Anda di halaman 1dari 6

Jadilah Pustakawan Mandiri dan Kuasai

Teknologi Informasi.
Istilah ‘kepustakawanan’ perlu dibicarakan bersama istilah ‘ilmu perpustakaan’  dalam
pembahasan untuk lebih memahami bagaimana sebuah profesi dan ilmu lahir, tumbuh,
dan berkembang di masyarakatnya. Kita memakai kata kepustakawanan untuk menerjemahkan
kata librarianships, menyesuaikannya dengan kata pustakawan sebagai terjemahan dari
librarian.

Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran –ships mengacu kepada empat artian (makna kata),
yaitu:

 Keadaan atau kualitas sesuatu, misalnya dalam kata companionships (kesetiakawanan,


keadaan atau kualitas perkawanan atau pertemanan).
 Status, formalitas, atau kehormatan, misalnya dalam kata citizenships (kewarganegaraan,
status atau kehormatan sebagai warganegara).
 Tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, misalnya dalam
kata workmanships (kekaryaan, keterampilan dan kapasitas sebagai pekerja).
 Keberkumpulan atau kebersamaan, misalnya dalam kata memberships (keanggotaan,
kebersamaan di dalam satu perkumpulan tertentu). (Lihat
http://dictionary.reference.com/browse/-ship)

Dengan empat artian tersebut, maka kepustakawanan sebenarnya mengandung pengertian


kualitas (artian pertama) dan rasa hormat atau respek masyarakat (artian kedua) terhadap sebuah
profesi, yakni profesi pustakawan.  Selain itu, kepustakawanan juga memperlihatkan kebanggaan
dan keanggotaan sebagai pustakawan, sebagaimana yang terdapat dalam artian terakhir. 

Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari
keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession
concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries
and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian.
(Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship)

Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya
dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun
sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu.

Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan
bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan.
Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang
berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA
di New Delhi pada 24 – 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan
secara lebih luas:
 Pustakawan bekerja berdasarkan etos-etos kemanusiaan, humanistic ethos yang dianggap
sebagai elan kepustakawanan, sebagai lawan dari kegiatan pertukangan. 
 Pustakawan sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi
manusia dalam akses ke informasi.
 Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi
kecerdasan sosial atau social intelligence.

Dari ketiga pendapat di atas, terlihat bahwa kepustakawanan berkaitan dengan kualitas hidup
manusia, terutama kualitas intelektual. 

Kepustakawanan dan Sistem Sosial

Kadang-kadang, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatan teknis perpustakaan, kita lupa


bahwa kepustakawanan sebenarnya adalah kegiatan antar manusia, yang berpusaran pada
aktivitas-aktivitas menyimpan dan menata pustaka bagi keperluan para pencari informasi.
Dikatakan sebagai antar manusia, karena setidaknya ada dua pihak yang terlibat di sini, yakni
orang-orang yang melakukan penyimpanan dan penataan itu (pustakawan) dan orang-orang yang
mencari informasi (pemakai).

Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang
waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan
keterpolaan ini sebagai ‘institusi’ (1989, h. 19). 

Kita perlu memperjelas arti ‘institusi’ di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi
adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang
membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-
individu di dalam masyarakat.

Struktur sosial adalah tata aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang dipakai oleh aktor-
aktor individual dalam masyarakat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan (actions). Pada
saat yang sama, tata-aturan dan sumberdaya itu sendiri adalah buatan dan hasil negosiasi antar
individu itu pula, sehingga terjadilah hubungan ganda (duality) antara struktur dan agen. 

Di dalam sebuah masyarakat, kepustakawanan juga adalah sistem sosial, dalam wujud interaksi
dan kegiatan antar aktor (‘aktor pustakawan’ dan ‘aktor anggota masyarakat’) yang terus
menerus dilakukan (diproduksi) dan diulang-lakukan (reproduksi). Semua ini bisa disebut
praktik-praktik sosial (social practices) yang teratur sepanjang ruang dan waktu.

Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang
sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah
sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain,
struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-
enacted) di dalam dan melalui interaksi.

Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma,  serta sumberdaya,
baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat.
Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung,
dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah
nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah
fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya.

Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh
aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus
diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan
perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada
(atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada)
kepustakawanan.

Kepustakawanan dan Teknologi Informasi

Lalu bagaimana dengan teknologi yang digunakan di perpustakaan? Apakah kepustakawanan


tidak mengandung teknologi atau dibicarakan secara terpisah dari teknologi informasi?

Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan
teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya
melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin,
selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal
teknologi ‘sempit’ ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk
menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya
Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice). 

Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology
practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi.
Misalnya buku (dan kini e-book) adalah ‘teknologi sempit’ yang dihasilkan oleh teknik-teknik
percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan
buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas
ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak,
dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-
book).

Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi ‘teknologi
sempit’ kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya
mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari
koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta
televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.

Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai
technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum
karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet;
para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di
Indonesia, You–tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya ‘sempit’
akhirnya menjadi persoalan sosial.
Kepustakawanan sebenarnya juga adalah ‘persoalan sosial’ (walaupun tidak selalu kontroversial)
yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan
konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik,
persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai
sebuah kepustakawanan.

Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami
dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting,
sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.

Bacaan:

Giddens, A. (1989), Sociology, Basil Blackwell : Cambridge.


Pacey, Arnold (1983), The Culture of Technology, Basil Blackwell : Oxford

Dunia Perpustakaan | Kemajuan teknologi informasi dan internet sudah seharusnya


dimaksimalkan untuk dimanfaatkan oleh semua orang termasuk Pustakawan.

Jangan sampai pekerjaan seorang pustakawan yang sehari-hari mengkampanyekan supaya orang
rajin membaca dan belajar, akan tetapi dirinya sendiri sebagai pustakawan bermalas-malasan
untuk belajar menguasai teknologi informasi yang bisa menopang pekerjaanya sebagai
pustakawan.

Akibatnya, kemampuan SDM dari para pustakawan menjadi jauh tertinggal. Beberapa bukti
bahwa tidak sedikit Pustakawan yang masih tertinggal dalam hal kemampuanya untuk
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi di perpustakaan, akibatnya pustakawan sering
meminta bantuan pihak ketiga dalam hal terkait sistem informasi perpustakaan.

Dengan kondisi ini maka jangan heran, ketika seorang Pustakawan masih banyak yang bingung,
bagaimana membangun perpustakaanya yang masih manual menjadi digital.

Kondisi tersebut kemudian menjadikan pustakawan menjadi tergantung dan  mengandalkan


perusahaan atau orang yang ahli di bidang Teknologi Informasi untuk membantu kebutuhan
perpustakaanya yang akan dibuat digital ataupun online.

Jika sudah seperti ini maka wajar mereka para pustakawan yang seperti itu akan menganggap
bahwa bahwa untuk membangun perpustakaan Digital, Perpustakaan Online atau katalog
bersama pastinya membutuhkan biaya besar dan mahal.

Padahal sebenarnya jika para Pustaakwan mau belajar dan terus belajar meningkatkan
kemampuan SDM mereka, maka sesungguhnya untuk membangun Perpustakaan Digital,
Perpustakaan Online, bahkan katalog bersama sekalipun tidaklah Mahal.
Beberapa Pustakawan yang berada di Komunitas SLiMS di Yogyakarta dan Komunitas SLiMS
di berbagai daerah lainya sudah membuktikan bahwa untuk membangun perpustakaan digital,
Perpustakaan online termasuk membangun katalog bersama tidaklah mahal apalagi sampai
menghabiskan banyak dana.

Hanya bermodalkan domain dan hosting, Katalog bersama sudah bisa jadi dan diakses serta
dimanfaatkan oleh siapapun.

Untuk softwarenya sendiri cukup menggunakan software Open Source (GRATIS) bernama
SLiMS yang sudah menyediakan fitur bernama UCS (Union Catalog Server).

Untuk kwalitas dari software SLiMS tersebut sudah tidak diragukan lagi karena hampir semua
perpustakaan Lembaga tinggi negara mulai dari Perpustakaan DPR, Perpustakaan KPK,
Perpustakaan MA, Perpustakaan MK, dan masih banyak lagi yang lainya yang sudah
menggunakan software SLiMS.

Jika mereka yang masih menganggap mahal, biasanya dikarenakan perpustakaan tersebut
menggunakan JASA dari pihak EXTERNAL [pihak ketiga], sehingga menjadikan biayanya
mahal.

Di Era kemajuan Teknologi Informasi semaju sekarang ini, Pustakawan juga sudah
SEHARUSNYA ikut mengikuti perkembangan teknologi supaya Pustakawan bisa mandiri dalam
memajukan Perpustakaan yang dikelolanya.

Jadilah Pustakawan Mandiri dan Kuasai Teknologi Informasi, dengan cara itu Pustakawan bisa
lebih berhemat dalam hal anggaran.

Hal ini karena sebagaimana kita tahu bahwa jika pustakawan terus ketergantungan dari
perusahaan/ahli di bidang Teknologi Informasi, maka biayanya tentu akan sangat mahal.

Tips dan Saran     


Rajinlah mengikuti Pelatihan Komunitas SLiMS di berbagai daerah di Indonesia, atau komunitas
sejenis [tidak harus SLiMS] lainya, yang selalu berbagi tentang kemajuan-kemajuan terbaru
khususnya dibidang pemanfaatan T eknologi Informasi untuk perpustakaan.

Selain itu bisa juga dengan mengikuti group atau komunitas yang membahas terkait dengan
pemanfaatan TI untuk Perpustakaan.

Untuk meningkatkan kemampuan TI, perbanyaklah membaca buku-buku di bidang TI yang


bersifat PRAKTEK.

Karena kemampuan di bidang TI hanya bisa dikuasai lebih cepat ketika sering baca, PRAKTEK
dan PRAKTEK, baca lagi, PRAKTEK lagi, dan seterusnya.

Penulis: Ari Es

Anda mungkin juga menyukai