Anda di halaman 1dari 19

MUHAMMAD RIFKI

D10120404
TUGAS HUKUM
INTERNASIONAL

PERAIRAN PEDALAMAN,
PERAIRAN KEPULAUAN,
DAN LAUT TUTORIAL
PERAIRAN PEDALAMAN

 Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the
Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman
adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut
selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial
merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”.
 Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut
pedalaman, dan perairan darat.
 Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan
kepulauan atas dua golongan), yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No.
4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun
1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan
perairan daratan atau coastal waters.
 Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai
kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini
dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah
sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing.
Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang
ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada
hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya
dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk
yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.
PERAIRAN KEPULAUAN

 Sejarah Pengaturan Perairan Kepulauan


 Istilah Negara kepulauan (archipelago state) telah dikenal sebelum
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Tetapi konsepsi Negara
kepulauan sebagai kaidah hukum laut internasional yang baru dan
mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional, baru muncul
setelah di tandatanganinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada
tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jarnaica.
➢ Menurut UNCLOS 1982, pengertian :
•Pasal 46 butir (a) “Negara kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;
•Pasal 46 butir (b) “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian
pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu
sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki,
atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
•Pasal 47 Butir (1) Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah garis
pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan
karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis
pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana
perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah
antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu.
Menurut Mochtar, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia sebelum
berlangsungnya UNCLOS II, adalah Indonesia tidak dapat mengharapkan
UNCLOS mengambil keputusan negara-negara kepulauan. Selain itu,faktor
lain yang mendasarnya adalah, masih belum jelasnya dan ketidaktahuan negara
lain tentang konsepsi negara kepulauan. Konferensi Hukum Laut Internasional
yang kedua, (UNCLOS II) di Jenewa, Swiss, yang berlangsung dari tanggal 16
Maret sampai dengan 26 April 1960 juga mengalami kegagalan dalam
mengintegrasikan konsepsi negara kepulauan. Pada konferensi ini, upaya
Indonesia dilaksanakan dengan mengedarkan teks UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia dalam bahasa Inggris.
PENGATURAN KEDAULATAN DALAM
PERAIRAN KEPULAUAN

 Pengertian kedaulatan Negara atas perairan tidak sama dengan


kedaulatan Negara atas daratannya yaitu karena adanya pasal-
pasal lain yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengharuskan
dihormatinya hak-hak yang ada dan kepentingan yang sah dari
Negara-negara lain yang berkepentingan terhadap Negara
kepulauan ini.
Pasal 46 tentang Penggunaan istilah, untuk maksud Konvensi ini:

❖ “Negara kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu
atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;

❖ “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan


di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan
politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
Hingga saat ini, negara yang telah diakui memenuhi persyaratan
sebagai sebuah negara kepulauan hanyalah negara Indonesia, negara
Fiji, negara Papua Nugini, negara Bahama dan negara Filipina.
Sedangkan negara Ethiopia dengan kepulauan Danlac, negara
Ekuador dengan pulau Galapagos, negara Denmark dengan pulau
Faeroe, negara Spanyol dengan Ibiza Formentera dan negara
Australia dengan pulau Houtman Abrolhos tidak dikategorikan atau
tidak masuk dalam kualifikasi sebagai negara kepulauan karena
wilayah mereka tidak termasuk sebagai bagian dari negara
kepulauan.
LAUT TUTORIAL

 Laut Teritorial adalah bagian laut selebar 12 mil yang diukur


dari garis dasar ke arah laut. Dalam laut teritorial, negara
pantai mempunyai kedaulatan penuh kecuali hak lintas
damai bagi kapal - kapal niaga dan kapal - kapal perang
asing.
 Dalam wilayah laut teritorial ini pemerintah :
 1. Memiliki kedaulan penuh atas wilayah laut teritorial, ruang udara
diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, serta segenap sumber kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
 2. Membuat peraturan mengenai lintas laut damai yang berkenaan dengan
keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan serta fasilitas
navigasi, kabel laut, konversi sumber kekayaan, pencegahan pelanggaran
perikanan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah
kelautan, dan pencegahan pelanggaran peraturan cukai, fiskal, imigrasi dan
kesehatan.
 Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Internasional, kedaulatan
atas laut teritorial tidaklah berarti monopoli pelayaran bagi negara
tersebut dalam memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi. Dalam
wilayah laut teritorial, berlaku hak lintas laut damai bagi kepentingan
internasional / kendaraan - kendaraan asing. Sebaliknya, kendaraan -
kendaraan negara asing yang melakukan kegiatan lintas laut damai di
wilayah teritorial tidak boleh melakukan ancaman terhadap
kedaulatan dan keutuhan, atau kemerdekaan Negara Indonesia.
 Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang
merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang
terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5
mengenai penarikan garis pangkal.
 Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang
terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
 Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya
meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar
laut.
 Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water
mark) sebagai garis pangkal biasa (“normal” base-line).
 Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight
base-lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan
dalam keadaan-keadaan tertentu.
 Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat
dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni:
 1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut
masuk jauh kedalam.
 2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
➢ Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini
dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan” maka isi
keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal
59,tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan
berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi
suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu –
berlaku umum.
➢ Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam
UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain
diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya,
juga meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta
lapisan tanah dibawahnya.
➢ Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang
dalampasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu
lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-
pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan
(grondgebied) dari Indonesia” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan
sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya
diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena
itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan
UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.
TERIMAH KASIH

Anda mungkin juga menyukai