Anda di halaman 1dari 2

Pola Perkawinan dan Perceraian

Seperti yang dijelaskan di buku The Arab World, Pernikahan telah dianggap sebagai
mekanisme reproduksi, keberlangsungan hidup, penguat ikatan dan kepentingan keluarga,
pelestarian milik pribadi melalui pewarisan, sosialisasi, dan pencapaian tujuan lain yang
melampaui kebahagiaan individu untuk menjamin kepentingan umum. Prinsip ini terlihat di
sebagian besar pola yang berkaitan dengan perkawinan, antara lain perjodohan, endogami,
poligami, usia perkawinan, mahar dan tidak adanya perkawinan sipil.
Sistem perjodohan berkaitan langsung dengan segregasi jenis kelamin dan konsepsi
pernikahan sebagai urusan keluarga atau umum. Seiring berjalannya waktu, pernikahan
dipandang sebagai pilihan individu yang tidak bergantung pada persetujuan orang tua. Cinta,
yang dapat dijadikan alasan untuk menentang perkawinan dalam masyarakat adat, semakin
menjadi prasyarat di benak anak muda Arab.
Adat mengharuskan orang tua untuk meminta persetujuan anak perempuan mereka
sebelum mereka berjanji untuk mengizinkannya untuk menikah, tetapi bukan berarti bahwa
mereka akan mematuhi keinginan anak perempuannya. Secara tradisional, anak perempuan tidak
dianjurkan untuk meminta kehendaknya. Jika anak perempuan tersebut bersikeras untuk memilih
pasangannya tanpa persetujuan orang tuanya, maka tak masalah jika ia memilih pasangannya
dengan benar. Sebaliknya jika ia salah memilih, maka ayahnya memiliki hak untuk membatalkan
pernikahannya karena akan berefek ke keluarganya dan masa depan anak perempuannya.
Masalah yang mungkin terjadi jika anak perempuan tidak diberi izin untuk memilih jodoh adalah
kawin lari. Di beberapa tempat, tindakan tersebut mengakibatkan si perempuan akan dikucilkan
untuk waktu yang lama, dan juga membuat orang tuanya merasa malu, terutama untuk si
perempuan itu sendiri.
Selain perjodohan, ada aspek adat lain seperti endogami. Endogami adalah perkawinan
dengan syarat memiliki garis keturunan, sekte, komunitas, kelompok, suku, atau lingkungan
yang sama. Ini juga membuktikan bahwa keluarga dari individu merupakan keluarga yang
fundamental. Suku Arab juga banyak yang melakukan pernikahan secara endogami ini.
Pola pernikahan tradisional lainnya adalah poligami yang secara Islam dibatasi sampai 4
istri yang diperlakukan secara adil oleh suami. Meskipun poligami tidak dianjurkan, hal itu
dibenarkan atau dirasionalisasikan oleh Muslim konservatif. Beberapa berpendapat bahwa
poligami berfungsi untuk mencegah perzinahan dan lain-lain. Adapun negara-negara Arab yang
menyetujui poligami sebagai tradisi agama adalah Arab Saudi, Kuwait, Libya, Yordania,
Maroko, Lebanon, dan Mesir. Negara-negara yang membuat poligami bersyarat antara lain Irak,
Suriah, dan Aljazair. Hanya Tunisia yang melarang poligami pada tahun 1956.
Ada beberapa perbedaan pendapat tentang arti mahar (mas kawin yang ditunjuk oleh
pengantin pria untuk pengantin wanita pada hari pernikahan). Beberapa melihatnya sebagai
praktik yang dimaksudkan untuk melindungi wanita, terutama dari perceraian, dan sebagai uang
yang digunakan untuk membeli pakaian dan perhiasan. Ada yang melihatnya sebagai harga
pengantin yang menegaskan dominasi laki-laki. Dan ada lagi yang melihat mahar hanya sebagai
hadiah simbolis. Mahar ada dua macam: muqaddam (di muka) dan mu'akhkhar (ditangguhkan).
Bentuk muqaddam dihadirkan pada saat penandatanganan kontrak pernikahan, dan pernikahan
tidak dianggap sah tanpa itu. Jumlah ini seharusnya dibayarkan kepada pengantin wanita dan
bukan kepada ayah atau walinya. Pada kenyataannya, mahar telah disalahgunakan secara serius.
Faktanya, bahwa mahar diberikan kepada ayah atau wali pengantin wanita, memungkinkan dia
untuk menyimpan semua atau sebagian daripada menghabiskannya untuk perlengkapan putrinya.
Selain mempengaruhi jumlah mahar, usia menikah juga berpengaruh penting terhadap
status perempuan dalam masyarakat Arab. Secara tradisional, anak perempuan menikah pada
usia yang jauh lebih awal daripada anak laki-laki. Hukum Ottoman mengharuskan seorang gadis
berusia setidaknya sembilan tahun untuk menikah. Saat ini, usia resmi untuk menikah di negara-
negara Arab berkisar antara 15 hingga 17 tahun untuk anak perempuan dan dari 18 hingga 20
tahun untuk anak laki-laki.
Pola perceraian hampir sama pentingnya dengan pernikahan dalam mempengaruhi status
perempuan. Dimana sekularisme belum berdampak, aturan dan tradisi yang mengatur perceraian
pada dasarnya ditentukan oleh afiliasi agama. Perceraian hampir tidak mungkin di antara
beberapa sekte agama (misalnya, Maronit dan Katolik), tetapi itu adalah praktik yang diterima
dan halal di antara yang lain, meskipun telah digambarkan sebagai akrah al-halal (praktik yang
paling dibenci secara halal). Di dunia Arab, perceraian paling sering terjadi selama tahun-tahun
awal pernikahan. Bahkan ditemukan bahwa sekitar sepertiga dari perceraian di Sidon dan Tripoli
terjadi sebelum pernikahan yang sebenarnya—yaitu, setelah kontrak pernikahan ditandatangani,
tetapi sebelum pasangan itu mulai hidup bersama. Contoh lainnya adalah statistik resmi di
Yordania dan Suriah yang menunjukkan bahwa pada awal 1960-an sekitar 40 persen dari semua
perceraian terjadi selama dua tahun pertama pernikahan, terutama ketika belum ada kehamilan.
Di banyak negara Arab, suami dapat dengan mudah menceraikan istrinya, sedangkan istri
tidak mungkin menceraikan suaminya di luar kehendaknya, kecuali dengan persetujuan
pengadilan dalam kasus-kasus ekstrim seperti pengabaian, penganiayaan, ketidakhadiran suami
untuk waktu yang tidak ditentukan, atau impotensi. Istri harus taat kepada suaminya, dan jika
istri menolak untuk taat terhadap suami dapat menjadi pembenaran bagi suami untuk
menghentikan pembayaran nafkah. Gerakan feminis di negara-negara Arab telah berjuang untuk
menegakkan hak perempuan untuk bercerai dan mencegah perceraian di luar pengadilan.
Tuntutan ini diajukan oleh konferensi wanita Arab di Kairo pada awal tahun 1944. Semakin
banyak wanita yang bersikeras bahwa kontrak pernikahan mereka mencakup hak mereka untuk
bercerai. Reformasi tertentu telah dicapai. Sejak tahun 1960, seorang suami Mesir yang ingin
bercerai harus menyatakan alasannya di pengadilan. Beberapa negara Arab lainnya seperti
Aljazair, Tunisia, Suriah, dan Irak, juga mengharuskan proses perceraian di pengadilan. Hukum
Tunisia melarang seorang hakim untuk memberikan perceraian tanpa melihat alasan dan
konseling suami dan istri. Sebaliknya, Pasal 46 dan 80 undang-undang status pribadi Maroko
membatasi peran hakim untuk merekam keputusan suami untuk meminta cerai.

Anda mungkin juga menyukai