Ushul Tafsir Kel. 5-3
Ushul Tafsir Kel. 5-3
USHUL TAFSIR
Sifa Astriyani
Para ulama sepakat bahwa siapa pun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an: pertama-
tama ia harus mencarinya dari Al-Qur’an itu sendiri, di dalam Al-Qur’an masih terdapat
beberapa ayat yang global namun telah dijelaskan juga di tempat lain secara lebih khusus,
dan ada juga yang telah diringkas di suatu tempat namun telah diperluas di tempat lain.
Maka perlu bagi kita untuk melihat Al-Qur’an dengan teliti dan cermat, serta
mengumpulkan ayat-ayat pada satu tempat. Kemudian membandingkan sebagiannya dengan
sebagian yang lain, maka jika dalam hal ini ada yang menafsirkan berdasarkan pandangan
dirinya maka termasuk kedalam sabda Nabi SAW, yaitu: (Barang siapa yang berkata
berdasarkan ra’yu (pendapatnya) maka ia salah, walaupun pendapatnya benar), dan
perilakunya termasuk perilaku yang tercela.
Jika dia merasa lelah, maka carilah didalam sunnah; karena sesungguhnya sunnah
yang menjelaskan terhadap Al-Qur’an, dan imam Syafi’i berkata: (segala sesuatu yang
dihukumi oleh Rasulullah SAW, maka hal itu adalah apa yang dia pahami dari Al-Qur’an),
dan Rasulullah bersabda: (Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisal
bersamanya {As-Sunnah}). Yaitu sunnah yang disucikan, maka kita mesti mengembalikan
kepada sunnah dengan memperhatian kedudukan sunnah baik dari sisi dhaif dan maudhu’
karena banyak sunnah yang kedudukannya dhaif ataupun maudhu’. Sudah seharusnya kita
membahas riwayat-riwayat yang shahih. Jika masalah ini ditinggalkan atau memperpendek
pencariannya maka sungguh telah terjatuh kedalam bencana yang buruk akibatnya.
Maka jika tidak menemukannya didalam sabda Rasulullah SAW dan tidak juga di
dalam perkataan sahabat ataupun tabi’in, maka hendaklah mencarinya dari sisi bahasa karena
sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, akan tetapi para mufassir harus
berhati-hati dalam menerjemahkan suatu ayat kedalam arti yang ditunjukkan oleh beberapa
kata-kata orang Arab; Al-Baihaqi telah meriwayatkan dalam Al-Syuab dari Malik r.a, bahwa
dia berkata: (Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah padahal
tidak tahu bahasa Arab melainkan akan aku hukum dia dengan berat). Maka jika tidak
menemukannya dalam bahasa, hendaklah mencarinya sesuai dengan makna ucapan dan
sesuai dengan kekuatan syara’, hal ini disabdakan Nabi SAW kepada Ibnu Abbas dimana
beliau bersabda: (Ya Allah fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah Ta’wil kepadanya).
Resume:
Metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur’an itu yang pertama adalah mencari dari
sumber utamanya terlebih dahulu yaitu Al-Qur’an sendiri, kedua dari As-Sunnah, ketiga yaitu
dari perkataan sahabat ataupun tabi’in, keempat melihat dari sisi bahasa yaitu bahasa Arab,
dan yang terakhir kelima sesuai dengan makna ucapan dan sesuai dengan kekuatan syara’.
Metode yang harus diikuti oleh Mufassir
Sebagaimana yang telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya -Metode Tafsir
Terbaik- orang akan mencari penafsiran pertama dari Kitab Allah, maka jika tidak
menemukannya carilah dari sunnah; karena sunnah merupakan penjelasan Al-Qur’an, maka
jika tidak menemukan didalamnya kembali kepada perkataan sahabat dan tabi’in karena
mereka lebih tahu tentang kitabullah, maka jika tidak menemukannya dari mereka dan tidak
memperoleh sesuatu dari pemeriksaan yang pertama terhadap penafsiran, maka tidak ada lagi
atasnya setelah hal itu kecuali hanya untuk mengerjakan, memikirkan, dan memperluas
dalam mencari penjelasan dari maksud Allah SWT, serta mencatat dari asal-asal yang telah
berlalu. Beralih dari hal diatas, para mufassir juga harus mengikuti suatu metode dalam
penafsirannya yang mengikuti kaidah-kaidah berikut, agar ia tidak menyimpang dari hal-hal
yang telah kami sebutkan diatas dan tidak menyimpang dari ruang lingkupnya, kaidah-kaidah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mencocokkan tafsir dan mufassir, tanpa mengurangi dari penjelasan makna, tanpa
penambahan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan, serta kehati-hatian terhadap
keadaan tafsir yang didalamnya terdapat penyimpangan dari makna yang dimaksud.
2. Memperhatikan makna hakiki dan makna majazi, maka boleh jadi yang dimaksud adalah
makna majazi yang membawa perkataan kepada makna hakiki atau sebaliknya.
3. Memperhatikan penyusunan antara makna-makna dan tujuan yang mengantarkannya
kepada perkataan dan hubungan antara kosa kata.
4. Memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, lalu menjelaskan bentuk kesesuaian dan
keterikatan antara yang terdahulu dan yang akan datang dari ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga menjelaskan bahwa Al-Qur’an dengan beberapa ayat di dalamnya tidak cukup,
dan menunjukkan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an itu saling berhubungan yang
mengambil sebagiannya untuk membatasi sebagian yang lain.
5. Pengamatan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, maka setiap ayat diturunkan dengan sebab
maka penyebutannya mesti setelah penjelasan munasabah (hubungan), dan sebelum
masuk ke penjelasan ayat. As-Suyuthi telah menyebutkan di dalam Al-Itqan, mengutip
dari kitab Al-Burhan. (Sudah menjadi kebiasaan para penafsir untuk memulai dengan
menyebutkan asbabun nuzul dan pembahasan itu terjadi pada: yang mana yang pertama
memulai, apakah dia dimulai dengan penyebutan sebab? Atau dengan munasabah karena
mengoreksi rangkaian kata, diturunkan terlebih dahulu? Ia berkata: dan bentuk
munasabah yang menghentikan sebab turun seperti ayat: “sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”
(Q.S An-Nisa: 58), maka hal ini seharusnya mendahulukan penyebutan sebab, karena
pada waktu itu dalam bab mendahulukan perantara dari yang dimaksud dan jika tidak
berhenti atas hal itu maka yang pertama adalah mendahulukan munasabah).
6. Setelah selesai tentang penyebutan munasabah dan asbabun nuzul, memulai dengan apa
yang berhubungan dengan lafadz-lafadz mufrad dari bahasa, sharaf, dan isytiqaq (ilmu
tentang asal-usul kata), kemudian membicarakan tentang ketentuan penyusunan,
selanjutnya menjelaskan makna yang dimaksud, dan terakhir menyimpulkan apa-apa
yang memungkinkan mengeluarkannya dari ayat tentang batas-batas dan syara’.
7. Penafsir harus menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an sebanyak mungkin,
As-Suyuthi mengutip dari beberapa ulama bahwa dia berkata: Apa yang mendorong
gambaran pengulangan dalam ‘athaf 2 kata yang sama, contoh: “Ia (saqar itu) tidak
meninggalkan dan tidak membiarkan.” (Q.S Al-Muddatsir: 28) “Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya,” (Q.S Al-Baqarah: 157) dan
sejenisnya, untuk meyakini bahwa jumlah kata yang menghasilkan makna, dan tidak
akan didapat ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri, karena dengan beberapa
susunan (kombinasi) dapat menciptakan makna tambahan, dan apabila menggunakan
banyak huruf dapat menimbulkan makna tambahan, begitupula dengan banyaknya
lafadz. Dan bagi penafsir juga untuk menghindari segala sesuatu yang menggambarkan
tentang pengisi dalam penafsiran, seperti menggali penyebutan alasan-alasan tata bahasa,
dalil-dalil masalah ushul fiqh, dalil-dalil fiqh, dan dalil-dalil ushuluddin karena semua ini
telah ditetapkan dalam buku-buku khusus dan kita hanya menerima hal itu dalam ilmu
tafsir tanpa menarik kesimpulan padanya. Dan para penafsir juga harus menghindari apa-
apa yang tidak benar dari asbabun nuzul dan hadits-hasits keutamaan Al-Qur’an, kisah-
kisah palsu, dan berita-berita israiliyyat karena ini adalah sesuatu yang dapat
menghilangkan keindahan Al-Qur’an.
8. Setelah semua ini, keadaan penafsir harus seorang yang penuh kehati-hatian dan pintar,
mengetahui tentang aturan yang rajih, sehingga apabila keadaan ayat itu diambil untuk
lebih dari satu bentuk yang memungkinkannya untuk memilih.
9. Penafsir juga harus memperhitungkan, setelah memenuhi semua yang telah disebutkan
sebelumnya tentang makna perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum yang telah
disabdakan oleh Nabi SAW kepada Ibnu Abbas: Al-Qur’an diturunkan (dalam kata نزول
dan ) تنزل, maka kata نزولitu telah berlalu, dan تنزلitu akan tetap hingga hari kiamat.
Dari sini terjadi perselisihan diantara para sahabat yang mulia tentang makna ayat, maka
setiap orang mengambil pendapatnya sesuai pandangannya masing-masing. Dan telah
meriwayatkan Imam Bukhari di dalam kitab jihad dalam shahihnya dari Ali r.a: (Apakah
Rasulullah mengkhususkan sesuatu atas kalian? Maka ia berkata: kami tidak memiliki
apa-apa selain apa yang ada di dalam lembaran ini atau pemahaman yang diberikan
kepada seorang pria) dan tidak boleh menfsirkan Al-Qur’an hanya dengan pendapat dan
ijtihad tanpa dasar, karena Allah SWT berfirman: “dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui,” (Q.S Al-Isra: 36)
Resume:
Ada Sembilan metode yang harus digunakan mufassir dalam menafsirkan Al-
Qur’an yaitu, pertama mencocokkan tafsir dan mufassir, kedua memperhatikan makna
hakiki dan makna majazi, ketiga memperhatikan penyusunan antara makna dan tujuan,
keempat memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, kelima pengamatan asbabun nuzul
dan munasabah, keenam memperhatikan lafadz-lafadz dalam ilmu bahasa Arab, ketujuh
menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an, kedelapan penafsir harus termasuk
orang yang berhati-hati dan pintar, kesembilan memperhitungkan tentang makna
perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum.