Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

‘‘Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Ahwal as syakhsyiyah ’’

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Mata Kuliah

Qawaidh Fiqhiyyah

OLEH
KELOMPOK 9

Putri Amelia 12020124167

Dosen Pengampu

Dr. H. Johari, M.Ag

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021
KATA PENGANTAR

 Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayahnya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga Makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tanpa pertolongannya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak.

 Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah Qawa’id
Fiqhiyyah. Selanjutnya penyusun mengucapkan  terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada bapak Dr., H., Johari, M.Ag. selaku dosen pengampu mata
kuliah Qawa’id Fiqhiyah yang telah memberikan tugas ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan


keterbatasan dari segi penulisan maupun isi di dalamnya.  untuk itu penyusun
sangat mengharapkan saran ataupun kritikan dari berbagai pihak. Akhirnya kami
berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya
bagi pembaca pada umumnya.

Aamiin Ya Robbal ‘Alamin......

Tanjungpinang 21 September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1

C. Tujuan ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 2

A. .................................................................................................... 2

B. .................................................................................................... 2

C. .................................................................................................... 4

D. .................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP ................................................................................... 10

A. Simpulan ..................................................................................... 10

B. Saran ........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah fiqh memegang peran dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu bidang
yang akan menjadi bahasan kami dalam makalah ini adalah kaidah fiqh dalam bidang al-
ahwal as-syakhsiyah atau yang juga dikenal dengan nama hukum keluarga Islam.
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia Islam
bahkan telah menjadi hukum adat, sehingga kesadaran untuk menerapkan hukum keluarga
di dunia Islam sangat tinggi, baik di negara-negara Islam atau negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, dan di negara-negara sekuler di mana kaum
muslimin menjadi penduduk yang minoritas hukum keluarga Islam, seperti di Birma,
Singapura, dan Filipina Selatan (Mindanau).
Pentaqninan dalam bidang hukum keluarga merupakan contoh pengaruh hukum
barat terhadap materi hukum islam relatif kecil bahkan tidak ada. Di sisi lain hukum
keluarga diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat melalui dakwah sekaligus
memberikan contoh pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Meningkatkan
kesadaran masyarakat menjadikan hukum Islam dalam hukum keluarga menjadi hukum
adatnya. Keberadaan ulama dan contoh kehidupan serta lembaga-lembaga pendidikan
merujuk kepada mazhab tertentu sehingga wajar apabila banyak negara yang warna
mazhab masih tampak didalam undang-undang hukum perkawinannya

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

a) Untuk mengetahui
b) Untuk mengetahui
c) Untuk mengetahui

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kaidah

B. Konsep kaidah fiqh dalam bidang al-ahwal as-syakhsiyah

Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-
cabang fikih tertentu, dan disebut Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah Al-Khashshah atau juga
disebut Al-Dhabith oleh sebagian ulama.
Kemudian dalam pembidangannya pun berbeda, ada yang membidangkan kepada
empat bidang saja, yaitu bidang ibadah, bidang jual beli, bidang pengakuan, dan bidang
munakahat. Tetapi ada juga yang membaginya kepada: bidang ibadah mahdah, bidang al-
ahwal al-syakhsiyah, bidang muamalah, bidang jinayah, dan bidang al-aqdiyah.
Pembidangan ini pun bisa dikembangkan lagi sesuai dengan perkembangan ilmu hukum
islam dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Kaidah yang khusus di bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga) menjadi
penting karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist kepada
masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan
dengan hukum keluarga menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-
Qur’an dan Al-Hadist setelah memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi
muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan
keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil dalam pembinaan masyarakat dan komunitas
muslim.
Dalam hukum islam, hukum ini meliputi: pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri
(keluarga). Adapun pengertian dari masing-masing sub bahasan adalah sebagai berikut:
a.       Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya
b.      Mawaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta
warisan, menentukan siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana cara
pembagiannya masing-masing. Fikih mawaris disebut juga ilmu faraidh, karena
berbicara bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.
c.       Wasiat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada
orang lain atau lembaga tertentu, sedangkan pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia
meninggal dunia.
d.      Wakaf adalah penyisihan sebagaian harta benda yang kekal zatnya dan mungkin
diambil manfaatnya untuk maksud kebaikan. Dalam kitab fikih dikenal adanya
wakaf dzurri yaitu wakaf untuk keluarga, dan wakaf khairi yaitu wakaf untuk
kepentingan umum.

2
C. Kaidah fiqh dalam bidang ahwal as-syakhsiyah

1. Kaidah pertama

    ‫اع التّحْ ري ُم‬


     
ِ ‫ض‬َ ‫اَألصْ ُل في اَإل ْب‬
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”

Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang
sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan
adanya akad pernikahan.
  Apabila seorang laki-laki diberi tahu bahwa dia sepersusuan dengan keluarga B,
maka dia tidak boleh nikah dengan yang sepersusuan dari keluarga B, kecuali ada bukti
yang meyakinkan bahwa dia tidak sepersusuan dengan keluarga B lagi.

2. Kaidah Kedua

          ‫ق لل ّزوْ َج ِة َعلَى زَ وْ ِجهَا إالّ فِي ُح ُدوْ ِد‬ ِ ‫َوجتِ ِه إالّ فِي حُدوْ ِد يَ ْم ِسى لل ّز َو‬
ّ ‫اج َوالَ َح‬ َ ‫ق لل َّزوْ َج َعلَى ز‬ َّ ‫الَ َح‬
ِ ‫َأ َوا ِم ِر ال ّش‬
ِ ‫رع فِ ْي َما يَ ْم ِسى ال ّز َو‬
‫اج‬

“Tidak ada hak bagi suami terhadap istrinya kecuali dalam batas-batas pernikahan
dan tidak ada hak bagi istri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah
syariah yang berhubungan dengan pernikahan”

Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri
yang sama sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai
hibah kepada istrinya atau istri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorangpun
tidak bisa mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau istri tidak boleh menarik
kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi. Contohnya juga seperti harta
isteri yang didapat dari orang tuanya, maka suami tidak boleh mengambilnya, kecuali atas
izin isterinya.

3. Kaidah Ketiga

          َ ‫ز‬qُ ‫ت َعلَي ِه اُأل ْخ َرى فَالَ يَجُو‬


‫الج ْم ُع بَ ْينَهُ َما‬ ْ ‫ُك ّل ا ْم َرأتَي ِْن لَوْ قُ ِّد َر‬
qْ ‫ت إحْ دَا هُ َما َذ َكرًا َو ُح ِّر َم‬

“Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-
laki dan diharamkan untuk nikah diantara keduanya, maka kedua wanita haram untuk
dimadu”

Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu
kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu
seorang wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu
seorang wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan

3
dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan
nikah dengan saudarannya.

4. Kaidah Keempat

         qِ ‫النِّ َكا ُح الَ يُ ْف ِس ُد بِفَ َسا ِد الصد‬


‫َاق‬
“Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”

Contohnya, apabila seseorang mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut


maharnya kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 10 gram emas menjadi
15 gram emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.

(‫ص)ولو أنك َح‬ ْ ‫صغي َْرةً) أوْ َمجْ نوْ نة (أوْ َر ِش ْي َدةً بِكرًا بِاَل ْإذ ٍن بدوْ ن مه ٍْر ِمث ٍل أو عيّن‬
َ َ‫فنق‬  ‫َت لهُ ق ْدرًا‬ َ ( ‫الول ّي‬
)‫(بمهر مث ٍل‬
ِ ْ
ِّ‫مهر مث ٍل (صحّ) النّكا ُح على ااْل َصح‬ ٍ ‫فنقص عن‬ َ ‫لمهر‬
ٍ ْ‫ت ااْل ِ ذن ول ْم تتعرّض‬ ْ
ِ ‫عنه) أوْ أطلق‬
‫لفساد ااْل مس ّمى‬

Apabila seorang wali menikahkan anak perwaliannya dengan mahar dibawah mahar
mitsil, atau anak perwaliannya menentukan besar jumlah mahar tetapi saat ia dinikahkan,
tidak sesuai dengan jumlah mahar yang telah ditentukan atau dibawah mahar mitsil, atau
anak perwaliannya tadi telah memberikan izin tetapi tidak menyatakan besarnya mahar
lalu ia dinikahkan dengan mahar dibawah mahar mitsil, maka menurut pendapat yang
lebih sahih adalah sah nikah dengan mahar mitsil, karena mahar-mahar yang disebutkan
wali tadi menjadi fasid.

5. Kaidah Kelima

        ‫ق َأوْ لَى‬ ْ ّ‫ُك ّل عُضْ ٍو َح ّر َم الن‬


qً ‫ظ َر إلَ ْي ِه ح ّر َم َم ّسهُ بِطَ ِر ْي‬
“Setiap anggota anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula
dirabanya”

6.    Kaidah Keenam
     ً‫الَي َُج ِّو ُز ُم ْسلِ ُم َكافِ َرة‬
“Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”

Contohnya, seorang ayah yang muslim memiliki anak yang beragama kafir, maka ia
tidak boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak
memilki wali nasab, tetapi dapat diwakilkan oleh wali hakim.

7.    Kaidah Ketujuh
     َ ‫ق الطَاَل‬
q‫ق بصف ِة ل ْم يَقَع ُد وْ نَ وجُوْ دهَا‬ َ َ‫َم ْن عل‬
“Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh
tanpa terwujudnya sifat tadi”

4
Di Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang
disebut dengan ta’lik  talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’lik  talaknya terwujud dengan
syarat si istri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Contohnya, Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta’liq talak, maka apabila dilanggar,
talak tersebut jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya tidak memberi nafkah
isteri selama tiga bulan.
Pengarang Syarh al-Takhrir, merumuskan kaidah tersebut dengan:

َ ّ‫َم ْن عَل‬
‫ق طَاَل قًا بِصفَ ٍة َوقَ َع بِوجُو ِدهَا‬
“Barang siapa menggantungkan talak dengan suatu sifat, maka talak jatuh dengan
wujudnya sifat tersebut”

8. Kaidah Kedelapan

    ُ‫الوط ِء توْ َجبُ ال ِع ّدة‬ ٍ ‫ُك ّل فِرقَ ٍة ِم ْن طَاَل‬


ٍ ‫ق أوْ فَس‬
َ ‫ْخ بَ ْع َد‬

“Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib iddah”
Kaidah ini berhubungan dengan wajibnya ‘iddah (masa tunggu) apabila terjadi
perceraian. Sudah tentu waktu menunggunya bermacam-macam seperti diuraikan dalam
kitab-kitab fikih.
Dalam kitab fathul Mu’in dijelaskan bahwa:
‫ر ْالمرأ ِة‬qِ ‫و شر َع دفعًا لِض َر‬
“Fasakh nikah (membatalkan nikah) disyariatkan untuk melindungi istri agar tidak
tertimpa mudarat.”

9. Kaidah Kesembilan

    ‫ك ب َو ِسطَ ٍة فاَل يَ ِرث بوجوْ ِدهَا‬


َ َ‫ُك ّل َم ْن َع ْد لَى إلَى الهَال‬
“Setiap  orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka
ia tidak mewarisi selama perantaraan itu ada”      
Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang
yang meninggal masih ada, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal
melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak
menjadi ahli waris selama ada anak laki-lakidari orang yang meninggal, karena cucu laki-
laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.

10. Kaidah Kesepuluh

      َ
‫ورث شيْئا َو َرثهُ بِحُقوْ قِ ِه‬ ْ ‫ ُك ّل‬ 
‫من‬
“Setiap orng yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang
bersifat harta).
Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam jual
beli. Demikian pula hak terhadap utang atau gadai tau juga hak cipta yang diwariskan.
Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.

5
11. Kaidah Kesebelas

  ُ‫ قرابة يَحجبُ األض َعف ِم ْنه‬q‫األقوى‬


َ ّ
‫أن‬
“Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”

Contohnya, saudara laki-laki seibu sebapak menghalangi saudara laki-laki sebapak


dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki
seibu sebapak dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya
saudara laki-laki seibu sebapak, karena kekerabatannya lebih kuat yaitu melalui garis ibu
dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya
melalui garis bapak.
Kaidah tersebut hanya berlaku bila derajat kekerabatannya sama. Dalam contoh
diatas, sama-sama saudara dari orang yang meninggal dan hanya diterapkan dalam
kasus ashabah.

12. Kaidah Keduabelas

                  ‫التركة إاّل بَع َد سدَا ِد ال ّدي ِْن‬


“Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang
meninggal)”
Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada
harta warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan
tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudin untuk utang. Kalau
masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi di
antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam. Kaidah diatas
dipertegas lagi dengan kaidah:
‫ال ملكية للورثة إال بعد سداد الدين‬
“Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris kecuali setelah dilunasi utang”

13. Kaidah Ketigabelas

      ِ ‫ص ّح ال َوصيّة ب ُك ِّل ال َم‬


‫ال‬ ِ َ‫اَل ي‬
`         “Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta”
Dhabith ini kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa
maksimal wasiat adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.
Contohnya, Usman yang memiliki harta 10 trilliun, maka tidak boleh mewasiatkan
harta tersebut semuanya, karena maksimalnya hanya 1/3, jadi batasannya yang dapat
diwasiatkan ialah 3 trilliun

14. Kaidah Keempatbelas

6
        ِ ‫وارث لَهُ ف َمالُهُ لِبَ ْي‬
‫ت ال َما ِل‬ ِ ‫ُك ّل َم ْن ماتَ ِمن ال ُمسل ِميْن اَل‬
“Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya
diserahkan kepada Bait al-Mal.”
Contohnya, Saiful Unus yang tidak memiliki keluarga satupun, beliau juga
memiliki harta berlimpah, maka harta tersebut diserahkan kepada bait al-mal

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

7
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai