Resume
Pertemuan 9-15
Dosen Pengampu
Dra. Zulmiyetri, M.Pd
Oleh
Rimal (18004091)
E. Anak Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata.kelainan lebih banyak
terjadi pada perilaku sosialnya.
Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kelainan perilaku social ini adalah :
a) Berdasarkan perilakunya
Beresiko tinggi ; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak
milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit berkonsentrasi, tidak mau bekerja
sama, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak
bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
Beresiko rendah ; autism, khawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak
mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis,
malu, dan sebagainya.
Kurang dewasa ; suka berfantasi, berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya.
Agresif ; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal
terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan
terbiasa minggat dari rumah.
b) Berdasarkan kepribadian
Kekacauan perilaku
Menarik diri(withdrawll)
Ketidakmatangan(immaturity)
Agresi social
C. Autis
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat
dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan
menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal.
Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita
Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin,
seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja
memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah
dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak
memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol
pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan
sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang
lain. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian
dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga
merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan
Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme
bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada
otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak
normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.Autisme adalah
yang terberat di antara PDD.
D. Anak Tunaganda
Anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua
jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius,
sehingga dia tidak hanya dapat diatasi dengan suatu program pendidikan khusus
untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program
pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.
Menurut Departemen Amerika Serikat, anak-anak yang tergolong tunaganda
adalah anak-anak yang mempunnyai masalah-masalah jasmani, mental, atau
emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut sehingga
agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan
pendidiikan sosial, psikology, dan medis yang melebihi pelayanan program
pendidikan luar biasa secara umum.
Menurut Johnston dan Magrab, Tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan
perkembangan mencangkup kelompok yang memiliki hambatan-hambatan
perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan
dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa atau hubungan pribadi
masyarakat.
3. Klasifikasi Tunaganda
Dari sekian banyak kemungkinan kombinasi kelainan, ada beberapa
kombinasi yang paling sering muncul dibandingkan kombinasi kelainan-kelainan
yang lainnya, yaitu:
Tunagrahita dengan Cerebral Palsy (CP). Terdapat suatu kecenderungan
untuk mengasumsikan bahwa anak-anak cerebral palsy (CP) anak-anak
tungrahita. Adapun penyebab terjadinya tunagrahita karena factor genetic atau
factor lingkungan sehingga adanya kerusakan pada sistem syaraf pusat yang
dapat menyebabkan rusaknya cerebral cortex sehingga menimbulkan
tunagrahita.
Tunagrahita dan tunarungu. Anak-anak tunarungu mengalami berbagai
masalah dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sementara pada anak
tunagrahita mengalami kelambanan dan keterlambatan dalam belajar. Pada
anak tunaganda hal tersebut mungkin saja dapat terjadi, ia mengalami
tunagrahita yang sekaligus tunarungu. Karena terdapatnya kombinasi tersebut
anak tunganda memerlukan pelayanan yang lebih banyak daripada anak-anak
yang mengalami tunagrahita dan tunarungu saja.
Tunagrahita dan masalah-masalah perilaku. Telah diketahui bahwa
tunagrahita terdapat hubungan antara tunagrahita dengan gangguan
emosional. Biasanya hubngan ini terjadi ada anak yang mengalami
tunagrahita berat. Adanya gejala-gejala bhwa tunagrahita yang cukup kuat dan
nyata menyertai atau bersama dengan gangguan emosional cendeurung untuk
diabaikan atau dikesampingkan. Ini berarti bahwa bagi anak-anak retardasi
mental, mereka tidak disarankan untuk memperoleh pelayanna psikoterapi
atau[un terapi perilaku, padahal perilaku-perilaku yang aneh pada anak adalah
merupakan gejala tunagrahita berat atau sangat berat.
Kelainan utama tunarungu dan tunanetra. Anak buta tuli adalah seorang
anak yang memliki gangguan penglihatan dan pendengaran, suatu gabungan
yang menyebabkan problema komunikasi dan perkembangan pendidikan
lainnya yang berat sehingga tidak dapat diberikan program pelayanan
pendidikan baik di sekolah yang melayani untuk anak-anak tuli maupun di
sekolah yang melayani untuk anak-anka buta, dengan penanganan yang baik
dan tepat, anak yang mengalami buta dan tuli masih bisa dididik dan berhasil.
A. Pengertian Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen.
Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai
proses penjaringan atau proses menemukan kasus yaitu menemukan anak yang
mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini terhadap anak
berkebutuhan khusus. Menurut Swassing (dalam Yuwono, 2015), identifikasi
mempunyai dua konsep yaitu konsep penyaringan (screening) dan identifikasi aktual
(actual identification). Menurut Wardani (dalam Yuwono, 2015), identifikasi
merupakan langkah awal dan sangat penting untuk menandai munculnya kelainan
atau kesulitan pada anak bekebutuhan khusus. Istilah identifikasi secara harfiah dapat
diartikan menemukan atau menemukenali. Istilah identifikasi anak berkebutuhan
khusus diartikan sebagai usaha seorang (orangtua, guru, tenaga kependidikan lainnya)
untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan sensoris neurologis dalam pertumbuhan/perkembangannya
dibandingkan anak-anak lain seusianya (Syamsi dan Haryanto, 2018: 2).
Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa identifikasi anak
berkebutuhan khusus adalah usaha awal untuk mengetahui apakah individu
mempunyai kelainan atau penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
B. Tujuan Identifikasi
Manning (dalam Syamsi dan Haryanto, 2018:3) berpendapat dalam usaha
pelaksanaan kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima
keperluan atau tujuan, yaitu (1) screening (penyaringan), (2) referral
(pengalihtanganan), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5)
pemantauan kemajuan belajar. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Screening (Penyaringan)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi
anak berkebutuhan khusus. Identifikasi berfungsi menandai anak-anak yang
menunjukkan gelaja-gejala seperti: sering sakit-sakitan, mudah mengantuk di dalam
kelas, sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima pelajaran, prestasi belajar selalu
di bawah rata-rata kelas, ataupun kesulitan untuk dibaca. Proses tersebut dapat
membantu mengetahui anak-anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu
sehingga tergolong anak berkebutuhan khusus (Nawangwulan, 2019).
2) Referral (Pengalihtanganan)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringanm
selanjutnya individu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak
yang perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani
sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak
yang perlu dikonsultasikan ke ahli lain terlebih dahulu (referral), seperti psikolog,
dokter, orthopedagog, dan terapis, kemudian ditangani oleh guru (Syamsi dan
Haryanto, 2018: 4).
3) Klasifikasi
Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan anak yang telah dirujuk
ketenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung
dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasarkan pemeriksaan tenaga
profesional ditemukan maslah yang perlu penanganan lebih lanjut (pengobatan,
terapi, dan sebagainya), guru lalu mengkomunikasikan kepada orangtua siswa yang
bersangkutan. Pada tahap klasifikasi, guru tidak mengobati atau memberi terapi
sendiri tetapi memfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak.
Guru hanya memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Jika tidak
ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak memerlukan penanganan lebih
lanjut, anak dapat dikembalikan ke kelas untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
khusus di kelas reguler (Syamsi dan Haryanto, 2018: 4).
4) Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan
program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari
klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat 8 kelainan) anak berkebutuhan khusus
memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain (Syamsi dan
Haryanto, 2018: 4).
5) Pemantauan Kemajuan Belajar
Kemajuan belajar dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran
yang diberikan berhasil atau tidak. Dalam kurun waktu tertentu, anak yang tidak
mengalami kemajuan yang signifikasi, perlu ditinjau kembali beberapa aspek yang
berkaitan, misalnya: diagnosis yang telah dibuat tepat atau tidak, program
pembelajaran individual (PPI), bimbingan belajar khusus yang dibuat sesuai atau
tidak, serta metode pembelajaran yang digunakan sesuai atau tidak (Nawangwulan,
2019).
C. Sasaran Identifikasi
1) Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah
seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus
(operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah:
Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya
tergolong anak dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari
tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau
menerimanya;
Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor
akademik.
2) Petugas Identifikasi
Untuk mengindentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan
Khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh: a) Guru kelas; b) Guru Mata
pelajaran/Guru BK; c) Guru Pendidikan Khusus; d) Orang tua anak; e) Tenaga
profesional terkait.
D. Strategi Pelaksanaan Identifikasi
1) Pelaksanaan Identifikasi
a. Menghimpun data anak. Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data
kondisi seluruh siswa di kelas (berdasarkan gejala yang nampak pada siswa)
dengan menggunakan Alat Indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
(AIABK).
b. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak. Pada tahap ini tujuannya
adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong Anak Berkebutuhan
Khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Terdapat daftar
nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri. Jika ada
anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai
dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar namanama anak
yang berindikasi kelainan. Sedangkan untuk anak-anak yang tidak
menunjukan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke
dalam daftar khusus tersebut.
c. Menginformasikan hasil analisis dan klasifikasi. Pada tahap ini, hasil
analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala
Sekolah, orang tua siswa, dewan komite sekolah untuk mendapatkan saran-
saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
d. Menyelenggarakan Pembahasan Kasus (Case Conference). Pada tahap ini,
kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data Anak
Berkebutuhan Khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat
melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali
siswa; (4) tenaga profesional terkait, jika tersedia dan memungkinkan; (5)
Guru Pembimbing/Pendidikan Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan
memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan 11 temuan
dari masing-masing guru mengenai hasil indentifikasi untuk mendapatkan
tanggapan dan cara-cara pencegahan serta penanggulangannya.
e. Menyusun Laporan Hasil Pembahasan Kasus. Pada tahap ini, tanggapan
dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan
dalam laporan hasil pertemuan kasus.