Anda di halaman 1dari 3

REPUBLIKA.CO.

ID, JAKARTA--Sejak Rasulullah wafat banyak hadits yang


dipalsukan untuk kepentingan kelompok mencapai suatu tujuan. Untuk
mencegah hadist palsu itu tersebar luas, para ulama melakukan beberapa
upaya untuk membedakan antara hadist sahih dan hadist dha'if.

Syekh Manna Al-Qaththan dalam kitabnya Tarikh Tasyri (sejarah legislasi


hukum Islam) mengatakan umat Islam patut bangga atas upaya para ulama
pada zaman sahabat hingga masa dibukukannya As-Sunnah telah
meinventarisir hadist-hadist palsu. Apa jadinya jika mereka tak dibimbing
Allah SWT menjaga dari pemalsuan hadist.

"Maka umat kita berhak untuk bangga atas umat umat yang lain," katanya.

Menurutnya, langkah langkah terpenting yang mereka tempuh dalam


merealisasikan hal tersebut dapat dilihat dengan beberapa hal. Pertama
selektif dalam menerima sanad hadis.

Syekh Manna mengatakan setelah terjadinya fitnah dan munculnya berbagai


kelompok, para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin sangat selektif dalam
menukil hadits-hadits.

"Mereka tidak menerimanya kecuali yang mereka ketahui jalur-jalur dan para
perawinya, serta yakin akan ketsiqahan dan keadilan mereka," katanya.

Imam muslim telah meriwayatkan dalam mukaddimah "Shahih" nya dari Ibnu
Sirin yang berkata, "Ulama dahulu tidak pernah menanyakan tentang sanad,
akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata, "Sebutkanlah kepada kami
dari siapa kalian mengambil riwayat hadist," lalu melihat kepada Ahlussunnah
dan mengambil hadis-hadisnya, serta melihat kepada ahli bid'ah dan
meninggalkan hadist-hadistnya."
Imam Az-Zuhri mengatakan "Sanad merupakan bagian dari agama, jika tidak
ada sanad maka siapa saja akan mengatakan dalam agama ini sesuai
dengan apa yang ia inginkan."

Ibnu Al Mubarok mengatakan, "Perbedaan antara kita dan kaum ahli bid'ah
adalah Al-Qawaim (penyangga) yaitu sanad. "Maka dari itu, para tabiin kerap
bepergian untuk mencari hadits. Bahkan para Junior sahabat pun bepergian
dari negara ke negeri untuk mendengarkan hadits-hadits yang Shahih dan
dari para perawi yang 'tsiqah'.

Sa'id bin Al-Musayyab mengatakan, "Sungguh saya melakukan perjalanan


beberapa hari dan beberapa malam hanya untuk mencari satu hadits."

Suatu ketika Asy-Sya'bi menyampaikan hadits Nabi SAW kemudian ia


mengatakan kepada muridnya, "Ambillah hadits ini secara cuma-cuma,
sesungguhnya seseorang harus menempuh perjalanan menuju kota Madinah
untuk mendapatkannya. "

Upaya kedua, mengkritik para perawi para ulama telah melakukan penelitian
terhadap para perawi serta mempelajari kehidupan mereka sejarah mereka
dan riwayat hidup mereka untuk mengetahui keadaan mereka apakah mereka
jujur atau dusta. Celaan orang yang sering mencela tidak akan mengganggu
mereka dalam ibadah di jalan Allah ini.

Mereka menetapkan beberapa kaidah untuk diikuti dalam ilmu ini, dan untuk
menjelaskan siapa perawi yang berhak diambil hadisnya dan siapa yang
berhak untuk ditolak. Mereka menetapkan bahwa seluruh sahabat adil dan
tidak menisbahkan kedustaan kepada salah seorang pun dari sahabat Nabi
SAW.
Imam Al Ghazali mengatakan dalam kitab Al-Mustashfa "Pendapat yang
dianut oleh pendahuluan dari umat ini serta mayoritas ulama yang datang
setelah mereka, bahwa "adalah' mereka yaitu sahabat-sahabat adalah suatu
ketetapan yang merupakan ketetapan Allah atas 'adalah' mereka dan pujian
Allah atas mereka di dalam kitab-Nya.

Ini merupakan keyakinan kita tentang mereka, dan mereka tidak


membutuhkan untuk diseleksi kembali 'adalah' nya."

Kemudian ini menyebutkan pengakuan sebagian orang dengan mengatakan,


"Sekelompok orang telah mengklaim bahwa keadaan mereka seperti keadaan
selain mereka yang butuh untuk diseleksi 'adalah' nya'.

Sementara kaum lainnya mengatakan bahwa keadaan mereka awal mulanya


adalah dalam sifat 'adalah' sampai munculnya perang dan perselisihan
kemudian keadaan mereka berubah, darahpun ditumpahkan.

"Maka harus dicek kembali 'adalah' nya."

Upaya ketiga membuat indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa hadits


tersebut palsu, seperti ketidak sesuaian nya dengan penjelasan Alquran atau
artinya batil. Hal ini kata Syekh Manna yang dikenal di dalam ilmu Musthalah
Al-Hadits dengan istilah 'Al-Jarh' dan At-'Ta'adil'.

Anda mungkin juga menyukai