Anda di halaman 1dari 6

Resume

USHUL TAFSIR

Dosen Pengampu: Ust. Abdurohim, S.Pd., M.Ag.

Kelompok 5 : Muthia Khoirun Nisa

Sifa Astriyani

Metode Tafsir Terbaik

Para ulama sepakat bahwa siapa pun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an: pertama-
tama ia harus mencarinya dari Al-Qur’an itu sendiri, di dalam Al-Qur’an masih terdapat
beberapa ayat yang global namun telah dijelaskan juga di tempat lain secara lebih khusus,
dan ada juga yang telah diringkas di suatu tempat namun telah diperluas di tempat lain.

Maka perlu bagi kita untuk melihat Al-Qur’an dengan teliti dan cermat, serta
mengumpulkan ayat-ayat pada satu tempat. Kemudian membandingkan sebagiannya dengan
sebagian yang lain, maka jika dalam hal ini ada yang menafsirkan berdasarkan pandangan
dirinya maka termasuk kedalam sabda Nabi SAW, yaitu: (Barang siapa yang berkata
berdasarkan ra’yu (pendapatnya) maka ia salah, walaupun pendapatnya benar), dan
perilakunya termasuk perilaku yang tercela.

Jika dia merasa lelah, maka carilah didalam sunnah; karena sesungguhnya sunnah
yang menjelaskan terhadap Al-Qur’an, dan imam Syafi’i berkata: (segala sesuatu yang
dihukumi oleh Rasulullah SAW, maka hal itu adalah apa yang dia pahami dari Al-Qur’an),
dan Rasulullah bersabda: (Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisal
bersamanya {As-Sunnah}). Yaitu sunnah yang disucikan, maka kita mesti mengembalikan
kepada sunnah dengan memperhatian kedudukan sunnah baik dari sisi dhaif dan maudhu’
karena banyak sunnah yang kedudukannya dhaif ataupun maudhu’. Sudah seharusnya kita
membahas riwayat-riwayat yang shahih. Jika masalah ini ditinggalkan atau memperpendek
pencariannya maka sungguh telah terjatuh kedalam bencana yang buruk akibatnya.

Maka jika tidak menemukannya di dalam sunnah. Kembalilah kepada perkataan


sahabat, karena mereka lebih tahu terhadap hal itu berdasarkan apa yang telah mereka
saksikan (sunnah) dari hubungan-hubungan dan keadaan-keadaan Al-Qur’an ketika turunnya,
maka yang harus diambil dari para sahabat r.a adalah apa-apa yang shahih (benar) dan
sungguh Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam mustadrak tentang tafsir para sahabat yang
dimana mereka menyaksikan wahyu dan penurunan hukum marfu’ kepada Nabi SAW;
bahwasannya beliau SAW menjelaskan kepada para sahabatnya makna-makna Al-Qur’an
sebagaimana telah menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya, Allah Ta’ala berfirman:
“agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka” (Q.S An-Nahl: 44), ia mengambil yang ini dan yang itu, sehingga sangat sedikit hal
yang menjadikan perselisihan diantara para sahabat dalam penafsiran Al-Qur’an. Bahkan jika
(penjelasan) diantara para tabi’in lebih banyak, namun (penjelasan) yang memiliki hubungan
dengan orang yang talaqqi seluruh tafsirnya dari Sahabat dan Tabi’in lebih sedikit, kemudian
perbedaan pendapat terjadi diantara para salaf tentang penafsiran, namun perbedaan itu
bukanlah perbedaan yang bertentangan (kontradiktif) tapi perbedaan yang bermacam-
macam (variatif), seperti penafsiran pada kata ‫تقيم‬777‫راط المس‬777‫الص‬, sebagian dari mereka
menafsirkannya dengan “Al-Qur’an” yaitu: yang mengikutinya, dan sebagian yang lain
menafsirkannya dengan “Islam”. Maka pendapat kedua yang disepakati karena agama Islam
itu mengikuti Al-Qur’an, akan tetapi masing-masing dari keduanya saling memuliakan sifat
yang dimiliki.

Maka jika tidak menemukannya didalam sabda Rasulullah SAW dan tidak juga di
dalam perkataan sahabat ataupun tabi’in, maka hendaklah mencarinya dari sisi bahasa karena
sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, akan tetapi para mufassir harus
berhati-hati dalam menerjemahkan suatu ayat kedalam arti yang ditunjukkan oleh beberapa
kata-kata orang Arab; Al-Baihaqi telah meriwayatkan dalam Al-Syuab dari Malik r.a, bahwa
dia berkata: (Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah padahal
tidak tahu bahasa Arab melainkan akan aku hukum dia dengan berat). Maka jika tidak
menemukannya dalam bahasa, hendaklah mencarinya sesuai dengan makna ucapan dan
sesuai dengan kekuatan syara’, hal ini disabdakan Nabi SAW kepada Ibnu Abbas dimana
beliau bersabda: (Ya Allah fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah Ta’wil kepadanya).

Resume:

Metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur’an itu yang pertama adalah mencari dari
sumber utamanya terlebih dahulu yaitu Al-Qur’an sendiri, kedua dari As-Sunnah, ketiga yaitu
dari perkataan sahabat ataupun tabi’in, keempat melihat dari sisi bahasa yaitu bahasa Arab,
dan yang terakhir kelima sesuai dengan makna ucapan dan sesuai dengan kekuatan syara’.
Metode yang harus diikuti oleh Mufassir

Sebagaimana yang telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya -Metode Tafsir
Terbaik- orang akan mencari penafsiran pertama dari Kitab Allah, maka jika tidak
menemukannya carilah dari sunnah; karena sunnah merupakan penjelasan Al-Qur’an, maka
jika tidak menemukan didalamnya kembali kepada perkataan sahabat dan tabi’in karena
mereka lebih tahu tentang kitabullah, maka jika tidak menemukannya dari mereka dan tidak
memperoleh sesuatu dari pemeriksaan yang pertama terhadap penafsiran, maka tidak ada lagi
atasnya setelah hal itu kecuali hanya untuk mengerjakan, memikirkan, dan memperluas
dalam mencari penjelasan dari maksud Allah SWT, serta mencatat dari asal-asal yang telah
berlalu. Beralih dari hal diatas, para mufassir juga harus mengikuti suatu metode dalam
penafsirannya yang mengikuti kaidah-kaidah berikut, agar ia tidak menyimpang dari hal-hal
yang telah kami sebutkan diatas dan tidak menyimpang dari ruang lingkupnya, kaidah-kaidah
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mencocokkan tafsir dan mufassir, tanpa mengurangi dari penjelasan makna, tanpa
penambahan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan, serta kehati-hatian terhadap
keadaan tafsir yang didalamnya terdapat penyimpangan dari makna yang dimaksud.
2. Memperhatikan makna hakiki dan makna majazi, maka boleh jadi yang dimaksud adalah
makna majazi yang membawa perkataan kepada makna hakiki atau sebaliknya.
3. Memperhatikan penyusunan antara makna-makna dan tujuan yang mengantarkannya
kepada perkataan dan hubungan antara kosa kata.
4. Memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, lalu menjelaskan bentuk kesesuaian dan
keterikatan antara yang terdahulu dan yang akan datang dari ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga menjelaskan bahwa Al-Qur’an dengan beberapa ayat di dalamnya tidak cukup,
dan menunjukkan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an itu saling berhubungan yang
mengambil sebagiannya untuk membatasi sebagian yang lain.
5. Pengamatan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, maka setiap ayat diturunkan dengan sebab
maka penyebutannya mesti setelah penjelasan munasabah (hubungan), dan sebelum
masuk ke penjelasan ayat. As-Suyuthi telah menyebutkan di dalam Al-Itqan, mengutip
dari kitab Al-Burhan. (Sudah menjadi kebiasaan para penafsir untuk memulai dengan
menyebutkan asbabun nuzul dan pembahasan itu terjadi pada: yang mana yang pertama
memulai, apakah dia dimulai dengan penyebutan sebab? Atau dengan munasabah karena
mengoreksi rangkaian kata, diturunkan terlebih dahulu? Ia berkata: dan bentuk
munasabah yang menghentikan sebab turun seperti ayat: “sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”
(Q.S An-Nisa: 58), maka hal ini seharusnya mendahulukan penyebutan sebab, karena
pada waktu itu dalam bab mendahulukan perantara dari yang dimaksud dan jika tidak
berhenti atas hal itu maka yang pertama adalah mendahulukan munasabah).
6. Setelah selesai tentang penyebutan munasabah dan asbabun nuzul, memulai dengan apa
yang berhubungan dengan lafadz-lafadz mufrad dari bahasa, sharaf, dan isytiqaq (ilmu
tentang asal-usul kata), kemudian membicarakan tentang ketentuan penyusunan,
selanjutnya menjelaskan makna yang dimaksud, dan terakhir menyimpulkan apa-apa
yang memungkinkan mengeluarkannya dari ayat tentang batas-batas dan syara’.
7. Penafsir harus menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an sebanyak mungkin,
As-Suyuthi mengutip dari beberapa ulama bahwa dia berkata: Apa yang mendorong
gambaran pengulangan dalam ‘athaf 2 kata yang sama, contoh: “Ia (saqar itu) tidak
meninggalkan dan tidak membiarkan.” (Q.S Al-Muddatsir: 28) “Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya,” (Q.S Al-Baqarah: 157) dan
sejenisnya, untuk meyakini bahwa jumlah kata yang menghasilkan makna, dan tidak
akan didapat ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri, karena dengan beberapa
susunan (kombinasi) dapat menciptakan makna tambahan, dan apabila menggunakan
banyak huruf dapat menimbulkan makna tambahan, begitupula dengan banyaknya
lafadz. Dan bagi penafsir juga untuk menghindari segala sesuatu yang menggambarkan
tentang pengisi dalam penafsiran, seperti menggali penyebutan alasan-alasan tata bahasa,
dalil-dalil masalah ushul fiqh, dalil-dalil fiqh, dan dalil-dalil ushuluddin karena semua ini
telah ditetapkan dalam buku-buku khusus dan kita hanya menerima hal itu dalam ilmu
tafsir tanpa menarik kesimpulan padanya. Dan para penafsir juga harus menghindari apa-
apa yang tidak benar dari asbabun nuzul dan hadits-hasits keutamaan Al-Qur’an, kisah-
kisah palsu, dan berita-berita israiliyyat karena ini adalah sesuatu yang dapat
menghilangkan keindahan Al-Qur’an.
8. Setelah semua ini, keadaan penafsir harus seorang yang penuh kehati-hatian dan pintar,
mengetahui tentang aturan yang rajih, sehingga apabila keadaan ayat itu diambil untuk
lebih dari satu bentuk yang memungkinkannya untuk memilih.
9. Penafsir juga harus memperhitungkan, setelah memenuhi semua yang telah disebutkan
sebelumnya tentang makna perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum yang telah
disabdakan oleh Nabi SAW kepada Ibnu Abbas: Al-Qur’an diturunkan (dalam kata ‫نزول‬
dan ‫) تنزل‬, maka kata ‫ نزول‬itu telah berlalu, dan ‫ تنزل‬itu akan tetap hingga hari kiamat.
Dari sini terjadi perselisihan diantara para sahabat yang mulia tentang makna ayat, maka
setiap orang mengambil pendapatnya sesuai pandangannya masing-masing. Dan telah
meriwayatkan Imam Bukhari di dalam kitab jihad dalam shahihnya dari Ali r.a: (Apakah
Rasulullah mengkhususkan sesuatu atas kalian? Maka ia berkata: kami tidak memiliki
apa-apa selain apa yang ada di dalam lembaran ini atau pemahaman yang diberikan
kepada seorang pria) dan tidak boleh menfsirkan Al-Qur’an hanya dengan pendapat dan
ijtihad tanpa dasar, karena Allah SWT berfirman: “dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui,” (Q.S Al-Isra: 36)
Resume:
Ada Sembilan metode yang harus digunakan mufassir dalam menafsirkan Al-
Qur’an yaitu, pertama mencocokkan tafsir dan mufassir, kedua memperhatikan makna
hakiki dan makna majazi, ketiga memperhatikan penyusunan antara makna dan tujuan,
keempat memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, kelima pengamatan asbabun nuzul
dan munasabah, keenam memperhatikan lafadz-lafadz dalam ilmu bahasa Arab, ketujuh
menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an, kedelapan penafsir harus termasuk
orang yang berhati-hati dan pintar, kesembilan memperhitungkan tentang makna
perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum.

Sebab-sebab perbedaan dalam Tafsir


Kita wajib untuk mengetahui bahwa Nabi SAW menjelaskan kepada sahabatnya
makna-makna Al-Qur’an sebagaimana menjelaskan lafadz-lafadznya, maka Allah SWT
berfirman: “agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka”. (Q.S An-Nahl: 44). Mengambil penjelasannya secara lafadz dan makna, dan
apabila para sahabat r.a mempelajari dari Nabi SAW 10 ayat maka tidak melewatinya sampai
mempelajari apa yang ada didalamnya dari ilmu dan pengamalan, mereka berkata: kami akan
mempelajari Al-Qur’an dengan ilmu dan amal semuanya.
Dan perselisihan diantara ulama salaf dalam hal penafsiran hanya sedikit dan
perselisihan mereka dalam urusan hukum lebih banyak daripada perselisihan tafsir,
perselisihan itu kembali kepada perselisihan yang berbeda-beda (variatif) bukan perselisihan
yang bertolak belakang (kontradiktif) dan hal itu diklasifisikan kedalam dua macam, pertama:
masing-masing mengungkapkan apa yang dimaksud dengan frasa selain frasa pemiliknya
yang menunjukkan makna dalam penamaan (nama benda) selain makna yang lain beserta
dengan penyatuan penamaan (nama benda) dengan status padanan kata yang berada diantara
sinonim dan antonim, seperti pada kata “pedang” yang memiliki banyak padanan kata yaitu
‫السيف؛ الصارم؛ المهند‬
Dan kategori yang kedua: menyebutkan masing-masing dari nama umum mereka
dari sebagian jenisnya dengan cara perumpamaan dan mengingatkan pendengar tentang
jenisnya, bukan dengan cara pembatasan mutlak yang dibatasi dengan keumuman dan
kekhususannya, seperti orang asing yang bertanya tentang nama roti (‫)الخبز‬, lalu ditunjukkan
adonan roti (‫ )رغيف‬hal ini dikatakan kepadanya, jadi ini mengisyaratkan kepada bagian roti
bukan hanya sekedar adonan roti saja.
Hal itu dicontohkan dalam firman Allah Ta’ala: “Kemudian kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara
mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan” (Q.S Fatir: 32), maka yang diketahui bahwa yang mendzalimi
terhadap diri sendiri (‫الم لنفسه‬77‫ )ظ‬adalah yang meninggalkan kewajiban-kewajiban serta
melanggar hal-hal yang diharamkan, dan yang pertengahan (‫ )مقتصد‬adalah yang mengerjakan
kewajiban dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan, dan yang lebih dahulu (‫ابق‬77‫)الس‬
termasuk didalamnya orang yang mengutamakan lalu mendekatkan diri dengan kebaikan
bersamaan dengan kewajiban. Maka mereka yang di pertengahan adalah kaum yang benar,
dan (‫ابقون‬77‫ )الس‬adalah orang-orang yang dekat, kemudian jika masing-masing dari mereka
disebutkan dalam bagian diantara bagian-bagian taat seperti ucapan orang yang berkata
bahwa (‫ )السابق‬adalah yang shalat di awal waktu, (‫ )مقتصد‬adalah yang shalat pada waktunya,
dan (‫ )ظالم لنفسه‬adalah yang mengakhirkan shalat ashar hingga langit menguning.
Kemudian perbedaan dalam tafsir ada dua jenis: diantaranya apa-apa yang
penyandarannya hanya dalam perpindahan saja, dan dari apa yang diketahui selain hal itu,
jika ilmu adakalanya sebagai perpindahan maka dibenarkan, dan jika dijadikan sebagai dalil
maka tidak diragukan lagi dan yang dipindahkan (‫ )المنقول‬adakalanya dari yang terjaga dan
tidak terjaga. Adapun jenis yang pertama memungkinkan darinya mengetahui yang shahih
dan dhaif, dan apa-apa yang tidak memungkinkan mengetahui hal itu didalamnya. Jenis yang
kedua ini dari (‫ )المنقول‬yaitu apa-apa yang tidak ada jalan bagi kami untuk membenarkannya,
maka pembahasannya dari apa-apa yang tidak ada faidah didalamnya. Adapun sesuatu yang
membutuhkan orang-orang muslim untuk mengetahuinya maka sesungguhnya Allah telah
menyediakan kebenaran didalamnya sebagai dalil.

Anda mungkin juga menyukai