanda-
tanda bertuliskan bahasa Inggris. Kalau kita datang ke bandara, stasiun kereta, atau
tempat transportasi lainnya di perkotaan akan tampak papan bertulisan besar
‘Welcome’, seolah-olah kita tiba di negeri Inggris atau Amerika saja. Bukan hanya itu,
tampak huruf besar-besar ‘Selamat Datang’ dan di bawahnya tertulis ‘Welcome’, juga
terdapat tanda-tanda lain dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris, seakan-akan
Negara Republik Indonesia adalah negara yang dwibahasa (bilingual). Alasannya untuk
semua itu sudah tersedia, yaitu untuk melayani pelancong asing!
Apakah cukup masuk akal alasan tersebut? Mungkin secara sepintas lalu saja
kita sudah dapat mengatakan bahwa tidak semua pelancong berasal dari negeri yang
berbahasa Inggris, dan tidak semua pelancong asing menguasai bahasa Inggris. Bila
semua tadi untuk melayani pelancong asing, maka selain tanda-tanda itu harus ditulis
dalam bahasa Inggris, juga dalam bahasa Jepang, bahasa Cina, bahasa Prancis, bahasa
Jerman, bahasa Italia, bahasa asing lainnya. Pendek kata, tanda-tanda bertulisan bahasa
Inggris sama sekali tidak menolong. Juga dalam segi lain tidak terlalu menolong:
sekarang ini tidak sedikit orang di luar negeri berusaha belajar bahasa Indonesia dengan
harapan supaya bahasa itu dapat dipergunakan bila mereka dating di Indonesia.
Mungkin usaha itu pasti dirasakan sia-sia, karena ternyata meraka tidak perlu
mempergunakan bahasa Indonesia di Indonesia. Jadi, tanda-tanda berbahasa Inggris
tidak mendorong orang untuk belajar dan mempergunakan bahasa Indonesia, dan tidak
pula menolong orang untuk memahami kebudayaan Indonesia.
Dengan alasan bahwa kita harus melayani pelancong asing ini tampaknya
sudah menjadi pendirian beberapa instansi pemerintah, yang kemudian ditiru oleh
badan-badan di luar pemerintah. Berkali-kali kita melihat iklan-iklan pengumuman
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 9
yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah yang ditulis dalam bahasa Inggris.
Alasannya pasti: ini untuk perusahaan-perusahaan asing! Tidaklah instansi-instansi
pemerintah itu tahu bahwa perusahaan-perusahaan asing mempunyai pegawai-pegawai
bangsa Indonesia yang tahu bahasa Indonesia? Bukankah tidak sedikit pula pegawai-
pegawai asing yang menguasai bahasa Indonesia? Kalau mereka tidak menguasai, pada
umumnya mereka berusaha untuk belajar bahasa Indonesia. Seperti halnya penggunaan
tanda-tanda berbahasa Inggris tersebut di atas, penggunaan bahasa Inggris dalam iklan-
iklan yang dikeluarkan instansi-instansi pemerintah terjadi karena “PROSES
KOMUNIKASI SOSIAL TIDAK DIPAHAMI” dan karena “NILAI-NILAI
KEBUDAYAAN BANGSA SENDIRI TIDAK DIHARGAI”.
Tetapi ada yang lebih gawat daripada itu, Pasal 36 Undang-undang Dasar
1945 menyebutkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa
bahasa Indonesia adalah alat komunikasi resmi. Instansi pemerintah adalah instansi
resmi, iklan pengumuman yang dikeluarkan instansi pemerintah adalah komunikasi
resmi, jadi wajib dinyatakan dalam bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia. Bagi pembaca
tentulah jelas apa implikasi tindakan instansi pemerintah yang tidak mempergunakan
bahasa negara di wilayah Negara Republik Indonesia.
Bertolak dari fakta di atas, ada pertanyaan yang mengatakan, apakah bahasa
Indonesia berpotensi hilang?
Ungkapan bahwa bahasa Indonesia berpotensi hilang jika: (1) sikap negatif
pemakai bahasa Indonesia tidak bisa diperbaiki dan diganti oleh sikap positif; (2) tidak
ada upaya pengembangan, pembinaan, pelestarian bahasa dan sastra Indonesia.
Kekhawatiran akan hilangnya bahasa Indonesia sebagai sesuatu hal yang wajar
berdasarkan kenyataan dan fakta yang ada. Akan tetapi, yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia secara konkret dapat menumbuhkembangkan
dan melestarikan bahasa Indonesia di semua aspek kehidupan dan aktivitas, di samping
tugas para penyuluh dan pembina bahasa Indonesia di Pusat Bahasa dan balai-balai
bahasa di seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, ada anggapan bahwa selama orang Indonesia masih ada, bahasa
Indonesia tidak akan punah. Anggapan itu mulai diuji kebenarannya, dan pembuktian
tidak dapat dilakukan sekarang karena akan memerlukan jangka waktu yang panjang.
Seandainya anggapan yang meyerupai slogan itu benar, yang perlu diterangkan adalah
bagaimana upaya menjaga keberadaan bahasa Indonesia itu pada waktu-waktu yang
akan datang. Pernyataan itu diajukan mengingat adanya kenyataan yang menunjukan
bahwa semangat generasi muda (disebut kaum melenial) memiliki bahasa Indonesia
dewasa ini tidak sama dengan semangat generasi muda tahun 1928 untuk
memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia pada
waktu yang akan datang akan berbeda dengan bahasa Indonesia dewasa ini. Gejala-
gejala yang akan mengarah ke kenyataan itu sudah terlihat pada saat ini, baik dari sikap
generasi muda terhadap bahasa Indonesia maupun dari aspek kebahasaan sendiri yang
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 10
selalu mengalami perubahan, seperti pengaruh bahasa jawa, bahasa gaul, bahasa alay,
bahasa prokem, dan lainnya. Hal itu menggambarkan sikap generasi muda terhadap
bangsa Indonesia dengan sikap yang berbeda-beda tergantung dari latar belakang
budaya dan pendidikan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, ada anggapan lain yang menyatakan
bahwa keadaan bahasa di Indonesia memang unik: sejak bahasa Melayu menjadi akar
bahasa persatuan dan di beri nama bahasa Indonesia pada tahun 1928, yang terjadi ialah
ada bahasa baru yang hidup dan berkembang secara pesat dan alami yang bernama
bahasa Indonesia, di samping bahasa Melayu dengan pelbagai dialeknya yang tetap
hidup subur, serta ratusan bahasa daerah dengan ribuan dialek yang tetap tahan dan
hidup didukung penuturnya. Walaupun semuanya itu mengalami perubahan yang cukup
dasyat (karena pengaruh bahasa Indonesia dan tata pergaulan baru antarbangsa dan
kemajuan peradaban dalam abad ini), tidak ada tanda-tanda bahwa bahasa-bahasa itu
akan mati, bahkan yang Nampak pada saat ini ialah tumbuhnya keanekaragaman
sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Yang diuntungkan oleh situasi yang demikian ialah
linguistic atau ilmu bahasa: Indonesia menjadi medan bahasa yang tidak akan habis
diteliti sampai kapan pun. Oleh karena itu, kegiatan penelitian bahasa telah dan akan
terus menghasilkan temuan-temuan yang bermanfaat sebagai data dan sekaligus
memperkaya teori tentang bahasa.
Menyadari anggapan dan masalah-masalah yang demikian, bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang masih hidup tidak dapat menghindarkan diri dari tutuntan
perkembangan masyarakat pemakainya. Perkembangan bahasa Indonesia telah terjadi
sepanjang masa, dapat dibuktikan dengan terdapatnya perbedaan antara bahasa
Indonesia zaman terdahulu (Ejaan Lama) sampai dengan bahasa Indonesia dewasa ini
(PUEBI). Perbedaan itu telah menimbulkan pertentangan antara mereka yang ingin
mempertahankan bahasa Indonesia secara baik dan benar seperti semula, dan generasi
muda yang ingin agar bahasa Indonesia dapat berkembang sesuai perkembangan
zaman. Hal ini senada dengan hakikat bahasa yaitu bahasa bersifat dinamis atau
berkembang. Dalam hubungan ini, upaya untuk mewujudkan bahasa Indonesia agar
dapat dimiliki oleh semua komponen atau elemen bangsa Indonesia, baik di dalam
negeri maupun luar negeri diperlukan upaya kebersamaan dalam pembinaan berbahasa
Indonesia. Upaya kebersamaan tersebut harus dilakukan semua komponen baik dari
ranah keluarga, sosial, pendidikan, budaya, dan pemerintahan secara
berkesinambungan. Untuk mewujudkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan
benar dapat dilakukan berbagai upaya strategis dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Salah satunya adalah dosen, guru, dan mahasiswa, serta siswa memiliki tupoksi
pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia di ranah Pendidikan. Peluang
pengembangan bahasa Indonesia semakin terbuka lebar di perguruan tinggi karena
dikeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI.kep./2006 tentang rambu-
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 11
rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di
perguruan tinggi, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Merujuk pada SK tersebut Bahasa Indonesia harus diajarkan di
semua program studi, baik D-3 maupun S1 sebagai mata kuliah pengembangan
kepribadian. Dengan demikian, semakin lebar peluang untuk mengembangkan bahasa
Indonesia baik secara lisan maupun tulis untuk semua mahasiswa dan pelajar yang
berlatar belakang geografis berbeda-beda.

1.4 Mengindonesiakan Bahasa Indonesia


Wacana sejak lama tentang kemungkinan dan harapan bahasa Indonesia
menjadi bahasa internasional, makin lama terasa semakin berhadapan dengan banyak
situasi yang ironis. Situasi seperti itu merupakan wujud ketidakberdayaan masyarakat
Indonesia dalam membendung derasnya arus budaya global. Suatu keniscayaan yang
tidak bisa dihindari oleh bukan hanya orang-orang Indonesia. Dari sisi lain, disadari
atau tidak, hal tersebut bisa diinterpretasi sebagai wujud pengebawahan bahasa
Indonesia oleh orang Indonesia sendiri. Dalam konteks sosiolinguistik, semua itu bisa
juga dimaknai sebagai situasi bahasa Indonesia yang masih kurang mengindonesia.
Perlu ditegaskan, keberadaan bahasa Indonesia tidak semata sebagai bahasa nasional,
melainkan sebagai lambang jatidiri bangsa. Lebih jelasnya juga sebagai lambang
kebanggaan bangsa Indonesia, alat pemersatu bangsa dan juga alat pen
ghubung antara budaya dan daerah yang tersebar di segala penjuru.
Undang-Undang Dasar, GBHN, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, sifatnya mengindonesia. Semua
itu mengindonesia karena pesan-pesan, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran yang
disampaikannya berkaitan dengan dengan kepentingan bangsa dan negara. Kerena
pesan-pesan, gagasan-gagasan, dan pemikiran-pemikiran bersangkut paut dengan
kepetingan bangsa dan negara, maka bahasanya mengindonesia. Artinya, kaidahnya
mengindonesia, kosa katanya mengindonesia, dan gagasan tiap kalimat dapat dengan
mudah ditangkap oleh pemakai bahasa Indonesia di seluruh Indonesia.
Dari sanalah lahir pengertian (konsep) bahasa Indonesia yang
mengindonesia, Dapat dikatakan, bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang
‘berwajah’ Indonesia, ‘berbau’ Indonesia, dan ‘bernafas’ Indonesia. Dapat dikatakan
pula, bahwa bahasa Indonesia yang mengindonesia ialah bahasa Indonesia yang tidak
mempribadi, tidak mendaerah, dan tidak mengasing. Ada ciri lain yang menandai
bahasa Indonesia yang mengindonesia, yaitu ternyata Undang-Undang Dasar, GBHN,
Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan
Menteri bersuasana resmi (bersituasi formal), bersuasana kenegaraan. Jadi, bahasa

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 12


Indonesia yang mengindonesia ditentukan oleh suasana resmi, yang sekaligus
bermuatan kepentingan bangsa dan negara.
Dengan titik tolak ciri-ciri tersebut, dapatlah dikatakan, media massa itu
bersuasana resmi kerena bertalian erat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Demikian juga kongres, konferensi, musyawarah nasional, rapat dinas, seminar,
penataran, dan lokakarya, sudah barang tentu, disertasi, tesis, skripsi, laporan
penelitian, dan makalah bisa dikatakan bersuasana resmi. Wajarlah, dalam kesempatan-
kesempatan resmi itu, maka dituntut penggunaan bahasa Indonesia yang
mengindonesia, sehingga bahasa Indonesia yang tidak mengindonesia (mempribadi,
mendaerah, mengasing) perlu diindonesiakan. Atau secara singkat, kita perlu
mengindonesiakan bahasa Indonesia dalam suasana resmi. Semua itu sesuai Undang-
Undang Dasar 1945, pasal 36, yang berbunyi “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.
Tantangan lain yang dihadapi bahasa Indonesia ialah kata-kata asing.
Pengguanaan kata-kata asing secara membabi-buta hanya melahirkan bahasa Indonesia
yang mengasing (berbau asing, berwajah asing). Di saat banyak negara lain yang
bersemangat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, justru sebaliknya,
banyak sekali orang Indonesia sendiri memperlakukannya dengan kurang simpatik,
yang di antaranya dengan lebih menonjolkan unsur-unsur bahasa asing. Akibatnya,
bahasa Indonesia terkesan kurang meng-Indonesia.
Semua itu tentu semestinya cukup menggelisahkan hati dan pikiran orang
Indonesia yang peduli akan kepribadian dan harga diri kebangsaannya.di tengah-tengah
bangsa lain. Bagaimana tidak? Ibarat seseorang yang diundang hadir dalam suatu pesta,
normalnya, tentulah akan merasa malu apabila pakaian yang dikenakannya terlalu besar
atau terlalu kecil, sana-sini banyak tambalan, penataan bentuk dan warnanya kurang
serasi, kualitas kainnya rendah, dan sebagainya. Akibatnya, kepribadian dan atau harga
dirinya terasa rendah, sehingga kurang simpatik dan meyakinkan.
Demikian pula dengan bahasa Indonesia. Kalau ada kesadaran bahwa bahasa
Indonenesia sedang diminati oleh bangsa lain, yang oleh karenanya berpotensi menjadi
bahasa internasional, semestinya bangsa Indonesia juga akan menjadi malu apabila
tidak selalu mengupayakan untuk bisa selalu setia, peduli, bangga, dan merasa memiliki
bahasa Indonesia.
Ciri lain yang menandai bahasa Indonesia, yaitu pesan, gagasan, nalar,
pemikiran, yang mengindonesia. Jika kalimat-kalimat yang mengandung pesan,
gagasan, nalar, pemikiran itu rancu, kacau-balau, berbelit-belit, maka kalimat yang
sepert itu disebut bahasa yang tidak mengindonesia, tetapi mempribadi karena hanya
dapat dinikmati oleh benak pemakainya sendiri.
Pada akhirnya, kita masih harus bekerja keras untuk bahasa Indonesia. Demi
jati diri bahasa Indonesia, maka ciri pribadi, ciri daerah, dan ciri asing perlu ditekan
sedalam-dalamnya, sehingga yang tampil ke permukaan dalam suasana resmi hanyalah
bahasa Indonesia yang mengindonesia. Kemajuan pesat pada semua sektor
BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 13
pembangunan tidak boleh mengakibatkan kita lupa daratan. Bila kita lupa daratan, salah
satu dampaknya ialah, bahasa Indonesia tenggelam. Menenggelamkan bahasa
Indonesia, berarti bunuh diri.

1.5 Buta Bahasa Indonesia


Penuntasan buta aksara menjadi salah satu fokus program pemerintah dalam
pelik bahasa Indonesia. Sejarah mencatat, pada awal kemerdekaan tahun 1945 jumlah
penduduk buta aksara mencapai 97 persen. Sedangkan data terakhir pada tahun 2018
mengenai buta bahasa Indonesia yang dirilis pada laman Kemendikbud tanggal 29
Agustus 2019 menunjukkan bahwa pemerintah berhasil menekan jumlah penduduk
buta aksara. Data tersebut merupakan data yang cukup menggembirakan dari Survei
Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2018, jumlah penduduk buta aksara turun menjadi
3,29 juta orang, atau hanya 1,93 persen dari total populasi penduduk yaitu 268 juta
lebih penduduk Indonesia.
Pada tahun 2017, jumlah penduduk buta aksara tercatat 3,4 juta orang,
namun pada tahun 2015, jumlah penduduk buta aksara telah berkurang menjadi 3,4
persen atau sebanyak 5,6 juta orang. Begitu pula, dalam ceramahnya yang berjudul
Bahasa Indonesia Menyongsong Tahun 2000 pada tangga 20 Agustus 1985 di Jakarta,
Anton M. Moeliono mengatakan bahwa lima puluh delapan juta penduduk Indonesia
(5,8 juta orang) atau 39 persen penduduk Indonesia diperkirakan tidak mengenal bahasa
Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan data terakhir, dapat dikatakan pula bahwa
3,29 juta penduduk Indonesia itu tidak mengenal bahasa Indonesia dan buta aksara
bahasa Indonesia, atau hanya dapat berbahasa daerah (berbahasa ibu).
Itu artinya, tak mengenal bahasa Indonesia berarti tidak dapat berbahasa
Indonesia. Tidak dapat berbahasa Indonesia berarti buta bahasa Indonesia. Buta bahasa
Indonesia berarti buta aksara dan buta pengetahuan dasar. Ketiga buta itulah yang
sedang diperangi oleh pemerintah. Ketiga jenis buta itu erat sekali, tidak dapat
dipisahkan dengan yang lain. Karena itu, buta bahasa Indonesia berarti buta aksara dan
buta pengetahuan dasar.

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 14


Jika bahasa Indonesia identik dengan kemajuan, maka buta bahasa Indonesia
berarti buta kemajuan. Bila bahasa Indonesia bahasa pembangunan, maka buta bahasa
Indonesia berarti buta pembangunan. Buta kemajuan dan buta pembangunan sama
dengan kebodohan. Kalau begitu, 3,29 juta penduduk Indonesia masih terkuruh di
dalam kebodohan. Ironis sekali. Semoga berita tersebut tidak benar. Jika berita tersebut
benar, maka kita dapat memahami Ibu Pertiwi menangis setelah mengetahui sebagian
putra-putrinya hidup dalam keterasingan dan kebodohan. Kita dapat memahami para
pendiri republik ini marah, karena 3,29 juta orang Indonesia belum dapat menikmati
hasil kemerdekaan. Keharuan tersebut bukan tidak mendasar, lembaran-lembaran
sejarah kini berbicara kepadanya. Sumpah Pemuda mengumandangkan: “Kami, putra-
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 menyebutkan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu antaranya
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dan butir ke-5 Pancasila berbunyi “ keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jadi, sudah sesuaikah nasib 3,29 juta penduduk Indonesia yang buta bahasa
Indonesia dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang tertuang ke dalam
Sumpah Pemuda, Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan Pancasila? Kita tidak
mengingkari kenyataan bahwa kurang lebih 265 juta lebih penduduk Indonesia sudah
maju, sudah bebas dari keterasingan dan kebodohan, sudah dapat menikmati hasil
pembangunan. Pada akhirnya, kita sampai pada pendapat bahwa pemerintah sudah
berupaya untuk mencerdaskan bangsa dan berupaya untuk bersikap adil bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Di sisi lain, kadar yang lebih tinggi daripada kenyataan di atas, kita harus
mengakui bahwa alih teknologi muktahir, yang canggih sekalipun, tengah berlangsung
di negeri ini. Atas dasar itu, 3,29 juta penduduk Indonesia yang buta bahasa Indonesia
itu tinggal di dusun-dusun terpencil, yang tidak terjangkau komunikasi modern, yang
tidak terpijak derap pembangunan. Tidak mengherankan, mereka hanya dapat
berbahasa daerah (bahasa ibu). Mereka tidak terlibat sama sekali dalam komunikasi
yang menggunakan bahasa Indonesia, sehingga apa yang menimpa 3,29 juta penduduk
Indonesia itu hanyalah ‘kecelakaan’, kasus yang berkaitan dengan terbatasnya

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 15


kemampuan serta keutamaan. Kendati demikian, kasus itu tidak boleh diremehkan,
apalagi dilupakan.
Lebih dalam lagi, perlu kita ketahui, bahwa sesungguhnya ada dua jenis buta
bahasa Indonesia, yaitu buta sama sekali bahasa Indonesia dan buta bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Buta sama sekali bahasa Indonesia diderita oleh orang-orang
Indonesia bukan oleh orang-orang terpelajar, yang hanya dapat berbahasa daerah.
Dalam hal ini, masyarakat yang berbahasa derah bahasa Melayu merupakan
kekecualian. Sedangkan buta bahasa Indonesia yang baik dan benar disandang oleh
orang-orang Indonesia terpelajar, yang dapat berbahasa Indonesia dan berbahasa
daerah.
Sudah jelas, buta bahasa Indonesia yang baik dan benar mencakup buta
bahasa negara dan buta kaidah. Buta bahasa negara terlihat pada orang-orang Indonesia
yang berbahasa Indonesia secara santai dalam situasi resmi. Sedangkan buta kaidah,
mencakup (1) buta tata bahasa, (2) buta ejaan, (3) buta pemakaian kata baku, (4) buta
struktur kalimat, (5) buta penalaran makna, (6) buta pemakaian kata hemat dan cermat,
dan sebagainya. Betapa banyaknya orang Indonesia yang buta bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Tak terasingkan lagi, ada banyak orang Indonesia yang buta sama
sekali bahasa Indonesia. Lantas kemudian dapatkah penyakit buta bahasa Indonesia
yang baik dan benar itu disembuhkan? Kalau dapat, apa obatnya? Atau jangan-jangan,
mereka tidak merasa mengidap penyakit buta bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Alwi, Hasan. 2003. “Fungsi Politik Bahasa”. Dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono
(Editor). Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Arifin, E. Zaenal. 2014. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada Era Teknologi
Informasi. Jakarta: Pustaka Mandiri.

Badudu, J. S. 1996. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 16


Effendi, S. 2015. Tata Bahasa Acuan Bahasa Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: PT
Pustaka Mandiri.

Halim, Amran. 1976. “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia”. Dalam Amran Halim
(Editor). Politik Bahasa Nasional Jilid 2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Edisi Kedua. Ende
Flores: Nusa Indah.

Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan


Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi,
Pembinaan, dan Pengembangan. Cetakan Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Rohmadi, Muhammad dan Aninditya Sri Nugraheni. 2011. Belajar Bahasa Indonesia:
Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Cetakan Pertama.
Surakarta: Cakrawala Media.

Sumowijoyo, Gatot Susilo. 2000. Pos Jaga Bahasa Indonesia. Cetakan Pertama.
Surabaya: Unipress Universitas Negeri Surabaya (UNESA)

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-
menjadi-329-juta

BAB I PENGANTAR BAHASA INDONESIA 17

Anda mungkin juga menyukai