Laporan - Pendahuluan - KEJANG DAN DEMAM
Laporan - Pendahuluan - KEJANG DAN DEMAM
Oleh :
NIM : P00620219001
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLIKTEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAM BIMA
TAHUN 2021/2022
1
2
A. Defenisi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada
massa kanak-kanak (American Academy of Pediatrics,2008;Johnston, 2007).
Kejang demam biasanya menyerang anak dibawah umur 5 tahun, dengan insiden
puncak yang terjadi pada anak usia antara 14 dan 18 bulan. Kejang demam
jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan dan di atas 5 tahun. Kejang demam
lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan terjadi peningkatan risiko pada anak
yanga memiliki riwayat kejang demam pada keluarga. Kejang demam berkaitan
dengan demam, biasanya terkait penyakit virus. Kejang tersebut biasanya jinak,
tetapi dapat sangat menakutkan baik bagi anak maupun keluarga. Pada sebagian
besar kasus, prognosis sangat baik. Kejang demam ini terjadi tanpa adanya
infeksi intracranial, gangguan metabolik, (Reese C, et al, 2012).
B. Epidemiologi
Angka kejadian kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan- 5 tahun.
Anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 1,4 :
1. Kejang demam pertama paling sering terjadi pada usia 1 hingga 2 tahun
(Pusponegoro dkk,2006, Lumbantobing,2007).
C. Etiologi
Faktor penting dalam kejang demam adalah demam, umur, genetik, riwayat
prenatal dan perinatal. Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit yang
paling sering berhubungan dengan kejang demam. Gastroenteritis terutama yang
disebabkan oleh Shigella atau Campylobacter, dan infeksi saluran kemih
merupakan penyebab lain yang lebih jarang (Moe, et al, 2007).
D. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam sampai saat ini belum jelas. Diduga penyebab
kejang demam adalah respon otak imatur terhadap peningkatan suhu yang cepat.
Penyebab kejang diduga berhubungan dengan puncak suhu. Hipertermia
mengurangi mekanisme yang menghambat aksi potensial dan meningkatkan
transmisi sinaps eksitatorik. pada penelitian hewan didapatkan peningkatan
ekstabilitas neuron otak selama proses maturasinya. Suhu yang sering
menimbulkan kejang demam adalah 38,5%0C (Basuki, 2009).
3
E. Faktor Risiko
Faktor risiko yang bisa mencetuskan kejang demam antara lain :
1. Faktor Demam
Anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk terjadinya bangkitan
kejang demam 2,4 kali lebih besar dibandingkan anak yang mengalami
demam lebih dari dua jam. Anak dengan demam lebih besar dari 39 0C
memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang demam
disbanding dengan anak yang demam kurang 390C.
2. Faktor Usia
Anak dengan kejang demam usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko
bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar disbanding yang lebih dari dua
tahun. (Fuadi,2010).
3. Faktor Riwayat Kejang dalam Keluarga
Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor
risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun
saudara kandung (first degree relative).
a) Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
b) Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita
kejang demam mempunyau risiko untuk terjadi bangkitan kejang
demam 20%-22%.
c) Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang
demam meningkat menjadi 59%-64%. Demam diwariskan lebih banyak
oleh ibu dibandingkan ayaj, 27% berbanding 7% (Fuadi,2010)
4. Faktor Perinatal dan Pascanatal
Kehamilan pada umur lebih 35 tahun
Barat lahir sangat rendah atau amat sangat rendah memudahkan
timbulnya bangkitan kejang demam (Fuadi,2010).
5. Faktor Vaksinasi/Imunisasi
5
Risiko kejang demam dapat meningkat setelah beberapa imunitas pada anak,
seperti imunisasi difteri, tetanus dan pertuasis (DPT) atau measles-mumps-
rubella (MMR). (Mayo Clinic, 2012)
F. Klasifikasi Kejang Demam
1. Kejang demam Sederhana (KDS)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejadian kejang demam
(Pusponegoro, 2006).
2. Kejang Demam Kompleks (KDK)
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri
kejang lama yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali
dalam 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam
(Pusponegoro,2006).
G. Tanda dan Gejala Klinis
Kejang demam berlangsung singkat, serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral.
Seringkali kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak.
Setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa
deficit neurologis.
Peningkatan suhu tubuh mendadak hingga ≥ 38OC
H. Pemeriksaan Fisik
Batas suhu yang bisa mencetuskan kejang demam 38 OC atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Pemeriksaan fisik lainnya
bertujuan untuk mencari sumber infeksi dan kemungkinan adanya infeksi
intrakranial meningitis atau ensefalitis (Basuki, 2009)
6
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah
Untuk mencari etiologic kejang demam. Darah lengkap, kultur darah,
glukosa darah, elektrolit, magnesium, kalsium, fosfar, urinalisa, kultur urin
(The Barbara, 2011).
2. Urinalisis
Urinalisis direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak ditemukan
focus infeksinya (Guidelines, 2010).
3. Fungsi Lumbal
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
4. Radiologi
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah kejang demam sederhana.
Dipertimbangkan jika terdapat gejala klinis gangguan neurologis.
5. Elekroensefalografi (EEG)
Untuk menyingkirkan kemungkinan epilepsi.
J. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Kriteria Livingstone untuk kejang demam:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 4 tahun
2. Kejang berlangsung sebentar, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal
tidak menunjukan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
K. Penatalaksanaan
Pada tata laksana kejang demam, ada 3 hal yang perlu di kerjakan:
1. Pengobatan fase akut
Penanganan pada fase akut kejang demam antara lain:
a. Pertahankan jalan napas
b. Lindungi anak dari trauma/cidera
7
L. Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal.
Kemungkinan berulang kejang demam.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah: riwayat kejang demam dalam keluarga.
Usia kurang lebih 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, cepatnya
kejang setelah demam
Kemungkinan terjadinya epilepsi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,
tempat lahir, asal suku bangsa, agama, nama orang tua, pekerjaan orang
tua, penghasilan orang tua. Wong (2009), mengatakan kebanyakan
serangan kejang demam terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum
3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak yang
berusia kurang dari 18 bulan.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
9
m. Ekstermitas :
1) Atas : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral dingin.
2) Bawah : Tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral
dingin.
3. Aktivitas kejang
Meliputi karakteristik kejang, lama kejang, dan frekuensi kejang
4. Penilaian tingkat kesadaran
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai
GCS: 15-14.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11 - 10.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3.
5. Penilaian kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan otot tidak ada 0
Tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2
Terangkat sedikit < 45, tidak mampu melawan gravitasi 3
Bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, namun tidak mampu 4
melawan tahanan pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kekuatan otot normal 5
12
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
sirkulasi otak
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
3. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
13
C. Rencana Keperawatan
dan arahan mencegah injury dari 1 (berat) 3. Sediakan tempat tidur dan fisik bagi pasien.
masyarakat, ke 4 (Ringan) lingkungan yang bersih 3. Meminimalisir
bangunan dan atau 2. Mampu menggunakan fasilitas dan nyaman terjadinya cedera
perlengkapan; mode kesehatan yang ada dari 1 fisik bagi pasien.
transpor atau cara (sangat terganggu) ke 4( sedikit
perpindahan; terganggu) Manajemen Kejang 2680 1. Meminimalisisr rasa
Manusia atau 3. Mampu mengenali perubahan 1. Longgarkan pakaian tidak nyaman pada
penyedia pelayanan) status kesehatan dari 1 (sangat 2. Balikkan badan klien ke pasien
2. Biologikal ( contoh : terganggu) ke 4 (sedikit satu sisi 2. Mencegah
tingkat imunisasi terganggu) 3. Pandu gerakan klien komplikasi
dalam masyarakat, 4. Mampu memodifikasi gaya 4. Monitor arah kepala dan dekubitus
mikroorganisme) hidup untuk mencegah injury mata selama kejang 3. Meminimalisisr
3. Kimia (obat- dari 1 (berat) ke 4 (ringan) 5. Tetap di sisi klien selama adanya cedera
obatan:agen farmasi, kejang 4. Meminimalisir
alkohol, kafein, 6. Catat karakteristik kejang resiko cedera saat
nikotin, bahan kejang.
pengawet, kosmetik; 5. Melakukan
nutrien: vitamin, pengawasan saat
jenis makanan; pasien kejang
racun; polutan) 6. Mencatat frekuensi
4. Internal kejang
a. Psikolgik
(orientasi afektif)
17
b. Mal nutrisi
c. Bentuk darah
abnormal, contoh
:
leukositosis/leuko
penia
d. Perubahan faktor
pembekuan,
e. Trombositopeni
f. Sickle cell
g. Thalassemia,
h. Penurunan Hb,
i. Imun-autoimum
tidak berfungsi.
j. Biokimia, fungsi
regulasi (contoh :
tidak
berfungsinya
sensoris)
k. Disfugsi
gabungan
l. Disfungsi efektor
m. Hipoksia jaringan
18
n. Perkembangan
usia (fisiologik,
psikososial)
5. Fisik (contoh :
kerusakan
kulit/tidak utuh,
berhubungan dengan
mobilitas)
sumber pengetahuan, 1. Faktor resiko dari 1 (tidak ada penyakit dan bagaimana kebenaran informasi
DAFTAR PUSTAKA
Andretty Rezy P. 2015. Hubungan Riwatar Kejang Demam Dengan Angka Kejadian
eplilepsi di Dr.Moewardi. Universitas Muhammadiah Surakarta
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika .
Jones, T., & Jacobsen, S. T. 2007. Childhood Febrile Seizures: Overview and
Implication. Int J Med Sci.
Munir Badrul. 2015, Neurologi Dasar. Cetakan pertama, Universitas Brawijaya Malang,
Sagung Seto. Jakarta
Suriadi, Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta