Anda di halaman 1dari 21

Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan

Website : https://journal.walisongo.ac.id/

ORIENTASI MUSLIM MODERAT TERHADAP


SOSIAL POLITIK DI INDONESIA
IMAMUL ARIFIN S.Sy, M.HI 1, MULLOH MUHAMMAD ADITIYA 2,
MOCHAMMAD ABDUL AZIZ 3

imamul@pens.ac.id 1, mullohaditiya23@gmail.com 2,
aziz.mochammad21@gmail.com 3

Politeknik Elektronika Negeri Surabaya

Abstract
Moderateism in Indonesia, in the context of orientation, is about how to view,
and determine the attitude of Muslims in Indonesia to pluralism and diversity
in Indonesia. In social and democratic politics, the application of a moderate
attitude is one of the foundations for a peaceful and peaceful social life. This
is crucial because Islam itself is rahmatan lil 'alamin, Islam as a bringer of peace
in the midst of pluralism and diversity. In essence, the moderate attitude
embodies the essence of religion, which aims to protect human dignity and
build the public benefit, based on the principles of justice, balance, and
obeying the constitution as a national agreement.
This scientific article was written based on literature study and observation
using analytical techniques in the form of descriptive argumentative. We as
writers also describe solutions and what moderate Muslims should do to social
and political life in Indonesia which is diverse and diverse.
---
Moderatisme di Indonesia dalam konteks orientasi, adalah tentang bagaimana
cara pandang, dan penentuan sikap umat Muslim di Indonesia terhadap
kemajemukan dan keberagaman di Indonesia. Dalam bersosial dan berpolitik
demokratis, penerapan sikap moderat menjadi salah satu pondasi
berlangsungnya kehidupan sosial bermasyarakat yang damai dan tentram. Hal
ini menjadi krusial karena Islam itu sendiri adalah rahmatan lil ‘alamin, Islam
sebagai pembawa kedamaian di tengah kemajemukan dan keberagaman. Pada
hakikatnya sikap moderat itu mengejewantahkan esensi-esensi beragama, yang
bertujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun
kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati
konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Artikel ilmiah ini ditulis berdasarkan study literatur dan observasi
menggunakan teknik analisis berupa deskriptif argumentatif. Kami sebagai
penulis juga memaparkan solusi dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh
muslim moderat terhadap kehidupan bersosial politik di Indonesia yang
majemuk dan beragam.
Keywords : Moderateism orientation; Muslim moderat; Rahmatan lil ‘alamin;
sosial keagamaan; sosial politik.

Pendahuluan
َ ‫علَ ْي ُك َْم‬
)١٤٣( ‫ش ِهيدا‬ َُ ‫سو‬
َ ‫ل‬ ُ ‫الر‬ َ ِ َّ‫علَى الن‬
َّ ََ‫اس َو َي ُكون‬ َ ‫ش َهدَا ََء‬ َ ‫َو َكذَلِكََ َج َع ْلنَا ُك َْم أ ُ َّمةَ َو‬
ُ َ‫سطا ِلت َ ُكونُوا‬
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umant Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqoroh: 143). Dalam ayat tersebut
terdapat istilah ummatan wasathan yang merupakan umat yang
bersikap, berpemikiran, serta berperilaku adil, moderat, dan
proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan
kemanusiaan, sejarah dan masa depan, logika rasional dan wahyu,
individu dan kelompok, realistis dan idealis, serta orientasi duniawi dan
akhirat.
Dalam konteks “Orientasi Muslim Moderat Terhadap Sosial
Politik Indonesia”, orientasi bermakna peninjauan untuk menentukan
sikap (arah, tempat dan sebagainya) yang tepat dan benar serta
pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.
Cara pandang muslim moderat terhadap bersosial masyarakat
Indonesia menghasilkan modernis yang berlanjut, perkembangan
intelektual yang progresif, keterbukaan dengan perbedaan pendapat,
sehingga ajarannya yang cocok dan mudah diterima oleh masyarakat
Indonesia. Sebelumnya cara pandang ini bertujuan untuk menghalau
pemahaman radikalis intoleran, yang menyebarkan agama Islam dengan
cara ekstrimis, tetapi pemikiran ini juga tidak berhaluan ke liberal.
Bicara moderatisme Islam di Indonesia, tidak lupa dari
perspektif historisnya. Dimana penyebaran Islam dilakukan secara
halus antara lain dengan masuk ke perdagangan, pendidikan,
kebudayaan, bersosial, hingga politik. Dan sejak lama Islam di
Indonesia rukun berdampingan dalam konteks kebhinekaan. Dalam
penyebaran Islam aspek politik masa lampau memiliki dampak positif,
tetapi banyak juga dampak negatifnya. Dalam hal ini kami membahas
dampak negative apabila Islam tidak digunakan secara dalam berpolitik.
Kami mengambil contoh pada pemilu 2019, agama digunakan
sebagai politik identitas untuk propaganda dan eksploitasi identitas. Hal
ini dipakai politisi buat menarasikan bahwa pemerintah memarginalkan
gerombolan muslim. Jika digunakan politik ciri-ciri kepercayaan yang
memperhatikan semangat golongan serta partai ketimbang semangat
persatuan mengakibatkan polarisasi yang meluas pada kalangan rakyat
ataupun para elite politik. rakyat Indonesia wajib mulai mampu berpikir
rasional dan kritis, terutama dengan isu-info politik dan kepercayaan
yang cenderung dimanipulasi. Penggunaan politik identitas yang tidak
bijak, menyebabkan perpecahan bangsa Indonesia bahkan sesama umat
Islam dalam hal bersosial politik.
Ibnu Rusyd pernah berkata bahwa, jika ingin menguasai orang
bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama. Perkataan Ibnu
Rusyd sangat menampar akan realita yang terjadi sekarang, ketika agama
dijadikan alat untuk kepentingan suatu kelompok. Bahkan tidak hanya
Islam saja yang pernah kita temui di Indonesia, yang digunakan untuk
menarik masa untuk kepentingan politik dan kekuasaaan semata. Pada
perang dunia II, partai politik NAZI yang dipimpin oleh Hitler juga
menarasikan keagamaan kristiani untuk membasmi dan genosida kaum
Yahudi peristiwa ini disebut dengan Holocaust. Bahkan kejadian ini
juga tertulis dalam buku Marthin Luther.
Dalam sudut pandang Muslim moderat, semangat
bersosialpolitik seharusnya menjadikan semangat persatuan dan
internalisasi budaya damai, bukan perpecahan SARA, dan bukan
pengkotak-kotakan golangan islam karena perbedaan pandangan
politik. Dalam hal bersosial Muslim moderat keras menyuarakan hidup
dan beraktivitas untuk dan di tengah-tengah masyarakatnya,
mengupayakan perubahan dari bawah (from below), dan menolak
ekstrimisme keberagamaan, kekerasan, dan terorisme.
Dalam negara yang religius dan juga majemuk, Muslim
moderat berperan dalam menjaga keseimbangan antara beragama
dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Karenanya, kalau mau dirumuskan, moderat beragama itu adalah cara
pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama,
dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi
martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai
kesepakatan berbangsa.
Dalam negara yang religius dan juga majemuk, Muslim
moderat berperan dalam menjaga keseimbangan antara beragama
dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Karenanya, kalau mau dirumuskan, moderat beragama itu adalah cara
pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama,
dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi
martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai
kesepakatan berbangsa.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
studi literatur dan observasi. Jenis referensi utama yang digunakan
dalam studi literatur adalah buku, jurnal dan artikel ilmiah. Data
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis dan menjelaskan
masalah dalam sebuah pembahasan. Teknik analisis berupa deskriptif
argumentatif.

Pembahasan
Pengertian Moderatisme Islam di Indonesia
Islam pada dasarnya adalah moderat (wathiyah) secara
etimologis berarti berada ditengah antara dua ekstrim kiri dan kanan.
Didalam sebuah hadits dijelaskan bahwa maksud kata wasath adalah
adil.
Secara bahasa al-wasathiyah berasal dari kata wasath yang
memiliki makna berkisar pada adil, baik, tengah dan seimbang.
Seseorang yang adil akan berada ditengah dan menjaga keseimbangan
dalam menghadapi dua keadaan. Kata ini juga mengandung makna baik
seperti ungkapan “sebaik-baik urusan adalah awsathuha (yang
pertengahan).
Ulama mengartikan kata wasthiyah secara istilah dengan
berbagai macam makna, Muhammad Al-Hibr Yusuf mendefinisikan
wasthiyah sebagai “pendekatan yang otentik dan sifat yang indah serta
pemahaman menyelurh atas arti adil, baik, konsisten. Ia adalah perkara
hak (kebenaran) yang berada diantar dua perkara batil dan ditengah
antara dua ekstrim dan adil antara dua kezaliman.
Dr.Yusuf Qardhawi menandai beberapa karakter dan perilaku
wasathiyah sebagai berikut:
1. Saling tolong menolong antara golongan Islam dalam hal yang
disepakati, dan toleran pada masalah khilafiyah.
2. Mengutamakan inti dari bentuk, esoteris (batin) dari Eksoteris
(tampilan lahir) perbuatan hati sebelum perilaku fisik.
3. Mendakwahi umat dengan hikmah (bijaksana) dan berdialog
dengan yang lain (nonmuslim) secara baik.
4. Kombinasikan antara kasih sayang pada sesama muslim dan
tasamuh pada nonmuslim.
5. Mendahulukan pada pembangunan bukan penghancuran, pada
persatuan bukan perpecahan, pada pendekatan bukan
menjauhi.
6. Mengombinasikan antara ilmu dan iman, antara kreatifitas
materi dan keluhuran jiwa, antara kekuatan ekonomi dan
kekuatan karakter.
7. Tepat berada di tengah antara ketetapan syariah dan perubahan
zaman.
8. Konsisten dalam pokok dan dasar, memudahkan dalam
furuiyah dan detail.
9. Tegas dan jelas dalam tujuan, lembut dalam cara.
10. Pemahaman komprehensif pada Islam dengan sifatnya : akidah
dan syariah, dunia dan akhirat, dakwah dan negara.
Dari yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi tentang kriteria
wasthiyah diatas ditujukan pada dua kalangan yakni kalangan awam dan
kalangan ulama. Untuk kalangan awam dapat ditarik kesimpulan yakni
untuk menghargai adanya perbedaan baik dalam hal aqidah maupun
madzhab, menganggapnya memiliki kebenaran. Pada dasarnya hal itu
tak perlu didebatkan karena dapat menicu akan terjadinya konflik.
Sedangkan untuk kalangan ulama, penceramah hendaknya menjadi
pendingin situasi yang panas dan menjadi pemersatu umat. Bukan
sebagai provokator yang membuat situasi tambah panas bahkan
menjadi penyebab konflik itu sendiri.
Arti Islam Wasathiyah
Ajaran islam yang mengarahkan umatnya agar
adil,seimbang,bermaslahat dan proporsional,atau sering disebut dengan
kata ‘MODERAT’dalam semua dimensi kehidupan.
Ciri- Ciri Islam Wasathiyah
Ciri dari Islam Wasathiyah yaitu pertengahan atau moderasi,
menghindari segala bentuk kekerasan dan sekaligus merujuk memiliki
sikap adil. maka umat Islam mampu menjalankan agamanya secara
wasathiyah.
Pembahasan Tentang Islam Wasathiyah
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di
tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya
sebanding.
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di
antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga
bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem
(tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa
kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau ‫َم ْرك ََُز‬
‫الدَّائ َِرَِة‬, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau
perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara
dua ujung.
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang
pertengahan”, artinya “dan “demikianlah Kami memberi hidayah
kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. Kami
memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami
memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil,
pilihan umat-umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith
dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam
melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam
melaksanakan kewajibannya.”
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni
dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13
riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan
hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa
disebut sebagai orang pilihan.
Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:
ََ‫سلَّ ََم فِي قَ ْو ِل َِه َو َكذَالِك‬
َ ‫علَ ْي َِه َو‬ َ ‫صلَّى‬
َ ُ‫للا‬ َ ِ‫ن النَّب‬
َ ِ‫ي‬ َِ ‫ع‬ َ ‫ن أَبِي‬
َ ‫س ِع ْي ٍَد‬ َْ ‫ع‬
َ ،ٍ‫صالِح‬ َ ِ‫ن أَب‬
َ ‫ي‬ َْ ‫ع‬
َ
َ‫عد ُْول‬
ُ : ‫ال‬ َ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫ط‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ة‬
َ ‫م‬
َ َ َّ ْ َ َ ُ ‫أ‬ َ
‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫ل‬ْ ‫ع‬‫ج‬ .
Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan
demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasathan”. Beliau berkata:
(maknanya itu) adil.” Sesuai pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan
mengapa Allah lebih menentukan menggunakan istilah al-wasath
berasal pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya
terdapat dua sebab, yaitu:
Ke 1, Allah memakai istilah al-wasath sebab Allah akan
menjadikan umat Islam menjadi saksi atas (perbuatan) umat lain.
Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada pada tengah-tengah
agar dapat melihat berasal dua sisi secara berimbang (proporsional).
Lain halnya Bila ia hanya berada di satu sisi, maka ia tak bisa
memberikan penilaian dengan baik.
Ke 2, penggunaan istilah al-wasath ada indikasi yang
menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa
mereka sebagai yang terbaik, sebab mereka berada di tengah-tengah, tak
berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik pada hal akidah, ibadah,
maupun muamalah.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat
disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu:
sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath)
dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan
seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan”
yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni
keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan
atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah).
Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).
Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat)
dengan perubahan (taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya
keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi
watak dari Islam sebagai risalah abadi.
Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal
tersebut diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara
theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris (hablun min al-nas).
Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi
wasathiyah sebagai al-Shirath al-Mustaqim. Konsep jalan tengah
tersebut, tentu tidak sama dengan konsep the middle way atau the
middle path di bidang ekonomi konvensional.
Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai ajaran
Islam yang mendasar dan sekaligus menegakkan keseimbangan dalam
penciptaan dan kesatuan dari segala lingkaran kesadaran manusia.
Hal ini membawa pada pemahaman tentang adanya
korespondensi antara Pencipta dan ciptaan (al-‘Alaqah bain al-Khaliq
wa al-Makhluq), sekaligus analogi antara makrokosmos dan
mikrokosmos (al-Qiyas bain al-‘Alam al-Kabir wa al-’Alam al-Shaghir)
menuju satu spot, titik tengah (median position).
Menurut Hasyim Muzadi:

َ َّ ‫ن َبيْنََ ْال َع ِق ْيدََِة َوالت‬


َِ ‫سا ُم‬
‫ح‬ ُ ‫ِي اَلتَّ َو‬
َُ ‫از‬ َ ‫ْال َو‬
ََ ‫سطِ يَّ َةُ ه‬
Artinya: “Wasathiyah adalah keseimbangan antara keyakinan
(yang kokoh) dengan toleransi”.
kondisi untuk merealisasikan perilaku wasathiyah yang baik
tentu memerlukan akidah serta toleransi, sedangkan untuk bisa
merealisasikan akidah serta toleransi yang baik memerlukan sikap yang
wasathiyah. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, pemaknaan
wasathiyah bisa dipadukan bahwa; keseimbangan antara keyakinan yang
kokoh dengan toleransi yang di dalamnya ada nilai-nilai Islam yang
dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan serta tidak
hiperbola dalam hal tertentu.
Keseimbangan tersebut bisa terlihat dengan kemampuan
mensinergikan antara dimensi spiritualitas dengan material,
individualitas dengan kolektivitas, tekstual dengan kontekstual,
konsistensi dengan perubahan dan meletakkan amal di dalam prinsip-
prinsip keseimbangan antara theocentris dan anthropocentris, adanya
korespondensi antara pencipta dan ciptaan sekaligus analogi antara
makrokosmos dan mikrokosmos menuju satu spot yaitu median
position. Keseimbangan yang mengantarkan pada al-Shirath al-
Mustaqim tersebut yang nantinya akan melahirkan umat yang adil,
berilmu, terpilih, memiliki kesempurnaan agama, berakhlak mulia,
berbudi pekerti yang lembut serta beramal shaleh
Salah satu ciri dari Islam adalah wasathiyah. Kata wasathiyah
memiliki beberapa makna, yakni menurut bahasa Indonesia artinya
adalah moderasi. Menurut Afifuddin Muhadjir, makna wasathiyah
sebetulnya lebih luas dari pada moderasi.
Wasathiyah bisa berarti realistis (Islam Wasathiyah yaitu Islam
yang berada di antara realitas dan idealitas). Yakni, Islam memiliki cita-
cita yang tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat di dunia dan
akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di hadapkan pada
realitas, maka bersedia untuk turun ke bawah.
Wasathiyah yang disebut dalam QS: al-Baqarah 143 dapat juga
diartikan jalan di antara ini dan itu. Dapat juga dikontekstualisasikan
Islam Wasathiyah adalah tidak liberal dan tidak radikal. Dapat diartikan
pula, Islam antara jasmani dan ruhani.
Dalam kitab-kitab fiqih, seorang presiden itu harus mendalam
terkait hal agama, mujtahid dan dipilih secara demokratis. Bagaimana
ketika yang menjadi presiden justru kebalikannya? Apakah kita harus
memberontak?
Tentu tidak, karena memang realitanya seperti demikian.
Kitab-kitab fiqih menyatakan, para hakim harus seorang mujtahid dan
memiliki kemampuan untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya.
Keputusan hakim adalah kepastian dan keadilan. Tapi apabila
kebalikannya, yakni tidak terlaksana sebagaimana aturannya. Apakah
kita harus memberontak? Tentu tidak, karena memang realitanya
seperti demikian. Meskipun kita harus tetap mengingatkannya, tapi cara
yang ditempuh harus baik.
Al-wasathiyah disebutkan dalam QS: al-Baqarah: 143 dan QS:
al-Nisā’: 171.
‫ى‬
َ‫س‬ َ ‫ح عِي‬ َُ ‫ق إِنَّ َما ْال َمسِي‬
ََّ ‫ل ْال َح‬
َ َّ ِ‫ّللا إ‬
ََِّ ‫علَى‬ َ ‫ل تَقُولُوا‬ َ َ ‫ل ت َ ْغلُوا فِي َِدينِ ُك َْم َو‬ ََ ‫ب‬َِ ‫ل ْال ِكتَا‬
ََ ‫يَا أَ ْه‬
‫ل تَقُولُوا‬ َ َ ‫س ِل َِه َو‬ ََِّ ِ‫ّللا َو َك ِل َمت ُ َهُ أ َ ْلقَاهَا إِلَى َم ْريَ ََم َو ُروحَ مِ ْن َهُ فَآَمِ نُوا ب‬
ُ ‫اّلل َو ُر‬ ََِّ ‫ل‬ َُ ‫سو‬ ُ ‫ن َم ْريَ ََم َر‬ َُ ‫ا ْب‬
‫ت َو َما‬
َِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ن َي ُكونََ لَ َهُ َولَدَ لَ َهُ َما فِي ال‬ َْ َ ‫س ْب َحانَ َهُ أ‬
ُ َ‫ّللاُ ِإلَ َه َواحِ د‬
ََّ ‫ث َ ََلثَةَ ا ْنت َ ُهوا َخيْرا لَ ُك َْم ِإنَّ َما‬
ََّ ِ‫ض َو َكفَى ب‬
َ‫اّللِ َوكِيَل‬ َ ْ
َ ِ ‫فِي اْل ْر‬
Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas
dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu,
adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan
janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari
ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah Tuhan
Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di
langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai
Pemelihara

َ ‫َخيْر ْاْل ُ ُمور أ َ ْو‬


َ‫ساط َها‬
Artinya: “Sebaik-baiknya perkara itu yang pertengahan”.
Realiasasi wasathiyah dalam ajaran Islam secara garis besar
dibagi tiga: akidah, akhlak dan syariat (dalam pengertian sempit). Ajaran
akidah berarti terkait konsep ketuhanan dan keimanan. Akhlak berarti
terkait penghiasan hati melalui sikap dan perilaku seseorang agar dapat
menjadi individu mulia. Sedangkan syariat dalam pengertian sempit,
berarti ketentuan-ketentuan praktis yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia (al-ahkam al-
‘amaliyah).
Salah satu segmen dalam syariat adalah fiqih. Syariat dari segi
sifatnya ada dua: tsabit dan mutaghayyirah. Syariat tsabit adalah syariat
yang tidak dapat berubah kapan pun dan di mana pun, sedangkan
syariat mutaghayyirah adalah syariat yang dapat berubah sehingga dapat
beradaptasi dengan waktu dan tempat.
Akidah, akhlak dan syariat tsabit tidak dapat dirubah.
Sedangkan syariat mutaghayyirah dapat berubah sesuai dengan tuntutan
zaman dan tempat. Wasathiyah masuk pada akidah, akhlak, syariat
tsabit dan mutaghayyirah.
Wasathiyah pada bidang akidah, seperti posisi Islam yang
berada di antara atheisme (tak percaya dewa) dan politisme (kelompok
yang percaya adanya banyak tuhan). Wasathiyah dalam bidang akhlak,
seperti posisi di antara khauf (pesimisme) yang hiperbola dan raja’
(optimisme) yang hiperbola.
Optimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang
gampang berbuat dosa, sehingga menganggap dirinya pasti
mendapatkan surga. Di antara ayat yang menjadi landasan adalah QS:
al-Baqarah: 173:
َ‫غفُورَ َرحِ يم‬ ََّ ‫ِإ‬
َََّ ‫ن‬
َ ‫ّللا‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sedangkan pesimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan
orang gampang putus asa. Di antara landasan ayat yang sering
digunakan adalah QS: al-A’raf: 99:
ََ ‫ل ْالقَ ْو َُم ْالخَاس ُِر‬
‫ون‬ َ َّ ‫ّللا ِإ‬ َُ ‫َل يَأْ َم‬
ََِّ ‫ن َم ْك ََر‬ ََِّ ‫أَفَأَمِ نُوا َم ْك ََر‬
َ َ َ‫ّللا ف‬
Artinya: “Apakah mereka tidak percaya ancaman Allah. Maka
tidak ada yang dapat merasa aman dari ancaman Allah, kecuali orang-
orang yang merugi.”
Di antara contoh orang yang pesimis adalah pembunuh
Sayyidina Hamzah dengan memutilasinya. Pada saat masuk Islam, ia
merasa pesimis akan kemungkinan mendapatkan ampunan Tuhan dari
perbuatan yang sudah dilakukannya tersebut. Kemudian turun QS: al-
Zumar: 53.
َ‫ّللا يَ ْغف ُِر‬
َََّ ‫ن‬ ََّ ِ‫ّللا إ‬ ُ َ‫علَى أ َ ْنفُ ِس ِه َْم ل تَ ْقن‬
َْ ِ‫طوا م‬
ََِّ ‫ن َر ْح َم َِة‬ َ ‫ِي الَّذِينََ أَس َْرفُوا‬ َْ ُ‫ق‬
ََ ‫ل يَا ِعبَاد‬
‫الرحِ ي َُم‬ َُ ُ‫وب َجمِ يعا ِإنَّ َهُ ه ََُو ْالغَف‬
َّ ‫ور‬ ََ ُ‫الذُّن‬.
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), wahai hambaku, orang-
orang yang sudah berlebihan atas diri mereka sendiri, janganlah kalian
putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengampuni
seluruh dosa-dosa. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha
Pengampun dan Penyayang.”
Wasathiyah dalam bidang syariat (khususnya ekonomi)
diindikasikan dalam QS: al-Furqan: 67, yakni tidak terlalu berlebihan
dan tidak terlalu pelit.
‫َوالَّذِينََ ِإذَا أ َ ْنفَقُوا لَ َْم يُس ِْرفُوا َولَ َْم َي ْقت ُ ُروا َوكَانََ َبيْنََ ذَلِكََ قَ َواما‬
Artinya: “dan orang-orang ketika menafkahkan, mereka tidak
berlebihan dan tidak pelit dan di antara keduanya adalah ketegakkan.”
Wasathiyah pada bidang manhaj berarti memakai nash al-
Qur’an dan hadis yang memiliki korelasi dengan tujuan-tujuan syariat
(maqashid al-syari’ah). Nash-nash dan tujuan-tujuan syariatnya
memiliki korelasi simbiosis mutualisme, yakni nash-nash yang bisa
dijelaskan melalui tujuan-tujuan syariat, sedangkan tujuan-tujuan syariat
lahir dari nash-nash Islam.
Tujuan-tujuan syariat merupakan hasil penelitian ulama zaman
dahulu, sedangkan yang menjadi objeknya adalah aturan-aturan yang
termaktub dalam nash-nash al-Qur’an dan hadis, berikut hikmah-
hikmah dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan utama syariat
adalah kemaslahatan dunia dan akhirat dengan mengindahkan kaidah
“menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan.”
Maksudnya ialah apabila seseorang hendak menafsirkan nash-
nash, maka wajib memerhatikan tujuan-tujuan syariatnya. Tentu
hukum yang lahir akan berbentuk tekstual dan kontekstual. Secara
kaidah, apabila dihadapkan pada mashlahah dan mafsadah, maka yang
didahulukan ialah yang mashlahah.
Tapi apabila dihadapkan pada mashlahah ghairu mahdlah
(kemaslahatan tidak murni) dan mafsadah ghairu mahdlah (kerusakan
tidak murni), maka pilihannya adalah yang terdapat mashlahah yang
lebih besar. Tujuan-tujuan syariat melahirkan dalil-dalil primer (َُ‫اْل َ ِدلَّة‬
ْ َ‫ )الق‬dan sekunder (‫)اْل َ ِدلَّ َةُ الف َْر ِعيَّة‬.
‫ط ِعيَّة‬
Tujuan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan, sebenarnya
sama seperti tujuan negara untuk mewujudkan kemaslahatannya. Setiap
negara yang sudah mampu mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat, maka sudah bisa disebut sebagai negara ideal dan negara
khilāfah.
Afifuddin menyetujui negara dalam bingkai khilafah yang
tidak seperti konsep yang diusung HTI. Khilafah yang disetujui adalah
menggunakan konsepnya al-Mawardi, dimana ia mengatakan;
ََ ‫ َولَ ْو‬، ‫س َِة الدُّ ْنيَا‬
‫ل‬ َ ‫ْن َو ِسيَا‬َِ ‫الدي‬
ِ ‫س َِة‬ َ ‫اإل َما َم َةُ َم ْوض ُْوعُةَ لِخِ ََلفَ َِة النُّب َُّوةَِ ف‬
َ ‫ي ِ حِ َرا‬ ِ
‫اس فوضى مهملين وهمجاَ مضيعين‬ َُ َّ‫الو َل َة ُ لَكَانََ الن‬
ُ .
Artinya: “kepemimpinan/khilafah adalah melanjutkan tugas
kenabian, yakni: menjaga agama dan politik dunia….”.
Setiap negara yang kondusif bagi umat Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya, serta pemerintahan menjamin
kesejahteraan dan kemakmuran, maka itu sudah cukup untuk menjadi
negara khilafah di masa kini.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, sudah cocok untuk
mewujudkan Islam itu sendiri. Karena dalam Pancasila terdapat cita-
cita negara yang menjamin kenegaraan yang adil dan sejahtera. Segala
nilai ketuhanan dan kemanusiaan, sudah termasuk dalam butir-butir
nilai Pancasila.
Ada beberapa hal yang sering ditanyakan terkait istilah Islam
Wasathiyah. Ada yang menkritisi pada padanan devariasinya, dan ada
yang mengkritisi substansi penggunaannya.
Terkait frasa, terdapat istilah yang identik dengan Islam
Wasathiyah, yaitu Wasathiyah al-Islam yang mencerminkan sebagai
ajaran yang seimbang.
Terkait substansi penggunaannya, sepintas akan menjadi suatu
persoalan terkait ungkapan yang termaktub di dalam nash al-Qur’an
yang sejatinya adalah Ummatan Wasathan sebagaimana diindikasikan
dalam QS: al-Baqarah: 143.
Sedangkan yang justru dijadikan misi perjuangan umat Islam
yang moderat adalah istilah Islam Wasathiyah?
Terkait hal ini, Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI
menyatakan bahwa untuk membentuk umat yang wasathan tentu
diperlukan adanya ajaran, sehingga membahas ajaran Islam Wasathiyah
dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu menjadi suatu
keniscayaan dan keharusan.
Selain mempersoalkan perihal tersebut, penggunaan istilah
Islam Wasathiyah dalam prosesnya juga tidak lepas dari suatu kritik
yang menyatakan bahwa penggunaan yang benar adalah Islam
Wasathiy, dimana kata “Islam” disifati dengan kata Wasathiy yang
dilengkapi dengan ya’ Nisbah.
Cholil Nafis menyatakan bahwa, penggunaan istilah tersebut
terjadi pembuangan kata muannats yang asal mulanya (taqdir) yaitu
‫سطِ يَّ َِة‬
َ ‫الو‬ َ ‫لي‬
َ ‫ط ِر ْيقَ َِة‬ َ ‫اإل ْسَلَ َُم‬
ََ ‫ع‬ ِ dimana artinya yaitu Islam yang mengikuti
jalan wasathiyah.
Di dalam al-Qur’an, kata ummat (‫ )أ ُ َّمة‬terulang sebanyak 51 kali
dan 11 kali dengan bentuk (‫)أ ُ َمم‬. Tetapi hanya satu frasa yang
disandarkan pada kata “wasathan”, yaitu terdapat di dalam QS: al-
Baqarah; 143.
QS: al-Baqarah: 143
‫علَ ْي ُك َْم‬
َ َ‫سو ُل‬
ُ ‫الر‬ َ ِ َّ‫علَى الن‬
َّ ََ‫اس َويَ ُكون‬ َ ‫َو َكذَلِكََ َج َع ْلنَا ُك َْم أ ُ َّمةَ َو‬
ُ ‫سطا ِلتَ ُكونُوا‬
َ َ‫ش َهدَا َء‬
‫ش ِهيدا‬
َ
Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian
(umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
perbuatan kalian.”
Apabila dicermati dengan teliti, kata wasathan ini terdapat di
tengah-tengah ayat al-Baqarah ayat ke 143 dan ayat tersebut juga
terletak di tengah-tengah Surat al-Baqarah yang seluruh ayatnya
berjumlah 286 ayat. Itu artinya, ditinjau dari segi penempatannya sudah
mengindikasikan makna tengah-tengah.
Karakter Islam Wasathiyah
Menurut Abudin Nata dalam Jurnal Al-Tahrir pendidikan
Islam moderat memiliki 10 nilai dasar yang menjadi indikatornya yakni:
1. Pendidikan damai, yang selalu menghormati hak asasi manusia
dan persaudaran antar ras, bangsa dan kelompok agama.
2. Pendidikan yang mengembangkan bakat kewirausahaan dan
kemitraan.
3. Pendidikan yang memperhatikan visi profetik Islam yaitu,
humanisasi, liberasi untuk berubahan sosial.
4. Pendidikan yang memuat ajaran toleransi dalam beragama.
5. Pendidikan yang mengajarkan paham Islam yang menjadi
mainstream Islam Indonesia yang moderat.
6. Pendidikan yang menyeimbangkan antara wawasan
intelektual, wawasan spiritual dan akhlak mulia dan
keterampilan.
7. Pendidikan yang menghasilkan ulama yang intelek dan intelek
yang ulama.
8. Pendidikan yang menjadi solusi bagi setiap masalah-masalah
pendidikan saat ini.
9. Pendidikan yang menekankan mutu pendidikan secara
komprehensif.
10. Pendidikan yang mampu meningkakan penguasaan atas
bahasa asing.
Sosial Politik Secara Umum
Tujuan pembelajaran politik yaitu agar masayarakat dapat
mengembangkan dan menentukan sikap, nilai, keyakinan, pendapat,
dan perilaku yang kondusif menjadi warga negara yang baik.
FUNGSI SOSIALISASI POLITIK :
Mencerdaskan Bangsa.
Fungsi mencerdaskan bangsa ialah membangun masyarakat
agar paham tentang konsep politik, pemerintahan dan cara
pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Manfaatnya adalah
menumbuhkan kesadaran dan pemahaman berpolitik bagi setiap warga
negara, dari orang dewasa hingga anak-anak sebagai penerus bangsa.
Memelihara Sistem Politik.
Fungsi system politik yaitu sebagai bahan orientasi terhadap
system politik yang telah lalu dan yang sedang dijalani. Penerapan
pemeliharaan system politik yang ada dalam suatu negara timbul akibat
bagaimana pemahaman dari social poltik di suatu daerah tertentu.
Sosialisasi politik sangatlah penting dalam masa modernisasi dan
globalisasi karena sistem politik biasanya disesuaikan dengan kemajuan
jaman. Modifikasi bahkan penciptaan system poltik baru yang lebih baik
bagi masa depan bangsa juga membutuhkan kesadaran dan pemahaman
politik yang baik.
JENIS SOSIAL POLITIK :
Pendidikan Politik.
Pendidikan politik adalah proses pembelajaran terhadap
interaksi pemerintahan dan masyarakat melalui perantara pemberi
materi dan penerima materi. Pentingnya pendidikan politik yaitu untuk
membangun kesadaran, pemahaman, pendapat, perilaku dan pola pikir
kritis dan rasional untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam bidang
politik demi terwujudnya negara yang lebih baik. Pendidikan politik
dilakukan dari usia dini dan akan terus berlanjut.
Indoktrinasi Politik.
Indoktrinasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk
menanamkan gagasan, sikap, pola pikir dan kepercayaan tertentu.
Indoktrinasi jauh dari slogan “mencerdaskan bangsa”, karena
pemerintah mengontrol pandangan politik masyarakatnya. Indoktrinasi
memaksa individu untuk mendukung orientasi politik tertentu,
mengikuti nilai-nilai politik tersebut, dan menghambat demokrasi.

Penerapan Moderatisme Islam Terhadap Sikap Toleransi dan


Politik Demokratis Indonesia
Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin,
mengatakan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas
muslim terbesar bisa menjadi contoh atau role model negara Islam
moderat, toleran, dan demokratis di dunia. Mengingat agama hadir
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kehidupan beragama umat Islam Indonesia dinilai bisa
menjadi contoh ideal bagi negara-negara-negara di dunia untuk
menghadirkan Islam yang moderat, toleran dan demokratis,” ungkap
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam acara Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS) IIEE 2017, di
Indonesia Convention Exhibition (ICE), Serpong, Tangerang Selatan,
Selasa (21/11).
Kondisi ini, kata Lukman dapat menarik minat puluhan pakar
keislaman dari luar negeri untuk melihat langsung dan mengkaji Islam
di Indonesia. Sehingga dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan pengetahuan dan studi keislaman di Indonesia.
“Semoga forum ini mampu memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan studi-studi keislaman dalam
rangka mengembangkan peradaban bangsa,” imbuh Lukman.
Di lokasi yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan
Islam Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin, menyebut
pendidikan Islam di Indonesia selama ini mengajarkan pada
pemahaman moderat, toleransi, dan demokrasi dalam mencapai tujuan
bangsa.
“Meningat saat ini marak gempuran gerakan radikalisme
global, sehingga kebutuhan pemahaman keagamaan yang moderat itu
menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan,” jelas Kamaruddin.
Beliau juga mengatakan bahwa, meski dengan mayoritas
penduduk Muslim, Indonesia tidak bisa menjadi negara ultra
konservatif seperti negara-negara Timur Tengah. Hal ini karena
pendidikan Islam di Indonesia yang berlandaskan pada pendidikan
Islam yang pancasialis, maka Islam di Indonesia menjadi agama yang
moderat, toleran, dan demokratis.
“Indonesia bisa saja menjadi negara ultra konservatif seperti
Arab Saudi, bisa saja menjadi negara sekuler seperti Turki, bisa menjadi
negara teokrasi seperti Iran, atau semi teokrasi seperti Pakistan. Tapi itu
tidak terjadi karena kita punya benteng lembaga pendidikan Islam yang
mengajarkan agama moderat,” ujar Kamaruddin.
Dunia global dapat mencontoh Indonesia dalam pendidikan
beragama, karena kondisi Islam di Indonesia yang moderat, toleran, dan
demokratis. Pendidikan islam di Indonesia telah berhasil menciptakan
kondisi sosial dan politik bangsa yang stabil. Oleh karena itu, sudah
tugas bagi seluruh warga Indonesia khususnya umat Islam Indonesia
untuk menjaga kondisi yang kondusif dalam hal bersosial politik.
Melalui, acara International Islamic Education Expo (IIEE)
2017 maka diharapkan pendidikan Islam di Indonesia dapat
terpublikaskkan ke kancah internasional. IIEE 2017 diadakan mulai
dari tanggal 21-24 November 2017 di ICE BSD Serpong, Tangerang
Selatan.
Rangkaian acara terserbut mulai dari seminar internasional
mengenai hubungan agama, identitas, dan kewarganegaraan, pameran
lembaga pendidikan Islam dari tingkat Madrasah Aliyah (MA) hingga
perguruan tinggal, dan perlombaan robotik tingkat madrasah, serta
kegiatan hiburan lainnya.
Dampak Politik Identitas Berbasis Agama
Dampak positif apabila keberpihakan system politik pada
nilai-nilai Bersama dalam konsesus masyarakat plural, selayaknya yang
ada di Indonesia sebagai negara majemuk. Seperti keberpihakan
terhadap kelompok Islam toleran, moderat, dan progresif pada
kontestasi Islamisme di ruang public. Hal ini juga bermanfaat terhadap
wajah umat Islam dalam menegakkan persatuan dan kesatuan
Indonesia.
Dampak negative apabila politik identitas digunakan untuk
strategi kontestasi politik semata untuk meraup suara mayoritas.
Dampak negative lainya yaitu timbulnya perpecahan karena adanya
polarisasi, contohnya antara Muslim dan non-Muslim, kadrun dan
china, cebong dan kampret; diskriminasi antar kelompok satu dengan
yang lain seperti dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas. Jika
hal ini dilakukan oleh umat Islam, maka akan timbul kerugian dan wajah
buruk terhadap umat Islam itu sendiri. Akibatnya akan muncul
anggapan Islam intoleran, bahkan Islamophobia sesama umat Islam.

Penutup
Kesimpulan
Pluralisme di Indonesia adalah hal yang wajar, karena sejak
dahulu bangsa Indonesia sudah terdiri dari keberagaman ras, suku,
budaya, dan agama. Sikap moderatisme Islam sangat penting diterapkan
dalam kehidupan sosial masyarakat, sebab Indonesia adalah negara yang
masyarakatnya sangat majemuk, beragam tetapi juga religius. Meskipun
bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita sangat lekat
dengan kehidupan beragama. Nyaris tidak ada satu pun urusan sehari-
hari yang tidak berkaitan dengan agama. Itu mengapa, keamanan
beragama juga dijamin oleh konstitusi kita. Nah, tugas kita adalah
bagaimana menjaga keseimbangan antara beragama dengan komitmen
kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh muslim
moderat di Indonesia yang plural khususnya dalam hal bersosial poltik?
Yang pertama yaitu tidak menyusupi kepentingan politik di unsur
keagamaan seperti acara atau kegiatan, dan pendidikan keagamaan.
Kedua, tidak memaksakan suatu idealisme kepercayaan suatu golongan
ke golongan lain. Jika masing – masing golongan sudah punya dasar
idealismenya, maka tidak berhak memaksa terhadap idealisme golongan
tersebut. Ketiga, dalam hal jihad. Konsep Muslim moderat dirancang
untuk menghalau dan menghadapi radikalisme terorisme. Jadi Muslim
moderat berperan dalam menjaga lingkungan yang kondusif. Dalam hal
jihad, sebagai muslim moderat tidak mengguanakan cara terror, tetapi
menggunakan cara halus seperti karya tulis ilmiah sebagai media
dakwah, atau ceramah tanpa menyinggung golongan tertentu. Jadi cara
tersebut akan berdampak baik pada citra Islam di tengah maraknya aksi
terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam.
Lalu bagaimana Islam yang ekstrim atau melapaui batas? (1)
Memaksakan pendapatnya ke public dengan menggunakan kekerasan
atau terror atas nama jihad. (2) Melanggar nilai luhur dan harkat mulia
kemanusiaan, karena agama diturunkan untuk memuliakan dan
menjaga perdamaian antar manusia. (3) Melanggar hukum dan
kesepakatan bersama atas nama agama yang dimaksud untuk
kemashlahatan. (4) Mengancam keutuhan NKRI dan mengancam
ideologi Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Zamimah, Iffati. 2018. “Moderatisme Islam Dalam Konteks
Keindonesiaan” (Studi Penafsiran Islam Moderat M. Quraish
Shihab). Volume 1, Nomor 1, Juli 2018. Institut Ilmu Al Quran
(IIQ) Jakarta.
Sodikin, Ahmad & Ma’arif, Muhammad Anas. 2021. “Penerapan Nilai
Islam Moderat Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di
Perguruan Tinggi”. Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama dan Keagamaan, 19(2), 2021, 187-203.
https://kemenag.go.id/read/kenapa-harus-moderasi-beragama-yko6k
Faqihudin, Ahmad. 2021. “Islam Moderat di Indonesia”. Al-Risalah :
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol.12, No. 1, 2021.
Universitas Islam As-Syafi’iyah.
Fadhil Anam, Haikal. 2019. “Politik Identitas Islam dan Pengaruhnya
Terhadap Demokrasi di Indoneisa”. POLITEA Jurnal Pemikiran
Politik Islam, Vol. 2, No. 2, 2019. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Miftahuddin. 2010. “Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam
Perspektif Historis”. MOZAIK, Vol. 5, No. 1, Januari 2010.
Puadi, Hairul. 2014. “Muslim Moderat Dalam Konteks Sosial Politik
Di Indonesia”. Jurnal Pustaka, Juli-Desember 2014. STAI
Al_Qolam Gondanglegi Malang.
Mubarok, Husni. 2018. “Demokrasi, Politik Identitas, dan Kohesi
Sosial: Peluang dan Tantangan Strategi Dakwah untuk
Menghalau Provokasi Politik di Indonesia”. Jurnal Bimas Islam,
Vol. 111, No. 11, 2018. Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Paramadina, Jakarta.
Atmari. 2019. “Jalan Keluar Dari Poltik Identitas Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai