Anda di halaman 1dari 15

EKSPLORASI MATERI

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Administrasi dan Supervisi Pendidikan
Yang dibina oleh Dra.Siti Umayaroh, S.Pd, M.Pd.

Oleh:
Kelompok 9

Aprilia Eka Wiranti (190151602522)


Dheivani Senjadipa (190151602767)
Farhana Nazil Ikmalia (190151602482)
Niken Surya Safitri (190151602637)
Siti Romlah (190151602634)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
MARET 2021
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan sering dikaitkan dengan sebuah keputusan, ketentuan, dan kesepakatan.
Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan yang diambil oleh pemerintah atau
lembaga guna mengambil keputusan untuk mencapai tujuan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Koontz dan Donnel (dalam Sumar, dkk., 2018), kebijakan (policy) adalah
pernyataan atau pemahaman umum yang mempedomani pemikiran dalam mengambil
keputusan yang memiliki esensi batas-batas tertentu dalam pengambilan keputusan. Pakar
lain menyebutkan bahwa kebijakan adalah keputusan pemerintah yang berlaku untuk seluruh
anggota masyarakat (Abidin, 2006).
Dari beberapa pengertian kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
adalah pernyataan atau gagasan pemerintah atau lembaga untuk mengambil sebuah
keputusan yang memiliki tujuan tertentu dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat
dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.
Realitasnya, pendidikan menjadi bagian dari ranah publik. Misalnya kebijakan
melaksanakan UN (Ujian Nasional), kebijakan lima hari sekolah (Full Day School), dan
UKT (Uang Kuliah Tunggal), menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Artinya, kebijakan pendidikan tersebut bukan hanya menjadi urusan segelintir masyarakat,
tetapi sudah menjadi urusan publik. Adapun ciri-ciri kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan dibuat oleh negara atau lembaga.
2. Kebijakan ditujukan untuk mengatur kehidupan bersama.
3. Kebijakan dibuat untuk mengatur masalah bersama.
Kebijakan pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang
dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah program atau tindakan dalam
menyelenggarakan pendidikan (Rohman dalam Sumar, dkk., 2018). Keseluruhan proses dan
hasil perumusan langkah-langkah dan strategi pendidikan dijabarkan dari visi dan misi
pendidikan guna untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional suatu masyarakat dalam
kurun waktu tertentu (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan
merupakan suatu pedoman dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh pemerintah
sebagai reaksi munculnya permasalahan pendidikan, serta sebagai solusi untuk mencapai
visi, misi, dan tujuan diselenggarakannya pendidikan.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam
lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan
lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri.
Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Misalnya,
ketika ada pergantian menteri, kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan kurikulum juga
berubah. Hal ini menjadi hal yang lumrah yang terjadi di negara Indonesia.
B. Fungsi Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dalam Pendidikan ditetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan
sekolah yang tidak terbatas pada kurikulum, pedagogi, dan penilaiannya, tetapi juga pada
kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah. Faktor yang menentukan perubahan,
pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi
sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik.
Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan
aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh
pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan
berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan
keputusan memerhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses
(transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat
dan pemerintah. Dengan dasar kata-kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia menjadi beban bersama orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang –
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan beberapa peran
yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan
dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan
atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi
pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
Adapun menurut Nanang Fattah, fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah:
1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam
pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan karakter kepribadian yang sangat beragam dan
berbeda-beda. Selain itu, perlu dimasukkannya muatan pelajaran pendidikan karakter
terhadap masing-masing sekolah di mana sekolah harus konsekuen dan
bertanggungjawab untuk bertugas menjalankan maupun memasukkan pendidikan
karakter sebagai penyedia layanan pendidikan.
2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.
Evaluasi maupun pengawasan pendidikan diperlukan untuk menjamin ataupun menilai
kualitas pendidikan didasarkan pada subjek maupun objek pendidikan. Untuk itu, perlu
diupayakan pendirian suatu lembaga independen dan mandiri yang bertugas untuk
melakukan kegiatan evaluasi dan pengawasan sehingga sekolah dapat menjalankan
proses pendidkannya dengan baik.
Sedangkan menurut Pongtuluran, (1995: 7) fungsi kebijakan pendidikan, yaitu:

1. Sebagai pedoman untuk bertindak. Hal ini mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan
mempunyai posisi yang sentral dalam menentukan suatu acuan dalam implementasi
program Pendidikan serta sebagai tuntutan ke mana arah sistem pendidikan akan tertuju
dan berjalan.
2. Sebagai pembatas perilaku. Apabila dikaitkan dengan pendidikan kebijakan pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari norma serta aturan dalam setiap Tindakan yang
diaktualisasikan berkaitan dengan aktivitas pendidikan. Hal ini diperlukan untuk
membatasi sikap yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.
3. Sebagai bantuan bagi pengambil keputusan. Kebijakan pendidikan di sini sebagai ujung
tombak dalam mengambil keputusan yang tepat dan benar setelah melalui serangkaian
proses perumusan oleh para pembuat kebijakan pendidikan dan sesuai dengan tuntutan
stakeholders yang berkepentingan di dunia pendidikan.

C. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia


Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal
sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia
berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa
diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu
dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen
bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak
dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil,
menengah, dan koperasi.
Sedangkan Standar komponen dan pengelolahan formal yang berlaku secara nasional
tentang sistem pendidikan di Indonesia. Standar nasional yang belaku menurut Peraturan
Pemerintah No.32 Tahun 2013 meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
1. Standar Kompetensi Lulusan, yang tercantum pada Permen Nomor 23 dan 24 tahun
2006 adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
2. Standar Isi, yang tercantum pada Permen Nomor 22 dan 24 tahun 2006 adalah kriteria
mengenai ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi
lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
3. Standar Proses, yang tercantum pada Permen Nomor 41 tahun 2007 dan 1 tahun 2008
adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk
mencapai Standar Kompetensi Lulusan.
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, yang tercantum pada Permen Nomor 12,
13, dan 16 tahun 2007 dan 24, 25, 26, 27 tahun 2008 adalah kriteria mengenai pendidikan
prajabatan dan kelayakan maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
5. Standar Sarana dan Prasarana, yang tercantum pada Permen Nomor 24 tahun 2007
serta 33 dan 40 tahun 2008 adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga,
tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat
berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
6. Standar Pengelolaan, yang tercantum pada Permen Nomor 19 tahun 200, Nomor 17
tahun 2010 dan Kepmendiknas Nomor 129 a/2004 adalah kriteria mengenai perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan,
kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan.
7. Standar Pembiayaan, yang tercantum pada Permen Nomor 69 tahun 2009 adalah
kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku
selama satu tahun.
8. Standar Penilaian Pendidikan, yang tercantum pada Permen Nomor 20 tahun 2007
adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik.

D. Karakteristik Kebijakan Pendidikan


Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, sebagai berikut:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
prasyarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah
berlaku untuk semua wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah sehingga
dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut dan dapat dimunculkan suatu
kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi
kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan.
Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan para politisi yang
berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur-unsur minimal pembuat kebijakan
pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itupun tentunya tidak lepas dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika
mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan
memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadap kebijakan pendidikan
tersebut secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah system juga, oleh karena itu harus
memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur. Sistematika
itupun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan substansibilitas yang tinggi agar
kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya
akibat serangkaian faktor yang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus
diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan
hokum secara internal. Kemudian secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus
sepadu dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan politik, kebijakan moneter, bahkan
kebijakan pendidikan di atasnya atau di sampingnya dan dibawahnya.

E. Implementasi Kebijakan Pendidikan


Dalam suatu alur pembuatan kebijakan tentu melewati beberapa tahapan penting
yang harus dijalankan. Salah satu tahapan penting tersebut adalah implementasi
kebijakan. Supandi dan Achmad Sanusi menjelaskan bahwa implementasi kebijakan
adalah suatu proses menjalankan satu alternatif kebijakan yang telah diputuskan dari
beberapa altenatif kebijakan yang dirancang sebelumnya. Jika dikaitkan dengan
implementasi kebijakan pada bidang pendidikan dapat berarti bahwa suatu implementasi
kebijakan pendidikan merupakan proses menjalankan satu alternatif kebijakan pendidikan
yang telah dipilih dan diputuskan.
Van meter dan Van Horn mengemukakan bahwa implementasi kebijakan pendidikan
adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau kelompok dan
pemerintah atau instansi swasta untuk menjalankan suatu kebijakan yang telah dibuat
sebelumnya guna mencapai tujuan pendidikan. Dari pengertian di atas jelas bahwa
implementasi kebijakan dilakukan setelah adanya perumusan masalah, formulasi dan
legitimasi kebijakan. Implementasi kebijakan pendidikan melibatkan perangkat politik
dalam memutuskan kebijakan pendidikan yang akan digunakan dan dilaksanakan.
Implementasi kebijakan pendidikan akan melihat kendala-kendala yang dihadapi
dalam menjalankan suatu kebijakan pendidikan apakah suatu kebijakan pendidikan tetap
dijalankan atau tidak. Dari beberapa tahapan pembuatan kebijakan, implementasi
kebijakan merupakan kegiatan yang paling komplek dan rumit. Perlu adanya hubungan
yang baik antara pemerintah, Dinas Pendidikan, masyarakat, dan sekolah. Kesuksesan
implementasi kebijakan pendidikan terletak pada adanya dukungan dari pemerintah,
Dinas Pendidikan, masyarakat, dan sekolah yang saling berperan aktif dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
Suatu implementasi kebijakan pendidikan yang baik pasti menggunakan beberapa
pendekatan yang digunakan sebagai pandangan atau acuan dalam menjalankan suatu
kebijakan pendidikan. Solichin dalam Arif Rohman, mengemukakan ada empat
pendekatan yang digunakan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan, keempat
pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Struktural (Structural Approach)
Dalam teori organisasi modern pendekatan ini bersifat top- down.
Pendekatan ini berpandangan bahwa dalam merancang, mengimplementasikan
dan mengevaluasi kebijakan pendidikan harus dilakukan secara struktural sesuai
dengan tahapan atau tingkatannya. Semua proses dilakukan sesuai dengan hierarkhi
suatu organisasi dan sangat birokratis. Hal inilah yang menyebabkan pendekatan ini
menjadi kaku jika diterapkan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan
karena terlalu birokratis.
b. Pendekatan Prosedural dan Manajerial (Procedural and Managerial Approach)
Dalam pendekatan ini tidak mementingkan penataan struktur birokrasi pelaksana,
tetapi dalam pendekatan ini lebih kepada proses pengembangan prosedur dan relevan
dan teknik-teknik yang dirancang dengan tepat. Pendekatan ini membutuhkan
beberapa peralatan canggih untuk mengimplementasikan suatu kebijakan pendidikan.
c. Pendekatan Perilaku (Behaviorial Approach)
Pendekatan ini meletakkan perilaku manusia sebagai pelaksana dari seluruh kegiatan
implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan pendidikan akan berjalan dengan
baik, bila perilaku manusia dengan semua sifat-sifatnya juga dikategorikan baik.
d. Pendekatan Politikal (Political Approach)
Pendekatan ini menekankan pada faktor-faktor politik yang berkuasa dalam
memperlancar dan menghambat proses implementasi kebijakan pendidikan.
Implementasi kebijakan pendidikan harus mempertimbangkan realitas-realitas
politik.
Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau
faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. untuk
memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat didalam
implementasi. Dalam pandangan Edwards, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur
birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.
a. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi
atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga
implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks
dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau
menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan
melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa
yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah
mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima
oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud
dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan
spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan
diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka
lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak
cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek
komunikasi ini, yaitu:
1. Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam proses
transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi
implementasi tersebut telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga hal
yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
2. Kejelasan informasi, dimana komunikasi atau informasi yang diterima oleh para
pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak membingungkan. Kejelasan
informasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi kebijakan, dimana
pada tataran tertentu para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam
melaksanakan kebijakan, tetapi pada tataran yang lain maka hal tersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.
3. Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah ataupun informasi yang
diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah jelas dan konsisten
untuk dapat diterapkan dan dijalankan. Apabila perintah yang diberikan
seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana
di lapangan.

b. Sumber daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial.
Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa
sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana,
informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan
pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan
yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg
diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk
melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat
tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa
melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas
maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk
melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan
karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana
dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling
tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada
dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan
kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan
pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak
tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan
informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi
langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di
tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan
kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
Sumber daya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.
Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi
seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil
program dapat berjalan.
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang
mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika
implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan
melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan
pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran
pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan
atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin
memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan
dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada
didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi
program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam
mencapai sasaran program.
Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat
mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah
Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan
orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah,
agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu
penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program
agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan
kebijakan/program.
d. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang panjang akan cenderung melemahkan pengawasan
dan menimbulkan red-tape yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.ini
pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Problema dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan


Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan.
Interaksi merupakan konsep penting dalam implementasi, yang mengacu pada suatu
hubungan yang terkadang kompleks. Dalam implementasi terdapat dua hal yang
harus diperhatikan, yaitu (a) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk
kelompok sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus
dilaksanakan; dan (b) dana pendukung yang proporsional. Tanpa dana kebijakan tidak
akan pernah terealisir.
Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu berjalan dengan baik, beberapa
faktor diantaranya adalah:
a. Faktor organisasi
Suatu kebijakan dalam implementasinya seringkali memerlukan keterlibatan dari
banyak organisasi (aktor) yang terkadang memiliki persepsi dan interest yang
berlainan, baik dalam organisasi pemerintah maupun antara organisasi pemerintah
dengan organisasi swasta. Keadaan ini sering menimbulkan masalah (a)
koordinasi, menyangkut bagaimana mengkoordinasikan kepentingan yang
berbeda; (b) compliance, menyangkut ketaatan bawahan pada instansi yang lebih
tinggi.
b. Faktor politik
Faktor politik seringkali disebut sebagai faktor non teknis, yang mencakup: (a)
legislasi tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari tujuan yang ingin dicapai
yang sering tidak jelas. Misalnya masalah penanggulangan anak putus sekolah;
(b) log-rolling, dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi suatu program
diakibatkan kesalahan pada saat proses legitimasi, proses bargaining yang dilakukan
aktor-aktor perumus kebijakan dilakukan dengan cara setuju atau ketidaksetujuan
terhadap usulan kebijakan dilakukan dengan tukar tambah atau modifikasi usulan,
sehingga akibatnya setelah usulan ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi
tidak jelas (vague).
c. Faktor politik antar organisasi (aktor)
Merupakan perbedaan mengenai lingkungan politik masing-masing organisasi, yang
disebabkan oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing aktor.
Dalam konteks hubungan antar organisasi politik (pelaksana) terbagi dalam:
1. Struktur implementasi secara vertical
Yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi adalah kepatuhan
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan
seperti yang telah digariskan.
2. Struktur implementasi secara horizontal
Dalam struktur ini, koordinasi menjadi kata kunci keberhasilan
implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing
instansi dalam mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam
terminologi implementasi disebut politik antar organisasi dalam implementasi.
Implementasi kebijakan dalam beberapa kasus dapat dilakukan oleh bukan
organisasi pemerintah, tetapi oleh swasta (interest groups), yang sering bias
karena pelaksana mempunyai keterkaitan dengan kelompok sasaran (target
groups).

F. Prinsip Kebijakan Pendidikan di Masa Pandemi


Di masa pandemik seperti ini, segala kegiatan yang telah direncanakan sedemikian
rupa menjadi idak sesuai. Salah satunya dalam bidang pendidikan, proses pembelajaran yang
seharusnya terkontrol dengan baik pada pembelajaran tatap muka namun sekarang harus
dilaksanakan secara jarak jauh yang tentunya membutuhkan penyesuaian dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang perlu diubah. Diantaranya dengan
mengubah prinsip kebijakan pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam webinar 2 sept
2020 menyampaikan dua prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi COVID-19 sebagai
berikut:
1. Kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga,
masyarakat, merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran.
2. Tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan
dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi COVID-19.
Simpulan
Kebijakan pendidikan merupakan suatu pedoman dalam pengambilan keputusan yang
diambil oleh pemerintah sebagai reaksi munculnya permasalahan pendidikan, serta sebagai
solusi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan diselenggarakannya pendidikan. Ciri-ciri kebijakan
pendidikan sebagai kebijakan publik yaitu kebijakan dibuat oleh negara atau lembaga, kebijakan
ditujukan untuk mengatur kehidupan bersama, serta kebijakan dibuat untuk mengatur masalah
bersama.
Kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan
kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Nanang Fattah, fungsi kebijakan dalam
pendidikan adalah menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada
dalam pendidikan dan melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa
dan guru. Sedangkan menurut Pongtuluran, (1995: 7) fungsi kebijakan pendidikan adalah
sebagai pedoman untuk bertindak, sebagai pembatas perilaku, dan sebagai bantuan bagi
pengambil keputusan.
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai beberapa hal,
yaitu mengupayakan perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu tinggi di Indonesia,
meningkatkan kemampuan akademik dan jaminan kesejahteraan bagi tenaga pendidik,
melakukan pembaharuan sistem penndidikan, memberdayakan lembaga pendidikan baik
pendidikan formal maupun non-formal, meningkatkan kualitas lembaga pendiidkan yang
diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, mengembangkan kualitas sumber
daya alam sedini mungkin secara terarah, serta meningkatkan penguasaan, pengembangan, dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain fungsi dan beberapa hal yang harus dicapai, kebijakan pendidikan pun memiliki
karakteristiknya, yaitu memiliki tujuan pendidikan, memenuhi aspek legal-formal, memiliki
konsep operasional, dapat dievaluasi, memiliki sistematika, dan dibuat oleh orang yang
berwenang contohnya administrator pendidikan, pengelolaan lembaga pendidikan, serta para
politisi yang berkaitan.
Dengan adanya implementasi kebijakan pendidikan, kita dapat melihat kendala-kendala
yang dihadapi dalam menjalankan suatu kebijakan pendidikan apakah suatu kebijakan
pendidikan tetap dijalankan atau tidak. Solichin dalam Arif Rohman, mengemukakan ada empat
pendekatan yang digunakan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan, yaitu pendekatan
struktural, pendekatan prosedural dan manajerial, pendekatan perilaku, dan pendekatan politikal.
Selain itu, menurut pandangan Edwards, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variabel, yakni: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Kebijakan
pendidikan ketika pandemi pun memiliki prinsip, sebagaimana ditegaskan oleh menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim yaitu kesehatan dan keselamatan peserta
didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, masyarakat, merupakan prioritas utama dalam
menetapkan kebijakan pembelajaran dan umbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial
juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi
COVID-19.
Saran
Melalui materi di atas, diharapkan penulis dan pembaca dapat memahami segala unsur
kebijakan pendidikan yang telah disampaikan sehingga dapat dijadikan pedoman bertindak dan
mengarahkan kegiatan dalam pendidikan agar dapat mencapai tujuan bersama.
DAFTAR RUJUKAN

Berbagi Ilmu. 2016. Kebijakan Pendidikan, (Online),


(https://www.rijal09.com/2016/03/kebijakan-pendidikan.html), diakses 25 Februari 2021.

Herdiansyah, Fery. 2020. Dua Prinsip Kebijakan Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19,
(Online), (https://lpmpkaltara.kemdikbud.go.id/2020/09/03/dua-prinsip-kebijakan-
pendidikan-di-masa-pandemi-covid-19/), diakses 25 Februari 2021.

Ilham, Ariya. 2010. Karakter Kebijakan Pendidikan Nasional, (Online),


(https://ariyailham09.wordpress.com/2010/02/22/karakter-kebijakan-pendidikan-
nasional/), diakses 2 Maret 2021.

Indriani, Rakhmawati. 2013. Implementasi Kebijakan Pendidikan, (Online),


(https://indrycanthiq84.wordpress.com/pendidikan/implementasi-kebijakan-pendidikan/),
diakses 25 Februari 2021.

Majalah Jendela. 2020. Prinsip Kebijakan Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19, (Online),
(https://jendela.kemdikbud.go.id/v2/fokus/detail/prinsip-kebijakan-pendidikan-di-masa-
pandemi-covid-19), diakses 25 Februari 2021.

Qur’ani, Abdau. 2014. Kebijakan Pendidikan Sekolah dan Madrasah, (Online),


(https://www.slideshare.net/aabqurani/kebijakan-pendidikan), diakses 25 Februari 2021.

Anda mungkin juga menyukai