Anda di halaman 1dari 10

Pengajar : Bu Ester Rina

TUGAS KETERAMPILAN SEJARAH


“KITAB MAHABHARATA”

Oleh :
Graciella Angelica Arifin / XA1 / 15

SMAK 1 PENABUR JAKARTA


Jl. Tanjung Duren Raya No.4, RT.12/RW.2, Tj.
Duren Utara, Kec. Grogol petamburan, Kota
Jakarta Barat
2021
A. Pengarang Kitab Mahabharata
Krishna Dwaipayana merupakan seorang filsuf, rohaniawan,
dan sastrawan yang sangat terkemuka. Ia diberi nama Krishna
Dwaipayana oleh kedua orangtuanya karena kulitnya yang hitam
(krishna) dan ia lahir di tengah pulau (dwaipayana). Selain itu,
Krishna Dwaipayana memiliki gelar Weda Wyasa sebagai bentuk
penghormatan atas kemampuannya memilah sekumpulan besar
ilmu pengetahuan dan lagu-lagu pujian yang terkandung dalam
kitab Weda. Ia juga yang membagi Kitab Weda menjadi empat
bagian (Caturweda) sehingga mudah dipahami dan dipelajari oleh
umat manusia.
Krishna Dwaipayana juga dikenal sebagai tokoh yang menulis Kitab Mahabharata. Kitab
Mahabharata merupakan salah satu dari dua wiracarita besar India kuno yang ditulis dalam
Bahasa Sansekerta. Secara garis besar, Kitab Mahabharata
bercerita tentang kisah perang antara Pandawa dan
Kurawa yang memperebutkan takhta Hastinapura. Selain
Krishna Dwaipayana, Hyang Ganapati atau Dewa
Ganesha juga ikut berperan dalam proses pembuatan
Kitab Mahabharata. Atas persetujuan Dewa Brahma,
Dewa Ganesha mencatat seluruh kisah Mahabharata yang diceritakan oleh Krishna Dwaipayana
tanpa henti.

B. Waktu Penulisan Kitab Mahabharata


Menurut beberapa sumber, Kitab Mahabharata disusun di India pada sekitar tahun 400
SM. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa sebagian besar naskah Kitab Mahabharata
kemungkinan disusun pada abad ke-3 SM hingga abad ke-3 M. Pendapat lain menyebutkan
bahwa Kisah Mahabharata sesungguhnya adalah kumpulan dari banyak cerita yang semula
berpencar, kemudian disatukan kembali. Pendapat ini juga menyebutkan bahwa Kitab utuh
Mahabharata selesai pada abad ke-4 Masehi.
C. Tokoh - Tokoh dalam Kitab Mahabharata
Ada banyak tokoh yang muncul dalam kisah Mahabharata. Namun, dua tokoh utama
dalam kisah ini adalah Pandawa dan Kurawa. Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok
yang memiliki sifat saling bertolak belakang, tetapi mereka berasal dari leluhur yang sama, yaitu
Kuru dan Bharata. Pandawa yang berarti anak Pandu, seorang Raja Hastinapura terdiri dari 5
orang, yaitu Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Sedangkan, Kurawa yang berarti
keturunan Kuru berjumlah seratus dua orang. Namun, yang paling terkemuka adalah Duryodana,
Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu.
Yudistira merupakan putra tertua dari pasangan Pandu dan
Kunti. Dalam Bahasa Sansekerta, Yudistira mengandung makna
“teguh” atau “kokoh dalam peperangan”. Dalam Kitab Mahabharata,
Yudistira dikenal dengan sebutan Dharmaraja karena ia selalu
berusaha untuk menegakkan dharma di sepanjang hidupnya. Yudistira
merupakan penjelmaan dari Dewa Yama atau Dewa Akhirat.
Nantinya, ia akan menjadi raja yang memerintah Kerajaan Kuru
dengan pusat pemerintahan di Hastinapura.
Bima merupakan putra kedua dari Pandu dan Kunti. Ia dikenal sebagai tokoh Pandawa
yang paling kuat dan menakutkan bagi para
musuh-musuhnya, meskipun begitu sebenarnya ia
memiliki hati yang lembut. Bima merupakan penjelmaan
dari Dewa Bayu atau Dewa Angin. Senjata yang paling
sering ia gunakan adalah gada. Senjata gadanya ini
memiliki nama Rujakpala. Bima akan gugur di
pegunungan bersama keempat saudaranya setelah Perang Bharatayuddha berakhir.
Arjuna merupakan putra bungsu dari Pandu dan
Kunti. Nama Arjuna memiliki arti “yang bersinar” atau
“yang bercahaya”. Dalam Kitab Purana, dikatakan bahwa
Arjuna merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu. Ia
dikenal sebagai anggota Pandawa yang berparas
menawan, berhati lemah lembut, dan juga pandai
memanah. Kitab Mahabharata menjelaskan bahwa hubungan antara Arjuna dengan Kresna
sangatlah dekat.
Nakula dan Sadewa merupakan dua anggota terakhir Pandawa. Mereka adalah saudara
kembar dari pasangan Pandu dan Madri. Nakula dan Sadewa sama-sama dikenal sebagai
penjelmaan Dewa Aswin atau Dewa Pengobatan. Nakula merupakan seorang yang mahir
memainkan senjata pedang, sedangkan adiknya, Sadewa merupakan seorang ahli astronomi.
Putra sulung pasangan Dretarastra dan Gandari adalah Duryodana,
Kurawa pertama diantara seratus Kurawa lainnya. Masyarakat Hindu
percaya bahwa Duryodana merupakan penjelmaan dari Iblis Kali.
Senjata yang ia gunakan adalah gada. Selain itu, ia juga memiliki
kekuatan fisik yang setara dengan Bima, seorang Pandawa yang
terkenal hebat akan kekuatan fisiknya. Duryodana akan dikalahkan
oleh Bima pada pertempuran hari kedelapan belas karena pahanya
dipukul oleh gada milik Bima yang bernama Rujakpala.
Kemudian, Kurawa yang lahir setelah Duryodana
adalah Dursasana. Nama Dursasana mengandung arti
“sulit untuk dikuasai” atau “sulit untuk diatasi”. Dalam
Kisah Mahabharata, Dursasana terkenal akan sifatnya yang
sombong, semena-mena, dan suka menggoda wanita. Pada
saat Perang Bharatayuddha, ia akan dibunuh oleh Bima
pada hari keenam belas pertempuran.
Wikarna merupakan Kurawa ketiga yang lahir setelah Duryodana dan Dursasana. Ia
dikenal sebagai tokoh Kurawa yang menentang kebijakan-kebijakan kakaknya yang telah
menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Wikarna juga yang nantinya akan membela Putri Drupadi
saat putri tersebut hendak ditelanjangi oleh kakaknya Dursasana.
Tokoh Kurawa terkemuka yang terakhir adalah Yuyutsu. Ia
merupakan satu-satunya anggota Kurawa yang tidak dilahirkan
oleh Ratu Gandari, tetapi ia dilahirkan oleh Sugada, pelayan
Ratu Gandari. Meskipun hubungan antara Pandawa dan
Kurawa tidak baik, tetapi Yuyutsu tidak pernah berbuat jahat
kepada para Pandawa. Nantinya, ia merupakan satu-satunya Kurawa yang selamat setelah Perang
Bharatayuddha berakhir.

D. Isi Cerita Kitab Mahabharata dari Hasil Kebudayaan


Seperti yang kita ketahui, Kitab Mahabharata
bercerita tentang peperangan antara Pandawa dan Kurawa
dalam memperebutkan takhta Hastinapura. Mahabharata
banyak mengandung nilai yajna (korban suci) dan nilai -
nilai dharma agama Hindu. Selain itu, Kitab Mahabharata
juga membahas mengenai Empat Tujuan Hidup Manusia.
Karya sastra legendaris ini terbagi menjadi delapan belas
kita atau sering disebut dengan Astadasaparwa. Seluruh kisah dalam kitab ini tersusun secara
kronologis, mulai dari pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala sampai kisah diterimanya
Pandawa di Surga.
Kisah Mahabharata dimulai dengan pernikahan Raja Duswanta dengan Sakuntala yang
berasal dari pertapaan Bagawan Kanwa. Dari pernikahan tersebut, Raja Duswanta dan Sakuntala
memiliki keturunan Sang Bharata. Kemudian, Sang Bharata memiliki keturunan Sang Hasti yang
nantinya akan mendirikan Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Dari
keturunan tersebut, terbentuklah Dinasti Kuru yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah
luas yang disebut dengan Kurukhetra. Dalam Dinasti Kuru, lahirlah Pratipa yang menjadi ayah
dari Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Kurawa.
Prabu Santanu menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia. Namun,
pernikahan mereka tidak bertahan lama karena Dewi
Gangga memutuskan untuk meninggalkan Prabu
Santanu yang telah melanggar janji pernikahan
mereka berdua. Setelah ditinggal oleh Dewi Gangga,
Prabu Santanu melanjutkan kehidupannya dan
menikah dengan Dewi Satyawati. Hubungan
pernikahan Sang Prabu dengan Satyawati
menghasilkan dua putra, yaitu Citranggada dan Wicitrawirya. Namun, Citranggada wafat dalam
pertempuran dan adiknya, Wicitrawirya juga wafat di usia muda karena mengidap penyakit
paru-paru.
Kedua putra Prabu Santanu dan Satyawati belum sempat memiliki keturunan. Oleh
karena itu, Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika untuk
menemui Resi Byasa agar mereka dapat mengikuti suatu upacara untuk memperoleh keturunan.
Ketika Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Resi Byasa yang sangat dahsyat
dan hal ini membuatnya ketakutan sehingga ia menutup matanya selama upacara tersebut
berlangsung. Karena Ambika menutup matanya selama upacara, maka anaknya, Drestarastra
terlahir dengan kondisi buta.
Agar kejadian yang sama tidak terulang kembali,
Satyawati menyuruh Ambalika untuk terus membuka
matanya agar anaknya kelak tidak terlahir dalam kondisi
buta. Namun, setelah Ambalika melihat wajah Resi
Byasa, ia merasa ketakutan hingga wajahnya berubah
menjadi pucat pasi. Maka dari itu, anak dari Ambalika,
yaitu Pandu terlahir pucat. Dikarenakan kondisi
Drestarastra yang terlahir buta, maka takhta Hastinapura
diserahkan kepada Pandu. Setelah menjadi Raja
Hastinapura, Pandu menikah dengan Kunti. Pandu juga
menikah dengan Madri, tetapi ia tidak mampu memiliki
anak karena kutukan yang diterimanya setelah
membunuh Resi Kindama dalam wujud kijang tanpa
sengaja.
Setelah kejadian tersebut, Pandu mengajak kedua istrinya untuk pergi berdoa dan
memohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan keturunan. Berkat mantra
Adityahredaya yang pernah diberikan oleh Resi Byasa, Kunti memiliki kemampuan untuk
memanggil para dewa agar dapat memberikannya putra. Pada percobaan pertama, Batara Surya
datang dan memberikan seorang putra, Karna yang nantinya akan diserahkan dan dirawat oleh
para Kurawa. Kemudian, Kunti mencoba mantra itu kembali dan ia mendapatkan tiga putra, yaitu
Yudistira, Bima, dan Arjuna.
Kunti juga membantu Madrim agar ia mendapatkan keturunan. Akhirnya, Madrim
melahirkan anak putra kembar yang dikenal dengan Nakula dan Sadewa. Kelima putra Pandu
inilah yang dikenal sebagai Pandawa. Di sisi lain, putra Ambika yang terlahir buta, Drestarastra
menikahi Gandari. Dari pernikahannya, Drestarastra memperoleh 99 putra dan 1 putri yang
nantinya akan dikenal sebagai seratus Kurawa.
Pandawa dan Kurawa merupakan saudara sepupu, tetapi mereka memiliki sifat yang
sangat bertolak belakang. Para Kurawa, khususnya Duryodana selalu merasa iri hati dengan
kelebihan yang dimiliki oleh Pandawa. Meskipun begitu, para Pandawa selalu bersikap tenang
dan sabar ketika menghadapi saudara-saudara sepupunya itu. Rasa tidak suka Duryodana
terhadap para Pandawa membuat ia beserta dengan pamannya Sangkuni seringkali merencanakan
sesuatu yang jahat untuk menyingkirkan para Pandawa.
Suatu ketika, tersiar kabar bahwa Raja Drupada
menyelenggarakan sebuah sayembara untuk
memperebutkan Dewi Drupadi. Dalam sayembara tersebut,
salah satu Pandawa, yaitu Arjuna berhasil
memenangkannya dan ia berhak untuk menikahi Drupadi.
Namun, karena kesalahpahaman Kunti, ibu dari para
Pandawa, Drupadi harus menikahi kelima Pandawa
tersebut.
Untuk menghindari perang antar saudara, Kerajaan Kuru
dibagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Kuru Induk dengan
ibukota Hastinapura dan Kerajaan Kurujanggala dengan
ibukota Indraprastha. Para Kurawa akan memerintah
Kerajaan Kuru Induk. Sedangkan, para Pandawa akan memerintah Kerajaan Kurujanggala.
Namun, para Kurawa tidak merasa puas dan mereka ingin merebut Kerajaan Kurujanggala yang
dipimpin oleh Yudistira.
Oleh karena itu, atas ide dari pamannya, Duryodana mengundang Yudistira untuk
melakukan permainan dadu. Saat permainan berlangsung, Duryodana diwakili oleh pamannya
Sangkuni yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Pada akhirnya, Pandawa mengalami
kekalahan dan harus menyerahkan kerajaannya kepada Kurawa, termasuk juga dengan Drupadi.
Karena sudah kalah dalam permainan dadu, Kurawa meminta Pandawa dan Drupadi untuk
menanggalkan pakaian mereka. Namun, Drupadi menolak untuk melakukannya.
Akhirnya, adik Duryodana, yaitu Dursasana
menarik paksa kain yang dipakai Drupadi. Meskipun
begitu, kain yang ditariknya terus terulur dan tak
habis-habis. Itu semua berkat pertolongan dari Sri Kresna.
Drupadi merasa bahwa ia telah dipermalukan oleh sikap
Dursasana tersebut. Kemudian, salah satu Pandawa, Bima
mengucapkan sumpah bahwa ia akan membunuh
Dursasana. Mendengar sumpah tersebut, ayah dari para Kurawa, Drestarastra memutuskan untuk
mengembalikan semua kekayaan dan kerajaan Kurujanggala kepada Yudistira.
Duryodana merasa kecewa dengan keputusan Drestarastra dan ia kembali
menyelenggarakan permainan dadu untuk kedua kalinya.
Taruhan dalam permainan dadu kali ini adalah barang
siapa yang kalah, maka mereka harus mengasingkan diri
ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu, mereka harus
hidup dalam masa penyamaran selama setahun. Untuk
kedua kalinya, Yudistira terjebak dalam permainan
tersebut dan akhirnya mengalami kekalahan. Karena
kekalahan tersebut, Pandawa harus meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup
dalam masa penyamaran selama setahun.
Setelah masa pengasingan selama 12 tahun itu
habis, para Pandawa kembali ke kerajaan mereka dan
menuntut untuk mengambil alih kerajaan tersebut.
Namun, Duryodana bersikap curang dan jahat. Ia tidak
mau mengembalikan kerajaan Kurujanggala tersebut
kepada para Pandawa. Hal ini membuat kesabaran
Pandawa habis dan akhirnya timbul lah pertempuran
diantara kedua pihak tersebut.
Pertempuran antara Pandawa dan Kurawa merupakan klimaks dari Kisah Mahabharata.
Pertempuran ini berlangsung selama 18 hari di daratan Kurukshetra. Lokasi tersebut dipilih
sebagai tempat pertempuran karena tanah di daratan Kurukshetra dianggap sebagai tanah suci
oleh para umat Hindu. Dalam pertempuran Bharatayudha, banyak ksatria yang gugur, seperti
Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, dan masih banyak lagi. Pada hari kedelapan belas, hanya
tersisa sepuluh ksatria, yaitu Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa, dan
Kertawarma.
Setelah perang Bharatayudha berakhir, Yudistira secara resmi dinobatkan sebagai raja
Kerajaan Hastinapura. Selain diangkat menjadi Raja Hastinapura, Yudistira juga diangkat sebagai
raja Indraprastha. Setelah memerintah selama beberapa lama, Yudistira menyerahkan takhtanya
kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama dengan Pandawa dan Drupadi
melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha, dan menuju puncak Gunung
Himalaya.

E. Amanat dari Kitab Mahabharata


Seperti yang ditulis di bagian awal, Kitab Mahabharata banyak berisi nilai-nilai dharma
agama Hindu dan juga membahas mengenai Empat Tujuan Hidup Manusia. Keempat tujuan
tersebut adalah Dharma (kebenaran dan nilai-nilai moral), Arta (kemakmuran dan kebutuhan
pokok), Kama (kenikmatan jasmani-rohani dan kasih sayang), dan Moksa (kemerdekaan dan
nilai-nilai spiritual).
Sebenarnya, dalam kehidupan kita saat ini, kita hanya mengejar kebahagiaan duniawi
atau kebahagiaan sesaat. Sering kali mata kita tertipu akan berbagai penawaran keindahan dan
kenikmatan duniawi yang tidaklah nyata. Banyak dari kita yang mengejar status, harta, dan
kekuasaan sama seperti karakter Kurawa dalam Kisah Mahabharata tersebut. Bahkan, kita rela
melakukan sesuatu yang kejam tanpa memandang apapun asalkan kita berhasil mendapatkan apa
yang kita inginkan.
Kemudian, di sisi lain, kita bisa melihat bahwa karakter Yudistira belum sepenuhnya
mampu mengontrol pikiran dan perasaannya. Ia membiarkan emosi sesaat menguasai dirinya
sehingga ia rela mempertaruhkan kerajaan, saudara, bahkan sampai istrinya sendiri. Pada
akhirnya, Yudistira beserta dengan Pandawa dan Drupadi harus menerima akibatnya dengan
mengasingkan diri selama 12 tahun.
Berdasarkan Kisah Mahabharata ini, kita dapat belajar bahwa mengontrol emosi dan
perasaan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Kita harus bisa menyadari
batas-batas yang tidak boleh kita lampaui. Jangan sampai kita tergila-gila dengan status, harta,
dan kekuasaan sehingga kita rela untuk mengorbankan segalanya. Selain itu, kita juga harus
belajar untuk selalu bersikap tenang dalam segala situasi. Kita tidak boleh membiarkan emosi
sesaat yang kita rasakan membawa malapetaka bagi diri sendiri dan juga orang lain.

F. Sumber Referensi
https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/09/140000179/kitab-mahabharata-penulis-is
i-dan-kisahnya?page=all
https://www.kompasiana.com/priyandono/552fe3bb6ea834c65d8b4585/siapakah-pengara
ng-epos-mahabarata
https://satujam.com/pengarang-cerita-mahabarata/
https://roboguru.ruangguru.com/question/berisi-tentang-apakah-kitab-mahabharata-itu-ap
a-bedanya-dengan-kitab-ramayana-_QU-5CCG2KFP
https://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/maharsi-wyasa.html
https://jbbudaya.jogjabelajar.org/artikel/cerita-mahabarata
https://www.viva.co.id/arsip/541782-mengenal-10-tokoh-kunci-mahabharata?page=1&ut
m_medium=sebelumnya-1

Anda mungkin juga menyukai