Anda di halaman 1dari 11

MUNAKAHAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah “ Fiqih”

Dosen pengampu :

Disusun oleh

Kelompok :

1. Feby Karina (12160123465)


2. Nur Alifah Sadillah (12160123290)
3. Sekar Raudhatul Jannah (12160123876)
4. Vingky Dinda Anggriani (12160123507)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGRI ISLAM (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021/2022

KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah,segala puji atas kehadirat Allah SWT,atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua,terutama kepada kami sehingga dapat
menyusun makalah ini pada tepat waktu.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah fiqih
dengan judul “ Fiqih Munahakat dan Aurat.”

Adapun penulisan dalam makalah ini,disusun secara sistematis dan berdasarkan


metode-metode yang ada,agar mudah dipelajari dan dipahami sehingga dapat menambah
wawasan pemikiran para pembaca.

Dalam penulisan makalah ini,kami menyadari sepenuhnya adanya kekurangan. Oleh


karena itu,kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca agar dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, September 2021

Penulis
Daftar isi

Kata pengantar

Daftar isi

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Munakahat
B. Fiqih Ijab Qabul
C. Fiqih Wali
D. Fiqih Saksi
E. Fiqh Talaq
F. Fiqh Iddah
G. Fiqih Ruju’

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan ditinjau dari hukum syariat merupakan akad yang menghalalkan
pergaulan sebagai suami istri (termasuk hubungan seksual) antara seorang laki-laki
dan seorang perempuanyang bukan mahram untuk memenuhi berbagai persyaratan
tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun
keluarga yang sehat secara lahir dan batin. Jika seseorang sudah dianggap mampu
untuk melaksanakan pernikahan maka sangat dianjurkan kepadanya agar segera
melakukannya karena itu akan mencegahnya dari perbuatan zina. Seperti halnya
firman Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21 tentang anjuran
menikah :

ٍ َ‫ق لَ ُكم ِّم ْن َأنفُ ِس ُك ْم َأ ْز ٰ َوجًا لِّتَ ْس ُكنُ ٓو ۟ا ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِى ٰ َذلِكَ َل َءا ٰي‬
‫ت لِّقَوْ ٍم‬ َ َ‫َو ِم ْن َءا ٰيَتِ ِٓۦه َأ ْن خَ ل‬
َ‫يَتَفَ َّكرُون‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Sebuah pernikahan dapat mempererat hubungan antara keluarga suami dan


keluarga istri, dan pada gilirannya mempererat hubungan kasih sayang serta menjalin
persaudaraan antar anggota masyarakat yang sebelumnya mungkin tidak atau belum
saling mengenal. Namun terkadang pernikahan bisa menimbulkan perselisihan antar
beberapa pihak yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Salah satu hal
yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga ialah karena pernikahan yang
dilangsungkan tidak sepenuhnya diridhoi atau direstui oleh orang tua.

Budaya manusia tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat lainnya,
bahkan kebudayaan itu senantiasa berubah dari generasi ke generasi secara turun
temurun. Kalau ajaran islam benar-benar diyakini keuniversalnya, tentu
keberlakuannya tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu dari generasi ke generasi.
Hanya saja, Nabi saw yang diutus untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat
posisinya yang multidimensi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi pernikahan?
2. Bagaimana konsep pernikahan dalam islam?
3. Apa hukum dilakukannya pernikahan?
4. Apa saja syarat dan rukun pernikahan?
5. Apa hikmah pernikahan?
6. Apa saja larangan dalam pernikahan dalam Islam?
7. Bagaimana kafaah dalam munahakat?

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan utama dalam pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan yang lebih rinci mengenai materi mata kuliah fiqih yang dipelajari di
semester 1 ini yang belum di ketahui sebelumnya, yaitu tentang munahakat
(pernikahan dalam Islam).

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Munakahat
Kata munakahat yang terdapat dalam bahasa arab yang berasal dari akat kata
na-ka-ha yang terdapat dalam bahasa Indonesia yang berarti pernikahan. Munakahat
atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah suatu cara yang Allah
tetapkan sebagai jalan bagi manusia yang beranak, berkembang biak, dan menjaga
kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Selain itu, perkawinan adalah
sunatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah yang tujuannya untuk
melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Allah Swt berfirman :

َ‫َو ِمن ُك ِّل َش ْى ٍء خَ لَ ْقنَا َزوْ َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬


Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa


perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangar kuat atau miitsaqon
gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

B. Fiqih Ijab Qabul


1. Pengertian Ijab Qabul (Akad Nikah)
Akad nikah terdiri dari dua kata,yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya
janji,perjanjian;kontrak. Sedangkan nikah yaitu ikatan (akad) perkawinan yang di
lakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
2. Dasar Hukum Akad Nikah
Dalam suatu pernikahan, akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya.
Karena ia adalah salah satu rukun dalam pernikahan. Dasar hukum wajibnya akad
nikah dalam suatu pernikahan yaitu Firman Allah SWT yang artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil kamu dari perjanjian yang kuat” (Q.S. An-Nisa’/4:21)
Selain ayat tersebut,ada juga potongan hadist Nabi saw ketika beliau berkhutbah
yang berbunyi:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kalian
mengambil (menikahi) mereka dengan kepercayaan Allah, dan kalian halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
3. Syarat-syarat Dalam Ijab Qabul
a. Harus ada kata “aku nikahkan” atau “kami nikahkan” untuk mempertegas
prosesi. Bisa di ucapkan dengan berbagai bahasa,asalkan maknanya jelas.
b. Saat mengucapkan,wali harus menyebut nama calon mempelai laki-laki dan
perempuan. Laki-laki harus menyebut nama calon istri. Bisa menggunakan
nama lengkap, nama panggilan ataupun keduanya.
c. Harus disertai dengan penyebutan mahar yang diberikan

C. Fiqih Tentang Wali


1. Pengertian Wali
pengertian wali secara terminologi, para ulama memberikan definisi yang
berbeda-beda, namun apabila dicermati dari beberapa definisi itu mengarah
pada satu titik kesimpulan yang saling menguatkan. Untuk lebih jelasnya, di
antara definisi-definisi itu adalah :
a. Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh ala-mazhabi al-arba’ah
mengatakan : “wali dalam pernikahan adalah orang yang tergantung
padanya sah akad nikah, maka tidak sah (nikah) tanpa dia”
b. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, wali dalam perkawinan itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan
yang dilakukan oleh walinya

2. Dasar Hukum Perwalian


Adanya wali bagi seorang wanita dalam akad nikahnya merupakan rukun akad
nikah tersebut. Dasarnya adalah firman Allah dalam surat (Al- Baqarah : 232):
“Dan apabila kamu menceraikan perempuan, kemudian telah habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (wanita-
wanita yang di bawah perwaliannya) kawin dengan bakal suaminya, apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui”.
Dalam ayat ini menjelaskan, bahwa Allah menyerahkan menyerahkan perkara
perkawinan kepada pihak pria, bukan kepada kaum wanita, serta larangan
dalam ayat ini ditujukan kepada wali, maksudnya ialah bahwa para wali
termasuk di antara orang-orang yang dapat menghalangi berlangsungnya
perkawinan, seandainya perkawinan itu dilaksanakan tanpa meminta izin
kepada mereka, atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan agama.
Dari hadits Rasulullah saw tentang perlunya wali dalam pernikahan ini adalah,
hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa,
“Dari Abi Musa bahwa Rasulullah saw berkata Tidak sah nikah tanpa wali”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Hibban, dan Hakim dan disahkan oleh
keduanya).

3. Kedudukan Wali Dalam Pernikahan


Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak
sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan
sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang
yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.

Para ulama sepakat mendudukkan wali sebagai rukun dan syarat dalam akad
perkawinan terhadap mempelai yang masih kecil. Di karenakan mempelai
yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya dan oleh
karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya. Namun bagi perempuan yang
telah dewasa baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda
pendapat.

Imam Abu Hanifah atau dikenal juga dengan Imam Hanafi mengatakan bahwa
seorang wanita boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan
aqad nikah sendiri, baik ia perawan (gadis) ataupun janda. Tidak seorangpun
yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan
syarat, orang yang dipilihnya itu se-kufu (sepadan) dengannya dan maharnya
tidak kurang dari mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih seorang laki-laki yang
tidak se-kufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya dan meminta
kepada qadhi untuk membatalkan aqad nikahnya. Kemudian apabila wanita
tersebut nikah dengan laki-laki dengan mahar kurang dari mahar mitsil, qadhi
boleh meminta membatalkan aqadnya bila mahar mitsil tersebut tidak
dipenuhi oleh suaminya.

Kafa’ah/kufu, artinya persamaan atau sesuai. Bagi orang-orang yang


menganggapnya sebagai syarat dalam perkawinan, adalah hendaknya seorang
laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita (yang akan menjadi
isterinya).
Hal-hal yang diharuskan se-kufu menurut Imam Abu Hanifah ialah :
1. Islam
2. Merdeka
3. Keahlian
4. Nasab,dan
5. Harta atau kelapangan hati

Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi
syarat sahnya nikah. Pendapat ini juga di anut dan dikemukakan oleh Imam
Syafi’i. Imam Syafi’i menambahkan bahwa wali merupakan salah satu rukun
dalam pernikahan, terpenuhinya rukun ini menjadi salah satu sebab sahnya
pernikahan, sebaliknya tidak adanya wali dalam pernikahan menyebabkan
pernikahan itu tidak sah.

4. Syarat-syarat Wali Nikah


Para ulama sepakat bahwa orang yang berhak menjadi wali itu ialah:
a. Mukallaf
Wali haruslah orang yang mukallaf (dewasa), karena orang yang mukallaf
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam arti lain bahwa
anak kecil tidak berhak menjadi wali karena anak kecil belum bisa
dikatakan orang yang mukallaf, semua amalan ibadahnya belum bisa dia
pertanggung jawabkan dalam urusan ibadah salah satunya dalam urusan
wali dalam pernikahan.
b. Muslim
Disyaratkan wali nikah haruslah orang islam apabila orang yang menikah
itu beragama islam, maka tidak boleh yang menjadi wali dari orang non
islam, kecuali orang islam juga, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
dalam surat Al –Imran ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.”
c. Laki-laki
Wali nikah mesti orang laki-laki, maka perempuan tidak boleh menjadi
wali. Para ulama fiqih berbeda pendapat masalah wanita sebagai wali,
Imam Malik, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa tidak sah suatu
pernikahan apabila wanita yang menjadi walinya dan tidak sah pula
pernikahan apabila wanika menikahkan dirinya sendiri (tanpa wali). Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa sah suatu pernikahan yang walinya
seorang wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri.
d. Berpikiran Baik
Orang yang terganggu pikirannya karena ketuannya tidak boleh menjadi
wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam
perkawinan tersebut.
D. Fiqih Tentang Saksi

E. Fiqih Tentang Talaq


1. Pengertian Talaq
Talaq merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Talaq dibenarkan
oleh agama, namun ia merupakan tashri’ yang bersifat pengecualian karena
situasi darurat. Setelah terjadi talaq, agama masih memberi kesempatan untuk
kembali lagi, bahkan tanpa perlu saksi sepanjang dalam masa iddah. Hal itu
menunjukkan bahwa semaksimal mungkin talaq harus di hindari.
Secara shar’i talaq adalah melepaskan ikatan pernikahan menggunakan lafaz
talaq atau yang semacamnya. Sayyid Sabiq mendefinisikannya dengan
“melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Disamping Al-Qur’an dan sunnah, ulama juga sepakat bahwa talaq
dibenarkan, sekalipun pada dasarnya talaq tersebut dibenci oleh Allah. Namun
demikian, hukum talaq dapat berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi
masing-masing, sebagai berikut:
a. Wajib, jika terjadi perselisihan (shiqaq) antara suami istri secara terus
menerus dan tidak dapat di selesaikan melalui dua orang hakam.
Kewajiban menjatuhkan talaq juga tidak berlaku jika suami tidak mampu
menjalankan kewajiban sebagai suami sehingga menyebabkan madarat
bagi istri.
b. Haram,menjatuhkan talaq ketika istri sedang haid atau suci yang sudah di
campuri. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan Ibn
‘Umar untuk kembali kepada istrinya karena menceraikannya dalam
keadaan haid. Hukum haram juga berlaku bagi mereka yang menjatuhkan
talaq, sementara akibat talaq adalah hukum asal talaq.
c. Makruh,menjatuhkan talaq tanpa ada alasan yang jelas, namun tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina jika terjadi perceraian. Makruh adalah
hukum asal talaq.
d. Mubah,jika alasan tertentu, seperti buruknya perilaku istri,buruknya
perlakuakn terhadap suami dan lain-lain
e. Sunnah, yaitu bila istrinya tidak patuh pada hukum Allah, seperti
meninggalkan shalat, sementara suami tidak mampu memaksanya
2. Rukun dan Syarat Talaq
Rukun talaq menurut Hanafiyah hanya satu, yakni lafaz talak. Sementara
menurut Jumhar ada lima, yakni suami menjatuhkan talaq, istri yang di talaq,
sighat dan ada kehendak menjatuhkan talaq.
Adapun syarat sah menjatuhkan talaq adalah:
a. Talaq hanya dapat dijatuhkan oleh suami atau yang mewakili, yang baligh,
dan tidak dalam paksaan. Talaq yang dijatuhkan orang gila, walaupun
gilanya datang dan pergi tidak sah, jika talaq tersbut dijatuhkan saat dia
gila. Hanabilah menilai sah talaq yang dijatuhkan anak yang mumayyiz
sepanjang ia berakal dan mengetahui akibat hukum dari talaq. Hanafi
berpendapat bahwa talaq yang dijatuhkan dalam keadaan dipaksa,sah.
b. Ada kehendak menjatuhkan talaq. Dalam hal ini seseorang sengaja
mengucapkan lafaz-lafaz talaq sesuai maknanya, sekalipun tanpa didahului
niat. Dengan demikian, talaq tidak perlu didahului niat sepanjang
dilakukan dengan sengaja dengan lafaz sarih (jelas dan tegas). Sebaliknya,
seseorang yang menyebutkan ata talaq kepada istrinya namun dimaksud
untuk nyanyian,atau mengajar,tidak jatuh talaq.
c. Sasaran talaq adalah istri yang sedang terikat pernikahan sekalipun belum
terjadi senggama, atau sedang menjalani masa ‘iddah talak raj’i. Seseorang
yang menjatuhkan talaq kepada wanita yang belum menjadi istrinya,tidak
sah.
d. Ada hubungan pernikahan sah antara laki-laki dan perempuan tersebut.
e. Lafaz talaq harus mengandung makna pelepasan ikatan nikah, baik secara
sarib (jelas dan tegas), yakni talaq firaq, dan al-sarh maupun kinayah
(sindiran). Lafaz yang sarih tidak perlu niat,sementara lafaz sindiran harus
disertai niat untuk menjatuhkan talaq. Talaq dapat dijatuhkan dengan lisan,
tulisan ataupun isyarat
3. Macam-macam Talaq
a. Talaq raj’i. Yaitu talaq dimana suami sapat kembali kepada
istrinyac(ketika masih dalam masa ‘iddah) tanpa perlu melakukan
pernikahan baru.
b. Talaq ba’in. Yaitu talaq dimana suami tidak dapat kembali kepada istrinya
tanpa melakukan pernikahan baru. Talaq ba’in menyebabkan keduanya
tidak dapat saling mewarisi jika salah satu meninggal sekalipun istri dalam
masa ‘iddah.
c. Talaq sunni yaitu talaq yang sesuai dengan tuntunan agama, yakni talaq
yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci dan belum di campuri,
atau dalam keadaan hamil.
d. Talaq bid’i adalah talaq yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, yaitu
talaq yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci yang sudah
dicampuri atau dalam keadaan haid. Talaq jenis ini hukumya haram,namun
tetap sah.

F. Fiqih Tentang Iddah

Anda mungkin juga menyukai