Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TUTORIAL

SKENARIO 1

MODUL 5.3

Pengampu : dr. Sri Mastuti, M. Biomed

Disusun oleh :

Nama : Nana Syafira

Nim : 18109011042

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmat. Selain itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah
mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam. Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula
kami dapat menyelesaikan penulisan laporan ini yang merupakan tugas mata kuliah Fakultas
Kedokteran skenario satu pada modul 5.3 Penulis sampaikan terima kasih kepada dosen
pembimbing dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari isi, struktur
penulisan dan gaya bahasa. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
perbaikan laporan dikemudian hari. Demikian semoga laporan ini memberikan manfaat
umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri, Aamin

Penulis

Semarang, 21 Desember 2020


SKENARIO 1

NOKTURIA

Ibu Mirna berusia 48 tahun, datang ke RS dengan keluhan sering BAK malam hari
saat sedang tidur sejak 3 bulan yang lalu. Anyang-anyangan/ kencing tak lampias disangkal,
BAK nyeri (-) , BAK berdarah (-). Nafsu makan meningkat, namun berat badan semakin
menurun. Buang air kecil pada malam hari bisa 4-5 kali dan berbusa. Saat ini telapak kaki
terasa kesemutan dan nyeri bila berjalan. Pasien pernah periksa ke dokter 2 tahun yang lalu
dan diagnosis DM tipe 2, namun jarang mengkonsumsi obat hipoglemik oral. Pola makan
juga tidak teratur, lebih sering mengkonsumsi makanan cepat saji dan jarang berolahraga. 1
bulan yang lalu check GDS 260mg/dl di apotik dekat rumah, saat itu langsung diberi obat
metformin hanya seminggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/80
mmHg. Status antropometri didapatkan berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan indeks
massa tubuh (IMT) 29,4 kg/m2, lingkar perut 110 cm. Tidak didapatkan kelainan pada
jantung, paru maupun abdomen. Pemeriksaan eksremitas didapatkan kulit teraba kering,
tidak ada edema ataupun luka. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat mikroaneurisma dan
perdarahan dalam retina. Hasil laboratorium memperlihatkan GDP 258mg/dl, GD2PP 340
mg/dl dan HbA1c 10,2 g/dl. Pemeriksaan urinalisa menunjukan protein urin positif 3. Dokter
menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati yang telah dialaminya. Pasien juga diberikan
edukasi tentang diet untuk penderita DM dan jenis olahraga yang sesuai. Selain itu untuk
mengontrol glukosa darahnya pasien dianjurkan untuk menggunakan insulin, dan diberikan
penjelasan tentang risiko hipoglikemia yang dapat terjadi akibat insulin serta upaya untuk
mengatasi hipoglikemia.
STEP 1

1. Pemeriksaan funduskopi : pemeriksaan oftalmology yang dilakukan untuk melihat


dan menilai kelainan pada segmen posterior mata yang dinilai dapat mendeteksi dini
berbagai penyakit serius secara akurat.

2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah


yang diresepkan oleh dokter khusus bagi diabetesei. Obat Penurun Glukosa Darah
bukanlah hormon insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui beberapa
cara untuk menurunkan kadar glukosa darah.

3. Nokturia : istilah medis untuk buang air kecil yang berlebihan pada malam hari

4. Status antropometri : salah satu cara langsung menilai status gizi, khususnya keadaan
energi dan protein tubuh seseorang.

5. Makroangiopati : komplikasi ke pembuluh darah besar spt otak,jantung, ginjal.

6. Mikroangiopati merupakan komplikasi mikrovaskuler pembuluh darah lebh kecil spt


neuropathy, retinopathy dll. memengaruhi pembuluh darah yang lebih kecil. Kondisi
ini membuat pembuluh darah tersebut menebal dan melemah. Sehingga,
memperlamat aliran darah ke seluruh tubuh. Lambat laun, kondisi ini meningkatkan
risiko retinopati diabetes (yang dapat menyebabkan kebutaan) dan penyakit ginjal.

7. HbA1c : Glukosa yang menempel pada Hb untuk melihat seberapa baik


pengumpulan diabetes

8. GDS : Pemeriksaan gula darah yang diambil setelah puasa makan atau minum selain
air Putih selama 8-10 jam

9. GD2PP : Gula darah 2 jam post prandial adalah dimana pengukuran test gula
dilakukan 2 jam setelah makan

10. Mikroaneurisma : Merupakan pembengkakan pembuluh darah berukuran mikro dan


dapat terlihat sebagai titik-titik kemerahan pada retina.
STEP 2

1. Mengapa nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun ?

2. Mengapa pada pasien telapak kakinya kesemutan dan nyeri bila berjalan?

3. Apa yang menyebabkan pasien tersebut buang air kecil pada saat malam hari secara
terus menerus?

4. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi hipoglikemia ?

5. Bagaimana interpretasi normanyal dari hasil pemeriksaan lab pasien?

STEP 3

1. Nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun karena pada penderita dm,
tubuh tidak mendapatkan glukosa dan energi dari makanan, maka tubuh memecah
otot dan lemak Ketika jaringan untuk mendapatkan energi. Hal ini merupakan
penyebab penderita dm sering kali mengalami penurunan berat badan meski nafsu
makan meningkat.

2. Pada penderita dm kadar glukosa yang tinggi di vaskular melemahkan dinding


pembuluh darah yang memberi asupan oksigen dan nutrisi untuk sel saraf.
Akibatnya, terjadi kerusakan dan gangguan pada fungsi saraf/Neuropati diabetic

3. karena penderita diabetes memiliki gula darah yang tinggi. Kelebihan gula dalam
tubuh akan dikeluarkan melalui urine, tapi gula juga menarik air sehingga
meningkatkan frekuensi buang air kecil Yang menyebabkan pasien tersebut sering
buang air kecil atau poliuri yaitu Terjadi karena pada pasien dengan diabetes melitus
akan terjadi penumpukan cairan dari dalam tubuhnya akibat gangguan osmolitas
darah yang mana cairan tersebut harus dibuang melalui keringat, buang air kecil pada
saat malam umumnya hanya melalu berkemih maka terjadilah peningkatan frekuensi
berkemih dimalam hari.

4. konsumsi makanan-makanan yang mengandung kadar gula tinggi, seperti permen,


minuman manis, atau jus buah untuk mengembalikan kadar gula darah ke angka
yang normal. Selain itu, penderita hipoglikemia juga dianjurkan untuk mengonsumsi
makanan berkarbohidrat yang bisa dengan cepat diubah menjadi asupan gula oleh
tubuh, seperti nasi, roti, sereal, dan biskuit. makan atau minum karbohidrat sebanyak
kurang lebih 15 gram untuk meningkatkan kadar gula darah. Cek kadar gula darah
setelah 15 menit konsumsi karbohidrat, jika kadar gula darah masih di bawah 70
mg/dL maka pasien makan atau minum lagi 15 gram karbohidrat. Kemudian
pemerikaan kadar gula darah kembali dilakukan 15 menit setelah konsumsi
karbohidrat tersebut. Hal ini dilakukan hingga kadar gula darah berada di atas 70
mg/dL atau hingga gejala terasa berkurang.

5. Nilai normal dari :

 GDP: 80-125 mg/dl


 GDS : < 200 mg/dl
 GD2PP : 110-180 mg/dl
 HbA1c : 4% - 5,6%
STEP 4
STEP 5

1. Mengetahui dan memahami Definisi, Epidemiologi, Klasifikasi DM

2. Mengetahui dan memahami Etiologi, Faktor risiko DM

3. Mengetahui dan memahami Patofisiologi DM

4. Mengetahui dan memahami Manifestasi klinis DM

5. Mengetahui dan memahami DD DM

6. Mengetahui dan memahami Penegakan Diagnosi DM

7. Mengetahui dan memahami Tatalaksana DM

8. Mengetahui dan memahami Komplikasi, Prognosis, Pencegahan dan Edukasi DM


STEP 6 (BELAJAR MANDIRI)

LO 1 (DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, KLASIFIKASI DM)

 Definisi DM
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis. DM adalah
penyakit gangguan metabolik yang terjad’i secara kronis atau menahun karena tubuh
tidak mempunyai hormon insulin yang cukup akibat gangguan pada sekresi insulin,
hormon insulin yang tidak bekerja sebagaimana mestinya atau keduanya (Kemenkes
RI, 2014). Mufeed Jalil Ewadh (2014) menyebutkan bahwa DM adalah penyakit
gangguan metabolik dengan ciri ditemukan konsentrasi glukosa yang tinggi di dalam
darah (hiperglikemia).
World Health Oragnization atau WHO (2016) menyebutkan bahwa Penyakit
ini ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria
serta sebagian mengalami kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit kronis
yang sangat perlu diperhatikan dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti kerusakan mata, ginjal pembuluh darah,
saraf dan jantung.
 Epidemiologi DM
Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta
penderita pada tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun
1980 yang hanya 180 juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di
wilayah South-East Asia dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah
dari jumlah seluruh penderita DM di seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk
adalah penderita DM dan 3,7 juta kematian disebabkan oleh DM maupun komplikasi
dari DM (WHO, 2016).
Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014
berjumlah 9,1 juta atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk
penderita DM yang telah terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang belum
terdiagnosis. Indonesia merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita
DM terbanyak pada tahun 2014. Indonesia pada tahun 2013 berada diperingkat ke7
penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah penderita 7,6 juta (Perkeni, 2015).
 Klasifikasi DM

DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa


darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain.
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Sel β
pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang
berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas
telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat
terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1
sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil non autoimun. DM
tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada
mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali
mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia
30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM
yang ada.
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai yang
dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin.3,4
Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer
(insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua
hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering
berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun.
Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi
produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada
pemberian insulin.3 Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2
sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah
kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia).3 Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan
trimester kedua atau ketiga.4 Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,
kegemukan dan glikosuria.

GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,


polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi
insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Kasus
GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk
menjadi DM di kehamilan berikutnya.3

Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat


kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit
Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta
(dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan
infeksi atau sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s)

LO 2 (ETIOLOGI, FAKTOR RISIKO DM)

 Etiologi DM
Penyebab diabetes melitus adalah kurangnya produksi dan ketersediaan
insulin dalam tubuh yang mencukupi maka tidak dapat bekerja secara normal atau
terjadinya gangguan fungsi insulin. Insulin berperan utama dalam mengatur kadar
glukosa dalam darah, yaitu 60-120 mg/dl waktu puasa dan dibawah 140 mg/dl pada
dua jam sesudah makan (orang normal). Kekurangan insulin disebabkan karena
terjadinya kerusakan sebagian besar dari sel-sel beta pada pulau langerhans dalam
kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin.

 Faktor Risiko DM
Faktor risiko diabetes melitus bisa dikelompokkan menjadi faktor risiko yang
tidak dapat di modifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
di modifikasi adalah genetik/keturunan, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan
diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram,
dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (< 2500 gram). Sedangkan faktor
risiko yang dapat di modifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang kurang
sehat, yaitu berat badan berlebih, obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktivitas
fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat/tidak seimbang, riwayat toleransi
glukosa tinggi (TGT) atau gula darah puasa terganggu (GDP terganggu), dan
merokok.
Proporsi/persentase penduduk Indonesia yang memiliki faktor risiko dari
diabetes melitus adalah sebagai berikut.
LO 3 (PATOFISIOLOGI DM)

 Patofisiologi DM

Gambar 1: Diabetic Retinopathy


Gambar 2 : Diabetic Polyneuropathy
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel
beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta pankreas yang
tidak berfungsi secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin
menjadi penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik (NIDDK,
2014).
Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi
insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post
reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas insulin untuk
menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan
otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan
sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa
dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi
yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah
masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai
dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar
menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan
resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi
sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi
terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika
tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut (Hanum, 2013).

LO 4 (MANIFESTASI KLINIS DM)

 Manifestasi Klinis DM

Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu:
a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang
berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat
kadar glukosa serum yang meningkat.
b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.
c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan
glukosa oleh sel menurun.
d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal
pada kulit.

e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh


kadar glukosa intrasel yang rendah.
f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
h. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf.
i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena
neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.
j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

LO 5 (DIAGNOSIS DIFFERENTIAL)

 Diagnosis Differential

LO 6 (PENEGAKAN DIAGNOSIS DM)

 Penegakan Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar: Kriteria DM

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c.
Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan
terakhir, kondisi- kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel: Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM (B) yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)

LO 7 (TATALAKSANA DM)

 Tatalaksana DM

Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015) dan Kowalak


(2011) dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non farmakologi:
a. Terapi farmakologi

Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan


dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan
obat suntikan, yaitu:
1. Obat antihiperglikemia oral

Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan


menjadi beberapa golongan, antara lain:

a) Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid

Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh sel
beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b) Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati
(gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan
efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi
insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan glukosa di perifer.
c) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa
dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula
darah dalam tubunh sesudah makan.
d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat


kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1)
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).
2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak


dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya
dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis
insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-
10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).
b. Terapi non farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011)


yaitu:
1. Edukasi

Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidupmenjadi


sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa
digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
2. Terapi nutrisi medis (TNM)

Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwalmakan yang


teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama
pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun
insulin.
3. Latihan jasmani atau olahraga

Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari


dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit
perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan
intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal
seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang,dan jogging. Denyut
jantung maksimaldihitung dengan cara: 220 – usia pasien.
LO 8 (KOMPLIKASI, PROGNOSIS, PENCEGAHAN DAN EDUKASI DM)

 Komplikasi DM
Komplikasi DM dibedakan menjadi 2 yaitu, komplikasi akut dan komplikasi
kronik:
1. Komplikasi akut

Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari


konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe-1
adalah ketosidosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien
mengalami hipergilkemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan
lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton yang merupakan awal dari DKA (Price, 2006).

2. Komplikasi kronis

Komplikasi vaskular jangka panjang ini meliputi mikroangiopati (pembuluh


darah kecil), dan makroangiopati (pembuluh darah sedang dan besar). Mikroangiopati
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang glomerulus ginjal (nefropati
diabetik), kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), dan saraf-saraf perifer
(neuropati diabetik), kulit serta otot-otot (Price, 2005).

Dalam keadaan hiperglikemia, yang terjadi adalah penebalan dari lapisan


membran dasar pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena glukosa sebagai salah
satu komponennya dapat masuk pada sel-sel membran dasar tanpa insulin. Keadaan
ini dapat mengakibatkan timbulnya mikroaneurisma pada arteriola retina yang bisa
berakhir dengsn neovaskularisasi, perdarahan, bahkan jaringan parut. Selain itu,
hiperglikemia juga dapat meningkatkan sorbitol melalui jalur poliol. Sehingga dapat
menimbulkan katarak pada lensa mata. Jika terjadi penimbunan sorbitol dalam
jaringan saraf, maka kegiatan metabolik selsel schwan akan terganggu dan
menyebabkan neuropati (Price, 2005).

Makroangiopati diabetikum yang umum terjadi adalah aterosklerosis.


Gangguannya berupa (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2)
hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Akhirnya yang terjadi
adalah penyumbatan aliran darah (Price, 2005).

Jika mengenai arteri-arteri perifer maka dapat menyebabkan insufisiensi


vaskular perifer yang ditandai dengan klaudikasio intermiten dan gangren pada
ekstremitas. Jika mengenai otak, maka dapat terjadi insufisiensi serebral dan stroke.
Jika mengenai arteri koronaria, maka dapat terjadi angina dan infark miokardium
(Price, 2005).

 Prognosis DM
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien
dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c <
7%), tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan
mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama.
Namun jika pasien memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita
diabetes lama (≥ 15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun
telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun (Khardori, 2017). DM dapat
menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena dapat berkomplikasi pada penyakit
kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf
(neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif untuk
pencegahan DM (Khardori, 2017).
 Pencegahan DM
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara
optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak
sehat.
Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut,
yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,
membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang
berkenaan dengan:
1. Makan makanan sehat
2. Kegiatan jasmani secara teratur
3. Menggunakan obat diabete secara aman dan teratur
4. Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai
informasi yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Mengelola diabetes dengan tepat
7. Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
8. Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan Edukasi (penyuluhan)
secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti
perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses
edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi
 Edukasi DM

Pasien perlu diedukasi untuk menghindari gula dan asupan lemak jenuh,
rokok, dan alkohol. Pasien perlu menjaga berat badannya di kisaran indeks massa
tubuh (IMT) normal serta berolahraga secara teratur, setidaknya 30 menit selama 3
kali seminggu.
Pasien juga perlu diedukasi bahwa diabetes mellitus tipe 2 merupakan
penyakit kronis yang belum dapat disembuhkan namun dengan perubahan gaya hidup
dan pengobatan teratur, penyakit ini dapat dikontrol sehingga tidak menyebabkan
komplikasi. Untuk itu, pasien perlu dimotivasi untuk minum obat secara terus-
menerus walau tidak merasa sakit, kontrol rutin setiap 3-6 bulan, dan melakukan
pemeriksaan kaki dan mata secara berkala.
STEP 7
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa pada skenario ini pada pasien perempuan


mengalami Diabetes Mellitus Kronik tipe 2 yang dimana disebabkan karena resistensi
insulin karena terjadi kronik. Sehingga menyebabkan adanya komplikasi pada bagian
mata yaitu retinopati. Pasien disarankan untuk makan-makanan sehat serta
menggunakan obat diabetes secara teratur , kontrol rutin setiap 3-6 bulan, dan
melakukan pemeriksaan kaki dan mata secara berkala.

DALIL

Artinya : “ dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui


apa yang dibisikan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya”.
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, Jakarta.
2. Kementerian Kesehatan RI. 2019. Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018. Info Datin ;
ISSN 2442-7659. Jakarta.
3. PB PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta; 2011.
4. Yaturu, S. Obesity and type 2 diabetes. Journal of DiabetesMellitus. 2011; 1(4);10-6.
5. American Diabetes Association (ADA). 2012. Medical advice for people with
diabetes in emergency situations. American Diabetes Association Journal
6. Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit, Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari,
p., Mahanani, D. A.,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta
8. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014.
9. Eshaq RS, Aldalati AMZ, Alexander JS, Harris NR. Diabetic retinopathy: Breaking
the barrier. Pathophysiology. 2017;24(4):229-41.
10. Tarr JM, Kaul K, Chopra M, Kohner EM, Chibber R. Pathophysiology of diabetic
retinopathy. ISRN Ophthalmol. 2013;2013:343560.

Anda mungkin juga menyukai