DETEKSI TARGET
(Pengukuran SV, SS, Densitas Objek)
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK :9
NAMA ANGGOTA : 1. GITA KUMALASARI (08051381924107)
2. DIO ALIF ANANTA S. (08051181924
3. MELI MARSELINA (08051181924015)
4. M.EVRAN FIRDAUS (08051381924
5. M. HAFFIZ PUTRA ARTA (08051381924083)
DOSEN PENGAMPU : 1. Dr. FAUZIYAH, M.Si
2. ELLIS NURJULIASTI N., M.Si
3. FITRI AGUSTRIANI, M.Si
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara mengukur nilai volume backscattering strength
(SV), nilai surface backscattering strength (SS) berbagai tipe substrat dasar perairan
2. Mahasiwa dapat mengetahui densitas objek dengan metode akustik
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu :
1. Mahasiswa dapat memahami cara mengukur nilai volume backscattering strength
(SV), nilai surface backscattering strength (SS) berbagai tipe substrat dasar perairan
2. Mahasiwa dapat memahami densitas objek dengan metode akustik
II ISI
2.1 Acoustic backscattering
Acoustic backscattering memiliki faktor dependensi yang lemah dari nilai
backscattering yang dihasilkan terhadap sedimen yang relatif halus. Stanic et al. (1989)
mengatakan dimana nilai backscattering yang dihasilkan dari empat tipe sedimen: lumpur,
pasir, kerikil dan batu menunjukan korelasi dengan ukuran butiran. Pemodelan akustik yang
lebih lanjut diperlukan guna mendapatkan hubungan antara sifat-sifat fisik sedimen dan sifat-
sifat akustik. Dasar perairan memiliki karakteristik menghamburkan kembali gelombang
suara seperti halnya permukaan perairan atau laut. Namun efek yang dihasilkan lebih
kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang
keras hingga lempung yang halus dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi
yang berbeda-beda.
Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki intensitas
tertentu, namun diperlukan threshold agar nilai backscattering dari dasar laut yang ingin
diamati dapat terekam dengan baik. Orlowski (2007) menyebutkan bahwa batas minimum
deteksi (threshold) echo yang kembali dari dasar perairan adalah -60 dB dengan mengacu
pada standar instrumen hidroakustik EY500. Backscattering pada dasar berbatu memberikan
nilai yang lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur. Hal ini dijadikan sebagai suatu
landasan untuk mengaitkan backscattering dari dasar laut terhadap tipe dasar lain, seperti
lumpur, lempung, pasir, batu.
Pada dasarnya tidak terdapat hubungan yang kuat antara frekuensi yang digunakan
dengan nilai backscattering strength yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan
pasir berbatu dan pasir yang mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstur
permukaan dasar yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang mengenai dasar
tersebut akan terhamburkan.
Jenis dasar dan sedimen yang lebih halus, penggunaan frekuensi diatas 10 kHz akan
memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan antara frekuensi dan jenis dasar perairan.
Pada kasus sedimen berpasir, nilai backscattering yang didapatkan cenderung meningkat
dengan meningkatnya frekuensi. Penggunaan frekuensi tinggi memberikan nilai
backscattering yang dominan dihasilkan oleh permukaan sedimen dibandingkan
backscattering yang diberikan oleh volume sedimen. Pada frekuensi yang lebih rendah nilai
backscattering yang diperoleh dipengaruhi juga oleh backscattering dari volume sedimen.
Menggunakan nilai SS, nilai backscattering pasir lebih besar dari pada nilai SS pada substrat
lumpur dan nilai SS meningkat dengan kenaikan diameter partikel dasar laut.
2.2 Akuisisi Data
Secara umum akuisisi data diambil dengan menggunakan instrumen echosounder
untuk mengukur bottom acoustic backscattering strength. Pada saat transducer memancarkan
gelombang suara mengenai sutau target (dasar perairan) maka gelombang suara akan
dihamburkan kembali pada transducer. Sinyal gelombang suara yang dihasilkan oleh
transducer masih lemah, untuk itu perlu diperkuat sebelum diteruskan ke recorder atau
display. Penguatan gelombang suara ini dilakukan oleh receiver amplifier. Receiver amplifier
bersama TVG amplifier berfungsi untuk menguatkan sinyal gelombang suara dari faktor gain
(G). Setelah melalui proses Time Varied Gain (TVG) maka akan diperoleh bottom echo
computation yang dapat memberikan informasi mengenai nilai SVB, dari nilai SVB akan
diperoleh nilai SS.
2.3 Pengolahan Data
2.3.1 Batimetri
Proses pengolahan data mentah hidroakustik ini dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak Echoview 4. Proses pertama yang dilakukan dengan memasukkan faktor
koreksi terhadap data yang diperoleh dari calibration setting. Proses integrasi dengan
perangkat lunak Echoview 4 menggunakan 100 ping yang berarti satu Elementary Sampling
Distance Unit (ESDU). Setelah integrasi dan kalibrasi dilakukan, maka untuk mengeluarkan
seluruh hasil pada perangkat lunak Echoview 4 digunakan Dongle yang dimiliki BRPL. Hasil
yang didapat dalam bentuk excel, data sudah mencangkup nilai lintang, bujur dan kedalaman,
kemudian diolah pada perangkat lunak Surfer 8 dan didapat Peta profil batimetri.
2.3.2 SV dan SS menggunakan perangkat lunak Matlab
Nilai SV dan nilai SS diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak Matlab
v.7.0.1. Pada perangkat lunak Matlab ini menggunakan program Rick Towler, listing
program ini akan didapat nilai SV dasar [dB] dan nilai SS [dB]. Nilai SS diperoleh
menggunakan persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering coefficient/SV
dan surface backscattering coefficient/SS (Manik 2006).
y = a + bx ...............................(5)
dimana, y = variabel dependen yang diprediksikan
a = harga y bila x = 0 (harga konstan)
b = koefisien regresi
x = varibel independen
Dalam analisis terlebih dahulu dilakukan uji Analysis of variance (Anova) untuk
melihat berpengaruh atau tidaknya suatu data dengan komponen yang diinginkan. Dalam hal
ini antara nilai SS dengan kedalaman dan nilai SS dengan ukuran butiran. Adanya pengaruh
suatu data dapat dilihat dari nilai P, dimana nilai P < 0,05 berpengaruh dan P > 0,05 tidak
berpengaruh. Berapa besar data itu berpengaruh dapat dilihat dari determinasi (R2 ), semakin
besar nilai R2 berarti memiliki hubungan yang erat dan semakin kecil nilai R2 terlihat adanya
hubungan namun hubungannya tidak erat. Survei hidroakustik yang dilakukan dapat
memberikan informasi mengenai klasifikasi dasar perairan dan dapat diaplikasikan dalam
pemetaan kedalaman perairan atau batimetri. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai SS
dasar perairan, di antaranya ukuran butiran dan kedalaman
Perhitungan densitas objek dilakukan dengan mengintegrasikan echo yang berasal
dari kelompok-kelompok objek yang terdeteksi. Kelompok objek tersebut dianggap
membentuk suatu lapisan perairan dengan tebal perairan sesuai dengan ketebalan objek.
Lapisan perairan ini merupakan bidang-bidang datar dan integrasi echo dilakukan untuk
bidang datar berlapis-lapis dan berurut-urutan hingga seluruh volume perairan yang
dibventuk kelompok objek terintegrasi secara keseluruhan.
2.5 Densitas Objek Dengan Akustik
Posisi trawl berada jauh di belakang kapal dengan jarak yang bervariasi tergantung
pada kedalaman dasar laut. Oleh karena itu, data akustik yang dianalisis dari masing-masing
stasiun trawl adalah echogram yang sesuai dengan jarak towing mulai dari posisi trawl
sampai di dasar sampai dengan posisi trawl mulai diangkat (houling). Posisi GPS dan waktu
dari posisi awal dan akhir towing dicatat. Kedalaman perairan tiap stasiun trawl berdasarkan
echogram diestimasi dari rata-rata kedalaman setiap ping akustik dan dikoreksi (ditambah
dengan kedalaman permukaan transducer) 1 meter. Perbedaan jarak horizontal antara kapal
dengan trawl diestimasi secara geometrik berdasarkan panjang warp dan kedalaman perairan
(Wallace dan West 2006) yaitu:
Berdasarkan metode yang dipakai oleh Aglen (1996), data akustik dapat digunakan
untuk menduga respon atau reaksi objek secara vertikal. Oleh karena itu, kolom perairan
dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 layer dengan interval 1 meter. Layer pertama dimulai
dari kedalaman BSZ sampai 1 meter di atasnya, dan seterusnya. Nilai densitas objek secara
akustik diperoleh dengan mengintegrasikan tiap layer dari masing-masing stasiun trawl untuk
melihat distribusi sebaran objek relatif terhadap dasar perairan (Mello and Rose 2009).
Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan masing-masing layer terhadap
densitas objek. Densitas akustik masing-masing layer sebagai variabel bebas, sementara
objek sebagai variabel tak bebas. Selanjutnya layer yang digunakan adalah kolom perairan
yang memilki korelasi signifikan terhadap hasil tangkapan (P-value< 0,05). Korelasi yang
signifikan antar kedua variabel menunjukkan bahwa kolom perairan tersebut termasuk dalam
area jelajah objek. Keberadaan objek sebagai respon gerak vertikal, diestimasi dengan
membandingkan koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan regresi tiap layer
(Von Szalay et al., 2007).
Jumlah objek pada ADZ diestimasi dengan asumsi bahwa densitas objek pada zona
tersebut adalah sama dan tergantung pada kondisi ikan pada lapisan tipis tepat diatas ADZ-
nya, yang mana pada kolom perairan ini memungkinkan untuk dilakukan estimasi densitas
objek secara akustik. Asumsi tersebut mungkin masih konservatif, mengingat densitas objek
diduga dapat menyebar vertikal lebih tinggi lagi dari dasar perairan (Von Szalay et al. 2007).
Estimasi nilai Nautical Area Scattering Coeficient (NASC) pada ADZ masing-masing
stasiun, diperoleh dengan mengekstrapolasi nilai SV pada kolom perairan di atas ADZ
terhadap ketinggian backstep (Kloser et al. 1996) :
NASCi = 10Svi/10 x BSZi x 1852 x 4
Selanjutnya, integrasi data akustik dilakukan pada kolom perairan mulai dari batas backstep
sampai ketinggian 2,5 meter dari dasar. Ini bertujuan untuk memperoleh densitas objek yang
sinkron dengan tinggi bukaan vertikal trawl, sehingga densitas akustik (DA) dan trawl (DT)
dapat dibandingkan. Nilai densitas objek secara akustik diperoleh dengan persamaan
MacLennan dan Simmonds (2005) sebagai berikut :
3.2 Saran
Menurut kami sebaiknya perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat guna
menumbuhkan rasa peduli terhadap ekosistem di bawah laut dengan cara memperkenalkan
metode swept area dengan menggunakan trawl, surplus produksi, dan teknologi
penginderaan jauh menggunakan hidroakustik (marine acoustic remote sensing).
DAFTAR PUSTAKA
Aglen A., 1996. Impact of Fish Distribution and Species Composition on the Relationship
Between Acoustic and Swept-Area Estimates of Fish Density, ICES J. Mar. Sci. 53:
501-505
Kloser RJ, Koslow JA, Williams A., 1996. Acoustic Assessment of the Biomass of a
Spawning Aggregation of Orange Roughy (Hoplostethus atlanticus, Collet) off South-
eastern Australia, 1990-93, Marine and Freshwater Research. 47 (10): 15-24
MacLennan DN, Simmonds EJ., 2005. Fisheries Acoustics. London: Chapman & Hall
Mello LGS, Rose GA., 2009. The Acoustic Dead Zone: Theoretical Vs Empirical Estimates,
and its Effect on Density Measurements of Semi-Demersal Fish, ICES Journal of
Marine Science, 66: 1364-1369
Orlowski, A. 2007. Acoustic seabed classification applied to Baltic benthic habitat studies: a
new approach. OCEANOLOGIA, 49 (2): 229- 243
Stanic, S., Briggs K. B., Fleischer P, Sawyer WB, Ray RI. 1989. HighFrequency Acoustic
Backscattering from a Coarse Shell Ocean Bottom. J. Acoust. Soc. Am., 85: 125-136
Von Szalay PG, Somerton DA, Kotwicki S., 2007. Correlating Trawl and Acoustic Data in
the Eastern Bering Sea: A First Step Toward Improving Biomass Estimates of
Walleye Pollock (Theragrachalcogramma) and Pacific cod (Gadus macrocephalus)?.
Fisheries Research 86: 77-83
Wallace JR, West CW, 2006. Measurements of Distance Fished During the Trawl Retrieval
Period, Fisheries Research 77: 285-292