Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“POLA KONSUMSI DALAM ISLAM”

Disusun oleh:

1. SRI ASTUTI HANDAYANI (A1C020242)


2. ULFA TIANA (A1C020254)
3. VINI ARSIH (A1C020257)
4. WILYAN AMRI (A1C020259)
5. YUNITA ASMARA DEWI (A1C020266)

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji ayukur kehadirat Tuhan yang maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami
kelompok 5 dapat menyelesaikan tugas makalah perilaku organisasi yang berjudul “PERILAKU
KELOMPOK” dengan tepat waktu. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
perilaku organisasi. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
kelompok organisasi bagi pembaca dan kami sebagai penulis. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Khalid Abjadi selaku dosen pengampu mata kuliah Sistem Ekonomi Syariah, ucapan
terimakasih juga kami ucapkan untuk orang” yang telah membantu menyelesaian makalah ini. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dari makalah kami dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah kami ini.

Mataram, 11 Oktober 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsumsi
2.2 Perilaku Konsumsi Dalam Islam
2.3 Urgensi dan Tujuan Konsumsi Dalam Islam
2.4 Prinsip -Prinsip Dasar Dalam Islam
2.5 Etika-Etika Konsumsi Dalam Islam
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk senantiasa akan membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kehidupanya
dalam menjalankan keseharianya untuk bertahan.Kebutuhan itu baik berupa jasa atau barang yang
nantinya akan dipakai atau dihabiskan dan akan dibutuhkan kembali.Kebutuhan ini disebut dengan
Konsumsi,konsumsi ini dapat mengurangi nilai suatu barang atau jasa selain itu konsumsi
dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan .Konsumsi juga harus sesuai dengan takaran nya
sehingga tidak menimbulkan kesenjangan berupa kelebihan atau kekurangan dari barang atau jasa
yang dibutuhkan atau yang akan dipakai untuk memnuhi kebutuhan.Konsumsi harus memiliki
takaran yang jelas sesuai dengan kebutuhan dengan tidak memakai atau menghabiskan barang atau
jasa yang tidak dibutuhkan .konsumsi juga harus memiliki pola yang jelas artinya yang memiliki
kualitas untuk dikonsumsi .untuk menjaga ketetapan pola konsumsi agar terhindar dari kesenjangan
konsumsi tentu menerapkan pola konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan,pola konsumsi yang bisa
digunakan adalah pola konsumsi dalam islam .Dalam islam penggunaan barang atau jasa dalam
upaya pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al-iktisab) yang wajib dituntut (fardu kifayah)
berlandaskan etika (shariah) dalam rangka menuju kemaslahatan (maslahah) menuju akhirah.
Prinsip ekonomi dalam islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewahan, tidak
berusaha pada pekerjaan yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman
dari aqidah, akhlak dan syariat islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi
islam. Islam tidak mengakui kegemaran matrealistis semata-mata, dan pola konsumsi modern. Islam
berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan
energi manusia mengejar cita-cita spritualnya.Konsumsi ini tentu akan memenuhi kebutuhan sesuai
dengan yang dibutuhkan tanpa terjadinya kesenjangan pola konsumsi yang tidak dibutuhkan
.Prinsip ini dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan Hal ini harus dilaksanakan secara
terencana sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Konsumsi Menurut Beberapa Ahli?
2. Bagaimana Perilaku dalam Islam Dalam Pemenuhan Konsumsi?
3. Bagaimana Urgensi dan Tujuan Islam Dalam melandasi Perilaku Konsumsi?
4. Apa yang Menjadi Prinsip -Perinsip Dasar Konsumsi Dalam Islam?
5. Bagaimana Etika -Etika Konsumsi Dalam Islam ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui makna dari konsumsi oleh beberapa ahli
2. Mengetahui perilaku seorang seorang muslim dalam pemenuhan konsumsi
3. Mengetahui landasan perilaku konsumsi berupa urgensi dan tujuan konsumsi islami
4. Mengetahui yang menjadi dasar prinsip-prinsip dalam islam
5. Mengetahu etika Konsumsi dalam islam
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konsumsi


Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau
menghabiskan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata konsumsi itu diartikan dengan pemakaian
barang hasil produksi. Secara luas konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai
guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur untuk memenuhi
kebutuhan. Dalam istilah sehari-hari konsumsi dapat diartikan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan,
baik untuk kebutuhan makanan maupun kebutuhan non makanan. Konsumsi juga dapat diartikan
sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan saat ini guna meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
Menurut Mankiw (2013) konsumsi mempunyai arti sebagai pembelanjaan barang dan jasa oleh
rumah tangga. Arti dari barang disini mencakup pembelanjaan rumah tangga untuk barang yang
bertahan lama, seperti kendaraan dan perlengkapan-perlengkapan rumah tangga, dan untuk barang
yang tidak tahan lama contohnya seperti makanan dan pakaian. Sedangkan untuk arti dari jasa disini
mencakup barang yang tidak berwujud konkert, misalnya seperti potong rambut dan perawatan
kesehatan. Selain itu pembelanjaan rumah tangga untuk pendidikan juga termasuk ke dalam konsumsi
jasa.
Menurut Al-Ghazali konsumsi adalah (al-hajah) penggunaan barang atau jasa dalam upaya
pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al-iktisab) yang wajib dituntut (fardu kifayah) berlandaskan
etika (shariah) dalam rangka menuju kemaslahatan (maslahah) menuju akhirah. Prinsip ekonomi dalam
islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewahan, tidak berusaha pada pekerjaan
yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari aqidah, akhlak dan
syariat islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi islam. Islam tidak mengakui
kegemaran matrealistis semata-mata, dan pola konsumsi modern. Islam berusaha mengurangi
kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan energi manusia mengejar
cita-cita spritualnya.
Dalam bidang konsumsi, Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang tidak terbatas.
Norma Islam adalah memenuhi kebutuhan manusia. Secara hakikatnya, kebutuhan manusia meliputi
keperluan, kesenangan dan kemewahan. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, Islam menyarankan
agar manusia dapat bertindak di tengah-tengah dan sederhana. Konsumsi pada hakikatnya adalah
mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua
tipe yang dilakukan oleh konsumen muslim, yaitu pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk
memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga, serta pengeluaran yang dilakukan semata-mata untuk
mencari akhirat. Norma-norma konsumsi tersebut dijelaskan dalam teori konsumsi Islam dengan
berdasarkan kepada etika konsumsi, prioritas konsumsi, kepuasan dalam konsumsi, rasionalitas
konsumen muslim dan prilaku konsumsi dalam perspektif Islam.
2.2 Perilaku Konsumsi Dalam Islam
Kegiatan konsumsi merupakan salah satu kegiatan yang pokok dalam sendi kehidupan makhluk
hidup. Dalam hal ini, terkadang konsumsi yang dimaksud adalah tidak hanya berkaitan dengan
kebutuhan akan kebutuhan pokok yaitu makan dan minum (Septiana, 2015). Tetapi, konsumsi yang ada
merupakan pemenuhan akan kebutuhan pokok (makan dan minum), serta untuk pemenuhan
kebutuhan sandang dan papan. Hal ini harus dilaksanakan secara terencana sesuai dengan kebutuhan
dan anggaran yang tersedia. Jangan sampai mencapai pada “besar pasak, daripada tiang” yaitu lebih
besar pengeluaran daripada pendapatan. Sehingga, konsumen dituntut menjadi konsumen yang rasional
dalam berkonsumsi, jangan sampai menjadi konsumen yang konsumtif. Tujuan seseorang melakukan
konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengurangi nilai guna barang/ jasa, dan
memperoleh kepuasan. Orang yang rasional dalam berkonsumsi akan menghemat sebagian uang yang
dimilikinya untuk konsumsi dan menggunakan sisa uang untuk menabung. Seseorang dianggap
bertindak rasional apabila mereka mempertimbangkan semua aspek dan alternatif yang memberinya
utilitas paling tinggi (Suprapti, 2010). Hal ini harus tetap mempertimbangkan lingkungan ekonomi
(Malhotra, 2010:78) yang meliputi pendapatan, harga, tabungan, kredit, serta kondisi ekonomi secara
umum. Perilaku konsumsi diartikan sebagai suatu tindakan guna mengurangi atau menghabiskan nilai
guna suatu barang. Menurut Engel, dkk (1995:3), perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung
terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan barang/ jasa proses keputusan yang
mendahului dan mengikuti tindakan.
Secara garis besar perilaku konsumsi dalam Islam; kepuasan dan perilaku konsumen dipengaruhi oleh:
a. Nilai guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi
b. Kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa; daya beli dari income konsumen dan
ketersediaan barang di pasar
c. Kecenderungan konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu,
budaya, selera, serta nilai-nilai yang dianut seperti agama, dan adat-istiadat.
Seorang Muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki 2 sisi, yaitu pertama untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT
(Choudhury, 1986). Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan
keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung memengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat memengaruhi kuantitas dan kualitas
konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual (Septiana, 2015), dapat disimpulkan
bahwa:
a) Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk
pula yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikkan. Larangan israf dan larangan bermegah-megahan.
b) Begitu pula batasan konsumsi dalam syari‟ah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja.
Tetapi juga mencakup jenis- jenis komoditi lainnya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk
suatu komoditi bukan tanpa sebab.
c) Pengharaman untuk komoditi karena zatnya karena antara lain; memiliki kaitan langsung dalam
membahayakan moral dan spiritual.
Sedangkan, konsumsi dalam Islam tidak hanya untuk materi saja tetapi juga termasuk konsumsi
sosial yang terbentuk dalam zakat dan sedekah (Yusanto, 1999). Dalam Al-Qur‟an dan Hadits disebutkan
bahwa pengeluaran zakat sedekah mendapat kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat
memperkuat sendi-sendi sosial masyarakat. Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama
(komplementer, substitusi, dan tidak ada keterikatan), akan tetapi titik tekannya terletak pada halal,
haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua
pilihan A dan B maka seorang Muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang
yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya
secara fisik lebih disukai. Perilaku konsumsi Islam berdasarkan tuntunan Al-Qur‟an dan Hadits perlu
didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran
yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas ini. Bekerjanya invisible hand yang didasari
oleh asumsi rasionalitas yang bebas nilai tidak memadai untuk mencapai tujuan ekonomi Islam.
Batasan konsumsi dalam Islam terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 168-169.
Artinya: Wahai manusia makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji dan mengatakan apa yang
tidak kamu ketahui tentang Allah. (Q.S. Al-Baqarah : 168-169)
2.3 Urgensi dan Tujuan Konsumsi Islami
Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan
dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap
perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh sebab itu, sebagian besar
konsumsi akan diarahkan kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Pengabaian terhadap
konsumsi berarti mengabaikan kehidupan manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia
diperintahkan untuk mengkonssmsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling
dekat di sekitamya. Bahkan ketika manusia lebih mementingkan ibadah secara mutlak dengan tujuan
ibadah (hadits puasa dahr dan 3 orang beribadah), telah dilarang dan diperintahkan untuk
makan/berbuka. Meski demikian konsumsi Islam tidak mengharuskan seseorang melampaui batas untuk
kepentingan konsumsi dasarnya, seperti mencuri atau merampok. Tapi dalam kondisi darurat dan
dikhawatirkan bisa menimbulkan kematian, maka seseorang diperbolehkan untuk mengkonsusmsi
sesuatau yang haram dengan syarat sampai masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada dasarnya
memang dia tidak suka (ayat).
Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah
kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam
ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bemilai ibadah yang dengannya
manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan
terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang
diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsumsi. Konsep konsumen adalah raja' menjadi
arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai
dengan kadar relatifitas dari keianginan konsumen, dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat
tersebut dalam firman-Nya : "Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan
seperti makannya binatang" (Muhammad:2).
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan
di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat titigkatan (Ibnu
Muflih, 3:197-204). Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari
kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini – padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua,
sunnah, yaitu mengkonsumsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan
menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu
sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsumsi yang melebihi batas
kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya
mengatakan haram. Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah
kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya (AI-Haritsi,
2006:140). Seorang muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan
kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada tingkat melampaui
batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga melalaikan tugas
utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi
(saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya" (Al-Ahge.20). Maksud rizki yang baik di sini adalah
melupakan syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya
ingat kepada Yang Maha Memberi rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak memasukkan ke dalam mulutunya
dari sesuatu yang haram dan tidak melakukan pekerjaan haram untuk memenuhi konsumsinya.
Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang muslim akan
menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang
mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada penciptanya.
Tujuan konsumsi dalam Islam bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan akhirat
(Mahmud, 1968). Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan
aktivitas ekonomi Islam. Dalam membandingkan konsep kepuasan dengan pemenuhan kebutuhan,
maka perlu membandingkan tingkatan tujuan hukum syara‟, yakni daruriyyah (tujuan yang harus ada
dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan dunia dan akhirat), hajiyyah (bertujuan memudahkan
kehidupan), dan tahsiniyyah (menghendaki kehidupan indah dan nyaman). Konsumsi dan pemuasan
kebutuhan pada dasarnya tidak tercela selama tidak mengkonsumsi barang yang haram. Dalam hal
konsumsi Islam melarang suka akan kemewahan dan berlebih-lebihan, tapi mempertahankan
keseimbangan yang adil. Harta dalam Islam adalah amanah Allah yang harus dibelanjakan secara benar,
tidak boros dan tidak mubazir. Menurut Mannan (1998) menjelaskan bahwa Islam juga memerintahkan
agar harta dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Harta yang dimiliki tidak sematamata
untuk dikonsumsi tapi juga untuk kegiatan sosial seperti zakat, infak, dan sedekah. Saling berbagi
dengan sesama inilah yang menjadi salah satu keindahan Islam.
2.4 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan
kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan
konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalart kebenaran dan dampak
mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/ prinsip dasar konsumsi islami adalah (AI-
Haritsi, 2006):
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di
mana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai
perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di
bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan
dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau
haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami
tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi
hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam,
di antaranya:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta
dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, dan hemat
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga
disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri
3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak
terjadi kemudharatan, yaitu:
a. primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan
kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok
b. sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih balk,
misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
c. tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan
hidup dalam masyarakat, di antaranya: (1) Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong
sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota
badan yang lain juga akan merasakan sakitnya. (2) Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang
baikdalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat
sorotan di masyarakatnya. (3) Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak
merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi hams sesuai dengan kondisi potensi daya dukung
sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan
6 Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mecerminkan etika konsusmsi islami
seperti suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan
menghambur-hamburkan harta.
Prinsip-prinsip dasar konsumsi islami ini akan memiliki konsekuensi bagi pelakunya. Pertama,
seseorang yang melakukan konsumsi harus beriman kepada kehidupan Allah dan akhirat di mana setiap
konsumsi berakibat bagi kehidupannya di akhirat. Di antara prinsip utama keimanan adalah beriman
dengan hari akhirat, yaitu beriman kepada semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang
apa yang akan dialarni manusia setelah mati, baik fitnah kubur berupa nikmat dan siksanya atau hari
kiamat dan setelah itu berupa surga dan neraka beserta penghuni, segala kenikmatan dan siksaan yang
ada di dalamnya sebagai akibat dari perbuatan di dunia (Muhammad:15, Al-Baqarah:261, 245). Salah
satu implikasi terhadap keimanan hari akhir akan terejawantahkan dalam perilaku konsumsi hidup di
alam dunia. Dalam Islam konsumsi dibagi menjadi tiga, untuk memenuhi kebutuhan pribadi, memenuhi
kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya dan dalam rangka fi sabilillah. Ketiga jenis konsumsi
inilah yang menjadi pilihan dan prioritas manusia watuk mendahulukan atau mengakhirkannya. Masing-
masing jenis konsumsi akan memberi makna dan nilai sangat tergantung kepada niat. Konsumsi pribadi
jika diiniatkan dalam rangka ketakwaan, supaya badan kuat dalam menjalankan ketaatan, maka
konsumsi tersebur memilki dimensi akhirat. Sebaliknya, jika konsumsi fi sabilillah tidak diniatkan ikhlas
untuk mendapatkan ridho Allah, misal demi riya' atau sum'ah, maka justru konsumsi itu menjadi tidak
bernilai dan bahkan berdampak dosa/siksa di akhirat.
Kedua, pada hakikatnya semua anugerah dan kenikmatan dari segala sumberdaya yang diterima
manusia merupakan ciptaan dan milik Allah secara mutlak dan akan kembali kepada-Nya (Al-Baqarah:
29). Manusia hanya sebagai pengemban amanah atas bumi untuk memakmurkannya. Konsekuensinya
adalah manusia harus menggunakan amanah harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan
yang disyariatkan. Syariat islamiyyah dengan segala peraturan dan tatanan tentang konsumsi yang
termaktub dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Keduanya merupakan sumber pijakan utama dalam
akhlak perilaku berkonsumsi. Syariat islamiyyah telah menjelaskan mana yang halal dan mana yang
haram. "Sesungguhnya yang halal itu adalah jelas dan yang haram itu adalah jelas" (HR Muslim).
"Tidaklah suatu perkara (kebaikan) yang mendekatkan kepada surga kecuali telah dijelaskan, dan
tidaklah suatu perkara yang menjauhkan diri kalian dari neraka kecuali telah dijelaskan" (HR Abu
Dawud). Agama islam telah sempurna dan diridhoi, sehingga tidak ada suatu perkara yang menyangkut
agama islam kecuali telah dijelaskan. Manusia sebagai hanya ciptaan Allah hanya tinggal menjalankan
segala aturan yang telah ditetapkan.
Ketiga, tingka pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang.
Seseorang itu dinilai berdasarkan ketakwaanya. "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa". Seseorang tidaklah menjadi tinggi di sisi Allah hanya karna
banyaknya harta kekayaan yang dimilikinya. Bahkan seseorang yang kaya tapi sombong dengan
kekayaan yang dimilikinya justru rendah kedudukannya. Seseorang yang bertakwa tahu bagaimana
mensikapi harta. Pada saat memiliki keluasan rizki, dia tahu bahwa pada hartanya terdapat bagian untuk
orang lain melalui zakat infak dan shodaqoh. Sebaliknya, ketika Allah menetapkan sedikit atau kurang
harta, dia tetap sabar, qana’ah (merasa cukup) dan tetap bersyukur dengan sedikit atau kurangnya
harta. Dia tetap istiqomah di atas keislamannya, meskipun kekurangan. Dia sadar bahwa harta adalah
ujian. Ujian kedermawanan bagi yang diberi keluasan harta dan ujian kesabaran bagi yang kekurangan
harta.
2.5 Etika Konsumsi Dalam Islam
Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah:
1. Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban)
a. Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam hukum syariah:
- Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang dilarang (Al-Baqarah: 168-169, An-
Nahl: 66-69).
- Haram, dimana hanya beberapa jenis makanan yang dilarang seperti babi dan darah (Al-Baqarah:
173, Al-Maidah: 3)
b. Proses, artinya dalam proses telah memenuhi kaidah syariah:
- Sebelum makan membaca basmallah, selesai makan mengucapkan hamdalah, serta
menggunakan tangan kanan.
- Cara mendapatkannya tidak dilarang, misalnya: riba (Al-Imron: 130), merampas (An-Nisa: 6), judi
(Al-Maidah: 91), menipu, mengurangi timbangan, tidak menyebut Allah ketika menyembelih
hewan, proses tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih sebelum matinya
(Al-Maidah: 3).
2. Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat dan jauh
dari merugikan baik dirinya maupun orang lain.
3. Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak dan tidak terlalu sedikit atau kikir/bakhil,
tetapi pertengahan (Al-Furqon: 67), serta ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi
melalui zakat, infak, sedekah, maupun wakaf dan ketika kekurangan harus tetap bersyukur dan
merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konsumsi adalah pemenuhan kebutuhan untuk mempertahankan hidup serta
mengurangi ,menghabiskan dan memakai barang atau jasa yang tersedia yang dengan memperhatikan
pengeluaran dari konsumsi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan konsumsi .Untuk itu Penerapan
konsumsi dalam islam dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menerapkan konsumsi ,karena
dalam islam terdapat perilaku konsumsi ,tujuan konsumsi serta urgensi yang jelas selain itu terdapat
juga etika konsumsi sehingga pemenuhan kebutuhan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana dan
anggaran yang tersedia .
3.2 Saran
Dengan adanya materi mengenai “Pola Konsumsi Dalam Islam”diharapkan kepada mahasiswa untuk
memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari hari baik dalam lingkungan perkuliahan dan
dalam lingkungan organisasi dan dalam lingkungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta
diharapkan mampu mengembangkan etika dalam konsumsi dan mengetahui bagaimana berperilaku
konsumsi dalam islam untuk memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai