Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BIOKIMIA & BIOMOLEKULAR

ANALISIS BIOKIMIA DARAH

OLEH:
KELOMPOK F6

Ghina Salwa Zahara(110121251)

A.A Riska Dwi Gangga(110121310)

Anisa Rachman(110121271)

Yuvita Sulo Datu(110121297)

Nadia Kasyalifa Attamimi(110121302)

Flik Setia Darma(110121323)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA


TAHUN PELAJARAN 2021-2022
Daftar Isi

PENDAHULUAN

I. Pendahuluan.........................................................................................

II. Pembahasan............................................................................
1.1 Myasthenia Gravis
1.2 Prednisolone
1.3 Serum Darah
1.4 Plasma Darah
1.5 Whole Blood

III. Kesimpulan.................................................................................

IV. Daftar Pustaka........................................................................................

V. Lampiran.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Darah merupakan komponen penting dalam kondisi fisiologis tubuh manusia . Darah manusia
berfungsi untuk mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di dalam tubuh. Darah juga
menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung
berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit.
Adapun struktur dari darah yaitu plasma darah, serum darah, sel-sel darah ( sel darah merah,
trombosit, sel darah putih).
Darah ialah suatu cairan tubuh yang kental dan berwarna merah. Kekentalan ini disebabkan banyaknya
senyawa dengan berbagai berat molekul dari yang kecil sampai yang besar, seperti protein yang
terlarut di dalam darah. Warna merah memberikan ciri yang khas karena adanya senyawa berwarna
merah dari sel darah merah (SDM) yang tersuspensi di dalam darah. Adanya berbagai macam senyawa
ini menyebabkan darah menjadi cairan dengan massa jenis dan kekentalan (viskositas) yang lebih
besar dari pada air, yaitu massa jenis darah 1,054-1,060. Warna darah dapat berubah menjadi lebih
gelap pada kondisi methemoglobinemia yaitu meningkatnya kadar methemoglobin yang terbentuk dari
oksidasi haemoglobin. Darah juga dapat berwarna lebih terang dari normal biasanya pada kondisi
keracunan gas karbonmonoksida (CO) sehingga kadar karbon di hemoglobin dalam darah tersebut
meningkat.
Beberapa pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada darah adalah pemeriksaan darah lengkap
dan analisis elektrolit plasma. Analisis elektrolit plasma dilakukan dengan pengukuran terhadap
natrium, klorida, kalium dan bikarbonat, juga kalsium, magnesium dan fosfat. Pemeriksaan lainnya
mengukur jumlah protein (biasanya albumin), gula (glukosa) dan bahan limbah racun yang secara
normal disaring oleh ginjal (kretinin dan urea-nitrogen darah). Sebagian besar pemeriksaan darah
lainya membantu memantau fungsi organ lainnya. Karena darah membawa sekian banyak bahan yang
penting untuk fungsi tubuh, pemeriksaan darah bisa digunakan untuk mengetahui apa yang terjadi
terjadi di dalam tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN

Pembahasan
1.1 Myasthenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan transmisi neuromuskular dapatan yang paling banyak.
Penyakit ini terjadi akibat produksi autoantibodi patogenik yang berikatan dengan neuromuscular
junction (NMJ), terutama reseptor asetilkolinesterase (AChR). Kerusakan yang mendasarinya
adalah berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ secara
menyeluruh dan merusak membran postsinaptik. Prevalensi MG sekitar 1 kasus dalam 10.000-
20.000 orang. MG lebih sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada anak dan bisa timbul
segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun Wanita lebih sering terkena pada usia dekade
kedua dan ketiga, dan laki-laki lebih sering pada usia dekade kelima dan keenam. MG adalah suatu
kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka
yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada NMJ. Epidemiologi MG
merupakan penyakit yang jarang ditemui, insidennya 5,3 per 1.000.000 orang per tahun dan
prevalensinya 77,7 per 1.000.000 orang per tahun. Angka insidensi berdasarkan jenis kelamin
meningkat sesuai pertambahan usia. Jenis kelamin lakilaki mendominasi pada kelompok usia tua.
Angka kematian MG berkisar antara 0,06- 0,89 per 1.000.000 orang per tahun.
Gejala Klinis
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Keluhan kelemahan meningkat
sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas dan mengalami perbaikan dengan istirahat. Ciri-
cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot pernapasan dan anggota
gerak. Sekitar setengah pasien memiliki keluhan okular. Yang lain dapat mengeluhkan gejala
pernapasan, disarthria, disfagia, atau kelelahan dan kelemahan otot anggota gerak. Kelemahan otot
okular biasanya bilateral dan asimetris serta menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya.
Kelemahan alat anggota gerak dan batang tubuh biasanya distribusinya lebih banyak di proksimal
dibandingkan di distal. Otot quadriseps, triseps, dan ekstensor leher tampak lebih dulu terkena.
Gejala yang paling serius adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan
interkostal. Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala bulbar berat, dapat memuncak dan
disebut krisis miastenik dan membutuhkan ventilasi mekanik. Kehamilan dapat menyebabkan
eksaserbasi MG, dengan risiko terbesar selama trimester pertama. Pada beberapa pasien, gejala dan
tanda membaik selama trimester kedua dan ketiga, bersamaan dengan imunosupresif relatif yang
terjadi selama fase kehamilan ini. Risiko tinggi kemudian kembali lagi selama periode postpartum.
Sekitar sepertiga bayi dengan ibu menderita MG autoimun mengalami miastenia
neonatalperalihan, yang kelemahannya tampak dalam 4 hari pertama kehidupan dan biasanya
berakhir selama 3 minggu. Kelemahan merupakan hasil dari transfer antibodi maternal melalui
plasenta ke dalam sirkulasi darah bayi, tetapi tidak ada kaitan yang jelas antara kelemahan neonatal
dan status klinis maternal atau kadar antibodi. Bayi yang menderita juga malas makan dan
tangisannya lemah.

1.2 Prednisolone
Prednison merupakan pro drug, yang di dalam hati akan segera diubah menjadi prednisolon,
senyawa aktif steroid. Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki stuktur
kimia tertentu yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Suatu molekul
steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa
kortikosteroid (Ikawati, 2006). Prednison memiliki rumus molekul C21H26O5 dengan berat
molekul 358,43 (Depkes RI, 1995).
Gambar 2.1. Struktur molekul Prednison (Dirjen POM, 1995)
Prednison memiliki nama kimia 17,21-Dihidroksipregna-1,4-diena- 3,11,20-trion dengan pemerian
serbuk hablur putih atau praktis putih, tidak
berbau, melebur pada suhu 230 °C disertai peruraian. Prednison mempunyai kelarutan sangat sedikit
larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, metanol, kloroform, dan dioksan (Depkes RI, 1995).
Prednison adalah obat golongan kortikosteroid dengan mekanisme kerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi
pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang kan menghasilkan
efek fisiologik steroid (Darmansjah, 2005).
Prednison memiliki efek samping yang terbagi menjadi efek jangka pendek dan efek jangka
panjang. Efek samping jangka pendek yang dapat terjadi dari penggunaan prednison yang tidak
sesuai dosis seperti peningkatan kadar glukosa darah terutama pada penderita diabetes mellitus,
retensi cairan, insomnia, serta euphoria. Efek jangka panjang diantaranya sindroma cushing,
osteoporosis yang di induksi steroid, glaukoma, diabetes mellitus tipe 2, migrain, nyeri perut, serta
peningkatan berat badan (Darmansjah, 2005).

1.3 Serum Darah


Serum merupakan bagian dari darah yang tersisa setelah darah membeku, yang didapatkan dengan
cara disentrifugasi sehingga terdapat supernatan yang berada diatas sel darah merah. Pembekuan
akan mengubah semua fibrinogen menjadi fibrin dengan menghabiskan semua faktor V, VIII dan
protombin. Faktor pembekuan lain dan protein yang tidak ada hubungannya dengan hemostasis,
akan tetap ada di dalam serum dengan kadar yang sama seperti di dalam plasma.
Serum yang normal, tidak terdapat protombin, fibrinogen, faktor V, faktor VIII dan faktor XIII. Serum
yang normal terdapat kandungan faktor VII, faktor IX, faktor X, faktor XI dan faktor XII. Apabila
proses pembekuan tidak normal, di dalam serum masih akan terdapat faktor pembekuan seperti
fibrinogen, produk perombakan fibrinogen atau protombin yang tidak diubah.
Serum darah mengandung kalium garam elektrolit lengkap, terdiri dari natrium, magnesium,
kalium dan kalsium murni tanpa penambahan zat –zat anti pembekuan darah. Kandungan kalium
dalam serum darah berkisar antara 3,5 – 5,5 mEq/L (Subiyono, dkk 2016).
1.4 Plasma Darah
Plasma darah adalah suatu campuran antara protein anion dan protein kation yang sangat kompleks.
Protein yang terkandung di dalam plasma darah terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok protein yang
menyediakan nutrisi untuk sel-sel, sedangkan kelompok protein yang kedua adalah yang terlibat di
dalam transport bahan kimia.
Plasma darah didapatkan dari darah segar yang dicampur dengan antikoagulan untuk mencegah
terjadinya pembekuan darah, kemudian disentrifugasi, maka cairan darah yang berada diatas sel
eritrosit itulah yang disebut dengan plasma darah. Di dalam cairan plasma terdapat 70% albumin,
globulin, dan fibrinogen. Jumlah plasma darah adalah berkisar antara 55 – 70% dari total darah
(Nugroho, 2010).
Plasma darah merupakan bagian dari darah yang paling banyak yaitu sekitar 50 – 60% bagian.
Komposisi plasma darah terdiri dari 90% air, dan 10% zat-zat terlarut dalam tubuh. Zat terlarut
tersebut terdiri dari protein, hormon, nutrisi (glukosa, vitamin, asam amino, dan lemak), gas
(oksigen dan karbondioksida), garam-garam elektrolit (kalium, natrium dan magnesium). Plasma
darah mengandung kalium yang berfungsi sebagai penyeimbang tekanan osmosis,
mempertahankan pH (buffer), fungsi saraf dan otot, dan mengatur permebeabilitas membran sel.
Kandungan kalium dalam plasma darah adalah berkisar 3,0 – 5,5 mEq/L.

1.5 Whole Blood


Darah Utuh (Whole Blood)
Darah utuh atau Whole Blood merupakan darah yang kondisi atau bentuknya sama dengan keadaan
ketika beredar dalam darah. Spesimen darah ini dapat melalui vena dan kapiler. Darah utuh
mempunyai kekurangan yaitu mudah membeku sehingga butuh antikoagulan untuk
penyimpanannya atau bisa diproses lebih lanjut. Tetapi sebagian besar laboratorium menggunakan
serum. Untuk jenis antikoagulan dapat disesuaikan dengan jenis
pemeriksaan yang akan dilakukan (Riswanto, 2013).

Riswanto. 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Alfamedika dan Kanal Medika. Yogyakarta
Nugroho, M.S. (2010). Ginekologi dan obstetri (OBSGYN). Yogyakarta : Nuha
Medika
Subiyono, dkk. 2016. Gambaran Kadar Glukosa Darah Metode GOD-PAP (Glucose Oxsidase –
Peroxidase Aminoantypirin) Sampel Serum dan Plasma EDTA (Ethylen Diamin Terta Acetat).
Jurnal Mediklab Vol 2 hal 20 Tersedia pada web
https://www.teknolabjournal.com/index.php/Jtl/article/download/77/56/.

Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, hal 43-50,


BAB III
KESIMPULAN

Tujuan utama dilakukannya pemeriksaan darah lengkap adalah mengetahui kondisi kesehatan
pesertanya secara keseluruhan. Selain itu, pemeriksaan darah lengkap juga bertujuan untuk mendeteksi
gangguan kesehatan yang berkaitan dengan darah. Contohnya seperti penyakit anemia, leukemia, hingga
gangguan pembekuan darah. Myasthenia Gravis (MG) adalah salah satu penyakit gangguan autoimun
yang menganggu system sinaps. Pada penderita myasthenia gravis, sel antibody tubuh atau kekebalan
tubuh akan menyerang sinaps yang mengandung asetilkolin (Ach), yaitu neurotransmitter yang
mengantarkan rangsangan dari saraf sat uke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan
menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan
kelemahan otot.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Roviati. E. (2009) PEMERIKSAAN KOMPONEN DARAH (ANALISIS DARAH) hal 2


Hupitoyo, mudayanthiningsi.S. (2019). Buku Biokimia darah. Hal 261

http://repository.unimus.ac.id/1351/4/BAB%20II.pdf

Dwimartyono, Fendy. 2019. Nyeri Neuropatik pada penderita myasthenia Gravis. Green medical Journal. (a).
http://greenmedical journal.umi.ac.id lindex.php/gmj.
Whalen,karen. Radhakrishnan, Rasan . Field,c. 2019. Pharmacology seventh edition. China.

Riswanto. 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Alfamedika dan Kanal Medika. Yogyakarta
Nugroho, M.S. (2010). Ginekologi dan obstetri (OBSGYN). Yogyakarta : Nuha
Medika
Subiyono, dkk. 2016. Gambaran Kadar Glukosa Darah Metode GOD-PAP (Glucose Oxsidase – Peroxidase
Aminoantypirin) Sampel Serum dan Plasma EDTA (Ethylen Diamin Terta Acetat). Jurnal Mediklab Vol 2 hal 20
Tersedia pada web https://www.teknolabjournal.com/index.php/Jtl/article/download/77/56/.

Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, hal 43-50,


BAB V
LAMPIRAN

Analisis Kasus

Nyonya A, 42 tahun, mengeluhkan peningkatan kelelahan otot ekstremitas bawah


saat berjalan dan Jika dia beristirahat selama 5 sampai 10 menit kekuatan ototnya
kembali normal. Beliau juga mengeluhkan, kemampuannya mengucapkan kata-kata
juga mengalami penurunan. Hasil diagnosa dokter nyonya A menderita myasthenia
gravis. Dokter meresepkan prednisolon.
Jelaskan hal berikut ini !
a. Mengapa penderita myasthenia gravis mengalami kelelahan otot?
Jawab: Miastenia gravis (MG) adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sinaps Pada penderita MG, sel antibodi tubuh atau kekebalan tubuh akan menyerang sinaps
yang mengandung asetilkolin (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf
satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga
komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.
(Dapus: green medical journal)

b. Apakah dasar pengunaan obat prednisolon pada kasus ini?


Jawab: Dasar penggunaan obat prednisolon pada kasus ini yaitu obat kortikosteroid seperti prednisolon
bisa digunakan untuk membantu menekan respons imun tubuh yang berlebihan. beberapa studi
restrospektif menunjukkan bahwa terapi awal dengan prednisolone oral dapat memperlambat onset dan
tampaknya juga memperlambat perkembangan penyakit dari miastenia okular menjadi general.

(Sumber: green medical journal 2019)

c. Reseptor apakah yang terlibat pada kasus ini? Apakah yang dimaksud dengan reseptor ?
Jawab : Reseptor yang terlibat adalah reseptor Asetilkolin (AChR) Reseptor didefinisikan sebagai molekul
biologis apapun yang mengikat obat dan menghasilkan respons yang terukur. Dengan demikian,
enzim,asam nukleat, dan protein struktural dapat bertindak sebagai reseptor untuk obat atau agonis
endogen.

(Sumber : -whalen 7th edition)

Tugas
Jelaskan perbedaan serum dengan plasma, lampirkan gambar nya, dan tuliskan cara mendapatkan serum
dan plasma yang berasal dari whole blood!
Jawab:
Cara Mendapatkan:
-Serum diperoleh dari spesimen darah yang tidak ditambahkan antikoagulan dengan cara memisahkan
darah menjadi 2 bagian dengan menggunakan sentrifuge, setelah darah didiamkan hingga membeku
kurang lebih 15 menit.
-Plasma diperoleh dengan cara memisahkan sel-sel darah dari darah (whole blood) dengan cara
sentrifugasi.

Anda mungkin juga menyukai