Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PSHI
tentang

KONSEP FATWA, QADHA, dan TAQNIN

Disusun Oleh :

Cindy Meliana Joti (2011010030)

Titania Febi Juvita (2011010036)

Dosen Pembimbing :

Muhammad Rhazes Adiasa, S. H. I., MA. Hk

PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG


PEMBAHASAN

Pandangan para ulama tentang fatwa Dalam meneliti tentang konsep fatwa dalam
hukum Islam menurut pandangan para ulama, maka penelitian ini diorientasikan pada pandangan
para ulama yag menjadikan alQur’an dan al-Hadist sebagai landasan hukum dan pedoman hidup.
Penelitian ini juga mengkhususkan diri pada pandangan para ulama salaf dan ulama khalaf
tentang fatwa. Fatwa menempati kedudukan strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi
fatwa), sebagaimana dikatakan oleh Imam AsySyathibi, berkedudukan sebagai khalifah dan ahli
waris Nabi SAW, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi bahwa
“ulama merupakan ahli waris para Nabi” dalam menyampaikan hukum syariat, mengajar
manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. (Qardhawi,
1997:13).

Taqnin al-Ahkam adalah mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum yang
berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta
mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab,
pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak
hukum menerapkannya di tengah masyarakat. Sebagai permasalahan yang baru pada dunia
Islam, ia menjadi bahan pertentangan. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa taqnin ahkam
adalah bentuk transformasi hukum Islam yang dihadapkan pada hukum negara modern.
Sementara pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa ia akan menjadikan hukum Islam menjadi
stagnan dan tidak memiliki sifat dinamis. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, saat ini
umat Islam khususnya di Indonesia telah mengesahkan beberapa peraturan perundang-undangan
yang memiliki nuansa syariah Islam. pada beberapa wilayah yang memiliki otonomi khusus
seperti Aceh telah menjadikan qanun sebagai sumber hukum Islam.
1. Konsep Fatwa, Qadha, Taqnin

A. Konsep Fatwa

Pengertian Fatwa Fatwa (‫( الفتوى‬menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian
(peristiwa), yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan Zamakhsyarin dalam al-kasysyaf
dari kata ‫ )الفتي‬al-fataa/pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau
(isti’arah).

Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam
suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya
maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.

Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: (1) jawaban berupa
keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti/ahli tentang suatu masalah; dan (2) nasihat
orang alim; pelajaran baik; dan petuah.

Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang menyangkut
masalah hukum. Fatwa berasal dari kata bahasa arab alifta’, al-fatwa yang secara sederhana
berarti pemberian keputusan. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan
gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpadasar.

B. Konsep Qadha

Secara etimologi qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti,
diantaranya adalah hukum, al-farq min syai ( menyelesaikan sesuatu ), qat al-munaza’at
(memutuskan perselisihan), dan al-amr ( perintah ).

Dalam literatur fiqh Islam qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah:

‫ضى َزيْ ٌد ِمْن َها َوطًَرا‬


َ َ‫َفلَ َّما ق‬
“Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari Zainab”. (Q.S. al-Ahzab:37)
Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:
ِ ِ ِ
ْ ‫فَِإ َذا قُضيَت الصَّاَل ةُ فَا ْنتَش ُروا يِف‬
ِ ‫اَأْلر‬
‫ض‬
“Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke pelosok bumi” (QS. Al-Jumu’ah:10).
Qadha baina al-khusmain, yaqdhi wa qadha’an wa qadhiyyatan, artinya dia menetapkan
dan memutuskan masalah diantara dua orang yang berseteru. Qadha as-syai’a qadha’an, artinya
dia memutuskan sesuatu dengan bijak. Qadha al-amra alaihi, artinya dia menetapkan perkara dan
mewajibkan kepadanya. Qadha as-sulthanu fulanan, artinya sultan menjadikan seseorang sebagai
hakim. Ustuqdhiya fulan, artinya fulan dijadikan hakim. Rajul qadhiy, artinya orang yang cepat
keputusannya. Qadhahu ila al-hakim, artinya dia melaporkannya kepada hakim. Taqadha al
qadhi taqadhiyan, artinya kedua orang saling melaporkan kepada hakim. Lafadz qadhi adalah
isim fail (subyek), artinya hakim syar’i. Sebab dia adalah yang memutuskan gugatan antara
orang-orang yang berseteru dan menjelaskan yang benar dari yang batil. Jamaknya adalah
qudhat, sedangkan qadhi al-qudhat adalah kepala para hakim. Adapun qadhiyah adalah mashdar
dan isim dari qadha yang artinya permasalahan.

C. Konsep Taqnin

Taqnin (‫ ) تقنین‬merupakan bentuk masdar dari qannana yang berarti membentuk undang-
undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon (ejaan
arab: ‫) قانون‬. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia.

Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi
bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah
kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik. Qanun
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti
jalan atau cara (thariqah).

Dengan demikian, Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan
hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta
mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab,
pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak
hukum menerapkannya di tengah masyarakat.

Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996. Abu
Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz 8, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1416 H

      
Perbedaan Fatwa, Qadha, Taqnin

1. Fatwa adalah produk pribadi (bersifat tidak mengikat) atau bisa nama atas lembaga
sedangkan qadha produknya atas nama negara (bersifat mengikat).
2. Yang membuat qadha (yakni hakim) diangkat oleh negara, sedangkan yang membuat fatwa
adalah mufti (tidak diangkat oleh negara) dan berdasar atas pengakuan masyarakat.
3. Qadha (putusan pengadilan) boleh dibatalkan perdailan yang lebih tinggi, sedangkan fatwa
tidak ada yang bisa membatalkanny, sekalipun ulama yang lebih populer.
4. Fatwa dasarnya adalah ilmu, sedangkan qadha dasarnya adalah fakta.

2. Syarat-syarat Mufti dan Qadhi

a. syarat-syarat Mufti

Ulama ushul fiqih mengemukankan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar
fatwanya dapat dipertanggung jawabkan adalah sebagai berikut:
1.   Adil
2.   Baligh, berakal, dan merdeka.
3.   Memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberi
fatwa

Adapun hal yang berkaitan dengan masalah fatwa yaitu tentang permasalahan bolehkah
memberikan fatwa dengan cara taklid (ikut) pendapat orang lain tanpa mengetahui alasannya.
Dalam hal ini ibnu al-qayyim berpendapat:

1.      Seseorang tidak boleh memberi fatwa dengan cara taklid karena ia dianggap bukan orang yang
berilmu, sedangkan berfatwa tanpa ilmu dianggap haram.
2.      Apabila tidak ada orang yang mampu berijtihad dengan pendapat yang paling benar, memberi
fatwa dengan cara taklid diperbolehkan ketika sangat dibutuhkan

b. Syarat-syarat Qadhi

Dalam hal pengangkatan hakim, dalam literatur-literatur fikih, para ahli memberikan
syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam syarat-
syarat yang mereka berikan, namun ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksudkan (syarat
yang diperlukan seorang hakim) ada 6 (enam), yaitu:
1.      Laki-laki yang merdeka
Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim, menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad. Sedang
tentang hakim wanita, Hanafiah tidak membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah
pidana dan qishash. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat
diterima.
Di dalam kitab Al-Hidayah , Fathul Qadir daan Al ‘Inayah (ketiga-tiganya dalam madzhab
Hanafi) diterangkan bahwa wanita boleh menjadi hakim dalam segala perkara, terkecuali perkara
pidana dan qishash. Menurut mereka, hukum menjadi qadhi sama dengan hukum menjadi saksi.
Maka dalam perkara-perkara wanita dapat menjadi saksi dan dapat pula menjadi hakim.
Dengan tegas Al Kasyani menerangkan bahwa laki-laki bukanlah syarat yang diperlukan
untuk diangkat menjadi hakim, hanya saja hakim wanita itu tidak boleh memutuskan perkara
dalam bidang pidana dan qishash saja.
Ibnu Jarir Ath Thabari membolehkan wanita menjadi hakim dalam segala rupa perkara.
Wanita dapat menjadi mufti dalam segala rupa masalah, karena itu dapat pula menjadi hakim
dalam segala rupa masalah.[19]
2.      Berakal (mempunyai kecerdasan)
Syarat ini desepakati seluruh ulama. Hakim haruslah orang cerdas, bijaksana, mampu
memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang musykil.
3.      Baragama Islam

4.      Adil
Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya
kejujurannya, baik di waktu marah atau di waktu tenang dan perkataannya harus benar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Hanafi dan Syafi’i, golongan Hanafi
berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah asal sesuai dengan syara’ dan undang-
undang, sedang As-Syafi’i tidak membolehkan mengangkat orang fasik menjadi hakim,
alasannya karena seorang fasik tidak diterima sebagai saksi.
5.      Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia memperoleh jalan
mengetahui hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara yang diajukan kepadanya.
Dalam hal ini, Hanafi membolehkan muqallid menjadi hakim sesuai pendapat al-Ghazali,
karena mencari orang adil dan ahli ijtihad sangat sulit, yang penting dingkat oleh penguasa.
6.      Mendengar, melihat, dan tidak bisu
Orang bisu tidak boleh diangkat menjadi hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut
putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli tidak dapat mendengar keterangan para
pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang yang berperkara. Syafi’i membolehkan
orang buta, tetapi mengakui lebih utama orang yang tegap dan sehat.[22]
3. Perkembangan Taqnin al-ahkam

Menurut hemat penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah


SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh
para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad
pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara
sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu
bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun
meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan
pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan
pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa.
Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan
sebagai seorang zindiq.[3] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk
menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia
mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan
mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[4]
Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu,
sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang
ulama diminta oleh al-Manshur untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam
Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai
macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat.
Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun
mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW.
Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya.
Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan
yang sesuai dengan kondisi mereka.”[5]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk
melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh
para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang
ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam
al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis.
Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851
masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di
kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini
kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat.
Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[6]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua
Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam
berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum
Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung
2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para
ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[7]
PENUTUP
 
Kata fatwa berasal dari bahasa arab yang berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan
yang berkaitan dengan hukum. Pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid atau faqihsebagai
jawaban atas peminta fatwa-pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun
kelompok masyarakat dalam kasus yang bersifat tidak mengikat.[24]
Secara etimologi qadha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti,
diantaranya adalah hukum, al-farq min syai ( menyelesaikan sesuatu ), qat al-munaza’at
( memutuskan perselisihan), dan al-amr ( perintah ).[25]
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang
bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutus persengketaan. Ulama mazhab
Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang hukum syara melalui carayang
mengikat dan pasti. Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali merndefinisikan qadha dengan
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah.[26]
Persamaan yang paling mendasar antara fatwa dan qadha adalah: sama-sama hasil ijtihad
yang berlandaskan Al-quran dan al-hadis, sama-sama dalam bentuk ketetapan hukum,
keputusanm yang ditetapkan berdasarkan badan resmi, dan sama-sama menghasilkan suatu
produk hukum.
Adapun perbedaan yang mendasar adalah: 1) fatwa adalah produk pribadi (bersifat tidak
mengikat) atau bisa nama atas lembaga, sedangkan qadha produknya atas nama negara (bersifat
mengikat). 2) Yang membuat qadha (yakni hakim) diangkat oleh negara, sedangkan yang
membuat fatwa adalah mufti (tidak diangkat oleh negara) dan berdasar atas pengakuan
masyarakat. 3) Mufti boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya sedangkan qadha (yakni
pengadilan) tidak boleh menolak sekalipun  undang-undang untuk masalh tersebut belum ada. 4)
Qadha (putusan pengadilan) boleh dibatalkan perdailan yang lebih tinggi, sedangkan fatwa tidak
ada yang bisa membatalkanny, sekalipun ulama yang lebih populer. 5) Fatwa dasarnya adalah
ilmu, sedangkan qadha dasarnya adalah fakta.[27]
DAFTAR PUSTAKA

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif
(Analisis Yuridis 469 Normatif)

Al-jauziyah, Ibnu al-Qayyim. 2000. Panduan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Azzam


Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1997.  Peradilan dan Hukum Acara  Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra
Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Dar Alam al-Kutub, 1412 H.
Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, Dar al-Fadhilah,
1426 H.
Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416
H.
Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz 8, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1416 H. Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence, Pakistan, 1970

Anda mungkin juga menyukai