Anda di halaman 1dari 6

kelompok 3 PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

anggota :

maulidha apriliani

elsa

muhammad azka jahrani

dhani maulana akbar

dimas saputra

Perkembangan Teknologi

Kebudayaan menurut Selo Soemardjan adalah hasil karya cipta dan rasa manusia. Adapun hasil
kebudayaan manusia terbagi dalam tiga wujud, yaitu artefak, gagasan, dan aktivitas. Dalam kehidupan
sehari-hari ketiga wujud kebudayaan tersebut dapat dicontohkan dengan dua hasil kebudayaan yang
utama. Wujud artefak (benda) dicontohkan dengan alat-alat teknologi. Sementara itu, gagasan dan
aktivitas dapat dicontohkan dengan sistem kepercayaan.

1.Penemuan Teknologi Batu dan Tulang

Teknologi dapat diartikan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang
diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Sejak zaman praaksare, manusia sudah
mengenal teknologi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka mengembangkan
teknologi peralatan batu, gerabah, dan logam. Manusia purba juga mengenal penggunaan api untuk
berbagai keperluan seperti memasak, menghangatkan badan, alat penerangan, dan mengusir binatang
buas. Berbagai pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia purba menarik untuk
dipelajari.

Dalam tingkat sederhana manusia purba telah mengenal peralatan dari batu dan tulang. Peralatan ini
sudah berkembang sejak zaman paleolitikum sekira 600.000 tahun lalu. Peralatan batu pada zaman ini
masih sangat sederhana karena memiliki bentuk kasar. Peralatan tersebut sebagian besar digunakan
sebagai alat untuk mencari makanan. Dalam perkembangannya, alat-alat batu yang dibuat oleh manusia
purba terus berevolusi menjadi bentuk yang lebih halus. Fungsinya pun beragam, mulai dari alat
pertanian hingga media pemujaan dan alat pembayaran dalam kegiatan barter. Kondisi ini menunjukkan
bahwa kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi peralatan batu semakin berkembang seiring
meningkatnya kebutuhan hidup. Perkembangan teknologi batu dan tulang pada masa praaksara dapat
Anda pelajari dalam uraian berikut.
a. Kebudayaan Pacitan

Peninggalan alat-alat batu dari kebudayaan Pacitan pertama kali diteliti oleh von Koenigswald pada
tahun 1935. Di daerah Pacitan, Jawa Timur, von Koenigswald menemukan banyak peninggalan budaya
berupa kapak perimbas (chooper). Alat tersebut berbentuk kapak dan terbuat dari batu yang sangat
kasar. Kebudayaan Pacitan diperkirakan berasal dari lapisan pleistosen tengah (lapisan Trinil).
Pendukung kebudayaan Pacitan adalah Homo erectus.

Kapak perimbas yang merupakan bagian kebudayaan Pacitan memiliki ciri antara lain berbentuk besar,
masif, dan kasar. Selain itu, kulit batunya masih melekat pada permukaan alat. Daerah persebaran kapak
perimbas terutama di tempat-tempat yang mengandung banyak batuan. Tempat tempat penemuan
tradisi kapak perimbas antara lain Pacitan, Jawa Timur; Lahat, Sumatra Selatan; Awangbangkal,
Kalimantan Selatan, Sukabumi, Jawa Barat, dan Gombong, Jawa Tengah.

b.Kebudayaan Ngandong Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong, Jawa Timur.


Sebagian besar peralatan yang ditemukan di Ngandong terbuat dari tulang, tanduk, dan duri ikan. Oleh
karena itu, kebudayaan Ngandong biasa disebut disebut kebudayaan tulang. Alat-alat tulang dari
kebudayaan Ngandong ditemukan oleh von Koenigswald pada tahun 1941. Beberapa alat yang
ditemukan dalam antara lain penelitian ini antara lain alat ponusuk seperti belati yang terbuat dari
tulang dan tanduk rusa di Gua Sampung Alat tersebut diduga berfungsi untuk mengorek ubi dan keladi
dari dalam tanah.

Dalam penelitian ini von Koenigswald juga menemukan beberapa alat seperti ujung tombak dengan gigi-
gigi pada sisinya. Alat ini kemungkinan digunakan untuk menangkap ikan. Alat-alat dari kebudayaan
Ngandong berasal dari lapisan pleistosen atas. Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo
wajakensis dan Homo soloensis. Manusia purba jenis ini belum mengenal budaya bercocok tanam.
Mereka masih hidup sederhana dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan.

2.Pembuatan Tempat Tinggal di Pantai dan Gua

Kehidupan manusia purba pada zaman lebih baik dibanding zaman paleolitikum. Pada zaman esolitikum
manusia purba sudah mengenal pola hidup menetap walaupun mereka masih mencari

makanan dengan cara berburu dan menangkap ikan. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berada
di

tepi pantai dan gua. Informasi ini diketahui dari penemuan kjokkenmoddinger dan abris sous roche.

a.Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark, yaitu kjokken dan modding Kjokken berarti dapur dan
modding berarti sampah. Dengan demikian, secara harfiah kjokkermoddinger dapat diartikan sampah
sampah dapur. Kjokkenmoddinger merupakan t atau tumpukan fosil Fosil kufit kerang dan siput yang
menggunung. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra dari daerah Langsa
(Aceh) hingga Medan (Sumatra Utara). Para ahli memperkirakan bahwa manusia purba yang hidup pada
zaman ini sudah menetap di tepi-tepi pantai dalam waktu lama. Fakta itu terlihat dari tinggi
kjokkenmoddinger yang mencapai tujuh meter.

Berbagai peninggalan manusia purba ditemukan di sekitar kjokkenmoddinger. Penelitian yang dilakukan
oleh Dr. van Stein Callenfels pada tahun 1925 berhasil menemukan sejumlah kapak genggam (chopper)
di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra. Kapak memiliki bentuk berbeda dengan kapak genggam dari
zaman paleolitikum. Kapak genggam ini kemudian diberi nama pebble atau kapak sumatra. Kapak
tersebut terbuat dari batu kali yang dipecah. Bagian sisi luar biasanya sudah memiliki permukaan halus
sehingga dibiarkan begitu saja. Sementara itu, sisi bagian dalam dibentuk sesuai keperluan.

b. Abris Sous Roche

Abris sous roche adalah gua yang menyerupai ceruk pada batu karang. Gua-gua ini pernah dijadikan
tempat tinggal manusia purba karena dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas, Keberadaan abris sous roche pertama kali ditemukan oleh Dr. van Stein Callenfels (1928-
1931) di Gua Lawa dekat Sampung,Ponorogo, Jawa Timur. Sebagian besar peralatan yang berhasil
ditemukan terbuat dari tulang dan tanduk rusa. Oleh karena itu, kebudayaan abris sous roche disebut
Sampung Bone Culture. Selain itu, Alfred Buhler pernah menemukan flakes dan ujung mata panah
terbuat dari batu di sebuah gua di Toala. Sulawesi Selatan, Rote, dan Timor.

3. Mengenal Api

Api termasuk penemuan fenomenal bagi kehidupan manusia. Api diperkirakan ditemukan pada 400.000
tahun lalu. Beberapa peneliti memperkirakan penemuan api terjadi pada periode manusia purba jenis
Homo erectus. Manusia purba menemukan api secara tidak sengaja saat petir menyamber pohon-pohon
di sekitar lingkungan koloni mereka. Sejak penemuan api, kehidupan manusia purba menjadi lebih maju.
Mereka kemudian mengenal teknologi memasak dengan cara membakar makanan dan mencampurkan
ramuan tertentu sebagai bumbu. Selain itu, manusia menggunakan api sebagai penerangan dan
penghangat badan dari kondisi cuaca dingin. Mereka juga menggunakan api sebagai senjata untuk
mengusir binatang buas.

Pada masa bercocok tanam manusia menggunakan api untuk membuka hutan. Mereka menebang
pohon-pohon berukuran besar lalu membakarya (slash and burn) agar lahan menjadi bersih dan mudah
ditanami. Sistem pertanian tersebut dikenal sebagai ladang berpindah. Sampai saat ini sistem ladang
berpindah masih tetap dilakukan oleh sebagian penduduk Indonesia yang tinggal di Kalimantan dan
Sumatra.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan batu api dan menggosokkan kayu.
Sebenarnya membenturkan dua batu api merupakan cara mudah untuk membuat api. Pada saat dua
batu api dibenturkan, akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian diarahkan pada
dedaunan kering, lumut, dan rumput halus yang mudah terbakar. Setelah itu, nyala ap! diperbesar
dengan menambahkan kayu bakar. Akan tetapi, pada masa praaksara pengetahuan manusia purba
terhadap jenis batuan api masih sangat terbatas. Batu api juga merupakan jenis bebatuan yang sulit
diperoleh. Oleh karena itu, manusia purba cenderung mengembangkan pembuatan api dengan cara
menggosokkan kayu. Sepotong tongkat kayu keras apabila digosokkan pada kayu lainnya akan
menghasilkan panas karena gesekan. Semakin cepat gesekan dilakukan, panas yang dihasilkan pun
dapat menimbulkan api.

4. Revolusi Hasil Kebudayaan Kebudayaan masa praaksara berkembang pesat pada zaman neolitikum.
Pada zaman neolitikum telah terjadi revolusi kebudayaan, yaitu terjadinya perubahan pola hidup
manusia. Revolusi hasil kebudayaan tidak terlepas dari kemunculan manusia purba jenis Homo sapiens.
Mereka dianggap sebagai pendukung utama kebudayaan zaman neolitikum. Bentuk revolusi
kebudayaan yang terjadi pada masa praaksara sebagai berikut.

a. Kebudayaan Kapak Persegi

Kapak persegi merupakan batu yang garis irisannya melintang sebuah bidang segi panjang atau ada juga
yang berbentuk trapesium, Kapak persegi pertama kali ditemukan oleh Robert von Heine Geldern.
Kapak. persegi dibagi menjadi dua kategori, yaitu beliung dan tarah. Beliung untuk ukuran besar
sedangkan tarah untuk ukuran kecil.

Daerah tempat penemuan kapak persegi antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggera, Maluku,
Sulawesi, dan Kalimantan. Sementara itu, tempat pembuatan kapak persegi berada di Lahat, Bogor,
Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan, dan Gunung Ijen. Batu api dan batu kalsedon merupakan
bahan yang dipakai untuk membuat kapak persegi.

b. Kebudayaan Kapak Lonjong

Kapak lonjong disebut juga kapak neolitikum papua. Nama itu berkaitan dengan banyaknya penemuan
kapak lonjong di daerah Papua. Tempat penemuan lainnya di Seram, Sorong, Tanimbar, Leti, Minahasa,
dan Serawak (Kalimantan). Istilah kapak lonjong diberikan berdasarkan penampang alatnya yang
berbentuk lonjong Kapaknya sondiri berbentuk bulat telur Bagian yang berbentuk lancip digunakan
sebagai tangkai dan bagian yang bulat diasah menjadi tajam. Ada dua macam kapak lonjong, yaitu
walzeinbell (bentuknya besar) dan kleinbell (bentuknya kecil) Kapak watzeinbell sebagian besar
ditemukan di Papua. Kapak inilah yang sering disebut neolitikum papua. Adapun kapak kleinbeil
sebagian besar ditemukan di Kepulauan Tanimbar dan Seram.
c. Peralatan Logam

Manusia sudah memiliki keterampilan dalam membuat peralatan dari logam sejak zaman perundagian
Peralatan logam yang dibuat sebagian besar berasal dari perunggu. Perunggu adalah logam campuran
antara timah dan tembaga. Ketika digosok, perunggu akar. terlihat mengkilat seperti emas. Peninggu
merupakan logam yang kuat sehingga dapat digunakan untuk berbagai peralatan upacara, perkakas
rumah tangga, dan senjata.

Kebudayaan perunggu telah berkembang di Tiongkok sejak tahun 2700 sebelum Masehi. Dari peradaban
Langsa Tiongkok, kebudayaan perunggu menyebar ke Indonesia. Bangsa Indonesia mengenal
kebudayaan perunggu akibat pengaruh kebudayaan Dongson dari Indo-Cina yang masuk pada tahun 500
sebelum Masehi. Peninggalan zaman perunggu di Indonesia antara lain kapak corong, nekara, bejana
perunggu, dan arca perunggu.

d. Gerabah

Manusia sudah mengenal pembuatan gerabah sejak zaman neolitikum. Garabah dibuat dari campuran
tanah liat dan pasir. Pada zaman ini teknologi yang digunakan masih sederhana karena menggunakan
teknik tangan. Sejak penyiapan bahan dasar hingga pembuatan bentuk dan penyelesaian akhir hanya
menggunakan tangan. Teknik ini terutama digunakan pada masa kehidupan bercocok tanam dan
beternak Gerabah yang dibuat pada masa ini masih berbentuk tebal dan kasar seperti periuk, cawan,
piring, dan pedupaan. Pembuatan gerabah mengalami per kembangan pesat pada masa perundagian.
Per kembangan ini seiring ditemukannya teknik tatap batu.

Teknik tatap batu adalah teknik pembuatan gerabah dengan menggunakan sebilah papan kecil
bergagang (tatap) untuk meratakan permukaan luar gerabah (dengan memukul-mukulkar. tatap) dan
sebuah batu bulat untuk menekan bagian dalam gerabah. Dalam pembuatan gerabah tersebut juga
digunakan roda pemutar untuk menghasilkan permukaan yang halus dan tipis. Pembuatan gerabah
dengan teknik tatap batu mulai berkembang pada masa perundagian. Sampai sekarang teknik ini masih
dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

Gerabah masa perundagian memiliki ciri bentuk tipis dan permukaan halus. Perajin gerabah pada masa
ini sudah mampu menghasilkan gerabar berukuran besar sebagai tempat penguburan mayat. Gerabah
gerabah peninggalan masa perundagian ditemukan di daerah Gilimanuk (Bali), Kalumpang (Sulawesi
Selatan), Tangerang, Kendenglembu (Jawa Timur), dan Kelapa Dua (Jakarta).

5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)


Masyarakat praaksara telah mampu menibuat desain arsitektur walaupun dalam tingkat yang
sederhana Menurut Spiro Kostof, arsitektur praaksara dimulai sejak masyarakat mampu mengolah
lingkungan sekitar. Masyarakat praaksara mampu membuat tanda-tanda tertentu untuk membedakan
wilayah tempat tinggal dan wilayah lain. Tindakan membuat tanda tersebut dapat dikatakan sebagai
bentuk awal arsitektur.

Bentuk arsitektur pada masa praaksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia purba. Dalam bentuk
sederhana, mereka mampu membangun tempat tinggal. Salah satu faktor yang memengaruhi
masyarakat pada masa praaksara membangun tempat tinggal adalah berkembangnya pola mata
pencanarian. Seiring berjalannya waktu masyarakat mengenal sistem berburu dan pertanian berpindah
hingga pola permukiman menetap.

Arsitektur dalam tempat tinggal masyarakat pada masa praaksara dapat dilihat dengan adanya gambar-
gambar pada dinding gua. Gambar-gambar tersebut tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari,
tetapi juga kehidupan spiritual, Gambar-gambar tersebut berupa cap tangan atau lukisan. Cap tangan
dan lukisan gua yang ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan sering dikaitkan dengan ritual
penghormatan terhadap nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi.

Anda mungkin juga menyukai