Kelompok 1 Riset Pertanian Dan Pangan
Kelompok 1 Riset Pertanian Dan Pangan
Teknik Mekatronika – B
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, karunia, dan
taufik-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Riset Pangan dan Pertanian
dengan baik dan lancar.
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas dari bapak Dr. Eng Indra
Adji Sulistijono S.T., M.Eng selaku Dosen mata kuliah Konsep Wawasan dan Teknologi.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kami tentang riset
khususnya di bidang pangan dan pertanian di Indonesia.
Kami juga berterimakasih kepada bapak Dr. Eng Indra Adji Sulistijono S.T., M.Eng
karena atas kebijaksanaan beliau yang telah memberikan tugas ini sehingga menambah
pengetahuan dan wawasan kami di bidang studi yang kami tekuni. Tidak lupa saya juga
berterimaksih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan lancar.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kami terbuka atas kritik dan saran dari saudara. Demikian yang dapat kami sampaikan.
Mohon maaf apabila ada salah. Atas kebijaksanaan dan perhatiannya, kami ucapkan
terimakasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER i
Daftar Pustaka ii
Daftar Isi iii
BAB I
PENDAHULUAN 1
1. 1 Latar Belakang 1
1. 2 Rumusan Masalah 2
1. 3 Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
2. 1 Pengembangan Riset Pangan dan Pertanian di Indonesia 3
2. 2 Permasalahan Indonesia di Bidang Pangan dan Pertanian 3
2. 3 Upaya Menangani Permasalahan Indonesia di Bidang Pangan dan Pertanian 4
2. 4 Inovasi Indonesia di Bidang Pangan dan Pertanian 5
2. 5 Data dan Statistik Sektor Pertanian di Indonesia 14
BAB II
PENUTUP 19
3. 1 Kesimpulan 19
3. 2 Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Sebagaimana pada pasal 27 UUD 1945, hak untuk memperoleh pangan merupakan
salah satu hak asasi manusia. Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996
tentang pangan. Menurut UU No. 18/2012, ketahan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercemin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.Sebagai kebutuhan dasar, pangan ketersediaan
pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya akan menimbulkan ketidakstabilan
ekonomi. Berbagai gejolak sosial politik, stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional akan
terganggu jika kondisi pangan kritis.
Perkembangan zaman yang semakin pesat diikuti pula dengan pertumbuhan
teknologi yang semakin pesat, mengakibatkan kita untuk terus beradaptasi dan berinovasi
guna mempertahankan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup. Dampak perkembangan
zaman dan teknologi ini telah menjalar di berbagai bidang, salah satunya di bidang pangan
dan pertanian. Khususnya di bidang pangan dan pertanian ini memiliki peranan yang sangat
penting dalam membangun perekonomian nasional termasuk perekonomian daerah, penyedia
bahan pangan untuk ketahan pangan masyarakat, sebagai instrument mengentaskan
kemiskinan, penyedia lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat.
Topik ini juga membahas lebih lanjut dari Rencana Induk Riset Nasional Tahun
2017 – 2045 sub bidang fokus riset pangan dan pertanian. Dilansir ekon.go.id pemerintah juga
terus berupaya untuk memperkuat ketahan pangan nasional dengan mengimplementasikan
Undang-Undang Cipta Kerja khususnya di sektor pertanian, kelautan dan pertanian terkait
penyederhanaan dan kepastian dalam perizinan, membentuk Badan Pangan Nasional dan
Pembentukan Holding BUMN Pangan, menyinergikan BUMN untuk distribusi pangan dari
daerah surplus ke daerah defisit, memperkuat Kerjasama antara daerah dalam pemenuhan
kebutuhan pangan, memperkuat cadangan pangan Pemerintah dan implementasi system resi
gudang, juga mengurangi beban fiscal melalui efisiensi Harga Pokok Produksi, peningkatan
produktifitas petani, perbaikan system subsidi pupuk, serta pengurangan penggunaan pupuk
secara berlebihan.
Untuk meningkatkan kemakmuran di bidang pangan dan pertanian di Indonesia,
perlu adanya riset terlebih dahulu. Dengan adanya riset maka proses mewujudkannya akan
lebih mudah, karena kita bisa mengetahui garis besar, permasalahan yang dihadapi, solusi
mengatasinya, upaya peningkatan mutu, dan langkah inovasi yang akan dilakukan. Namun
upaya ini sulit jika yang berpartisipasi hanya pemerintah dan lembaga di bidang tersebut.
Butuh banyak partisipan mulai dari masyarakat, organisasi, hingga sektor pendidikan yang
harus turut serta dalam aktifitas riset dan mewujudkannya.
1
1. 2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan riset pangan dan pertanian di Indonesia?
2. Apa saja permasalahan Indonesia di bidang pangan dan pertanian?
3. Bagaimana upaya mengatasi permasalahan Indonesia di bidang pangan dan
pertanian
4. Apa saja inovasi di bidang pangan dan pertanian di Indonesia?
5. Bagaimana data dan statistic sektor pertanian di Indonesia
1. 3 Tujuan
• Mengetahui pentingnya perkembangan pangan dan pertanian di Indonesia.
• Mengetahui dampak krisis pangan dan pertanian bagi Indonesia.
• Dapat mengidentifikasi permasalahan Indonesia di bidang pangan dan
pertanian.
• Dapat menjelaskan upaya mangatasi permasalahan Indonesia di bidang pangan
dan pertanian.
• Mengerti perkembangan riset pangan dan pertanian di Indonesia.
• Membahas lebih lanjut Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 di sub-bidang
fokus riset pangan dan pertanian.
• Mengetahui implementasi teknologi dan inovasi di bidang pangan dan
pertanian di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ada 2 persoalan pokok dalam pengembangan pangan, yaitu kemandirian. pangan dan
peningkatan daya saing produk pangan. Oleh karena itu, kebijakan riset dan teknologi.
diarahkan untuk peningkatan kemandirian dan daya saing produk pangan dengan
menfokuskan riset. dan teknologi untuk: (i) meningkatkan produktivitas, kualitas dan efisiensi
produksi pertanian on farm secara berkelanjutan; (ii) meningkatkan nilai tambah produk
pertanian (off-farm); (iii). meningkatkan keragaman bahan baku pangan berbasis sumberdaya
lokal; dan (iv) meningkatkan keamanan pangan.
Secara umum, riset dan teknologi di bidang pangan dan pertanian di Indonesia
berkembang dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan hasil-hasil yang dicapai pada
2005-2008, dimana telah berhasil dikembangkan dan dilepas varietas unggul (baik
hibrida maupun inbrida), padi, jagung dan kedelai. Untuk mendukung diversifikasi
pangan, telah dikumpulkan cadangan plasma nutfah untuk talas dan ubikayu, dan telah
dikembangkan varietas unggul hasil pemuliaan kedelai, kacang hijau, pisang manggis,
nenas dan pepaya. Disamping itu, telah dikembangkan teknik-teknik pemuliaan ternak
untuk mendapatkan benih dan bibit sapi unggul dan vaksin ternak untuk mencegah
penyakit cacing hati, serta kit untuk Radioimmunoassay untuk inseminasi buatan, dan
suplemen pakan nutrisi
Selain besar jumlahnya, peneliti di bidang pertanian juga tergolong aktif. Hal ini
tercermin dari jumlah proposal untuk riset insentif di Kementerian Riset dan Teknologi
yang selalu dominan. Untuk program Riset Insentif, proposal bidang pangan pada tahun
2010 mencapai 38,4% (1248 proposal), tahun 2011 adalah 38,0% (1578 proposal), dan
tahun 2012 adalah 29,0% (1285 proposal). Kecenderungan ini terus berlanjut pada
insentif SINAS tahun 2013. Riset pangan banyak dilakukan oleh Peneliti di koridor
ekonomi Jawa, disusul Sumatera, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan MalukuPapua.
Riset bidang tanaman pangan sudah bergeser dari budidaya ke pasca panen dan
pengolahan, namun untuk bidang peternakan dan perikanan, riset masih berfokus pada
fase budidaya.
3
• Produktifitas pertanian yang relative rendah dan tidak meningkat.
• Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
• Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah dan kemampuannya semakin
menurun.
• Tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10- 15%).
• Kegagalan produksi karena factor iklim yang berdampak pada musim kering dan
banjir.
4
Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian akan memicu sektor pembangunan
lainnya . Salah satu wujud pembangunan untuk pertanian akan ditandai dengan
kemajuan Iptek bidang pertanian dan sekaligus menjadi solusi nyata setidak-tidaknya
dalam dua hal berikut :
1. Teknologi harus menjadi solusi persoalan di bidang pertanian yang merupakan
dampak perubahan iklim global
2. Teknologi harus menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya
dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang terus berkembang tanpa batas.
• Meningkatkan Nilai Pangan dan Pertanian.
Salah satu contohnya yaitu mengganti produk ekspor dari bahan mentah ke produk
jadi. Hal ini akan meningkatkan produk tersebut dari segi mutu, efisiensi dan laba.
5
Sistem pertanian ramah lingkungan sebenarnya telah banyak diterapkan oleh
masyarakat tani, antara lain pertanian konservasi dengan tanpa olah atau olah tanah
minimum, pengelolaan tanaman terpadu, penerapan jajar legowo super, pengelolaan
organisme pengganggu tanaman secara terpadu, system integrasi
tanaman-ternak bebas limbah, dan pertanian oraganik. Menurut Soemarno
(2001), tindakan operasional pertanian ramah lingkungan meliputi: (i) Penggunaan
pupuk anorganik bersifat suplementatif dengan efisiensi tinggi untuk mencapai
target hasil optimal; (ii) penerapan pengendalian hama dan penyakit dengan
memperhatikan keseimbangan ekologis alamiah; (iii) penerapan pengelolaan
tanaman secara terpadu; (iv) penerapan sistem usaha tani bersih dan sehat; (v)
pemeliharaan dan pemantapan kesuburan fisik, kimiawi, dan hayati secara alamiah,
dan (vi) pemanfaatan teknologi efektif berdasar kearifan lokal.
2. 4. 2 Penerapan Teknologi Nano Dalam Pertanian dan Pengolahan Pangan
di Indonesia
Saat ini di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia,
penelitian dan pengembangan penerapan teknologi nano di bidang pertanian dan
pengolahan pangan semakin berkembang pesat. Irawan et al. (2014) melaporkan
bahwa sejumlah negara telah membangun riset teknologi nano nasionalnya dengan
serius, misalnya Amerika Serikat yang mendirikan National Nanotechnology
Initiative (NNI). Selain pengembangan penelitian di tingkat nasional, jaringan
penelitian teknologi nano antar negara dan kawasan juga berkembang pesat. Dua
organisasi besar dunia, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan World
Health Organization (WHO) (2009) meyakini bahwa teknologi nano sangat potensial
untuk pengembangan produk inovatif pertanian, perlakuan air, produksi pangan,
pengolahan, pengawetan, dan pengemasan, sehingga berpotensi meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk, serta keuntungan bagi petani, industri pangan, dan
konsumen. Dalam hal ini, teknologi nano merupakan suatu pendekatan teknologi
mutakhir yang sangat memberi harapan bagi kemajuan di berbagai bidang, termasuk
pertanian dan pengolahan pangan. Namun, teknologi ini juga menimbulkan berbagai
pertanyaan menyangkut dampaknya terhadap lingkungan, kesehatan, keamanan
pangan, etika, serta isu kebijakan dan pengaturan.
Ide dan konsep ilmu dan teknologi nano pertama kali diperkenalkan oleh Dr.
Richard Feynman pada sebuah pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh
American Physical Society di California Institute of Technology (Caltech), 29
Desember 1959, dengan judul “There’s plenty of room at the bottom”, jauh sebelum
istilah teknologi nano digunakan. Oleh karenanya, Dr. Richard Feyman dijuluki
sebagai “the father of nanotechnology”. Richard Feynman adalah seorang ahli fisika
yang pada tahun 1965 memenangkan hadiah Nobel dalam bidang fisika. Dalam
pidatonya, Feynman menggambarkan suatu proses di mana ilmuwan akan dapat
memanipulasi dan mengontrol individu atom dan molekul.
Istilah teknologi nano pertama kali diresmikan oleh Prof. Norio Taniguchi,
seorang ahli fisika dari Tokyo Science University, tahun 1974 dalam makalahnya
6
yang berjudul “On the basic concept of ‘nano-technology’” (Taniguchi 1974). Pada
tahun 1980-an istilah teknologi nano dieksplorasi lebih jauh lagi oleh Dr. K. Eric
Drexler, seorang ahli di bidang teknologi nano molekuler, melalui bukunya yang
berjudul “Engines of creation: the coming era of nanotechnology” (Drexler 1986).
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa istilah “teknologi nano” dan “teknologi
molekuler” dapat digunakan secara bergantian untuk menggambarkan teknologi baru
yang menangani atom dan molekul individu dengan kontrol dan ketepatan.
2. 4. 2. 1 Penerapan Teknologi Nano di Bidang Pertanian
Upaya penerapan teknologi nano di bidang pertanian dimulai seiring
dengan tumbuhnya kesadaran bahwa teknologi pertanian konvensional tidak
dapat meningkatkan produktivitas lebih lanjut ataupun memulihkan kerusakan
ekosistem karena efek jangka panjang pertanian revolusi hijau (Mukhopadhyay
2014). Menurut Lu dan Bowles (2013), teknologi nano merupakan solusi yang
mempunyai potensi besar dalam rantai pasok pertanian. Teknologi nano telah
diterapkan pada manajemen rantai pasok yang terkait dengan kualitas,
penanganan, pengemasan, dan keamanan pangan. Dalam bidang rantai pasok
pertanian, teknologi nano membawa manfaat yang potensial bagi petani,
industri pangan, dan konsumen, melalui produksi, pengolahan, pengawetan,
dan pengemasan (FAO/WHO 2010).
Pada bidang pertanian, teknologi nano digunakan untuk meningkatkan
produktivitas tanaman, kualitas produk, penerimaan konsumen; dan efisiensi
penggunaan sumber daya. Dengan demikian, penerapan teknologi nano akan
membantu mengurangi biaya pertanian, meningkatkan produktivitas,
meningkatkan nilai produksi, dan meningkatkan pendapatan pertanian, di
samping mendukung konservasi dan meningkatkan kualitas sumber daya alam
dalam sistem produksi pertanian. Pérez-deLuque dan Hermosín (2013)
membagi penerapan teknologi nano dalam bidang pertanian menjadi tiga: (1)
formulasi nano agrokimia untuk penerapan pestisida dan pupuk pada tanaman
dengan menggunakan tiga tipe material nano, yaitu polimer organik, senyawa
inorganik, dan material hibrid (komposit nano); (2) potensi pengembangan
perangkat nano (nanodevices) untuk manipulasi genetic tanaman; dan (3)
penerapan sensor nano dalam produksi tanaman untuk identifikasi penyakit dan
residu agrokimia.
Rhodes (2014) mengemukakan bahwa teknologi nano diterapkan dalam
system pertanian presisi (precision farming) untuk memaksimalkan
output/hasil tanaman), seraya meminimalkan input (benih, pupuk, pestisida,
herbisida, air, dll.). Sistem pertanian presisi terkait dengan sistem penghantaran
pintar (smart delivery system), di mana bahan kimia seperti pupuk, pestisida,
dan herbisida dihantarkan secara tertarget dan terkontrol. Selain itu, teknologi
nano juga diterapkan dalam (1) identifikasi sistem untuk melacak bahan/hasil
ternak dan tanaman dari bahan asal hingga konsumsi; (2) sistem terintegrasi
untuk penginderaan, monitoring, dan intervensi respons aktif untuk produksi
7
tanaman dan ternak; (3) sistem lapang pintar (smart field systems) untuk
mendeteksi, mengetahui lokasi, melaporkan, dan pemberian air secara
langsung; dan (4) pengembangan tanaman yang resisten terhadap kekeringan
dan toleran terhadap salinitas dan kelembaban.
Terkait dengan penggunaan pestisida, fungisida, dan herbisida, Mousavi
dan Rezael (2011) menyebutkan bahwa teknologi nano membantu mengurangi
polusi lingkungan dengan menghasilkan pestisida dan pupuk kimia
menggunakan partikel nano dan kapsul nano yang mempunyai kemampuan
untuk mengendalikan dan menunda penghantaran, absorpsi, serta lebih efektif
dan ramah lingkungan; selain juga produksi kristal nano untuk meningkatkan
efisiensi pestisida untuk penerapan pestisida dengan dosis yang lebih rendah.
Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa teknologi nano mempunyai potensi dan
kemampuan dalam memberikan solusi untuk menyediakan bahan pangan,
perawatan veteriner, serta obat dan vaksin untuk ternak. Dalam perawatan
veteriner, partikel nano perak merupakan antiseptik yang kuat (antibakteri dan
antimikroba), dan digunakan secara luas sebagai desinfektan dalam peternakan
hewan besar/kecil maupun unggas.
Holden et al. (2012) juga melaporkan potensi penerapan teknologi nano
dalam penanganan limbah pertanian, khususnya dalam industry kapas.
Sebagian selulosa atau serat yang timbul ketika kapas diproses menjadi kain
yang biasanya dibuang sebagai limbah atau hanya diolah menjadi produk
bernilai rendah, Ketika diproses dengan menggunakan metode electrospinning,
akan menghasilkan serat kapas berdiameter 100 nm, yang mampu menyerap
pupuk atau pestisida secara sangat efektif, sehingga memungkinkan
penerapannya dalam pertanian.
2. 4. 2. 2 Penerapan Teknologi Nano di Bidang Pangan
Di bidang pengolahan pangan, teknologi nano paling banyak dan paling
cepat perkembangan penerapannya untuk kemasan pangan. Dalam hal ini
penerapan teknologi nano memungkinkan perbaikan sifat fisik dan mekanis
kemasan, di antaranya gas barrier, daya serap air, kekuatan, ringan, dan
dekomposisi, serta pengembangan kemasan aktif dan pintar yang dilengkapi
antimikroba nano, sensor nano, dan nano-barcodes yang dapat
mempertahankan mutu (di antaranya kesegaran) dan keamanan produk pangan,
membantu keterlacakan, dan monitoring kondisi produk selama distribusi dan
penyimpanan, serta mempermudah deteksi cemaran dan kerusakan sebelum
dikonsumsi (Arora dan Padua 2010; Chaudhry dan Castle 2011; de Azeredo et
al. 2011; Mousavi dan Rezael 2011; Pérez-Esteve et al. 2013; Wardana 2014).
Oleh karenanya, kemasan nano dapat meningkatkan daya tahan produk (shelf
life).
Penggabungan material nano ke dalam polimer plastik telah mendorong
berkembangnya bahan-bahan kemasan pangan inovatif yang secara umum
dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu (1) komposit polimer nano
8
dengan kandungan partikel nano hingga 5% dan menghasilkan karakteristik
yang lebih baik dalam hal fleksibilitas, daya tahan, stabilitas terhadap suhu, dan
atau kelembaban, serta perpindahan/migrasi gas; (2) kemasan “aktif” berbahan
polimer yang mengandung material nano dan bersifat antimikroba; (3)
nanocoating “aktif” untuk menjaga higienitas permukaan bahan atau pun
kontak pangan dan nano-coating hidrofobik sehingga permukaan
bahan/kemasan memiliki daya bersih mandiri (self-cleaning surfaces), dan (4)
kemasan “pintar” yang di dalamnya terdapat (bio)sensor nano untuk
memonitor dan melaporkan kondisi pangan dan atau kondisi atmosfer di dalam
kemasan dan nano-barcodes untuk mengetahui keautentikan/ketertelusuran
pangan (Chaudhry et al. 2008; Chaudhry dan Castle 2011; Lu dan Bowles
2013). Menurut Lu dan Bowles (2013), dari keempat kategori tersebut,
penelitian dan penerapan komposit polimer nano, kemasan antimikroba, dan
nanocoated film lebih maju dibanding penelitian dan penerapan teknologi nano
dalam kemasan pangan lainnya.
Wardana (2014) menyebutkan bahwa tren kemasan masa depan adalah
biodegradable (dapat terurai secara biologis) dan memiliki kemampuan
antimikroba. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa kemasan nano yang dapat
diterapkan untuk produk-produk hortikultura di antaranya adalah nanoedible
coating, nanoedible film, anti-mikroba, dan lainlain. Edible coating adalah
lapisan tipis yang dapat dikonsumsi yang digunakan pada makanan dengan
cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan, atau penyemprotan untuk
memberikan penahan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air, dan
bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis. Adapun edible
film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,
dibentuk untuk melapisi makanan atau dilekatkan di antara komponen
makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan
massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau
sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan.
Menurut Predicala (2009) nano-coating dapat digunakan untuk melapisi
produk hortikultura, khususnya buah, secara sempurna sehingga mencegah
susut berat dan buah berkerut.
Kedua jenis kemasan biodegradble tersebut (nanoedible coating dan
nanoedible film) dapat dimodifikasi dengan penambahan zat antimikroba
berbasis nano seperti ZnO (seng oksida) nano, TiO2 (titanium dioksida) nano,
dan Ag (perak) nano. Akan tetapi, untuk saat ini penelitian-penelitian berbasis
nanopartikel lebih mengarah ke ZnO nano, karena selain perak dan TiO2 nano
efek kesehatannya masih diperdebatkan, ZnO nano juga sekaligus berfungsi
sebagai supplemen Zinc. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar
masyarakat Indonesia saat ini banyak yang mengalami defisiensi mineral
tersebut.
9
Plantic Technologies Ltd., Altona, Australia telah memproduksi dan
menjual kemasan bioplastik yang dapat terdegradasi secara biologis
(biodegradable) dan sepenuhnya dapat dibuat menjadi kompos (compostable)
(Taylor dan Thyer 2006). Kemasan semacam ini dibuat dari pati jagung
organik menggunakan teknologi nano (Neethirajan dan Jayas 2011).
Bionanokomposit biodegradable yang dibuat dari biopolimer alami seperti pati
dan protein mempunyai keunggulan sebagai bahan kemasan pangan karena
karakteristik organoleptiknya, seperti penampilan, bau, dan rasa yang baik
(Zhao et al. 2008). Keuntungan unik dari kemasan biopolimer alam termasuk
kemampuan mereka untuk bertindak sebagai pembawa (carriers) untuk zat
yang aktif secara fungsional dan menyediakan suplemen gizi (Rhim dan Ng
2007).
Dalam pengolahan pangan juga telah dikembangkan kapsul nano dan
partikel nano yang ditambahkan pada pangan sehingga zat-zat gizi diserap
secara lebih efektif. Rhodes (2014) melaporkan beberapa produk teknologi
nano yang diterapkan dalam pengolahan pangan dan telah diproduksi secara
komersial. Sebagai contoh, di bagian barat Australia, kapsul nano berisi
minyak ikan tuna (sumber asam lemak omega-3) ditambahkan pada roti.
Dengan menggunakan kapsul nano, minyak ikan tuna tersebut dilepaskan
hanya ketika sudah berada di dalam lambung, sehingga rasa minyak ikan, yang
bagi sebagian orang tidak menyenangkan, dapat dihindari.
Produk teknologi nano lain, dalam bentuk nano-sized self-assembled
liquid structures (NSSL), memungkinkan zat-zat gizi dan nutrasetikal, yang
meliputi likopen, betakaroten, lutein, fitosterol, CoQ10, dan DHA/EPA, untuk
memasuki aliran darah dari usus halus dengan lebih mudah. Produk yang
dipasarkan dengan nama Nutralease tersebut dipasarkan Shemen Industries
untuk menghantarkan minyak Canola Activa yang diklaim dapat mereduksi
kolesterol tubuh sebesar 14%.
Partikel nano lain yang disebut nanokelat telah dikembangkan oleh
Biodelivery Sciences International untuk meningkatkan penghantaran nutrisi
seperti vitamin, likopen, dan asam lemak omega, tanpa memengaruhi warna
dan rasa makanan. Selain itu, produk baru Bernama NanoCeuticals, yang
merupakan koloid (atau emulsi) partikel-partikel berdiameter kurang dari 5 nm
telah diproduksi oleh Royal Body Care, yang mengklaim bahwa produk
tersebut akan menangkap radikal bebas, meningkatkan hidrasi, dan
menyeimbangkan pH tubuh.
Selain produk-produk teknologi nano tersebut, juga telah diproduksi
keramik nano yang dipasarkan oleh Oilfresh Corporation (Amerika Serikat),
yang dapat mencegah oksidasi dan aglomerasi lemak dalam penggorengan
(deep fat fryers), sehingga memperpanjang masa pakai (life span) minyak.
Sebagai hasilnya, volume minyak yang digunakan di restoran dan toko cepat
saji berkurang separuhnya; dan karena minyak lebih cepat menjadi panas,
10
energi yang digunakan untuk memasak juga bisa dihemat (Joseph dan
Morrison 2006).
2. 4. 2 Implementasi Teknologi Untuk Meningkatkan Produksi Pangan
Riset dan teknologi mempunyai peranan yang sangat penting untuk
mendukung peningkatan dan keberlanjutan produksi pangan. Dalam arti yang luas,
peningkatan produk pangan tidak saja berperan pada kegiatan budidaya (on farm),
tetapi juga mencakup untuk kegiatan pengelolaan dan pengolahan produk pangan
yang dihasilkan (off farm), dalam upaya untuk peningkatan nilai tambah dan daya
saing produk.
Relevansi teknologi selama ini masih dirasakan belum optimal. Banyak hasil
riset belumdiimplementasikan oleh petani atau industri sebagai penggunanya.
Sebagai contoh, untuk tanaman kedelai sudah ada benih ‘Kedelai Plus’, namun tidak
dimanfaatkan karena sulit didapat oleh petani. Jumlah varietas unggul kedelai yang
sudah dilepas lebih dari 50 varietas, akan tetapi yang digunakan oleh petani tidak
lebih dari 5-6 varietas. Demikian juga dengan varietas padi. Faktor lain yang
menyebabkan rendahnya varietas unggul yang diimplementasikan oleh petani adalah
tidak berkembangnya industri penangkar, sehingga jumlah ketersediaan benih sangat
terbatas.
Implementasi teknologi yang pada hakekatnya adalah proses alih teknologi dari
pengembang/penghasil teknologi ke pengguna teknologi tidak begitu saja terjadi.
Proses alih teknologi perlu difasilitasi dan diintegrasikan dengan pola managemen
pertanian. Proses alih teknologi tersebut harus menjadi kegiatan yang
berkesinambungan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa teknologi adalah
tool yang tidak dapat berdiri sendiri. Berbagai fasilitasi dan integrasi tersebut dapat
dilakukan antara lain melalui: (i) sosialisasi dan diseminasi teknologi, (ii)
implementasi SINas/SIDa, (iii) penguatan lembaga intermediasi dengan dukungan
teknologi informasi untuk database dan jejaring, (iv) pengintegrasian program
kegiatan pertanian hulu-hilir, dan (v) penerapan Praktek Pertanian yang Baik (Good
Agriculture Practice/GAP).
Sosialisasi dan disseminasi. Kegiatan ini pada umunya belum dilakukan secara
efektif dan intensif. Sosialisasi belum terencana secara sistematis, baik metode,
media sosialisasi, target sasaran dan pencapaiannya. Sosialisasi biasanya dilakukan
melalui seminar yang dihadiri oleh para peneliti/perekayasa sebagai penghasil
teknologi tanpa dihadiri oleh pengguna teknologi atau industri. Oleh karena itu
sosialisasi perlu dirancang dalam bentuk temu bisnis (business gathering) dimana
para penghasil teknologi dipertemukan dengan para pengguna teknologi yang
berpotensi untuk memanfaatkan teknologi dan sekaligus dapat berperan sebagai
investor yang mampu untuk membiayai proses pengembangan teknologi.
Implementasi Sistem Inovasi. Dalam upaya implementasi teknologi oleh pihak
pengguna/industri, sebaiknya pihak pengembang/penghasil teknologi juga dapat
berperan aktif pada proses alih teknologi agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung
11
pertumbuhan ekonomi, yaitu 7 dengan menerapkan konsep Sistem Inovasi. Sistem
Inovasi Nasional/Daerah (SINas/SIDa) merupakan sebuah sistem yang kompleks dan
banyak pihak yang ikut berperan untuk mewujudkannya agar efektif dan produktif
untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen,
sehingga secara nyata dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Semua pihak yang ikut berperan hendaknya dapat bekerja dalam suatu kesamaan
tujuan dan langkah-langkah yang sinergis.
12
Integrasi Program Kegiatan Hulu-Hilir. Untuk mendukung kegiatan produksi
pangan berkelanjutan maka rangkaian kegiatan hulu-hilir perlu diintegrasikan dalam
satu kegiatan ekonomi, dimana kegiatan yang satu akan menjadi rangkaian kegiatan
yang lain yang saling terkait dan menunjang. Di sisi hulu, kegiatan budidaya (on
farm) mendapat dukungan sarana produksi (saprodi) yang terdiri atas mesin dan
peralatan pengelolaan lahan, pupuk, pestisida dan bibit. Dukungan saprodi ini sangat
bervariasi dan tergantung dari jenis komoditasnya (pertanian, perikanan atau
peternakan). Untuk menunjang keberlangsungan, maka pada kegiatan hulu ini perlu
dikembangkan industri sebagai penunjang, misalnya industri benih, pupuk, pertisida
dan lain-lain.
Di sisi hilir adalah kegiatan-kegiatan kegiatan pengolahan (off-farm) hasil
panen pada kegiatan budidaya, sehingga merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan
budidaya. Melalui proses pengolahan ini maka dapat dikembangkan berbagai jenis
industri. Tergantung dari produk dan prosesnya, maka industri tersebut dapat
dibedakan sebagai industri primer, industri sekunder, industri tersier dan sebagainya.
Di ujung dari kegiatan hilir ini adalah pasar dan konsumen yang akan menentukan
lajunya pergerakan di setiap kegiatan baik di hulu maupun di hilir. Contoh beras
sebagai industri primer dapat digiling menjadi tepung sebagai industri sekunder dan
kemudian diproses menjadi mihun sebagai industri tersier yang siap untuk
dipasarkan dan dikonsumsi.
Kegiatan hulu-hilir ini hendaknya merupakan kegiatan berantai dalam bentuk
siklus, masingmasing kegiatan merupakan mata rantai yang berkelanjutan. Kegiatan
hulu-hilir ini pada prinsipnya adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung ketahanan
pangan dimana dimulai dari produksi, distribusi dan konsumsi (Welirang 2010).
Pengintegrasian hulu-hilir terhadap suatu komoditas ini perlu didukung riset dan
pengembangan teknologi secara kontinyu agar daya saing produk terus dapat
ditingkatkan sesuai dengan tuntutan konsumen yang cenderung berubah dari waktu
ke waktu.
Praktek Pertanian dan Manufakturing yang Baik. Pada era globalisasi,
perdagangan komoditas pangan akan menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Oleh karena, itu praktek pertanian yang baik (GAP) menjadi alternatif untuk
memproduksi komoditas pangan yang bermutu tinggi, terjamin, aman, efisien,
berwawasan lingkungan dan dapat dirunut kembali asal-usul (traceable) dari proses
yang dilalui sebelum diperdagangkan (Sudiarto 2012). Pedoman GAP merupakan
seperangkat prinsip dan prosedur yang digali dari tradisi pertanian yang ada dan
adopsi gagasan dan inovasi teknologi untuk pembangunan ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
Selanjutnya seluruh tahapan GAP disusun berbagai standar prosedur
operasional (standard operating procedure/SOP) secara rinci baik dalam
pelaksanaan budidaya maupun lokasi budidaya dimana dilakukan.
Seiring dengan penerapan GAP, maka produk pangan setelah dipanen juga
harus diproses sesuai dengan praktek manufakturing yang baik (GMP). Dengan
13
demikian semua produk dapat diketahui, asal-usulnya, cara budidayanya, proses
pengolahannya (proses dan peralatan) dan memenuhi kriteria persyaratan HACCP
(Hazard Analysis and Critical Control Points) sehingga memenuhi standar kualitas
yang baik dan dapat diterima di pasar baik lokal maupun internasional. Badan
Standarisasi Nasional (BSN) sudah mengeluarkan 1.348 SNI untuk produk pertanian
dan teknologi pangan dari total 7.118 SNI. Produk pertanian dan pangan yang
mengikuti standar tentu akan meningkatkan daya saingnya. Di Indonesia GAP dan
GMP sudah diterapkan untuk beberapa jenis komoditas pangan, khususnya untuk
komoditas ekspor.
14
SULAWESI TENGGARA 94.10 92.35 93.74
GORONTALO 89.67 88.10 88.39
SULAWESI BARAT 93.35 93.45 90.92
MALUKU 91.54 93.49 94.70
MALUKU UTARA 95.44 92.05 94.98
PAPUA BARAT 91.53 89.02 91.89
PAPUA 98.32 98.81 98.97
INDONESIA 88.35 87.59 88.57
15
16
17
18
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang ditulis di makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
• Penerapan teknologi dan inovasi di sektor pertanian sangat penting untuk
mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini disebabkan karena
pertanian dan sub-bidangnya(peternakan) sangat bersinergi dan
berhubungan dengan sektor pangan, hewani maupun nabati.
• Banyak permasalahan pangan dan pertanian di Indonesia yang masih sulit
atau setidaknya belum ditangani. Hal ini disebabkan karena pengetahuan
masyarakat yang minim akan pertanian serta kebanyakan profesi petani di
Indonesia masih dianggap belum sejahtera. Sehingga sedikit yang
berminat ke sektor pertanian, khususnya untuk mewujudkan riset dan
inovasi di bidang tersebut.
3. 2 Saran
Kami berharap agar kedepannya Indonesia dan masyaraktanya lebih
memperhatikan sektor pangan dan pertanian. Upaya riset dan inovasi sudah diupayakan,
tetapi proses eksekusinya masih belum menyeluruh di Indonesia. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca, khsusnya di bidang pangan dan pertanian. Menurut kami masih
banyak hal yang perlu diperbaiki dari makalah kami. Oleh karena itu, kami terbuka atas
saran dan kritik dari saudara.
Demikian yang dapat kami sampaikan, terimakasih.
19
DAFTAR PUSTAKA
20