Anda di halaman 1dari 36

MODUL 7

TRADISI PENDUKUNG ETNOGRAFI KOMUNIKASI

Etnografi komunikasi berkembang dengan adanya asumsi mengenai


hubungamn antara bahasa dan kebudayaan. Pada dasarnya komunikasi dan bahasa
adalah unsur utama terbentuknya masyarakat dan kebudayaan. Jadi, pada
hakekatnya bahasa terbentuk secara sosial atau merupakan produk dari
komunikasi.
Etnografi komunikasi banyak mendapat bantuan dari berbagai ilmu dalam
proses kelahirannya, yaitu bahasa, kebudayaan dan komunikasi itu sendiri.
Kontribusi tersebut pada akhirnya memberikan pemahaman yang menyeluruh dan
utuh mengenai bagaimana komunikasi, bahasa, dan kebudayaan dipandang secara
alamiah. Hal ini penting karena sebelumnya gejala-gejala sosial termasuk
komunikasi, dipandang seperti gejala alam yang universal dan dapat diubah
dengan teknik tertentu.
Beberapa tradisi berikut ini merupakan aliran pemikiran dalam ilmu-ilmu
sosial, yang turut memberikan kontribusi berupa pemahaman komprehensif
terhadap etnografi komunikasi.

7.1 Fenomenologi
Filsafat manusia merupakan bagian integral dari sistem filsafat, yang fokus
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Ditinjau dari sudut pandang ontologis,
filsafat manusia memiliki kedudukan yang relatif lebih penting karena semua
cabang filsafat, yakni etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika,
bermuara pada persoalan asasi berkenaan dengan esensi manusia. Adapun salah
satu pembahasan dalam filsafat manusia yang cukup mendapat perhatian dewasa
ini adalah fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala

1
sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka
melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan
data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya
dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi
adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini
mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang
terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup. Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya
menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya
adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan
sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains,
agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua
penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri
dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan
historis apapun, apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program
utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari
subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,

2
lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim
representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang
dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa preposisi. Hal ini jelas
bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya
ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat
selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.
Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa
yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu
yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu,
setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa
saja, sudah merupakan fenomenologi.
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan
logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi
pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena
berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan
terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya.
Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam
bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau
sesuatu yang menampakkan.
Fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk
ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari
sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam
memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio),
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi adalah ilmu tentang
esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat
kesadaran. Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita
akan terjebak pada dikotomi. (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu
sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni

3
sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat
mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar)
melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang
hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini
yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl
ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl
mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam
pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana
juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai
“fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya
mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab
gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri”
(Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara.
Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan
ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui
deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat
gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis
(dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang
berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-
situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu
disebut wesen, yang dicari.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi
Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan
bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran
bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak
menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan
pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan
alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang
dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu
kesadaran. Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan

4
berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola
berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan
berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu
bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan
mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi,
antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan
munculnya fenomenologi. Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga
menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam
Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri
yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi
eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka
dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap
konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya.
Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi
dalam dunia kehidupan. Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan
dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat
bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan
mengembangkannya.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh
Edmund Husserl (1859-1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah
fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara
filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam
kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya
adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta

5
indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode,
fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita
sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri
menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke
benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri
merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. Husserl sangat
tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat
bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata
lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen
konseptual dalam fenomenologi transcendental Husserl:
1. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek
(sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau
tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan
tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya
konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau
tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan
kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman
tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan
harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan
kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.

6
2. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau
intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana
setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan
memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif
fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan,
dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide).
Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud
(intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
3. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi
menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan
yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya).
Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah
sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental,
karena terjadi dalam diri individu secara mental(transenden).
4. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna
intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’.
Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang
dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk
makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di
dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama
dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common
and shared).

Fenomenologi sebagai metode ilmu


Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-
fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu
yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu

7
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan
maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan
manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada
dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau
menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat
realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha
untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih
dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa
dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek
kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka
macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-
hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap
semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

8
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-
fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

7.2 Interaksi Simbolik


Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal
yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi
Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun,
maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan
pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang
mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol
yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui
pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan,
pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan
oleh orang lain. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari
tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah:
1. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai
makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran
mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
3. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu
tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela,
yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran
di tengah masyarakatnya.

9
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari
interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia,
dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada
akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi,
untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana
asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap,
manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada
mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi
melalui proses interpretif .
2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut
secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan
cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui
nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk
perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The particular kind of
role thinking – imagining how we look to another person” or ”ability to see
ourselves in the reflection of another glass”.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan
masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya,
tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam
sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan
mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi
yang berkaitan dengan tema ini adalah : Orang dan kelompok masyarakat
dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui
interaksi sosial.

10
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik,
dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab,
dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu :
1. Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer: Blummer memberikan
pengembangan dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh buah asumsi yang
mempelopori pergerakan mazhab Chicago baru.
Tujuh asumsi tersebut adalah :
a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan
orang lain pada mereka
b. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia
c. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif
d. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain
e. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku
f. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan social
g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
2. Mahzab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya, dengan
melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut
tradisi epistemologi dan metodologi post- positivis yang mengambil dua
langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu
memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit.
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert
Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik
menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi
dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna
atas simbol tersebut. Asumsi-asumsi: a. Masyarakat terdiri dari manusia yang
berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi. b. Interaksi
simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah
mencangkup stimulus respon yang sederhana. Menurut Mead, manusia
mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dan pemikiranya sebelum ia

11
memulai tindakan yang sebenarnya dengan melalui pertimbangan. Karena itu,
dalam tindakan manusia terdapat suatu proses mental yang tertutup yang
mendahului proses tindakan yang sesungguhnya.

7.3 Konstruksi Realitas Soial


Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality)
didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma
konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi
penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang
dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol
struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai
pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis
dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang
sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan
disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran
sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-
makna subjektif, Durkhemian – Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian
tentang dialektika, serta pemikiran Herbert Mead tentang interaksi simbolik.
Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh
manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan tersebut semakin konkret
setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi,
materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci
pengetahuan adalah fakta. Ungkapan Aristoteles ?Cogito ergo sum?, yang

12
artinya ?saya berfikir karena itu saya ada?, menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang
merupakan pencetus gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, dalam ?De
Antiquissima Italorum Sapientia?, mengungkapkan filsafatnya ?Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan?. Menurutnya, hanya
Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Ia yang tahu
bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya, sementara itu orang hanya
dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.
Terdapat 3 (tiga) macam Konstruktivisme, antara lain:
1. Konstruktivisme radikal. Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh
pikiran kita, dan bentuknya tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum
konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak
merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada
individu lain yang pasif.
2. Realisme hipotesis. Pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas
yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
3. Konstruktivisme biasa. Mengambil semua konsekuensi konstruktivisme, serta
memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Pengetahuan
individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif
dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana
konstruktivisme dilihat sebagai proses kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian Individu membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya, inilah yang disebut dengan konstruksi sosial menurut
Berger dan Luckmann.

13
Berger dan Luckman berpendapat bahwa institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia, walaupun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataannya semua dibentuk dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.
Objektivitas dapat terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh
orang lain, yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas
yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang
universal, yaitu pandangan hidup menyeluruh yang memberi legitimasi dan
mengatur bentuk-bentuk sosial, serta memberi makna pada berbagai bidang
kehidupannya.
Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara
lain:
1. Realitas Sosial Objektif
Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan
keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
2. Realitas Sosial Simbolik
Merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang
umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-
berita di media.
3. Realitas Sosial Subjektif
Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan
realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki
individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang
dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri
dalam proses eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain
dalam sebuah struktur sosial.
Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta
yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan
sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang
menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif

14
yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang
ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan
realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa
sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas
sebagaimana adanya.
Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara
sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah
membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan
dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif
melalui 3 (tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:
1. Eksternalisasi
Merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi
diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini
masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).
2. Objektivasi
Merupakan hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik dari kegiatan
eksternalisasi manusia), berupa realitas objektif yang mungkin akan
menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar
dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang
nyata). Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif
(Society is an objective reality) atau proses interaksi sosial dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
3. Internalisasi
Merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia
sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi akan
ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala
internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari
masyarakat (Man is a social product).

15
Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah dialektika yang
berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga
seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian terdapat proses
penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar
tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Pemahaman
akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk, melalui proses eksternalisasi
dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat
dikatakan, setiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai
dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.
Gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, berlawanan
dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Kajian-kajian mengenai
realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu
dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada
konstruksi sosial.

Teori Konstruksi Realitas Sosial


Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi
kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu kajian
teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang
sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai perkembangan
disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam
tinjauan tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih menekankan pada tindakan
manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas sosialnya.
Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.
Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosialyang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial,
namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif
dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4)

16
Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh
oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang
makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian-Parsonian tentang “struktur”
(melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead
tentang “interaksi simbolik”.

Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial


Berger & Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan
sosiologi pengetahuan dalam kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa
usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan
“pengetahuan” dalam konteks sosial. Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu
memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara
terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya tercurah pada bentuk-
bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh 
dengan segala aspeknya (kognitif, afektif dan konatif). Kenyataan sosial itu
ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan dalam tindakan.
Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif dan melalui
pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus menerus (unlimited).
Kedua, menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman
intersubjektif dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi
masyarakat” yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang
perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari
“dimensi objektif” dan sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu sendiri
sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat
hubungan intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya
sendiri (Poloma, 1994).
Ketiga, memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial
memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis dan memiliki proses perubahan terus
menerus. Sehingga diperlukan pendekatan akal sehat “common sense “ untuk

17
mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian
berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam
pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof
eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena
itu kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger &
Luckmann, 1990).

7.4 Etnometodologi
Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa
Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang
sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia
dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari,
mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula.
Etnometodologi studi tentang “kumpulan pengetahuan berdasarkan akal
sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya
masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan
situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri”. (Heritage, 1984:4).
Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita
dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel (1988, 1991), untuk
mendefinisikannyaseperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta sosial”
sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel
sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkheim.menurut Duekheim, fakta
sosial berada di luar dan memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran
demikin cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan
pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tak mempunyai kebebasan
untuk membuat pertimbangan. Seperti sosiolog, pakar etnometodologi cenderung
membicarakan actor seperti “si tolol yang memberikan pertimbangan”.
Sebaliknya etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai
prestasi anggota (definisi anggota segera menyusul) sebagai produk aktivitas
metodologis anggota. Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi

18
sebagai berikut: Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah
fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat
setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus-menerus, prestasi
praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang
menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda (Garfinkel,
1991:11).
Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah
bahwa mereka “dapat dijelaskan secara reflektif”. Penjelasan adalah cara actor
malakukan sesuatu seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan
situasi tertentu. Penjelasan (acaunnting) adalah proses yang dilalui actor dalam
memberikan penhelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi
menekankan perhatian untuk menganalisis penjelasan actor maupun cara-cara
penjelasan diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu
alasan mengapa pakar etnometodologi memustkan perhatian dalam mengalisis
percakapan. Satu contoh, ketika seorang maahasiswa menerangkan kepada
profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu
penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu
peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar
panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya
mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor menerima atau menolak. Dalam
menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan
metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih
menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan
itu digunakan dalam tindakan praktis.
Bagaimanapun juga, masalah pokok yang menjadi sasaran studi
etnometodologi adalah berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas. Karena
itu akan semakin banyak studi makin banyak diversifikasinya dan makin “growing
paints”.
Studi setting institusional melukiskan sejumlah karya fariasi dalam
etnometodologi, tetapi dalam sudut padang kita hanya ada dua jenis studi
etnometodologi yang menonjol, diantaranya:

19
1. Studi etnometodologi tentang setting institusional
Dilakukan oleh pertama kali oleh Garfinkel dan rekannya berlangsung dalam
setting biasa dan tidak di institusionalkan (non-institutonalized) seperti di
rumah, kemudian bergeser kea rah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting
institusional seperti dalam siding pengadilan, klinik, dan kantor polisi. Tujuan
studi seperti ini adalah memahami cara orang dalam setting institusonal
melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi
tempat tugas itu berlangsung. Misalnya, tingkat angka criminal disusun oleh
kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan
yang ditetapkan secra jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan
prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah
korban harus digolongkan sebagi korban pembunuhan. Jadi, angka criminal
seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan
pemeliharaan catatan criminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk
studi yang sebenarnya.
2. Studi tentang analisis percakapan (conversation analisis)
Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami sacara rinci struktur
fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan didefinisikan dalam
arti yang sama dengan unsure dasar perspektif etnometodologi: “percakapan
adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur
yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis”. Meski percakapan
mempunyai aturan dalam prosedur keduanya tak menentukan apa yang
dikatakan, tetapi lebih digunakan untuk “menyempurnakan percakapan”.
Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang dikatakan
dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang membatasi
percakapan. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.
Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis penalaran
sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Perhatian
ini mengsumsikan gagasan bahwa semua ciri scenic dari interaksi sosial muncul
sesekali dan dibentuk sebagai prestasi praktis, di mana melaluinya masing-masing
pihak menunjukkan kompetensi mereka dalam manajemen praktis dalam tatanan

20
sosial. Sebagai analisis, minat kita adalah untuk menerangkan, dalam kaitannya
dengan pemanfaatan, metode yang dengannya keteraturan semacam itu dapat di
tampilkan, dikelola, dan dikenali oleh anggotanya.
Bagi seorang ahli etnometodologi asumsi-asumsi demikian secara
substansial tidak ada dan di dalam masing-masingnya, setiap kelas berkonspirasi
secra bersama-sama, gun memberikan kesan bahwa mereka ada. Kita sedang
“membuat” sebuah kelas-mahasiswa saya sedang membuat dirinya sebagai
seorang mahasiswa dan saya sedang membuat diri saya sebagai seorang dosen.
Setiap interaksi sosial yang stabil adalah sebuah prestasi, sesuatu yang sudah
dikerjakan, juga etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan.
Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode)
guna menciptakan keteraturan sosial.
Contoh  teori etnometodologi dalam kehidupan sehari-hari
1. Percakapan telepon (pengenalan dan pengakuan)
Emanuel A. Schegloff memandang pengujiannya tentang cara membuka
percakapan telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri
keteraturan sosial, yang ditekankan pada perhatiannya terhadap berbagai
macam fenomena teratur dalam proses interaksi seperti pengaturan giliran
berbicara dan cara orang memperbaiki pelanggaran yang dilakukan dalam
prosedur percakapan biasa yang diantaranya termasuk pembukaan, penutupan,
dan keteraturan urutan berbicara.
2. Membuat tertawa
Gail Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa
dalam percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas
waktunya dalam percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki.
Tetapi Jefferson menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu
ucapan dimaksudkan untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama,
penempatan tawa oleh pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa
diletakkan di tengah pembicaraan, misalnya di tengah kalimat. Jadi,
kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa tak diorganisir sebebas yang
diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu yang akan terjadi, tertawa

21
atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi atas dasar suka rela atau oleh
ajakan.
Dari contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa teori etnometodologi
memberikan cara-cara atau metode yang di gunakan dalam suatu interaksi antara
sesama manusia agar tercipta suatu keteraturan sosial yang baik dan sempurna.
Etnometodologi (ethomethodology), berarti “metode” yang digunakan orang
dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara
sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis
secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan
masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan
logika formula.
Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis penalaran
sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan.
Etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama
ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode) guna menciptakan
keteraturan sosial.

7.5 Dramaturgi
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Kita
lihat kembali contoh di atas, bagaiman seorang polisi memilih perannya, juga
seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang dinginkannya. Goffman
menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front
mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment
(peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the
self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan
acting atau penampilan diri yang ada pada Front. Berbicara mengenai Dramaturgi
Erving Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead
dengan konsep The Self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman.
Erving Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Meraih
gelar Bachelor of Arts (B.A) tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 dan
gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953. Tahun 1958 meraih gelar Guru Besar,

22
tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration. Dan
tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Meninggal pada
tahun 1982, setelah sempat menjabat sebagai Presiden dari American Sociological
Association dari tahun 1981-1982. (Ritzer, 2004: 296).
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa, karya-karya Erving
Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan
pandangannya pada The Self. Misalnya, The Presentation of self in everyday life
(1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan
makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan
mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan The Self Mead, Goffman kembali
memunculkan teori peran sebagai dasar teori Dramaturgi. Goffman mengambil
pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan
setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor
“kehidupan.”

The Self
The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The
Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya
memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi
dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas
hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial
dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran
orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas
tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para
pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai
psikologi sosial. The Self disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun
variable-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan
tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo, 2004: 107)
Dari deskripsi di atas, Mead menegaskan bahwa The Self merupakan
mahluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang

23
semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki,
pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan
teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya
terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk
kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai
corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan
“yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi
orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu
mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan
tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-
ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor
synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut
Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari
sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu
sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan
kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua
sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back
region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita.
Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-
konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik
bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik.
Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang
mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.

Esensi Teori
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self
in Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan

24
teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di
antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103). Maka
sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu sekilas
tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif interaksi
simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif
yang lain.
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school).
Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer,
melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer
menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang
sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari
pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku
manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif,
dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak
terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam
mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-
konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya
proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural
objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang
komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan
tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme
simbolik, yaitu :
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.
Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam siombol-simbol.
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul
dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara
orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian
pada masa lampa saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.

25
5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang
telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses
interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan
mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang
akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.
Dari sekian banyak ahli yang punya andil popular sebagai peletak dasar
interaksi simbolik adalah George Herbert Mead yang dikembangkan pada tahun
1920-1930. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer (1937)
sebagai mahasiswa Mead dengan menggunakan istilah interaksi simbolik. Esensi
interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu
komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Pada dasarnya interaksi
manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol,
merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif
dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme
simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran
dramaturgisnya. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai
serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang
dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik,
fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan
fungsionalisme Durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik (Jones) adalah penjabaran
berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap
identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam kaitan
ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi” (interaction
order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi sosial. Ketertiban
interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan “keutuhan diri.”
Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti pemikiran Goffman

26
adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan cara yang unik dan
memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004:106).
Kalau kita perhatikan diri kita itu dihadapkan pada tuntutan untuk tidak
ragu-ragu melakukan apa yang diharapakan diri kita. Untuk memelihara citra diri
yang stabil, orang melakukan “pertunjukan” (performance) di hadapan khalayak.
Sebagai hasil dari minatnya pada “pertunjukan” itu, Goffman memusatkan
perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai
serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di
panggung.
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan,
bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan,
melainkan bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth
Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada
tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia.
Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke
memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari
tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku
yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa
seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang
ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai
kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja
sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia,
yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka
mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh
karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat
dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika
manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran

27
mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti
pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166):
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari
pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley
ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita
tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka
atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti
kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain
tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu
gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-
teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke,
dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian
interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam
menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah
ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu
situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana
sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu.
Focus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi
lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang
tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi
spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative
manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran
dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam
kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam
konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang
mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial,
makna dan definisi situasi. Presentasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman,
bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan

28
definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak
bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut
upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-
teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan
ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung,
yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan
peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan
perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya
kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam
situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah,
menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan
mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah
depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan
merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau
menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas
panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang
merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya
mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung
sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang
wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau
kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih
untuk memainkan perannya di panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi
(personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap
khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya
dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung
dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor.

29
Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur
tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat
tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap seperti
ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun
aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya,
misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat rambut.
Sementar itu setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor
melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang
operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115)
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural
dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili
kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan
perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun
berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia
berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang
diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa
bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal
itu disebabkan oleh (Mulayan, 2004:116) :
1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi
(misalnya meminum minuman keras sebelum pertunjukan).
2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan
pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan
tersebut (misalnya sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah
arah).
3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan
menyembunyikan proses memproduksinya (missal dosen menghabisakan
waktu beberapa jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah-
olah telah lama memahami materi kuliah).
4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk
membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-
tugas yang “secara fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan”)

30
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan
standar lain (misal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang
dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2004:298). Aspek lain
dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha
menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial
lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman
mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin menunjukan peran formalnya dalam
panggung depannya. Orang mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia
menggan akan peran tersebut, atau menunjukkan keengganannya untuk
memainkannya padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut. Akan
tetapi menurut Goffman, ketika orang melakukan hal semacam itu, mereka tidak
bermaksud membebaskan diri sama sekali dari peran sosial atau identitas mereka
yang formal itu, namun karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang
menguntungkan mereka.
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga
kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter
secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain
terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau
organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim
pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas.
Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan
menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan
perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain
pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin ,
dan kalau perlu juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling
mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat
dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana,
2004:123).
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim
sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim
memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan

31
tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga
dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan
sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara
keseluruhan berjalan lancar.
Dalam perspektif Goffman unsur penting lainnya adalah pandangan bahwa
interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual,
aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang
merupakan bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara orang-orang yang tidak
saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman, perilaku orang-orang yang
terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu menunjukan pola-pola
tertentu yang fungsional. Perilaku saling melirik satu sama lain untuk kemudian
berpaling lagi kearah lain menunjukan bahwa orang-orang yang tidak saling
mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak saling mengganggu. (Mulyana,
2004: 126).
Bagi Goffman, tampaknya hamper tidak ada isyarat nonverbal yang
kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah
lain,” atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga
privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai
diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-
tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina
dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga
sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan
tindakn serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut.
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti
ritual-ritula kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya
menjalankannya. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam
suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan
anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang
mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka
kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah
satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri

32
yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari
kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah
adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak
adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran
diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli
dengan tatakrama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita
melanggar etiket tersebut. Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan
penting. Ketika kita menyadarinya, kita hamper selalu apa yang oleh Goffman
disebut “berbagai tindakan perbaikan” (remedial work of various kind) yang
fungsinya mengubah hal yang opensif menjadi hal yang diterima

7.6 Hermeneutik
Hermeneutika adalah suatu ilmu filsafat yang mempelajari tentang
interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu
hermeneuien yang bermakna menafsirkan, memberi pemahaman, dan
menerjemahkan. Jika dikaji lebih mendalam maka kata ini berasal dari kata
hermes (dewa pengetahuan) yakni dewa yunani yang bertugas untuk memberi
pemahaman untuk umat-umat mereka dari pesan-pesan dewa olympus.
Hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Seperti F D. Ernest
Schleirmacher mendefinisakan seni memahami dan seni menguasai, sehingga
pembaca lebih memahami diri  pengarang dari pada diri pengarang sendiri. Dan
dari sinilah bahwa diketahuilah bahwa pengartian yang di sebutkan oleh F D.
Ernest Schleirmacher tidak cocok dengan pemahaman yang dalam kitab suci
Umat Muslim yakni al-Qur'an. Di dalam Islam tidak ada yang lebih mengetahui
makna al-Qur'an selain pengarang itu sendiri yakni Allah swt. Apalagi kita lebih
mengetahui diriNya, itu bisa dikatakan mustahil. Sedangkan Fredrich August Wolf
mendefinisikan, yang disebut dengan Hermeneutika adalah kaidah-kaidah yang
membantu untuk memahami tanda-tanda. Martin Heidegger dan Hans George
Gadamer yang disebut Hermeneutika adalah Suatu proses bertujuan untuk
menjelaskan hakikat dari pemahaman.

33
Ini adalah istilah ilmiah, pertama kali diperkenalkan oleh ilmuan Yunani
Aristoteles dengan buku yang berjudul peri Hermeneias. Sejak itu pulalah rasional
sangat diandalkan dalam memahami dan dapat didasarkan untuk tindaka
Hermeneutis. Pada Abad pertengahan hermeneutika mulai berkembang di
berbagai ajaran Agama. Hermeneutika diartikan sebagai alat untuk memahami
pesan yang disampaikan Tuhan keberbagai kitab suci mereka, seperti islam ada
yang namanya Takwil, Takwil digunakan oleh ulama kalamuntuk memahami ayat-
ayat yang bersifat mutasyabihat sebagai pengganti Hermeneutika.
Pada abad ke 18-19 pada era pencerahan Negara-negara Eropa
Hermeneutika tidak ada bedanya dengan abad-abad pertengahan dahulu. Pada era
ini Hermeneutika dapat dibagi menjadi 4 bagian:
1. Literal eksegesis
2. Allegoris eksegesis
3. Tropologikal eksegegis
4. Dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal
eksegesis
Hermeneutika kemudian menjadi disiplin ilmu filsafat ketika
Schleiermacher berpendapat bahwa Hermeneutika bukan hanya mencari suatu
makna teks saja, akan tetapi jauh lebi umum. Agar kita lebih faham tentang
pengertian dan sejarah Hermeneutika ini, mari kita simak dengan seksama:
1. Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel ( Abad ke-17 M)
Hermeneutika pada awalnya merupakan teori penafsiran Bibel dan hal ini
mempunyai justifikasi historis.Hermeneutika merupakan kaidah-kaidah yang
terkandung dalam buku-buku interpretasi kitab suci (skriptur). Karya J. C.
Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum
litterarum, yang diterbitkan pada 1654 membenarkan hal ini. Oxford English
Dictionary, kamus bahasa Inggris, pun memperkuat hal ini, yang
mencantumkan kata hermeneutika sebagai salah satu entrynya tahun 1737
yang berarti: “bersikap bebas dengan tulisan suci, seperti sama sekali tidak
diperkenankan menggunakan beberapa kaidah yang kita ketahui dari sekedar
hermeneutika seperti apa adanya”. Pada abad ke-17 hermeneutika sudah

34
menjalar kepada penerapan penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi
keagamaan, satra dan hukum. Dari hal ini kiranya senada secara perhitungan
waktu atau abad yang disebut “modern”, yaitu semenjak abad ke-15, yang
ditandai dengan renaisance, maka abad ke-17 termasuk waktu modern, secara
angka tahun.
2. Hermeneutika Sebagai Metode Filologis
Filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatau bangsa dengan
menelaah karya-karya sastra-nya (atau sumber-sumber tertulis lainnya).
Metode filologi digunakan dalam memahami Bibel secara lebih sempurna,
karena telah bernjalannya dan berbedanya ruang dan waktu, sehingga
membutuhkan usaha yang lebih untuk memahami pesan Bibel, terutama
Perjanjian Baru, agar relevan dengan zaman. Hermeneutika Bibel pada
hakekatnya adalah definisi lain dari metode filologi, karena kedua hal
tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali.
3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik
Schleirmacher tidak menerima kaidah-kaidah interpretasi sebelumnya begitu
saja. Bahkan ia pergi jauh meninggalkannya, karena menurutnya
hermeneutika bukan sekedar ilmu, tetapi juga seni memahami.
4. Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften 
Mengadopsi ilmu gurunya, Schleirmacher, Dilthey berusaha menerapkan
hermeneutika sebagai metode untuk melayani geisteswissenschaften (semua
disiplin ilmu yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan
manusia). Dia juga mempunyai proyek “kritik nalar historis” yang berbeda
dengan filsafat sejarahnya Hegel, karena Dlthey tidak mengklasifikasikan
sejarah sebagaimana Hegel, tetapi ia menekankan pada kritik akal sejarah.
5. Sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman eksistensial  (Abad ke-20 M)
Model hermeneutika ini diusung oleh seorang eksistensialis Martin Heidegger
yang kemudian diteruskan oleh Hans George Gadamer. Eksistensialisme adalah
aliran salah satu aliran filsafat yang mempunyai prinsip darsar “eksistensi
mendahului esensi” (existence precedes essence). Apa yang dikatakan eksistensi
adalah manusia. Aliran filsafat ini tampaknya sangat berpengaruh padanya.

35
Kebenaran menurutnya adalah menemukan eksistensi. Diamenggambarkan fakta
dengan kalimat “alam tidak mungkin ada tanpa adanya aku, atau aku tidak
mungkin ada tanpa adanya alam”

Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan pernyataan berikut ini etnografi komunikasi banyak mendapat
bantuan dari berbagai ilmu dalam proses kelahirannya, yaitu bahasa,
kebudayaan dan komunikasi itu sendiri.
2. Jelaskan apa itu Fenomenologi
3. Jelaskan apa itu Etnometodologi
4. Jelaskan apa itu Interaksi Simbolik
5. Jelaskan apa itu Dramaturgi
6. Jelaskan apa itu Hermeneutik

36

Anda mungkin juga menyukai