Anda di halaman 1dari 48

PENDIDIKAN INKLUSI

Resume
Pertemuan 9-15

Dosen Pengampu
Dra. Zulmiyetri, M.Pd

Oleh
Rimal (18004091)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
A. Anak Tunanetra
Tunanetra memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Secara pedagogis
membutuhkan pelayanan pendidikan khusus dan belajarnya di sekolah. Berdasarkan
tingkatannya, dibedakan atas :
a) Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Seseorang dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen
menunjukkan ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Sedangkan untuk
seseorang yang mengalami kelainan penglihatan kategori low vision (kurang lihat),
yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m.
kondisi yang demikian sesungguhnya penderita masih dapat melihat dengan bantuan
alat khusus. Selanjutnya untuk seseorang yang mengalami kelainan penglihatan
kategori berat, atau The blind, yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat
ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini masih ada
dua kemungkinan,
 Penderita adakalanya masih dapat melihat gerakan-gerakan tangan, ataupun
 Hanya dapat membedakan gelap dan terang.
Sedangkan tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan dengan visus 0,
sudah sama sekali tidak dapat melihat.
b) Berdasarkan Adaptasi Pedagogis
Kirk,SA (1989) mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan
kemampuan penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang
diperlukan. Klasifikasi yang dimaksud adalah :
 Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability), dimana pada taraf
ini mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan oleh
orang awas dengan menggunakan alat bantu kgusus serta dengan bantuan
cahaya yang cukup.
 Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability). Pada taraf ini,
mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun
dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka
membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan tugas-tugas visual.
 Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability). Pada
taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual,
dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail seperti
membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat memanfaatkan
penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan dan
pendengaran dalam menempuh pendidikan.
B. Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ
pendengaran atau telinga seorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan atau keterbatasan merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu
terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yaitu umum dan khusus. Ada
beberapa klasifikasi anak turarungu secara umum, yaitu :
a) Klasifikasi umum
 The deaf, atau tuli, yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan
tingkatan ketulian diatas 90 dB.
 Hard of hearing, atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu ringan atau
sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
b) Klasifikasi khusus
 Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 25-45 dB. Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf
ringan, dimana ia mengalami kesulitan untuk merespon suar-suara yang
datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara
pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah,
misalnya dengan menempatkan tempat duduk dibagian depat, dekat dengan
guru.
 Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 46-70 dB. Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf
sedang, dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jarak3-5 feet secara
berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak
yang mengalami ketunarunguan taraf inimemerlukan adanya alat bantu dengar
(hearing aid), dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan
irama.
 Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat
ketulian 71 – 90 dB. Seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat,
hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan
diperkeras. Siswa dengan kategori ini juga memerlukan alat bantu dengar
dalam mengikuti pendidikanya di sekolah. Siswa juga sangat
memerlukanadanya pembinaan-pembinaan atau latihan-latihan komunikasi
dan pengembangan bicaranya.
 Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang
mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang
sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa
merespon melalui getaran-getaran yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan
aktivitas lainnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan
kemampuan visual atau penglihatannya.
C. Anak Tungrahita
Anak dengan kelainan kecerdasan di bawah rata – rata sering disebut dengan
istilah tunagrahita. Klasifikasi tunagrahita yang dikemukakan oleh AAMD (Halaman,
1982:43) sebagai berikut:
a) Mild mental retardation (tunagrahita IQ-nya 70 – 55 ringan)
b) Moderate mental retardation (tunagrahita IQ-nya 55 – 40 sedang)
c) Severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 40 – 25 berat)
d) Profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25 ke bawah) (sangat berat).
Pengelompokkan tunagrahita berdasarkan kelainan jasmani (tipe klinis) :
a) Down Syndrome (Mongoloid). Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian
karena memiliki raut muka menyerupai orang mongol dengan mata sipit dan
miring, lidah tebal suka menjulur keluar, telinga kecil, kulit kasar, susunan
gigi kurang baik.
b) Kretin (Cebol). Anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan
pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, kulit kering, tebal dan keriput,
rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal,
pertumbuhan gigi lambat.
c) Hydrocephal. Anak ini memiliki ciri -ciri kepala besar, raut muka kecil,
pandangan dan pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.
d) Microcephal. Anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.
e) Macrocephal. Anak ini memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran
normal.
D. Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat
tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan
gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP), dengan
klasifikasi sebagai berikut :
Menurut tingkat kelainannya, anak-anak tunadaksa dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a) Cerebral Palsy (CP) :
 Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong
dirinya sendiri.
 Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus
dirinya sendiri.
 Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan
menolong diri sendiri.
b) Berdasarkan letaknya
 Spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya
 Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan
pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid).
 Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi,
dan cara berjalannya gontai.
 Campuran, yang mengalami kelainan ganda.
c) Polio
 Tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.
 Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi yang
menyebabkan adanya gangguan pernafasan.
 Tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair.
 Encephalitis, yang umumnya ditandai dengan adanya demam, kesadaran
menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.

E. Anak Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata.kelainan lebih banyak
terjadi pada perilaku sosialnya.
Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kelainan perilaku social ini adalah :
a) Berdasarkan perilakunya
 Beresiko tinggi ; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak
milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit berkonsentrasi, tidak mau bekerja
sama, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak
bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
 Beresiko rendah ; autism, khawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak
mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis,
malu, dan sebagainya.
 Kurang dewasa ; suka berfantasi, berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya.
 Agresif ; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal
terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan
terbiasa minggat dari rumah.
b) Berdasarkan kepribadian
 Kekacauan perilaku
 Menarik diri(withdrawll)
 Ketidakmatangan(immaturity)
 Agresi social

Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


A. Anak Berkesulitan Belajar
Berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuahan khusus
yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi (prestasi)
yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Learning
disability merupakan salah satu istilah yang mewadahi berbagai jenis kesulitan yang
dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis .
Adapun klasifikasi anak berkesulitan belajar spesifik yang merupakan jenis
kelainan unik tidak ada kesamaan antara penderita satu dengan yang lainnya.Untuk
mengklasifikasikan anak berkesulitan belajar spesifik dapat dilakukan berdasar pada
tingkat usia dan juga jenis kesulitannya, yaitu:
1. Kesulitan Belajar Perkembangan
Pengelompokkan kesulitan belajar pada anak usia di bawah 5 tahun (balita)
adalah kesulitan belajar perkembangan ,hal ini dikarenakan anak balita belum belajar
secara akademis ,tetapi belajar dalam proses kematangan prasyarat akademis ,seperti
kematangan persepsi visual-audiotory,wicara,daya diferensiasi,kemampuan sensory-
motor dsb.
2. Kesulitan Belajar Akademik
Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam kelompok
kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang akademik di
sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis/bidang akademik seperti
berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis
(disgraphia), kesulitan bebahasa (dysphasia), kesulitan tidak terampil (dispraksia),
dsb .
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau kesulitan yang
dialami anak yaitu:
 Dispraksia: merupakan gangguan pada keterampilan motorik, anak terlihat
kurang terampil dalam melakukan aktivitas motorik. Seperti sering
menjatuhkan benda yang di pegang, sering memecahkan gelas kalau minum.
 Disgraphia: kesulitan dalam menulis ada yang memang karena gangguan pada
motoris sehingga tulisannya sulit untuk dibaca orang lain, ada yang sangat
lambat aktivitas motoriknya, dan juga adanya hambatan pada ideo motorik
sehingga sering salah atau tidak sesuai apa yang dikatakan dengan yang ditulis
.
 Diskalkulia: adalah kesulitan dalam berhitung dan matematika hal ini sering
dikarenakan adanya gangguan pada memori dan logika
 Disleksia: merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan maupun
pemahaman
 Disphasia: kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan kesalahan
dalam berkomunikasi baik menggunakan tulisan maupun lisan.
 Body awareness: Anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering salah
prediksi pada aktivitas gerak mobilitas seperti sering menabrak bila berjalan.

B. Anak Lamban Belajar


Anak lamban belajar atau slow learner merupakan salah satu dari klasifikasi
anak berkebutuhan khusus dengan gangguan intelektual. Anak Lamban belajar atau
slow learner hampir dapat ditemukan di setiap sekolah, baik di sekolah biasa maupun
di sekolah inklusi. Biasanya lambat belajar dialami oleh anak-anak yang memiliki
tingkat intelegensi antara 81-90. Pada tingkatan ini anak-anak tersebut memang tidak
termasuk ke dalam golongan retardasi mental namun kemampuan mereka untuk
menangkap materi pelajaran terutama di sekolah berada di bawah anak-anak lain
yang memiliki tingkat intelegensi normal atau diatas 91.
Anak lamban belajar bukanlah nak-anak yang tidak mampu dilatih dan
dididik. Mereka tetap mampu mempelajari apa yang dipelajari oleh anak-anak lain,
namun dengan waktu dan metode pembelajaran khusus karena jangkauan pemikiran
mereka memang agak lambat. Penyandang lambat belajar mengalami hambatan yang
berdampak pada keterlambatan dalam perkembangan psikisnya, yaitu perkembangan
fungsi intelektual dan kesulitan lain seperti penyesuaian diri dengan metode belajar
pada umumnya. Keadaan yang seperti inilah membuat anak lambat belajar
membutuhkan kondisi dan penanganan layanan pendidikan khusus sesuai dengan
karakteristik, kebutuhan, dan perkembangannya untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya secara optimal agar mampu mengejar ketinggalan dibandingkan
dengan anak-anak lainnya. (Murtie, 2014)

1. Karakteristik anak lamban belajar


Anak lamban belajar mempunyai karakteristik atau ciri khas tertentu yang
membedakannya dengan anak normal. Menurut Triani & Amir (2013: 10-12) anak
yang mengalami kelambanan belajar (slow learner) mempunyai karakteristik sebagai
berikut, dalam hal:
 Inteligensi, Dari segi inteligensi anak-anak lamban belajar atau slow learner
berada pada kisaran di bawah rata-rata yaitu 70-90 berdasarkan skala WISC.
Anak dengan IQ 70-90 ini, biasanya mengalami masalah hampir pada semua
pelajaran terutama pada mata pelajaran-mata pelajaran yang berkenaan
dengan hafalan dan pemahaman. Sulit memahami hal-hal yang abstrak, nilai
hasil belajarnya rendah dibanding dengan teman-teman dikelasnya.
 Bahasa, Anak-anak lamban belajar atau slow learner mengalami masalah
dalam komunikasi. Anak-anak ini mengalami kesulitan baik dalam bahasa
ekspresif atau menyampaikan ide atau gagasan maupun dalam memahami
percakapan orang lain atau bahasa reseptif oleh karena itu untuk
meminimalisir kesulitan dalam berbahasa anak slow learner sebaiknya
melakukan komunikasi dengan bahasa yang sederhana, singkat namun jelas.
 Emosi, Dalam hal emosi, anak-anak lamban belajar atau slow learner
memiliki emosi yang kurang stabil. Mereka cepat marah dan meledak-ledak
serta sensitive. Jika ada hal yang membuatnya tertekan atau melakukan
kesalahan, biasanya anak-anak lamban belajar atau slow learner cepat patah
semangat.
 Sosial, Anak-anak lamban belajar atau slow learner dalam bersosialisasi
biasanya kurang baik. Mereka sering memilih jadi pemain pasif atau penonton
saat bermain atau bahkan menarik diri. Walau pada beberapa anak ada yang
menunjukkan sifat humor. Saat bermain, anak-anak lamban belajar atau slow
learner lebih senang bermain dengan anak-anak dibawah usianya. Mereka
merasa lebih aman, karena saat berkomunikasi dapat menggunakan bahasa
yang sederhana.
 Moral, Moral seseorang akan berkembang seiring dengan kematangan
kognitifnya. Anak-anak lamban belajar atau slow learner tahu aturan yang
berlaku tetapi mereka tidak paham untuk apa peraturan tersebtu dibuat.
Terkadang mereka nampak tidak patuh atau melanggar aturan. Hal tersebut
disebabkan oleh kemampuan memori mereka yang terbatas sehingga sering
lupa. Oleh karena itu sebaiknya anak-anak lamban belajar atau slow learner
sering diingatkan.

C. Autis
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat
dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan
menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal.
Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita
Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin,
seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja
memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah
dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak
memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol
pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan
sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang
lain. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian
dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga
merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan
Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme
bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada
otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak
normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.Autisme adalah
yang terberat di antara PDD.
D. Anak Tunaganda
Anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua
jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius,
sehingga dia tidak hanya dapat diatasi dengan suatu program pendidikan khusus
untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program
pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.
Menurut Departemen Amerika Serikat, anak-anak yang tergolong tunaganda
adalah anak-anak yang mempunnyai masalah-masalah jasmani, mental, atau
emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut sehingga
agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan
pendidiikan sosial, psikology, dan medis yang melebihi pelayanan program
pendidikan luar biasa secara umum.
Menurut Johnston dan Magrab, Tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan
perkembangan mencangkup kelompok yang memiliki hambatan-hambatan
perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan
dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa atau hubungan pribadi
masyarakat.

1. Ciri ciri anak tunaganda


Ciri-ciri anak tunaganda dibagi menjadi 2, yaitu ciri-ciri secara umum dan
khusus.. Ciri-ciri secara umum
 Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi
 Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat
 Seringkali menunjukan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan
 Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri
 Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya kostruktif
 Kecenderungan lupa akan keterampilan yang sudah dikuasai
 Memiliki masalah dalam megeneralisasikan keterampilan dari suatu situasi ke
situasi lainnya.
Ciri-ciri secara khusus
 Memiliki ketunaan lebih dari satu jenis. Misal : tunanetra dan tunagrahita,
tunanetra dan tunagrahita, tunanetra dan tunarungu-wicara, tunanetra dan
tunadaksa dan tunagrahita, dll
 Ketidakmampuan anak akan semakin parah atau semakin banyak bila tidak
cepat mendapatkan bantuan. Hal ini disebabkan kegandaannya yang tidak
cepat mendapatkan bantuan
 Sulit untuk mengadakan evaluasi karena keragaman kegandaannya
 Membutuhkan instruksi atau pemberitahuan yang sangat terperinci
 Tidak menyamaratakan pendidikan tunaganda yang satu dengan yang lain
walau mempunyai kegandaan yang sama.

2. Faktor Penyebab Terjadinya Tunaganda


 Faktor Keturunan (Hereditas). Faktor ini berasal dari keturunan atau gen yang
dibwakan oleh orangtuanya.
 Faktor Sebelum Lahir (Prenatal). Ketika dalam kandungan janin mengalami
keracunan, kekurangan gizi, atau terkena infeksi.
 Saat sedang hamil, ibu yang mengandung menderita penyakit kronis, dan lain-
lain.
 Proses persalinan yang menghabiskan waktu yang lama sehingga kehabisan
cairan
 Persalinan yang dibantu dengan menggunakan alat sehingga terdapat syaraf
yang terganggu.
 Faktor Sesudah Lahir (Post Natal). Faktor ini disebabkan karena anak
mengalami sakit parah atau kronis, kecelakaan atau karena salah
mengonsumsi obat.

3. Klasifikasi Tunaganda
Dari sekian banyak kemungkinan kombinasi kelainan, ada beberapa
kombinasi yang paling sering muncul dibandingkan kombinasi kelainan-kelainan
yang lainnya, yaitu:
 Tunagrahita dengan Cerebral Palsy (CP). Terdapat suatu kecenderungan
untuk mengasumsikan bahwa anak-anak cerebral palsy (CP) anak-anak
tungrahita. Adapun penyebab terjadinya tunagrahita karena factor genetic atau
factor lingkungan sehingga adanya kerusakan pada sistem syaraf pusat yang
dapat menyebabkan rusaknya cerebral cortex sehingga menimbulkan
tunagrahita.
 Tunagrahita dan tunarungu. Anak-anak tunarungu mengalami berbagai
masalah dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sementara pada anak
tunagrahita mengalami kelambanan dan keterlambatan dalam belajar. Pada
anak tunaganda hal tersebut mungkin saja dapat terjadi, ia mengalami
tunagrahita yang sekaligus tunarungu. Karena terdapatnya kombinasi tersebut
anak tunganda memerlukan pelayanan yang lebih banyak daripada anak-anak
yang mengalami tunagrahita dan tunarungu saja.
 Tunagrahita dan masalah-masalah perilaku. Telah diketahui bahwa
tunagrahita terdapat hubungan antara tunagrahita dengan gangguan
emosional. Biasanya hubngan ini terjadi ada anak yang mengalami
tunagrahita berat. Adanya gejala-gejala bhwa tunagrahita yang cukup kuat dan
nyata menyertai atau bersama dengan gangguan emosional cendeurung untuk
diabaikan atau dikesampingkan. Ini berarti bahwa bagi anak-anak retardasi
mental, mereka tidak disarankan untuk memperoleh pelayanna psikoterapi
atau[un terapi perilaku, padahal perilaku-perilaku yang aneh pada anak adalah
merupakan gejala tunagrahita berat atau sangat berat.
 Kelainan utama tunarungu dan tunanetra. Anak buta tuli adalah seorang
anak yang memliki gangguan penglihatan dan pendengaran, suatu gabungan
yang menyebabkan problema komunikasi dan perkembangan pendidikan
lainnya yang berat sehingga tidak dapat diberikan program pelayanan
pendidikan baik di sekolah yang melayani untuk anak-anak tuli maupun di
sekolah yang melayani untuk anak-anka buta, dengan penanganan yang baik
dan tepat, anak yang mengalami buta dan tuli masih bisa dididik dan berhasil.

Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

A. Pengertian Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen.
Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai
proses penjaringan atau proses menemukan kasus yaitu menemukan anak yang
mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini terhadap anak
berkebutuhan khusus. Menurut Swassing (dalam Yuwono, 2015), identifikasi
mempunyai dua konsep yaitu konsep penyaringan (screening) dan identifikasi aktual
(actual identification). Menurut Wardani (dalam Yuwono, 2015), identifikasi
merupakan langkah awal dan sangat penting untuk menandai munculnya kelainan
atau kesulitan pada anak bekebutuhan khusus. Istilah identifikasi secara harfiah dapat
diartikan menemukan atau menemukenali. Istilah identifikasi anak berkebutuhan
khusus diartikan sebagai usaha seorang (orangtua, guru, tenaga kependidikan lainnya)
untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan sensoris neurologis dalam pertumbuhan/perkembangannya
dibandingkan anak-anak lain seusianya (Syamsi dan Haryanto, 2018: 2).
Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa identifikasi anak
berkebutuhan khusus adalah usaha awal untuk mengetahui apakah individu
mempunyai kelainan atau penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

B. Tujuan Identifikasi
Manning (dalam Syamsi dan Haryanto, 2018:3) berpendapat dalam usaha
pelaksanaan kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima
keperluan atau tujuan, yaitu (1) screening (penyaringan), (2) referral
(pengalihtanganan), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5)
pemantauan kemajuan belajar. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Screening (Penyaringan)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi
anak berkebutuhan khusus. Identifikasi berfungsi menandai anak-anak yang
menunjukkan gelaja-gejala seperti: sering sakit-sakitan, mudah mengantuk di dalam
kelas, sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima pelajaran, prestasi belajar selalu
di bawah rata-rata kelas, ataupun kesulitan untuk dibaca. Proses tersebut dapat
membantu mengetahui anak-anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu
sehingga tergolong anak berkebutuhan khusus (Nawangwulan, 2019).
2) Referral (Pengalihtanganan)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringanm
selanjutnya individu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak
yang perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani
sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak
yang perlu dikonsultasikan ke ahli lain terlebih dahulu (referral), seperti psikolog,
dokter, orthopedagog, dan terapis, kemudian ditangani oleh guru (Syamsi dan
Haryanto, 2018: 4).
3) Klasifikasi
Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan anak yang telah dirujuk
ketenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung
dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasarkan pemeriksaan tenaga
profesional ditemukan maslah yang perlu penanganan lebih lanjut (pengobatan,
terapi, dan sebagainya), guru lalu mengkomunikasikan kepada orangtua siswa yang
bersangkutan. Pada tahap klasifikasi, guru tidak mengobati atau memberi terapi
sendiri tetapi memfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak.
Guru hanya memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Jika tidak
ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak memerlukan penanganan lebih
lanjut, anak dapat dikembalikan ke kelas untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
khusus di kelas reguler (Syamsi dan Haryanto, 2018: 4).
4) Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan
program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari
klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat 8 kelainan) anak berkebutuhan khusus
memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain (Syamsi dan
Haryanto, 2018: 4).
5) Pemantauan Kemajuan Belajar
Kemajuan belajar dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran
yang diberikan berhasil atau tidak. Dalam kurun waktu tertentu, anak yang tidak
mengalami kemajuan yang signifikasi, perlu ditinjau kembali beberapa aspek yang
berkaitan, misalnya: diagnosis yang telah dibuat tepat atau tidak, program
pembelajaran individual (PPI), bimbingan belajar khusus yang dibuat sesuai atau
tidak, serta metode pembelajaran yang digunakan sesuai atau tidak (Nawangwulan,
2019).

C. Sasaran Identifikasi
1) Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah
seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus
(operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah:
 Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
 Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
 Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya
tergolong anak dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari
tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau
menerimanya;
 Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor
akademik.
2) Petugas Identifikasi
Untuk mengindentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan
Khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh: a) Guru kelas; b) Guru Mata
pelajaran/Guru BK; c) Guru Pendidikan Khusus; d) Orang tua anak; e) Tenaga
profesional terkait.
D. Strategi Pelaksanaan Identifikasi
1) Pelaksanaan Identifikasi
a. Menghimpun data anak. Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data
kondisi seluruh siswa di kelas (berdasarkan gejala yang nampak pada siswa)
dengan menggunakan Alat Indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
(AIABK).
b. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak. Pada tahap ini tujuannya
adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong Anak Berkebutuhan
Khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Terdapat daftar
nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri. Jika ada
anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai
dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar namanama anak
yang berindikasi kelainan. Sedangkan untuk anak-anak yang tidak
menunjukan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke
dalam daftar khusus tersebut.
c. Menginformasikan hasil analisis dan klasifikasi. Pada tahap ini, hasil
analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala
Sekolah, orang tua siswa, dewan komite sekolah untuk mendapatkan saran-
saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
d. Menyelenggarakan Pembahasan Kasus (Case Conference). Pada tahap ini,
kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data Anak
Berkebutuhan Khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat
melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali
siswa; (4) tenaga profesional terkait, jika tersedia dan memungkinkan; (5)
Guru Pembimbing/Pendidikan Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan
memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan 11 temuan
dari masing-masing guru mengenai hasil indentifikasi untuk mendapatkan
tanggapan dan cara-cara pencegahan serta penanggulangannya.
e. Menyusun Laporan Hasil Pembahasan Kasus. Pada tahap ini, tanggapan
dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan
dalam laporan hasil pertemuan kasus.

E. Tindak Lanjut Kegiatan Identifikasi


a) Tindakan Asesmen
Asesmen merupakan kegiatan penyaringan terhadap anak-anak yang telah
teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus. Kegiatan asesmen dapat dilakukan
oleh guru, orang tua (untuk beberapa hal), dan tenaga profesional lain yang tersedia
sesuai dengan kompetensinya. Kegiatan asesmen meliputi beberapa bidang, antara
lain:
 Asesmen akademik: Asesmen akademik sekurang-kurangnya meliputi tiga
aspek yaitu kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
 Asesmen sensoris dan motorik: Asesmen sensoris untuk mengetahui
gangguan penglihatan, pendengaran. Sedangkan asesmen motorik untuk
mengetahui gangguan motorik kasar, motorik halus, keseimbangan dan
lokomotor yang dapat mengganggu pembelajaran bidang lain.
 Asesmen psikologis, emosi dan sosial: Asesmen psikologis dapat digunakan
untuk mengetahui potensi intelektual dan kepribadian anak. Juga dapat
diperluas dengan tingkat emosi dan sosial anak.
b) Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi menganalisis hasil asesmen
untuk kemudian dideskripsikan, ditentukan penempatan untuk selanjutnya, dibuatkan
program pembelajaran berdasarkan hasil asesmen Langkah selanjutnya menganalisis
kurikulum, dengan menganalisis kurikulum maka kita dapat memilah bidang studi
yang perlu ada penyesuaian. Hasil analisis kurikulum ini kemudian diselaraskan
dengan program hasil esesmen sehingga tersusun sebuah program yang utuh yang
berupa Program Pembelajaran Individual (PPI).
Penyusunan PPI dilakukan dalam sebuah tim yang sekurangkurangnya terdiri
dari guru kelas dan mata pelajaran, kepala sekolah, orang tua/wali serta guru
pembimbing khusus. Pertemuan perlu dilakukan untuk menentukan kegiatan yang
sesuai dengan anak serta penentuan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan
c) Pelaksanaan Pembelajaran
Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta
pengorganisasian siswa berkelainan di kelas regular sesuai dengan rancangan yang
telah disusun. Laughlin (dalam Syamsi dan Haryanto, 2018: 8) pelaksanaan
pembelajaran dapat dilakukan melalui individualisasi pengajaran artinya; anak belajar
pada topik yang sama waktu dan ruang yang sama, namun dengan materi yang
berbedabeda. Cara lain proses pembelajaran dilakukan secara individual artinya anak
diberi layanan secara individual dengan bantuan guru khusus. Proses ini dapat
dilakukan jika dianggap memiliki rentang materi/keterampilan yang sifatnya
mendasar (prerequisit).
d) Pemantauan Kemajuan Belajar dan Evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan
belajar anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan
dan atau bahkan kemunduran belajar anak. Jika anak mengalami kemajuan dalam
belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus dipertahankan, tetapi jika tidak
terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai materi,
pendekatan, maupun media yang digunakan anak yang bersangkutan untuk
memperbaiki kekurangankekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya
semua problema belajar anak, secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak
terhindar dari putus sekolah.

Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus


A. Pengertian Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
Pengertian asesmen dalam kerangka pendidikan anak berkebutuhan khusus,
dimaksudkan sebagai usaha untuk memperoleh informasi yang relevan guna
membantu seseorang dalam membuat suatu keputusan. Dalam istilah Bahasa Inggris
assessment berarti penilaian terhadap suatu keadaan, penilaian dalam konteks ini
adalah evaluasi terhadap kondisi atau keadaan anak-anak berkebutuhan khusus, jadi
bukan merupakan penilaian terhadap hasil suatu aktivitas atau kegiatan pembelajaran
di sekolah.
Walace, G & Larsen (1978:7) menegaskan pula, bahwa asesemen merupakan
proses pengumpulan informasi pembelajaran yang relevan. Asesmen merupakan
aktivitas yang amat penting dalam proses pembelajaran di sekolah, untuk itu
pelaksanaannya harus benar-benar dilakukan secara obyektif dan komprehentif
terhadap kondisi dan kebutuhan anak.
MenurutJames A Mc. Lounghlin& Rena B Lewis1986, Proses sistematis dlm
mengumpulkan data seorang anak yg berfungsi untuk melihat kemampuan dan
kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang
sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi tersebut, guru akan dapat
menyusun program pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan
obyektif
Sebagai tindak lanjut dari identifikasi, hasil yang diperoleh dari asesemen
pendidikan akan bermanfaat bagi guru sebagai panduan dalam dua hal pokok, yaitu
merencanakan program dan implementasi program pembelajaran. Untuk itu dalam
upaya perencanaan tujuan dan penentuan sasaran pembelajaran, dan strategi
pembelajaran yang tepat. Data atau informasi yang diperoleh dalam asesmen ini
umumnya berkenaan dengan tahap pembelajaran, kelemahan dan kecakapan, serta
hal-hal yang berkaitan dengan perilaku seorang siswa.

B. Tujuan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus


Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai terkait dengan dilaksanakan asesmen
di sekolah, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Terkait dengan
waktunya Moh Amin (1995:125) menjelaskan adanya lima tujuan dilaksanakannya
asesmen bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu:
1) menyaring kemampuan anak, yaitu untuk mengetahui kemampuan anak pada
setiap aspek, misalnya bagaimana kemampuan bahasa, kognitif, kemampuan
gerak, atau penesuaian dirinya,
2) pengklafifikasian, penempatan, dan penentuan program,
3) penentuan arah dan tujuan pendidikan, ini terkait dengan perbedaan klasifikasi
berat ringannya kelainan yang disandang seorang anak, yang berdampak pada
perbedaan tujuan pendidikannnya,
4) pengembangan program pendidikan individual yang sering dikenal sebagai
individualized educational program, yautu suatu program pendidikan yang
dirancang khusus secara individu untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dan
5) penentuan strategi, lingkungan belajar, dan evalusi pembelajaran.
Selain kelima tujuan di atas, Wallace, G & Larsen, S (1978: 5) mengemu-
kakan adanya dua tujuan dalam pelaksanaan asesmen, yaitu :
1) untuk mengidentifikasi dan terkadang pemberian label untuk kepentingan
administratif masalah belajar yang dialami anak-anak berkebutuhan khusus,
dan
2) untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat membantu dalam
merumuskan tujuan pembelajaran, dan strategi pemberian remedial bagi anak-
anak yang diduga berkebutuhan khusus.
3) Dari uraian tujuan di atas, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu
digarisbawahi dalam asesmen, yaitu :
4) asesmen dilakukan untuk penseleksian anak-anak yang berkebutuhan khusus,
5) asesmen bertujuan pula untuk penempatan siswa, sesuai dengan
kemampuannya,
6) untuk merencanakan program dan strategi pembelajaran, dan
7) untuk mengevaluasi dan memantau perkembangan belajar siswa.
Secara khusus, sesungguhnya tujuan asesmen dapat berorientasi pada
keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh seorang anak, baik dalam segi
kemampuan akademik ataupun nonakademik.
C. Sasaran Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
Secara umum sasaran identifikasi anak ABK adalah seluruh anak usia pra-
sekolah dan usia sekolah dasar. Berdasarkan Lingkupnya : ABK yang mengalami
kesulitan atau permasalahan belajar yang disebabkan oleh faktor intern.
Berdasarkan Keberadaannya (1) ABK yang sudah bersekolah di sekolah
regular(2) ABK yang baru masuk sekolah regular(3) ABK yang belum masuk
sekolah(4) ABK yang drop out dari sekolah.
D. Strategi Pelaksanaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
a) Langkah pelaksanaan
Secara lebih spesifik Mercer & Mercer (1989:38) menjelaskan adanya beberapa
langkah yang dilakukan dalam asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah, yaitu:
1) Menentukan cakupan dan tahapan keterampilan yang akan diajarkan. Agar
pelaksanaan asesmen dapat dilakukan secara efektif, maka seyogyanya guru
terlebih dahulu memahami tahapan kompetensi pembelajaran siswa dalam
bidang pembelajaran tertentu. Ini penting dilakukan untuk mengetahui dengan
jelas keterampilan-keterampilan apa yang telah dikuasai siswa. Secara teknik
guru dapat melakukannya melalui analisis tugas dalam kegitan pembelajaran
di sekolah.
2) Menetapkan perilaku yang akan diases. Asesmen perilaku diawali dari
tahapan yang paling umum menuju tahapan yang khusus. Perilaku umum
menunjuk pada rentang kompetensi siswa dalam penguasaan materi
kurikulum, misalnya pada mata pelajaran bahasa mencakup kompetensi dasar
untuk semua aspek bahasa. Sedang yang khusus, mungkin hanya pada aspek
membaca saja.
3) Memilih aktivitas evaluasi, guru harus mempertimbangkan aktivitas yang
akan dilakukan itu untuk evaluasi dalam rentang kompetensi umum, atau
kompetensi khusus . Evaluasi kompetensi umum, lazimnya dilakukan secara
periodik (semester), sedang untuk kompetensi khusus sebaiknya dilakukan
secara formatif dan berkesinambungan.
4) Pengorganisasian alat evaluasi. Hal ini perlu dilakukan berkenaan dengan
evaluasi pendahuluan, yang mencakup; identifikasi masalah, pencatatan
bentuk-bentuk kesalahan yang terjadi, dan evaluasi keterampilan-keterampilan
tertentu. Setelah evaluasi awal dilakukan, selanjutnya ditentukan tujuan dan
strategi pembelajaran, serta implementasi dan pemantuan kemajuan belajar
siswa.
5) Pencatatan kinerja siswa. Ada dua hal mengenai kinerja siswa yang harus
dicatat guru, yaitu kinerja siswa pada pelaksanaan tugas sehari-hari, dan
penguasaan keterampilan secara keseluruhan, yang umumnya dicacat pada
laporan kemajuan belajar siswa.
6) Penentuan tujuan pembelajaran khusus untuk jangka pendek dan jangka
panjang. Di sini guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran khusus bagi
anak dalam jangka pendek secara spesifik, misalnya dalam aspek membaca
atau mengeja dalam pelajaran bahasa, tetapi harus tetap berkontribusi dalam
tujuan jangka panjang.
b) Teknik pelaksanaan asesmen
Terdapat beberapa teknik atau metode yang dapat dilakukan dalam upaya
pelaksanaan asesmen untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah (dasar).
Beberapa diantara yang dapat dijelaskan di sini adalah melalui observasi, tes formal
dan informal, dan wawancara, dengan didukung beberapa instrumen seperti checklist
ataupun skala penilaian.
1) Observasi, merupakan pengamatan yang dilakukan secara seksama terhadap
aktivitas belajar siswa, seperti cara pelajar, kinerja, perilaku, ataupun
kompetensi yang dicapai.
2) Tes formal, sesungguhnya merupakan merupakan suatu bentuk tes yang telah
terstandarkan, yang memiliki acuan norma ataupun acuan patokan dengan
tolok ukur yang telah ditetapkan. Tes demikian umumnya dikembangkan
secara global, oleh para ahli dibidangnya. Dalam konteks asesmen pendidikan
anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya kurang cocok untuk
dilakukan, jika dilihat dari tujuannya yang sangat spesifik, dan mencakup
persoalan-persoalan pendidikan yang unik, yang dihadapi siswa berkebutuhan
khusus secara individual.
3) Tes informal. Suatu jenis tes yang sangat bermanfaat dan sangat sesuai untuk
memperoleh informasi tentang berbagai hal yang berkenaan dengan
kompetensi dan kemajuan belajar anak berkebutuhan khusus. Tes informal
umumnya dipersiapkan dan disusun sendiri oleh guru, serta digunakan secara
intensif untuk mengetahui kompetensi-kompetensi khusus pada anak. Dalam
kaitannya dengan asesmen, ada beberapa bentuk yang sering digunakan, yaitu
checklist, tes buatan sendiri, ataupun berupa cloze
4) Wawancara, atau interview untuk memperoleh informasi dengan sasaran
utama orangtua, keluarga, guru di sekolah ataupun teman sepermainan
E. Asesmen akademik dan Non akademik
1) Asesmen Akademik (Kemampuan Asesmen Membaca, Menulis, Berhitung)
a. Menentukan Komponen Kemampuan Akademik (Membaca, Menulis,
Berhitung)
b. Membuat Definisi Setiap Komponen Kemampuan Akademik
c. Menyusunan kisi-kisi instrument akademik (Membaca, Menulis,
Berhitung). Langkah  selanjutnya  adalah  menyusun  kisi-kisi instrument
asesmen kemampuan akademik (membaca, menulis, berhitung) baik dalam
bentuk tabel maupun daftar
Pada  dasamya  tidak  ada  ketentuan  berapa  kolom  yang  kita  perlukan,
namun  yang  paling penting kolom-kolom tersebut harus memuat tiga
aspek,yaitu:komponen-komponen keterapilan yan diakses  kolom ruang
lingku atau sub-sub komponen dari  komponen  ketrampilan yang  akan di
akses sesta kolom indikator  yang  akan  mampu  menggali  kemampuan
atau keterampilan dari sub-sub komponen tadi.
2) Asesmen non akdemik
Asesmen non akademik meliputi:
a) Asesmen Perkembangan Kognitif Dan Persepsi. Asesmen  Kognitif
adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara
menyeluruh yang berkenaan dengan kemampuan kognitifnya. Asesmen
Persepsi adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara
menyeluruh yang berkenaan dengan kemampuan persepsinya.
1) Kognitif Dasar
 Mengelompokkan adalah suatu kemampuan mengelompokkan obyek
berdasarkan karakteristik yang dimiliki obyek tersebut.
 Mengurutkan adalah suatu kemampuan yang dikuasai anak dalam
menyusun dan menghitung setiap obyek hanya satu kali secara
berurutan, sehingga terdapat proses keteraturan.
 Menyusun adalah kemampuan yang menunjuk pada adanya suatu
konsep bahwa jumlah atau nilai sesuatu obyek akan sama sekalipun
memiliki karakteristik yang berbeda.
2) Persepsi
a. Persepsi Auditoris adalah  kemampuan   untuk  memahami   atau
menginterpretasikan segala sesuatu yang didengar. Persepsi ini
mencakup kemampuan:
b. Persepsi   Visual,   merupakan   kemampuan   untuk  memahami  atau
menginterpretasikan  segala  sesuatu  yang  dilihat.  Persepsi  visual 
mencakup  kemampuan berikut:
c. Persepsi  heptik  menunjuk  pada  kemampuan  mengenal  berbagai 
obyek melalui modalitas taktil (perabaan) dan kinestetik (gerak).
d. Persepsi  kinestetik;
Langkah selanjutnya  adalah  menyusun  kisi-kisi instrumen asesmen Kognitif
Dan Persepsi baik dalam bentuk tabel maupun daftar. Pada  dasamya  tidak  ada 
ketentuan  berapa  kolom  yang  kita  perlukan, namun  yang  paling penting kolom-
kolom tersebut harus memuat tiga aspek, yaitu:kolom komponen yang  akan  diases, 
kolom  ruang  lingkup  atau  sub-sub  komponen dari  komponen  ketrampilan yang 
akan  diases, serta  kolom  indikator-indikator  yang  akan  mampu  menggali 
kemampuan atau keterampilan dari sub-sub komponen tadi.
 Mengembangkan Butir-butir Instrumen Asesmen Kognitif Dan Persepsi
Sama halnya dengan penyusunan kisi-kisi, pengembangan butir soal dapat
dibuat dalam bentuk daftar atau tabel. Butir-butir soal dikembangkan berdasarkan
indikator-indikator yang telah dijabarkan dari subkomponen
keterampilan/kemampuan, yang kemudian dibuat lembar kerja siswa (LKS). Dalam
hal ini guru/asesor dituntut untuk terampil membuat pertanyaan-pertanyaan atau
tugas-tugas yang relevan dengan informasi-informasi yang akan digali, yaitu
kemampuan dalam perkembangan Kognitif Dan Persepsi dari seorang siswa . Untuk
lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut ini.
F. Asesmen Perkembangan Bahasa dan Motorik.
Asesmen  Bahasa adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak
secara menyeluruh yang berkenaan dengan kemampuan bahasanya. Asesmen 
Motorik adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara menyeluruh
yang berkenaan dengan kemampuan Motoriknya.
 Menentukan Lingkup (Komponen) Bahasa dan Motorik
1. Bahasa

 Pasif (Reseptif) adalah kemampuan memahami pikiran, perasaan, dan


kehendak orang lain.
 Aktif (Ekspresif) adalah kemampuan untuk menyatakan pikiran, perasaan
dan kehendak sendiri kepada orang lain.
2. Motorik
 Kemampuan untuk melakukan gerakan kasar adalah gerak tubuh yang
menggunakan sebagian besar otot-otot atau sekumpulan otot besar dan
biasanya memerlukan tenaga. Duduk, merangkak, berdiri, berjalan,
mengambil, menarik, mendorong, dan menangkap merupakan contoh-
contoh gerakan kasar.
 Kemampuan untuk melakukan gerakan halus adalah kemampuan gerak
yang hanya menggunakan otot-otot tertentu saja dan dilakukan oleh otot-
otot kecil yang membutuhkan koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang
baik. Contoh-contoh gerakan halus, seperti: memegang benda kecil antara
ibu jari dan telunjuk, menunjuk benda dengan jari telunjuk, dan membalik
halaman buku.
 Kemampuan dalam keseimbangan adalah kemampuan untuk
mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu.
 Kemampuan koordinasi adalah kemampuan untuk mengatur kuat
lemahnya suatu gerakan.

 Menyusunan Kisi-kisi Instrumen Asesmen Bahasa dan Motorik


Langkah  selanjutnya  adalah  menyusun  kisi-kisi instrumen asesmen bahasa
dan motorik baik dalam bentuk tabel maupun daftar. Pada  dasamya  tidak 
ada  ketentuan  berapa  kolom  yang  kita  perlukan, namun  yang  paling
penting kolom-kolom tersebut harus memuat tiga aspek, yaitu: kolom
komponen keterampilan yang  akan  diases,  kolom  ruang  lingkup  atau  sub-
sub  komponen dari  komponen  ketrampilan yang  akan  diases, serta  kolom 
indikator-indikator  yang  akan  mampu  menggali  kemampuan atau
keterampilan dari sub-sub komponen tadi.
 Mengembangkan Butir-butir Instrumen Asesmen Bahasa dan Motorik
Sama halnya dengan penyusunan kisi-kisi, pengembangan butir soal dapat
dibuat dalam bentuk daftar atau tabel. Butir-butir soal dikembangkan
berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan dari subkomponen
keterampilan/kemampuan, yang kemudian dibuat lembar kerja siswa (LKS).
Dalam hal ini guru/asesor dituntut untuk terampil membuat pertanyaan-
pertanyaan atau tugas-tugas yang relevan dengan informasi-informasi yang
akan digali, yaitu kemampuan dalam perkembangan Bahasa dan Motorik dari
seorang .
Pengembangan Kurikulum di Sekolah Penyelenggaran Pendidikan Inklusif

A. Konsep Pengembangan Kurikulum di Sekolah Penyelenggara


Pendidikan Inklusif
Modifikasi/pengembangan kurikulum yakni kurikulum siswa rata-rata atau
regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi ABK. Modifikasi
kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi
kurikulum ke atas untuk peserta didik gifted and talented. Modifikasi kurikulum ini
dilakukan terhadap alokasi waktu, isi atau materi kurikulum, proses belajar-mengajar,
sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
Dalam pendidikan inklusif, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
sekolah regular atau kurikulum nasional yang dimodifikasi sesuai dengan tahap
perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik
(ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Kurikulum nasional terdiri dari 3 model yaitu
model kurikulum regular, model kurikulum regular dengan modifikasi dan model
kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI).
Dalam melakukan modifikasi atau pengembangan kurikulum, tidak serta
merta sesuka hati untuk melakukannya. Namun terdapat landasan – landasan dalam
pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif, antara lain
yaitu:
1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
khususnya pada pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 6 ayat (1), pasal 12
ayat (1.b), pasal 36 ayat (2) dan penjelasan pasal 1
2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, khususnya pada Pasal 1 ayat (13) dan (15) dan pasal 17 ayat (1) .
3) Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
4) Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
5) Peraturan Mendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Mendiknas Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006.

B. Tujuan Pengembangan Kurikulum di Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusi
Tujuan modifikasi atau pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusif,
yaitu:
1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi
hambatan belajar yang dialami semaksimal mungkin dalam setting sekolah
inklusif
2) Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan
bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah
maupun di rumah.
3) Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan,
menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusif.

C. Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan Inklusi


Modifikasi atau pengembangan kurikulum pendidikan inklusif dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama
guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman
mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog),
yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah
dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Modifikasi atau pengembangan pengembangan kurikulum dalam pendidikan
inklusif dilaksanakan dengan:

1) Modifikasi alokasi waktu


Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan atau mengacu pada kecepatan
belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum
reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam,
maka modifikasi alokasi waktu untuk pendidikan inklusif dapat dilakukan dengan:
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal
(anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal
dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan
untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

2) Modifikasi isi atau materi


Modifikasi isi atau materi dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan dengan:
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal,
materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan
diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam
kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak
berbakat.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal
materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau
tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler
dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan
dihilangkan bagian tertentu.
Modifikasi kurikulum dalam isi atau materi ini dapat meliputi penyesuaian
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK – KD). Berdasarkan hasil penelitian
(A.Salim Choiri, dkk, 2008), telah berhasil memodifikasi standar kompetensi dan
kompetensi dasar lima mata pelajaran, meliputi Mata Pelajaran PKN, Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS untuk SD/MI. Masing-masing SK KD ke lima
mata pelajaran SD/MI tersebut, dikaji berdasarkan substansi keilmuan dan kemudian
dilakukan pengurangan pada bagian-bagian tertentu untuk disesuaikan dengan
kemampuan dan hambatan yang dialami anak tingkat ringan dan sedang.

3) Modifikasi proses belajar – mengajar


Modifikasi proses belajar – mengajar dalam pendidikan inklusif dapat
dilakukan dengan:
 Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis,
sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang
memiliki inteligensi di atas normal;
 Menggunakan pendekatan student centerred, yang menekankan perbedaan
individual setiap anak;
 Proses belajar – mengajar yang lebih terbuka (divergent);
 Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam
kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-
kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
 Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan
pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara
berkompetisi secara fair.
 Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada
yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).

4) Modifikasi sarana dan prasarana


Modifikasi sarana dan prasarana dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan
dengan menyediakan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan masing – masing
anak dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri – ciri) dan tingkat kecerdasannya.

5) Modifikasi lingkungan belajar


Modifikasi lingkungan belajar dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan
dengan proses belajar – mengajar yang tidak selalunya dilakukan di dalam ruangan
kelas, bisa dilakukan di luar ruangan kelas.
6) Modifikasi Pengelolaan kelas
Modifikasi pengelolaan kelas dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan
dengan memodifikasi penataan ruangan kelas misalnya dengan peletakkan
perlengkapan kelas, hiasan di kelas, alat peraga dan lain – lain. Modifikasi ini
dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan anak sesuai dengan karakteristik
(ciri – ciri) dan tingkat kecerdasan anak.

Aksebilitas Fisik dan Non Fisik di Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusi
A. Pengertian Aksesibilitas Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut UU No. 28/2002, Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan


bagi semua orang termasuk orang yang berkebutuhan khusus dan lansia guna
mewujudkan ke-samaan kesempatann dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.

B. Jenis Aksesibilitas Anak Berkebutuhan Khusus


1) Anak Tuna Netra
a) Alat Asesmen, Assesmen kelainan penglihatan dilakukan untuk
mengukur kemampuan penglihatan dalam bentuk geometri, mengukur
kemampuan penglihatan dalam mengenal warna, serta mengukur
ketajaman penglihatan. Alat yang digunakan untuk assesmen penglihatan
anak tunanetra dapat seperti di bawah ini. Snellen Chart (alat
untukmengetes ketajaman penglihatan dalam bentuk hurup dan symbol,
Ishihara Test (alat untuk mengetes ”buta warna”), SVR (Trial Lens Set)
(alat untuk mengukur ketajaman penglihatan), Snellen Chart Electronic
(alat untuk mengetes ketajamanpenglihatan sistem elektronik – bentuk
hurup dan simbol E)
b) Orientasi dan mobilitas, Pada umumnya anak tunanetra mengalami
gangguan orientasi mobilitas baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Untuk pengembangan orientasi mobilitasnya dapat dilakukan dengan
menggunakan alat-alat berikut ini. Tongkat panjang (alat bantu mobilitas
berupa tongkat panjang yang terbuat dari allumunium), Tongkat Lipat
(alat bantu mobilitas berupa tongkat yang dapat dilipat terbuat dari
allumunium), Tongkat elektrik (alat bantu mobilitas berupa tongkat yang
berbunyi apabila ada benda didekatnya), Bola bunyi (bola sepak yang
mengeluarkan bunyi), Pelindung kepala (alat pengaman kepala dari
benturan/helm sport)
c) Alat bantu pembelajaran, Peta Timbul (peta tiga dimensi bentuk relief),
Abacus (alat bantu berhitung, Penggaris Braille (penggaris dengan skala
ukur bentuk relief), Blokies (sejumlah dadu dengan simbol Braille dengan
papanberkotak), Papan Baca (alat untuk melatih membaca), Meteran
Braille (alat untuk mengukur panjang/lebar dengan skalaukur dengan
simbol Braille)
d) Alat Bantu Visual (alat bantu penglihatan), Magnifier Lens Set (alat
bantu penglihatan bagi low vision bentukhand and standing berbagai
ukuran), CCTV ( Closed Circuit Television /alat bantu baca untuk anak
low vision berupa TV monitor), View Scan (alat bantu baca untuk anak
low vision berupa scaner), Televisi (TV monitor/pesawat penerima
gambar jarak jauh), Prism monocular (alat bantu melihat jauh)
e) Alat latihan fisik, Untuk mengembangkan kemampuan fisik alat yang
dapat digunakan untuk anak tunanetra adalah sebagai berikut : Catur
tunanetra (papan catur dangan permukaan tidak sama untuk kotak hitam
dan putih sehingga buah catur tidak mudah bergeser) Bridge tunanetra
(kartu bridge dilengkapi huruf Braille) Sepak bola dengan bola berbunyi
(bola sepak yang dapat menimbulkan bunyi) Papan Keseimbangan (papan
titian untuk melatih keseimbangan pada saat berjalan) Power Rider (alat
untuk melatih kecekatan motorik) Static Bycicle (speda permanen/tidak
dapat melaju)
2) Alat Tuna Rungu
a) Alat Asesmen, Alat yang digunakan untuk asesmen pendengaran anak
tunarungu adalah seperti berikut Scan Test (alat untuk mendeteksi
pendengaran tanpa memerlukan ruang khusus) Bunyi-bunyian (alat yang
dapat menimbulkan berbagai jenis bunyi) Garputala (alat pengukur getar
bunyi/suara atau tinggi nada) Audiometer & Blanko Audiogram (alat
kemampuan pendengaran dengan akurasi tinggi melalui tesaudiometri),
Mobile Sound Proof (kotak kedap suara sebagai perangkat tes audiometri),
Sound level meter (alat pengukur kuat suara),
b) Hearing Aids (Alat Bantu Dengar), Anak tunarungu mengalami
gangguan pendengaran baik dariringan sampai berat/total. Untuk
membantu pendengarannya dapat dilakukan menggunakan alat bantu
dengar (hearing aid ) seperti berikut ini. Model saku (alat bantu dengar
model-saku) Model belakang Telinga (alat bantu dengan model ditempel
dibelakang telinga) Model dalam Telinga (alat bantu dengan model
dimasukan langsung ke dalam telinga) Model kacamata (alat bantu dengar
model-kacamata yang diperuntukan sekaligus kelainan penglihatan)
Sementara itu, untuk membantu pendengaran dalam proses pembelajaran
dapat digunakan alat-alat berikut ini:
c) Latihan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi danIrama, Untuk
pengembangan kemampuan berkomunikasi dan bahasa dapat dilakukan
dengan menggunakan alat-alat sebagai berikut : Cermin (alat untuk
memantulkan gambar/bercermin) Alat latihan meniup (seruling, kapas,
terompet, peluit untuk merangsang pernafasan dalam rangka persiapan
perbaikan bicara) Alat musik perkusi (gong. gendang, tamborin, triangle,
drum, kentongan) Sikat getar (sikat dengan bulu-bulu khusus untuk
melatih kepekaan terhadap bunyi/getaran) Lampu aksen (kontrol suara
dengan lampu indikator) Meja latihan wicara (meja tempat anak belajar
berbicara Speech and Sound Simulation (alat pelatihan bina bicara yang
dilengkapi meja dan cermin) Spatel (alat bantu untuk membetulkan posisi
organ artikulasi terbuat dari stainless steel)
d) Alat Bantu Belajar, Untuk membantu penguasaan kemampuan di bidang
akademik, maka dibutuhkan layanan alat-alat yang dapat membantu
mengembangkan kemampuan akademik anak tunarungu antara lain:
Miniatur benda (bentuk benda sebenarnya dalam ukuran kecil) Finger
Alphabet (bentuk simbol huruf dengan isyarat jari tangan) Silinder
(bentuk-bentuk benda silindris), Kartu kata (kartu yang bertuliskan kata),
Kartu kalimat (kartu yang bertuliskan kalimat singkat), Menara segitiga
(susunan bentuk segi tiga dengan ukuran berurut dari kecil sampai besar),
Menara lingkaran (susunan gelang dari diameter kecil sampai besar),
Menara segi empat (susunan bentuk segi empat dengan ukuran berurut
dari kecil sampai besar), Peta dinding (peta batas wilayah, batas pulau dan
batas Negara yang dapat ditempel di dinding)
e) Alat Latihan Fisik, Untuk mengembangkan kemampuan motorik/fisik
anak tunarungu, alat-alat yang dipergunakan adalah sebagai berikut: Bola
dan Net Volley, Bola Sepak, Meja Pingpong, Raket, Net Bulutangkis, dan
Suttle Cock, Power Rider (alat untuk melatih kecekatan motorik) Static
Bycicle (sepeda statis)
3) Anak Tunagrahita
a) Alat Asesmen, Asesmen pada anak tunagrahita dilakukan untuk
mengukur tingka tintelegensi dan kognitif, baik secara individual maupun
kelompok. Alatuntuk asesmen anak tunagrahita dapat digunakan seperti
berikut ini:. Tes Intelegensi WISC-R (alat atau instrumen isian untuk
mengukur tingkat kecerdasan seseorang model WISC-R). Tes Intelegensi
Stanford Binet (alat atau instrumen isian untukmengukur tingkat
kecerdasan seseorang model Stanford Binet). Cognitive Ability test (alat
atau instrumen isian untuk mengukur tingkat pengetahuan yang dikuasai)
b) Latihan Sensori Visual, Untuk membantu sensori visual anak tunagrahita
dapat menggunakan alat sebagai berikut: Gradasi Kubus (bentuk-bentuk
kubus dengan ukuran yang bervariasi untuk melatih
kemampuan/pemahaman volume kubus) Gradasi Balok 1 (bentuk-bentuk
balok dengan ukuran yang bervariasi satu warna) Gradasi Balok 2
(bentuk-bentuk balok dengan ukuran yang bervariasi berbagai warna)
c) Latihan Sensori Perabaan, Anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk
membedakan dan mengenali bentuk. Untuk membantu sensori perabaan
anak tuna grahita dapat digunakan alat sebagai berikut: Keping Raba 1
(keping-keping benda dengan ukuran dan tekstur bervariasi) Keping Raba
2 (Gradasi Keping) (keping-keping benda dengan ukuran dan
tekstur/tingkat kehalusan tinggi) Keping Raba 3 (Gradasi Kain) (berbagai
kain dengan tingkat kekasaran/pakan/serat kain yang bervariasi) Alas
Raba (Tactile footh) (melatih kepekaan kaki pada lantai yang
dikasarkan/dilapis lantai bertekstur kasar)
d) Sensori Pengeca dan Perasa, Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk membedakan rasa dan membedakan aroma/bau. Untuk itu anak
tunagrahita perlu latihan sensori pengecap dan perasa. Alat yang
digunakan melatih sensori pengecap dan perasa dapat berupa: Gelas Rasa
(gelas yang berisi cairan/serbuk untuk mengukur tingkat sensitifitas rasa)
Botol Aroma (botol berisi cairan/serbuk untuk mengukur tingkat
sensitifitas bau) Tactile Perception(untuk mengukur analisis perabaan)
Aesthesiometer (untuk mengukur kemampuan rasa kulit)
e) Latihan Bina Diri, Anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk merawat
diri sendiri.Untuk itu anak tunagrahita perlu latihan bina diri.
4) Anak Tunadaksa
a) Alat asesmen kemapuan gerak, Alat yang digunakan untuk assesmen
anak tunadaksa seperti berikut ini: Finger Goniometer (alat ukur sendi-
daerah gerak) Flexiometer (alat ukur kelenturan) Plastic Goniometer (alat
ukur sendi terbuat dari plastik)
b) Latihan Fisik, Agar anak tunadaksa dapat melakukan kegiatan hidup
sehari-hari diperlukan latihan. Alat-alat yang dapat digunakan dapat
berupa: Pulley Weight (untuk menguatkan otot tangan dan perut) Kanavel
Table (untuk menguatkan otot tangan, pergelangan dan jari tangan)
Squeez Ball (untuk latihan daya remas tangan)
c) Alat Bina Diri, Alat-alat yang dapat digunakan dapat berupa: Swivel
Utensil (sendok khusus yang dimodifikasi untuk anak CP) Dressing Frame
Set (rangka pemasangan pakaian) Lacing Shoes (kaus kaki)
d) Alat Bantu Belajar, Untuk membantu penguasaan kemampuan di bidang
akademik,maka dibutuhkan layanan dan peralatan khusus. Alat-alat yang
dapat membantu mengembangkan kemampuan akademik pada
anaktunadaksa dapat berupa: Kartu Abjad untuk pengenalan huruf Kartu
Kata untuk pengenalan kata Kartu Kalimat untuk pengenalan kalimat
5) Tunalaras
a) Asesmen gangguan perilaku, Alat yang digunakan untuk assesmen anak
tunalaras seperti berikut ini Adaptive Behavior Inventory for Children
AAMD Adaptive Behavior Scale
b) Alat Terapi Perilaku, Alat-ala ttersebut dapat berupa: Pretend Game
(untuk membantu anak dalam bersosialisasidengan orang lain) Hide-Way
(untuk bermain sembunyi-sembunyian) Put me a tune (untuk latihan
menuangkan air ke cangkir)
c) Alat terapi fisik, Untuk mengembangkan kemampuan motorik/fisik anak
tunalaras, alat yang dapat digunakan seperti berikut ini: Matras Straight-
Type Staircase Bola Sepak Bola, Net Volley Meja Pingpong
6) Anak Cerdas Istimewa
a) Alat Asesmen, Alat yang digunakan untuk assesmen anak berbakat
seperti berikut ini: Tes Intelegensi WISC-R (alat atau instrumen isian
untukmengukur tingkat kecerdasan seseorang model WISC-R) Tes
Intelegensi Stanford Binet (alat atau instrumen isian untukmengukur
tingkat kecerdasan seseorang model Stanford Binet) Cognitive Ability Tes
(alat atau instrumen isian untuk mengukur tingkat pengetahuan yang
dikuasai) Differential Aptitude Test (alat atau instrumen isian
untukmengukur tingkat sikap)
b) Alat Bantu Akademik, Anak berbakat memiliki sifat selalu haus
pengetahuan dan tidak puas bila hanya mendapat penjelasan dari orang
lain, mereka ingin menemukan sendiri dengan cara trial and error
(mengadakan percobaan/praktikum) di laboraturium atau di masyarakat.
7) Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar,
a) Alat Asesmen, Alat yang digunakan untuk assesmen anak yang
mengalami kesulitan belajar seperti berikut ini:1) Instrumen ungkap
riwayat kelainan2) Tes Inteligensi WISC
b) Alat Bantu belajar, Kesulitan Belajar Membaca (Disleksi)Sarana khusus
yang diperlukan oleh anak yang mengalami kesulitan belajar membaca
(remedial membaca) meliputi: a)Kartu Abjad, b)Kartu Kata, c)Kartu
Kalimat. Kesulitan Belajar Bahasa Sarana khusus yang diperlukan oleh
anak yang mengalamikesulitan belajar bahasa (remedial bahasa) meliputi:
a)Kartu Abjad, b)Kartu Kata, c)Kartu Kalimat Kesulitan Belajar Menulis
(Disgrafia) Sarana khusus yang diperlukan oleh anak yang mengalami
kesulitan belajar menulis (remedial menulis) meliputi: a) Kartu Abjad, b)
Kartu Kata, c) Kartu Kalimat, d) Balok bilangan 1, e) Balok bilangan 24)
Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia)Sarana khusus yang
diperlukan oleh anak yang mengalami kesulitan belajar matematika
(remedial matematika) meliputi: a)Balok bilangan 1, b)Balok bilangan 2,
c)Pias angka, d)Kotak bilangan, e) Papan bilangan.

C. Contoh dan Aksebilitas Fisik dan Non Fisik


1) Aksebilitas Fisik,
 Jalan menuju sekolah. Pejalan kaki di lingkungan sekolah yang aksesibel
adalah memiliki kelebaran minimal 1,6 m untuk mempermudah pengguna
jalan dari dua arah yang berbeda, dilengkapi dengan kelandaian (curb
cuts) di setiap ujung jalan dan pemandu jalur taktil (guiding block).
 Halaman sekolah Pintu pagar yang digeser, mudah dan ringan untuk
dibuka dan ditutup, jembatan sekolah yang tertutup tanpa lubang-lubang
di tengah, lantai yang rata, atau dilengkapi dengan kelandaian (ramp).
 Pintu ruang kelas. Ukuran lebar pintu sekitar 160cm, mudah untuk
dibuka dan ditutup, merapat ke dinding ketika pintu terbuka, lantai antara
ruang kelas dan halaman kelas harus sama dilengkapi tesktur dan warna
yang berbeda dimuka pintu atau jika ada jarak diberikan kelandaian
dengan material yang tidak licin.
 Jendela. Sebaiknya jendela dibuat sliding/bergeser untuk membukanya,
bila daun jendela dibuka mengarah keluar maka daun jendela membuka ke
atas/dengan engsel di bawah. Bukaan jendela yang mengarah ke bawah,
akan membahayakan kepala peserta didik tunanetra.
 Koridor kelas Lebar koridor harus memberikan ruang gerak untuk
pengguna kursi roda minimal 160cm, lantai rata tetapi dilengkapi
pemandu jalur taktil dengan warna terang yang berbeda (guiding block),
ramp yang menghubungkan antar ruangan.
 Ruang kelas Gang antara barisan meja dan kursi harus memberikan
cukup gerak untuk semua anak termasuk pengguna kursi roda atau kruk.
Penempatan papan tulis harus mudah dijangkau oleh semua anak termasuk
kursi roda. Pencahayaan yang terang tapi tidak menyilaukan bagi anak
dengan gangguan penglihatan. Lokasi meja yang mudah dijangkau oleh
anak pengguna kursi roda.
 Perpustakaan. Ketinggian rak buku yang mudah dijangkau oleh semua
anak termasuk pengguna kursi roda, Ruang antar rak buku yang lebar agar
memudahkan anak untuk gerak, Fasilitas kursi dan meja yang tersedia
termasuk meja bagi anak pengguna kursi roda, Penomoran buku yang
mudah dimengerti dan ketersediaan dalam braille.

Managemen Penyelenggara Pendidikan Inklusi

A. Pengertian Manajemen Pendidikan Inklusi


Manajemen pendidikan inklusif merupakan proses keseluruhan kegiatan
bersama dalam bidang pendidikan inklusif yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengelolaan dan evaluasi dengan menggunakan dan memanfaatkan
fasilitas yang tersedia baik personel, material, maupun spritual untuk mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Perencanaan pendidikan inklusif merupakan
kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan
manusia, keuangan, metode, peralatan serta seluruh sumber daya yang ada untuk
efektifitas pencapaian tujuan pendidikan inklusif. Pengorganisasian pendidikan
inklusif menyangkut pembagian tugas untuk diselesaikan setiap anggota dalam upaya
pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Pengelolaan pendidikan inklusif meliputi
kepemimpinan, pelaksanaan supervisi, serta pengelolaan hubungan sekolah dan
masyarakat 4 sehingga tujuan sekolah inklusif dapat tercapai. Evaluasi pendidikan
inklusif dilakukan untuk menilai apakah segala kegiatan yang telah dilakukan telah
mencapai tujuan yang ditetapkan.

B. Ruang Lingkup Managemen Pendidikan Inklusi


Manajemen (berbasis) sekolah, memberikan kewenangan penuh kepada pihak
sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan,
mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan sekolah yang
bersangkutan. Komponen-komponen tersebut meliputi: Input siswa (kesiswaan), b.
Kurikulum, c. Tenaga kependidikan, d. Sarana-prasarana, e. Dana, f. Lingkungan
(hubungan sekolah dengan masyarakat), dan g. Kegiatan belajar-mengajar

C. Kriteria Managemen Pendidikan Inklusi


Depdiknas (2004:6) karakteristik Pendidikan Inklusi sebagai berikut ini:
a) Hubungan : Ramah dan hangat, contoh untuk anak tuna runggu: Guru selalu
berada didekatnya dengan wajah terarah pada anak dan
tersenyum.Pendamping kelas (orangtua) memuji anak tunarunggu dan
membantu anak lainnya.
b) Kemampuan : Guru, peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan
yang berbeda serta orang tua sebagai pendamping.
c) Pengaturan tempat duduk : Pengaturan tempat duduk yang bervariasi
seperti duduk berkelompok di lantai membentuk lingkaran atau duduk di
bangku bersama-sama sehingga mereka dapat melihat satu sama lain.
d) Materi Belajar : Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran,
contoh : pembelajaran matematika disampaikan melalui kegiatan yang lebih
menantang, menarik dan menyenangkan melalui bermain peran.Menggunakan
poster dan wayang untuk pelajaran bahasa.
e) Sumber : Guru menyusun rencana harian dengan melibatkan anak, contoh:
meminta anak membawa media belajar yang murah dan mudah didapat ke
dalam kelas untuk dimanfaatkan dalam mata pelajaran tertentu
f) Evaluasi : Penilaian: Obervasi, portofolio, yakni karya anak dalam kurun
waktu tertentu dikumpulkan dan dinilai

D. Pelaksanaan Manajemen Sekolah


a) Managemen kesiswaan : Manajemen Kesiswaan meliputi antara lain: (1)
Penerimaan Siswa Baru; (2) Program Bimbingan dan Penyuluhan; (3)
Pengelompokan Belajar Siswa; (4) Kehadiran Siswa; (5) Mutasi Siswa; (6)
Papan Statistik Siswa; (7) Buku Induk Siswa.
b) Managemen kurukulum : Manajemen Kurikulum (program pengajaran)
Sekolah Inklusi antara lain meliputi: (1) Modifikasi kurikulum nasional sesuai
dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa (anak luar biasa); (2)
Menjabarkan kalender pendidikan; (3) Menyusun jadwal pelajaran dan
pembagian tugas mengajar; (4) Mengatur pelaksanaan penyusunan program
pengajaran persemester dan persiapan pelajaran; (5) Mengatur pelaksanaan
penyusunan 7 program kurikuler dan ekstrakurikuler; (6) Mengatur
pelaksanaan penilaian; (7) Mengatur pelaksanaan kenaikan kelas; (8)
Membuat laporan kemajuan belajar siswa; (9) Mengatur usaha perbaikan dan
pengayaan pengajaran.
c) Managemen tenaga kependidikan : Manajemen tenaga kependidikan antara
lain meliputi: (1) Inventarisasi pegawai; (2) Pengusulan formasi pegawai; (3)
Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi; (4)
Mengatur usaha kesejahteraan; (5) Mengatur pembagian tugas.
d) Managemen sarana prasarana : Manajemen sarana-prasarana sekolah
bertugas merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan,
mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi 8 kebutuhan dan
penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara
optimal pada kegiatan belajar-mengajar
e) Managemen Keuangan : Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan
menganut asas pemisahan tugas antara fungsi : (1) Otorisator; (2) Ordonator;
dan (3) Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk
mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran
anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian
dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan
berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Bendaharawan adalah pejabat
yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang
serta diwajibkan membuat perhitungan 9 dan pertanggungjawaban
f) Managemen lingkungan : Untuk menarik simpati masyarakat agar mereka
bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal,
antara lain dengan cara memberitahu masyarakat 10 mengenai program-
program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang
dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat
mendapat gambaran yang jelas tentangsekolah yang bersangkutan
g) Mamagemen layanan khusus : Manajemen layanan khusus ini mencakup
manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana,
pendanaan, dan lingkungan.Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama
yang memahami ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus
ini.

E. Pembinaan dalam Sekolah Inklusi


a) Pembinaan terhadap pendidik dan tenaga pendidikan
1) Pendidikan khusus : Pendidikan khusus maksudnya adalah pendidikan
yang diperuntukan bagi individu yang secara khusus dibina secara
akademik dengan kurikulum dan pembelajaran yang terfokus pada
penanganan anak berkebutuhan khusus.
2) Mengadakan sosialisasi : Bentuk pembinaan bagi pendidik dan tenaga
kependidikan yakni melalui perkumpulan, yang tujuannya untuk
mengetahui lebih mendalam tentang pendidikan inklusif.
3) Mengikuti organisasi : Asosiasi ditunjukkan untuk membantu pendidik
dalam memperoleh informasi dan pengetahuan seputar pendidikan
inklusif, dan memberikan pendidikan yang sesuai dengan nilai
kemanusiaan dan memberikan akses yang seluas-luasnya bagi peserta
didik yang berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
4) Seminar : Seminar merupakan salah satu cara pembinaan bagi para
pendidik agar dapat mengetahui lebih jauh tentang pendidikan inklusif
seperti dalam seminar Agra pada tahun 1998
5) Mengadakan kerjasama dengan para ahli

b) Pembinaan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi


1) Workshop persiapan penyelenggaraan pendidikan inklusif di level
sekolah.
2) Pembentukan Tim Pendidikan Inklusif di level sekolah.
3) Rapat koordinasi (kepala sekolah,guru,tenaga lainnya, komite sekolah /
perwakilan orang tuasiswa, unsur desa / kelurahan, unsur dinas pendidikan
kecamatan, tokoktokoh masyarakat, tokoh agama, dan unsur pusat
sumber/sistem dukungan).
4) Penyusunan program/kegiatan jangka pendek,jangka menengah dan
jangka panjang
5) Sosialisasi pendidikan inklusif intern(disekolah)danekstern (dilingkungan
sekitar sekolah/masyarakat)
6) Kerjasama dengan pusat sumber.
7) Pembentukan/penugasan tim pendataan PDBK dan ABK di masyarakat
8) Pelaksanaan pendataan/penjaringan
9) Mengadministrasikan hasil pendataan/penjaringan
10) Validasi data hasil pendataan/penjaringan
11) Pemetaan/penempatan/tindak lanjut hasil pendataan/penjaringan
ABK/PDBK.
12) Pemetaan/penentuan pusat sumber (resource center)

c) Pembinaan terhadap anak berkebutuhan khusus


1) Menggunakan bimbingan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan anak
berkebutuhan khusus.
2) Bimbingan dilakukan secara berkala, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
3) Memberikan apresisasi terhadap anak berkebutuhan khusus, dengan
mengadakan suatu kegiatan atau acara yang memaksimalkan potensinya.
4) Melakukan kerjasama dengan teman sebaya, orangtua dan para ahli.

Anda mungkin juga menyukai