RMK Good Corporate Governance - Kelompok 5 - EtikaBisnis
RMK Good Corporate Governance - Kelompok 5 - EtikaBisnis
PROFESI
BAB GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
Disusun Oleh
Kelompok 5
Harun Ar Rasyid Utomo 21013010070
Ilham Dio Bhakti 21013010092
Muhammad Rizqy Kurniawan 21013010171
Diva Aulia Hanif 21013010197
Muhammad Afif Khamdi 21013010250
Achmad Luay Dika Kusuma 21013010263
Nicholas Danendra Pratama 21013010270
Dominikus Bobby 21013010285
Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih dikenal dengan istilah asing
good corporate governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya skandal perusahaan yang
menimpa perusahaan-perusahaan besar, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat.
Runtuhnya sistem ekonomi komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan system ekonomi kapitalis
sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang paling dominan di seluruh dunia. Sistem ekonomi kapitalis ini
semakin kuat mengakar berkat arus globalisasi dan perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh
negara-negara maju penganut sistem ekonomi kapitalis. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis adalah
kegiatan bisnis dan kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-individu/sector swasta. Dalam
perjalanannya, beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan perusahaan swasta raksasa yang
bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melebihi batas-batas negara. Para pemilik dan pengelola
kelompok perusahaan-perusahaan ini bahkan mampu mempengaruhi dan mengarahkan berbagai
kebijakan yang diambil oleh para pemimpin politik suatu negara untuk kepentingan kelompok perusahaan
mereka dengan kekuatan uangnya. Salah satu contoh akibat dari praktik bisnis yang tidak etis adalah
krisis ekonomi yang menimpa Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, seperti: Thailand, Korea
Selatan, Hongkong, Filipina, dan Malaysia serta mega-skandal yang menimpa perusahaan-perusahaan
raksasa di Amerika Serikat. Tidak sulit untuk mencari penyebab utama krisis dan mega-skandal tersebut.
Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis bahkan cenderung kriminal yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan tidak
berdayanya aparat pemerintah dalam menegakkan hokum dan pengawasan atas perilaku pelaku bisnis ini.
Beberapa perusahaan besar di Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan tidak mampu lagi meneruskan
kegiatan usahanya akibat menjalankan praktik tata kelola perusahaan yang buruk (Bad Corporate
Governance). Contohnya antara lain: bank-bank pemerintah yang telah dilikuidasi/dimerger (Bapindo,
BDN, Bank Bumi Daya, Bank Exim); PT. Indorayon (perusahaan pabrik kertas di Sumatera Utara); PT.
Dirgantara Indonesia (sebuah pabrik pesawat terbang yang berkantor pusat di Bandung); dan PT. Lapindo
Brantas (Sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo, Jawa Timur). Kejatuhan beberapa
bank pemerintah pada awal abad ke-21 ini lebih disebabkan oelh kebijakan ekspansi kredit direksi bank
yang tidak bijaksana. Kredit diberikan dalam jumlah besar kepada beberapa kelompok usaha besar tanpa
melalui suatu kajian yang cermat dan objektif atas studi kelayakan bisnis mereka. Akibatnya, bank-bank
pemerintah tersebut mengalami kesulitan keuangan karena kelompok usaha besar ini tidak mampu
mengembalikan pinjaman dan bunganya. Kebangkrutan PT. Indorayon lebih disebabkan oleh tata kelola
yang buruk oleh perusahaan tersebut dalam mengelola hutan pinus disekitar danau toba yang menjadi
sumber utama bahan baku perusahaan ini. Akibat pengelolaan perusahaan yang buruk ini menimbulkan
kerusakan lingkungan hutan dan mengganggu sistem tata air di sekitar danau toba. Permukaan air danau
toba mengalami penurunan tajam, sehingga mempengaruhi penghasilan masyarakat peternak ikan
disekitar danau toba. Masyarakat sekitar menjadi marah dan menghentikan secara paksa aktivitas
perusahaan. Akibatnya PT. Indorayon tidak dapat beroperasi karena hubungan yang tidak baik dengan
masyarakat sekitar. Hal yang sama juga terjadi pada PT. Lapindo Brantas.
Pada intinya, timbulnya krisis ekonomi di Indonesia ini disebabkan oleh tata kelola perusahaan yang
buruk dan tata kelola pemerintahan yang buruk pula, sehingga memberi peluang besar timbulnya praktik-
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini dapat ditunjukkan pada beberapa fakta berikut:
1. Mudahnya para spekulan mata uang untuk mempermainkan pasar valuta asing karena tidak adanya alat
kendali yang efektif.
2. Mudahnya para konglomerat memperoleh dana pinjaman dari perbankan. Hal ini dimungkinkan karena
para konglomerat itu sekaligus juga menjadi pemilik bank bank swasta ternama.
3. Banyak direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk bank-bank pemerintah juga tidak
independen. Dalam mengambil berbagai kebijakan selalu ada campur tangan dari oknum pejabat
pemerintahan.
4. Para komisaris di BUMN sering kali bukan orang yang professional, melainkan oknum-oknum birokrasi
yang telah memasuki usia pensiun. Mereka ditempatkan bukan karena kemampuan dan pengalaman
mereka dalam mengelola perusahaan, melainkan lebih karena sekadar balas jasa setelah memasuki usia
pensiun.
5. Banyaknya profesi yang terkait dengan kegiatan bisnis ini seperti: akuntan publik, perusahaan penilai,
konsultan keuangan, dan sebagainya yang mudah diajak kerjasama untuk merekayasa laporan audit,
laporan keuangan, dan laporan penilaian harta perusahaan untuk berbagai keperluan, seperti: tender,
aplikasi kredit bank, penerbitan saham di bursa, dan sebagainya.
6. Pada saat timbul krisis moneter, Bank Indonesia mengucurkan dana berupa Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang mencapai triliunan rupiah kepada sektor perbankan nasional dalam upaya
membantu perbankan agar tidak ambruk akibat penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah.
Kasus manipulasi dan kebangkrutan perusahaan tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di
negara superpower Amerika Serikat (AS). Bahkan, yang menimpa AS terjadi secara bergelombang dalam
kurun waktu yang relatif singkat. Sama seperti di Indonesia, kasus yang terjadi di AS juga disebabkan
oleh lemahnya tata kelola perusahaan. Kasus manipulasi dan kebangkrutan perusahaan yang terjadi pada
sekitar awal tahun 2000-an menimpa perusahaan-perusahaan raksasa, seperti Enron, Tyco, Adelphia,
Global Crossing, Wlliams Companies, WorldCom, Dygnegy, JPMorgan Chase, Citicorp, AOL,
TimeWarner, dan Lucent Technologies (Tuanakotta, 2007). Bahkan beberapa perusahaan harus
membayar denda sebesar lebih dari US$100 juta atas kasus yang menimpa mereka.
Belum reda dari krisis yang menimpa beberapa perusahaan raksasa pada awal tahun 2000-an, AS kembali
digoncang oleh krisis ekonomi gelombang kedua pada pertengahan tahun 2008. Kali ini krisis menimpa
industry keuangan AS. Masyarakat dunia dikejutkan oleh kebangkrutan Lehmann Brothers, sebagai
akibat macetnya pengembalian kredit yang disalurkan secara tidak terkendali pada sektor perumahan/real
estate.
Akibat berbagai praktik tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahaan-perusahaan besar ini bukan
saja telah menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia tetapi juga mempengaruhi perekonomian AS dan
dunia. Untuk mengatasi krisis gelombang pertama pada awal tahun 2000-an, pemerintah AS bertindak
cepat untuk meredam kepanikan para investor dengan mengeluarkan undang-undang yang terkenal
dengan nama Sarbanes-Oxley Act of 2002. Undang-undang ini berisi penataan kembali akuntansi
perusahaan publik, tata kelola perusahaan, dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-
undang ini menjadi acuan awal dalam menjabarkan dan menegakkan GCG, baik di AS maupun di
Indonesia.
Pengertian GCG
Istilah “corporate government” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee yang menggunakan
istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury report. istilah ini sekarang
menjadi sangat populer dan telah diberi banyak definisi oleh berbagai pihak. Di bawah ini diberikan
beberapa definisi dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan :
1. Cadbury Committee of United Kingdom :
Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (perusahaan)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu
sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan
2. Forum for Corporate Governance in Indonesia – FCGI (2006) definisi sama dengan Cadbury
Committee of United Kingdom
3. Sukrisno Agoes (2006) Mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem
yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, peran direksi, pemegang saham, dan pemangku
kepentingan lainnya
4. Organization for Economic Cooperation and Development – OECD :
Struktur yang terdiri atas para pemegang saham direktur manajer seperangkat tujuan yang ingin
dicapai perusahaan dan alat-alat yang digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja
5. Wahyudi Prakarsa (dakam Sukrisno Agoes, 2006) :
Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara Manajemen Perusahaan,
komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang
lain
Berdasarkan definisi tersebut, diketahui CGC dapat diberi pengertian dalam arti sempit dan luas. Definisi
yang disampaikan oleh OECD dapat mewakili pengertian dalam arti sempit, sedangkan definisi yang
diberikan oleh Cadbury Committee, Sukrisno Agoes dan Wahjudi Prakarsa dapat mewakili pengertian
GCG dalam arti luas.
PRINSIP-PRINSIP GCG
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,konsep GCG memperjelas dan mempertegas
mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi. Prinsip-prinsip OECD
(dalam Sukrisno Agoes,2006) mencakup lima bidang utama,yaitu: hak-hak para pemegang saham
(stockholder) dan perlindungannya,peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya: pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu: transparansi terkait
dengan struktur dan operasi perusahaan (disclosure)yang akurat dan tepat waktu :transparansi terkait
dengan struktur dan operasi perusahaan :serta tanggung jawab dewan terhadap perusahaan,pemegang
saham,dan pihak –pihak yang berkepentingan lainnya. Secara ringkas,prinsip- prinsip tersebut adalah
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentigan (fairness)
b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas(accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)
Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan Keputusan Kep-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan GCG.Ada 5 prinsip menurut keputusan ini yaitu :
a. Kewajaran (fairness)
b. Transparansi
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kemandirian
Dalam kode GCG ini,NCG mengemukakan lima prinsip GCG :
a. Transparansi (transparency)
b. Akuntabilitas ( accountability)
c. Responsibilitas (responsibility)
d. Independensi (independency)
e. Kesetaraan(fairness)
Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh NCG hamper sama dengan yang diungkapkan oleh
Menteri Negara BUMN, yaitu :
a. Perlakuan yang setara (fairness)
b. Prinsip transparansi
c. Prinsip akuntabilitas
d. Prinsip responsibilitas,mempunyai 5 dimensi yakni :
- Dimensi ekonomi
-Dimensi hukum
-Dimensi moral
-Dimensi social
-Dimensi spiritual
e. Kemandirian, sebagai tambahan prinsip dalam mengelola BUMN.
Manfaat GCG
Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan pada Para investor
dan institusi terkait di pasar modal kan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tujuan penerapan
GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik
manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk. (2003)
mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu :
1. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey&company menunjukkan bahwa Para
investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah
menerapkan GCG
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial
dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan
3. Internasionalisasi pasar menuntut perusahaan untuk meneraplan GCG
4. Sistem ini menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap
bisnis yang kini telah banyak berubah
5. Praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan CGC
adalah :
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur secara eksplisy tentang GCG.
Meskipun begitu, Undang-Undang ini mengatur secara garis besar tentang mekanis hubungan, peran,
wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan tata cara rapat, serta prose pengambilan keputusan
dari organ minimal yang harus ada dalam perseroan, yaitu Rapat Umun Pemegang Saham (RUPS),
Direksi, dan Dewan Komisaris. Di samping itu juga diatur mengena persyaratan dan tata cara
pengangkatan serta pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris .
Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
ayat 4 : Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi ata Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan atau anggaran dasar.
ayat 5 : Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
ayat 6: Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasas secara umum
dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi.
Secara lebih spesifik, wewenang, tugas, dan tanggung jawab ketiga organ ini dapat diringkas sebagai
berikut:
1. RUPS
a. Menyetujui dan menetapkan perubahan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19 ayat 1).
b. Menyetujui pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan (Pasal 38 ayat 1).
C. Menyetujui penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1 dan Pasal y ayat 1).
d. Menyetujui dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan keuangan Direksi ser, laporan tugas
pengawasan Komisaris (Pasal 69).
e. Menyetujui dan menetapkan penggunaan laba bersih, penyisihan cadangan dan dividen, serta dividen
interim (Pasal 71 dan Pasal 72).
f. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan, pengajuan pailit, perpanjangan
jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan (Pasal 89).
g. Menyetujui pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris (Pasal 94 dan Pasal 111).
h. Menetapkan besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi dan Komisaris (Pasal 96 dan Pasal 113).
2. Dewan Direksi
a. Menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan kebijakan yang
dianggap tepat dalam batas yang ditetapkan Undang-Undang dan Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 92)
b. Bertanggung jawab renteng dan penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan bila yang bersangkutan
bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97).
c. Mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98).
d. Wajib membuat Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi (Pasal 100 ayat la).
e. Wajib membuat laporan tahunan (pasal 100 ayat 1b).
f. Wajib memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan, dan dokumen Perseroan lainnya
ditempat kedudukan Perseroan (Pasal 1c dan Pasal 2).
g. Wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan, atau menjadikan jaminan
utang Perseroan (Pasal 102).
Dengan demikian, RUPS merupakan organ tertinggi dan memegang wewenang tertinggi dalam
perusahaan yang berbadan hukum PT. Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi diangkat dan
diberhentikan oleh RUPS. Dewan Komisaris bertugas untuk mengawasi tindakan Dewan Direksi serta
memberikan nasehat dan arahan kepada Dewan Direksi dalam menjalankan operasi perusahaan. Dewan
Direksi bertugas untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan berdasarkan arahan dan garis besar
kebijakan yang telah ditetapkan oleh RUPS, Dewan Komisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan yang
berlaku dalam koridor hukum. Uraian tugas, wewenang, hak, dan tanggung jawab masing-masing organ
ini selanjutnya dituangkan dalam Anggaran Dasar Perseroan.
Sehubungan dengan sistem hukum yang berkaitan dengan organ Direksi dan Komisaris ini, dapat
dijumpai adanya dua sistem pengelola puncak (top management) suatu perseroan, yaitu model Anglo-
Saxon dan model Kontinental (Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006). Model AngloSaxon (disebut
juga single-board system) diikuti oleh Amerika Serikat dan Inggris. Dalam sistem ini tidak dikenal
adanya pemisahan antara Direksi (selaku pelaksana) dengan Dewan Komisaris (selaku pengawas). Kedua
fungsi ini disatukan dan disebut sebagai Board of Directors. Dalam sistem kontinental, yang dianut oleh
negara-negara Eropa selain Inggris yang juga dianut oleh Indonesia, menggunakan model two-board
system, di mana organ Dewan Direksi sebagai eksekutif Perseroan dipisah dengan organ Dewan
Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas dan penasehat Direksi.
ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG
Meskipun ketentuan mengenai organ perseroan telah dtelah diatur dalam Undang-
Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan selanjutnya dituangkan kembali di
dalam Anggaran Dasar Perseroan, namun dalam praktiknya prgan ini belum mampu
menjamin terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat.
IndraSurya dan Ivan Yustiavananda(2006) menyebutkan paling tidak diperlukan empat
organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:
1. Komisaris Independen
2. Direktur Independen
3. Komite Audit
4. Sekretaris Perusahaan
Komite Audit
Salah satu komite tambahan guna membantu dewan komisaris yaitu Komit Audit.Munculnya
Komite audit ini disebabkan oleh kecenderungan meningkatnya berbagai tindak
penyelewengan dan kelalian yang dilakukan oleh para direktur dan komisaris perusahaan
besar baik di AS maupun di Indonesia. Wewenang dan hak Komite audit antara lain
A. Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jwab, independensi,
dan kesetaraan (Pasal 1 Ayat 6)
B. Tujuan implementasi GCG (Pasal 2) untuk:
Rencana strategis bank
Tranparansi kondisi keuangan dan non-keuangan
Kinerja ketaatan, fungsi auditor internal dan eksternal
C. Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris (Bab II Pasal 4-18)
D. Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi (Bab III 19-37)
E. Komite (Bab IV Pasal 38-48)
F. Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal (Bab V Pasal 49-52)
G. Implementasi Manajemen Risiko (Bab VI Pasal 53)
H. Ketentuan Dana (Bab VII Pasal 54-55)
I. Rencana Strategis Bank (Bab VIII Pasal 56)
J. Aspek Tranparansi Kondisi Bank (Bab IX Pasal 57-58)
K. Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal (Bab X Pasal 59-60)
L. Laporan dan Asesmen Implementasi GCG (Bab XI Pasal 61-66)
M. Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri (Bab XII Pasal 67-68)
N. Sanksi-sanksi (Bab XIII Pasal 69-75)
O. Ketentuan Peralihan (Bab XIV Pasal 76-77)
P. Ketentuan Penutup (Bab XV Pasal 78)