Orientasi Muslim Moderat Terhadap Sosial Politik Di Indonesia
Orientasi Muslim Moderat Terhadap Sosial Politik Di Indonesia
Website : https://journal.walisongo.ac.id/
imamul@pens.ac.id 1, mullohaditiya23@gmail.com 2,
aziz.mochammad21@gmail.com 3
Abstract
Moderateism in Indonesia, in the context of orientation, is about how to view,
and determine the attitude of Muslims in Indonesia to pluralism and diversity
in Indonesia. In social and democratic politics, the application of a moderate
attitude is one of the foundations for a peaceful and peaceful social life. This
is crucial because Islam itself is rahmatan lil 'alamin, Islam as a bringer of peace
in the midst of pluralism and diversity. In essence, the moderate attitude
embodies the essence of religion, which aims to protect human dignity and
build the public benefit, based on the principles of justice, balance, and
obeying the constitution as a national agreement.
This scientific article was written based on literature study and observation
using analytical techniques in the form of descriptive argumentative. We as
writers also describe solutions and what moderate Muslims should do to social
and political life in Indonesia which is diverse and diverse.
---
Moderatisme di Indonesia dalam konteks orientasi, adalah tentang bagaimana
cara pandang, dan penentuan sikap umat Muslim di Indonesia terhadap
kemajemukan dan keberagaman di Indonesia. Dalam bersosial dan berpolitik
demokratis, penerapan sikap moderat menjadi salah satu pondasi
berlangsungnya kehidupan sosial bermasyarakat yang damai dan tentram. Hal
ini menjadi krusial karena Islam itu sendiri adalah rahmatan lil ‘alamin, Islam
sebagai pembawa kedamaian di tengah kemajemukan dan keberagaman. Pada
hakikatnya sikap moderat itu mengejewantahkan esensi-esensi beragama, yang
bertujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun
kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati
konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Artikel ilmiah ini ditulis berdasarkan study literatur dan observasi
menggunakan teknik analisis berupa deskriptif argumentatif. Kami sebagai
penulis juga memaparkan solusi dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh
muslim moderat terhadap kehidupan bersosial politik di Indonesia yang
majemuk dan beragam.
Keywords : Moderateism orientation; Muslim moderat; Rahmatan lil ‘alamin;
sosial keagamaan; sosial politik.
Pendahuluan
َ علَ ْي ُك َْم
)١٤٣( ش ِهيدا َُ سو
َ ل ُ الر َ ِ َّعلَى الن
َّ ََاس َو َي ُكون َ ش َهدَا ََء َ َو َكذَلِكََ َج َع ْلنَا ُك َْم أ ُ َّمةَ َو
ُ َسطا ِلت َ ُكونُوا
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umant Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqoroh: 143). Dalam ayat tersebut
terdapat istilah ummatan wasathan yang merupakan umat yang
bersikap, berpemikiran, serta berperilaku adil, moderat, dan
proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan
kemanusiaan, sejarah dan masa depan, logika rasional dan wahyu,
individu dan kelompok, realistis dan idealis, serta orientasi duniawi dan
akhirat.
Dalam konteks “Orientasi Muslim Moderat Terhadap Sosial
Politik Indonesia”, orientasi bermakna peninjauan untuk menentukan
sikap (arah, tempat dan sebagainya) yang tepat dan benar serta
pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.
Cara pandang muslim moderat terhadap bersosial masyarakat
Indonesia menghasilkan modernis yang berlanjut, perkembangan
intelektual yang progresif, keterbukaan dengan perbedaan pendapat,
sehingga ajarannya yang cocok dan mudah diterima oleh masyarakat
Indonesia. Sebelumnya cara pandang ini bertujuan untuk menghalau
pemahaman radikalis intoleran, yang menyebarkan agama Islam dengan
cara ekstrimis, tetapi pemikiran ini juga tidak berhaluan ke liberal.
Bicara moderatisme Islam di Indonesia, tidak lupa dari
perspektif historisnya. Dimana penyebaran Islam dilakukan secara
halus antara lain dengan masuk ke perdagangan, pendidikan,
kebudayaan, bersosial, hingga politik. Dan sejak lama Islam di
Indonesia rukun berdampingan dalam konteks kebhinekaan. Dalam
penyebaran Islam aspek politik masa lampau memiliki dampak positif,
tetapi banyak juga dampak negatifnya. Dalam hal ini kami membahas
dampak negative apabila Islam tidak digunakan secara dalam berpolitik.
Kami mengambil contoh pada pemilu 2019, agama digunakan
sebagai politik identitas untuk propaganda dan eksploitasi identitas. Hal
ini dipakai politisi buat menarasikan bahwa pemerintah memarginalkan
gerombolan muslim. Jika digunakan politik ciri-ciri kepercayaan yang
memperhatikan semangat golongan serta partai ketimbang semangat
persatuan mengakibatkan polarisasi yang meluas pada kalangan rakyat
ataupun para elite politik. rakyat Indonesia wajib mulai mampu berpikir
rasional dan kritis, terutama dengan isu-info politik dan kepercayaan
yang cenderung dimanipulasi. Penggunaan politik identitas yang tidak
bijak, menyebabkan perpecahan bangsa Indonesia bahkan sesama umat
Islam dalam hal bersosial politik.
Ibnu Rusyd pernah berkata bahwa, jika ingin menguasai orang
bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama. Perkataan Ibnu
Rusyd sangat menampar akan realita yang terjadi sekarang, ketika agama
dijadikan alat untuk kepentingan suatu kelompok. Bahkan tidak hanya
Islam saja yang pernah kita temui di Indonesia, yang digunakan untuk
menarik masa untuk kepentingan politik dan kekuasaaan semata. Pada
perang dunia II, partai politik NAZI yang dipimpin oleh Hitler juga
menarasikan keagamaan kristiani untuk membasmi dan genosida kaum
Yahudi peristiwa ini disebut dengan Holocaust. Bahkan kejadian ini
juga tertulis dalam buku Marthin Luther.
Dalam sudut pandang Muslim moderat, semangat
bersosialpolitik seharusnya menjadikan semangat persatuan dan
internalisasi budaya damai, bukan perpecahan SARA, dan bukan
pengkotak-kotakan golangan islam karena perbedaan pandangan
politik. Dalam hal bersosial Muslim moderat keras menyuarakan hidup
dan beraktivitas untuk dan di tengah-tengah masyarakatnya,
mengupayakan perubahan dari bawah (from below), dan menolak
ekstrimisme keberagamaan, kekerasan, dan terorisme.
Dalam negara yang religius dan juga majemuk, Muslim
moderat berperan dalam menjaga keseimbangan antara beragama
dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Karenanya, kalau mau dirumuskan, moderat beragama itu adalah cara
pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama,
dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi
martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai
kesepakatan berbangsa.
Dalam negara yang religius dan juga majemuk, Muslim
moderat berperan dalam menjaga keseimbangan antara beragama
dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Karenanya, kalau mau dirumuskan, moderat beragama itu adalah cara
pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama,
dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi
martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai
kesepakatan berbangsa.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
studi literatur dan observasi. Jenis referensi utama yang digunakan
dalam studi literatur adalah buku, jurnal dan artikel ilmiah. Data
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis dan menjelaskan
masalah dalam sebuah pembahasan. Teknik analisis berupa deskriptif
argumentatif.
Pembahasan
Pengertian Moderatisme Islam di Indonesia
Islam pada dasarnya adalah moderat (wathiyah) secara
etimologis berarti berada ditengah antara dua ekstrim kiri dan kanan.
Didalam sebuah hadits dijelaskan bahwa maksud kata wasath adalah
adil.
Secara bahasa al-wasathiyah berasal dari kata wasath yang
memiliki makna berkisar pada adil, baik, tengah dan seimbang.
Seseorang yang adil akan berada ditengah dan menjaga keseimbangan
dalam menghadapi dua keadaan. Kata ini juga mengandung makna baik
seperti ungkapan “sebaik-baik urusan adalah awsathuha (yang
pertengahan).
Ulama mengartikan kata wasthiyah secara istilah dengan
berbagai macam makna, Muhammad Al-Hibr Yusuf mendefinisikan
wasthiyah sebagai “pendekatan yang otentik dan sifat yang indah serta
pemahaman menyelurh atas arti adil, baik, konsisten. Ia adalah perkara
hak (kebenaran) yang berada diantar dua perkara batil dan ditengah
antara dua ekstrim dan adil antara dua kezaliman.
Dr.Yusuf Qardhawi menandai beberapa karakter dan perilaku
wasathiyah sebagai berikut:
1. Saling tolong menolong antara golongan Islam dalam hal yang
disepakati, dan toleran pada masalah khilafiyah.
2. Mengutamakan inti dari bentuk, esoteris (batin) dari Eksoteris
(tampilan lahir) perbuatan hati sebelum perilaku fisik.
3. Mendakwahi umat dengan hikmah (bijaksana) dan berdialog
dengan yang lain (nonmuslim) secara baik.
4. Kombinasikan antara kasih sayang pada sesama muslim dan
tasamuh pada nonmuslim.
5. Mendahulukan pada pembangunan bukan penghancuran, pada
persatuan bukan perpecahan, pada pendekatan bukan
menjauhi.
6. Mengombinasikan antara ilmu dan iman, antara kreatifitas
materi dan keluhuran jiwa, antara kekuatan ekonomi dan
kekuatan karakter.
7. Tepat berada di tengah antara ketetapan syariah dan perubahan
zaman.
8. Konsisten dalam pokok dan dasar, memudahkan dalam
furuiyah dan detail.
9. Tegas dan jelas dalam tujuan, lembut dalam cara.
10. Pemahaman komprehensif pada Islam dengan sifatnya : akidah
dan syariah, dunia dan akhirat, dakwah dan negara.
Dari yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi tentang kriteria
wasthiyah diatas ditujukan pada dua kalangan yakni kalangan awam dan
kalangan ulama. Untuk kalangan awam dapat ditarik kesimpulan yakni
untuk menghargai adanya perbedaan baik dalam hal aqidah maupun
madzhab, menganggapnya memiliki kebenaran. Pada dasarnya hal itu
tak perlu didebatkan karena dapat menicu akan terjadinya konflik.
Sedangkan untuk kalangan ulama, penceramah hendaknya menjadi
pendingin situasi yang panas dan menjadi pemersatu umat. Bukan
sebagai provokator yang membuat situasi tambah panas bahkan
menjadi penyebab konflik itu sendiri.
Arti Islam Wasathiyah
Ajaran islam yang mengarahkan umatnya agar
adil,seimbang,bermaslahat dan proporsional,atau sering disebut dengan
kata ‘MODERAT’dalam semua dimensi kehidupan.
Ciri- Ciri Islam Wasathiyah
Ciri dari Islam Wasathiyah yaitu pertengahan atau moderasi,
menghindari segala bentuk kekerasan dan sekaligus merujuk memiliki
sikap adil. maka umat Islam mampu menjalankan agamanya secara
wasathiyah.
Pembahasan Tentang Islam Wasathiyah
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di
tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya
sebanding.
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di
antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga
bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem
(tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa
kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau َم ْرك ََُز
الدَّائ َِرَِة, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau
perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara
dua ujung.
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang
pertengahan”, artinya “dan “demikianlah Kami memberi hidayah
kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. Kami
memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami
memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil,
pilihan umat-umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith
dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam
melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam
melaksanakan kewajibannya.”
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni
dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13
riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan
hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa
disebut sebagai orang pilihan.
Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:
ََسلَّ ََم فِي قَ ْو ِل َِه َو َكذَالِك
َ علَ ْي َِه َو َ صلَّى
َ ُللا َ ِن النَّب
َ ِي َِ ع َ ن أَبِي
َ س ِع ْي ٍَد َْ ع
َ ،ٍصالِح َ ِن أَب
َ ي َْ ع
َ
َعد ُْول
ُ : ال َ ق ا ط س و ة
َ م
َ َ َّ ْ َ َ ُ أ َ
م ُ
ك َا نلْ عج .
Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan
demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasathan”. Beliau berkata:
(maknanya itu) adil.” Sesuai pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan
mengapa Allah lebih menentukan menggunakan istilah al-wasath
berasal pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya
terdapat dua sebab, yaitu:
Ke 1, Allah memakai istilah al-wasath sebab Allah akan
menjadikan umat Islam menjadi saksi atas (perbuatan) umat lain.
Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada pada tengah-tengah
agar dapat melihat berasal dua sisi secara berimbang (proporsional).
Lain halnya Bila ia hanya berada di satu sisi, maka ia tak bisa
memberikan penilaian dengan baik.
Ke 2, penggunaan istilah al-wasath ada indikasi yang
menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa
mereka sebagai yang terbaik, sebab mereka berada di tengah-tengah, tak
berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik pada hal akidah, ibadah,
maupun muamalah.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat
disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu:
sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath)
dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan
seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan”
yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni
keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan
atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah).
Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).
Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat)
dengan perubahan (taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya
keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi
watak dari Islam sebagai risalah abadi.
Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal
tersebut diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara
theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris (hablun min al-nas).
Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi
wasathiyah sebagai al-Shirath al-Mustaqim. Konsep jalan tengah
tersebut, tentu tidak sama dengan konsep the middle way atau the
middle path di bidang ekonomi konvensional.
Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai ajaran
Islam yang mendasar dan sekaligus menegakkan keseimbangan dalam
penciptaan dan kesatuan dari segala lingkaran kesadaran manusia.
Hal ini membawa pada pemahaman tentang adanya
korespondensi antara Pencipta dan ciptaan (al-‘Alaqah bain al-Khaliq
wa al-Makhluq), sekaligus analogi antara makrokosmos dan
mikrokosmos (al-Qiyas bain al-‘Alam al-Kabir wa al-’Alam al-Shaghir)
menuju satu spot, titik tengah (median position).
Menurut Hasyim Muzadi:
Penutup
Kesimpulan
Pluralisme di Indonesia adalah hal yang wajar, karena sejak
dahulu bangsa Indonesia sudah terdiri dari keberagaman ras, suku,
budaya, dan agama. Sikap moderatisme Islam sangat penting diterapkan
dalam kehidupan sosial masyarakat, sebab Indonesia adalah negara yang
masyarakatnya sangat majemuk, beragam tetapi juga religius. Meskipun
bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita sangat lekat
dengan kehidupan beragama. Nyaris tidak ada satu pun urusan sehari-
hari yang tidak berkaitan dengan agama. Itu mengapa, keamanan
beragama juga dijamin oleh konstitusi kita. Nah, tugas kita adalah
bagaimana menjaga keseimbangan antara beragama dengan komitmen
kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh muslim
moderat di Indonesia yang plural khususnya dalam hal bersosial poltik?
Yang pertama yaitu tidak menyusupi kepentingan politik di unsur
keagamaan seperti acara atau kegiatan, dan pendidikan keagamaan.
Kedua, tidak memaksakan suatu idealisme kepercayaan suatu golongan
ke golongan lain. Jika masing – masing golongan sudah punya dasar
idealismenya, maka tidak berhak memaksa terhadap idealisme golongan
tersebut. Ketiga, dalam hal jihad. Konsep Muslim moderat dirancang
untuk menghalau dan menghadapi radikalisme terorisme. Jadi Muslim
moderat berperan dalam menjaga lingkungan yang kondusif. Dalam hal
jihad, sebagai muslim moderat tidak mengguanakan cara terror, tetapi
menggunakan cara halus seperti karya tulis ilmiah sebagai media
dakwah, atau ceramah tanpa menyinggung golongan tertentu. Jadi cara
tersebut akan berdampak baik pada citra Islam di tengah maraknya aksi
terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam.
Lalu bagaimana Islam yang ekstrim atau melapaui batas? (1)
Memaksakan pendapatnya ke public dengan menggunakan kekerasan
atau terror atas nama jihad. (2) Melanggar nilai luhur dan harkat mulia
kemanusiaan, karena agama diturunkan untuk memuliakan dan
menjaga perdamaian antar manusia. (3) Melanggar hukum dan
kesepakatan bersama atas nama agama yang dimaksud untuk
kemashlahatan. (4) Mengancam keutuhan NKRI dan mengancam
ideologi Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Zamimah, Iffati. 2018. “Moderatisme Islam Dalam Konteks
Keindonesiaan” (Studi Penafsiran Islam Moderat M. Quraish
Shihab). Volume 1, Nomor 1, Juli 2018. Institut Ilmu Al Quran
(IIQ) Jakarta.
Sodikin, Ahmad & Ma’arif, Muhammad Anas. 2021. “Penerapan Nilai
Islam Moderat Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi”. Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama dan Keagamaan, 19(2), 2021, 187-203.
https://kemenag.go.id/read/kenapa-harus-moderasi-beragama-yko6k
Faqihudin, Ahmad. 2021. “Islam Moderat di Indonesia”. Al-Risalah :
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol.12, No. 1, 2021.
Universitas Islam As-Syafi’iyah.
Fadhil Anam, Haikal. 2019. “Politik Identitas Islam dan Pengaruhnya
Terhadap Demokrasi di Indoneisa”. POLITEA Jurnal Pemikiran
Politik Islam, Vol. 2, No. 2, 2019. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Miftahuddin. 2010. “Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam
Perspektif Historis”. MOZAIK, Vol. 5, No. 1, Januari 2010.
Puadi, Hairul. 2014. “Muslim Moderat Dalam Konteks Sosial Politik
Di Indonesia”. Jurnal Pustaka, Juli-Desember 2014. STAI
Al_Qolam Gondanglegi Malang.
Mubarok, Husni. 2018. “Demokrasi, Politik Identitas, dan Kohesi
Sosial: Peluang dan Tantangan Strategi Dakwah untuk
Menghalau Provokasi Politik di Indonesia”. Jurnal Bimas Islam,
Vol. 111, No. 11, 2018. Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Paramadina, Jakarta.
Atmari. 2019. “Jalan Keluar Dari Poltik Identitas Indonesia”.