Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“PARA PIHAK DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan

Dosen Pengampu : Ika Atikah, S.H.I., M.H.

Disusun Oleh : Kelompok 3

1. Kamila Anisa (191130110)


2. Iwan Saputra (191130090)

Kelas : VI/HES-C

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

TAHUN 2022
PARA PIHAK DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN

A. PEKERJA
Pada zaman penjajahan Belanda, buruh berarti orang-orang yang bekerja keras seperti
kuli, mandor, perajin, dan lain-lain. Pemerintah Belanda menyebut mereka sebagai pekerja
kerah biru (blue collar), sedangkan orang yang bekerja di kantor, instansi pemerintah, atau
orang yang melakukan pekerjaan halus disebut pekerja kerah putih (white collar).
Devide et emera atau yang lebih dikenal dengan politik perpecahan telah menjadi prinsip
hidup para penjajah Belanda. Salah satu realisasi dari prinsip ini adalah dikotomi pekerjaan
yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda antara pekerja kerah putih dan pekerja kerah
biru. Perlakuan dan pelabelan status sosial antara keduanya memungkinkan pemerintah
Belanda berhasil memecah belah penduduk pribumi. Pekerja kerah biru yang bekerja keras
harus mematuhi dan mematuhi pekerja kerah putih yang bekerja secara halus. Pekerja keras
memiliki status yang sama dengan budak, dan pekerja halus adalah tuan dari budak (pekerja
kasar).
Pada tahun 1074, melalui Seminar Hubungan Industrial Pancasila, diusulkan untuk
mengganti kata buruh dengan kata pekerja. Karena kata buruh dianggap kurang tepat karena
setiap mendengar kata buruh yang terbayang adalah sekelompok buruh dari kalangan bawah.
Menurut Marxisme, buruh dianggap sebagai kelompok yang dapat menghancurkan pengusah
dalam suatu perjuangan. Oleh karena itu, istilah buruh dianggap negatif karena menghambat
terciptanya kerjasama yang baik, gotong royong dan suasana kekeluargaan. Untuk itu, istilah
buruh perlu adanya pergantian.1
Dalam prakteknya istilah pekerja sering digunakan untuk menunjukan status hubungan
kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja tidak tetap, dan
pekerja tetap. Kata pekerja mempunyai arti yang sangat luas, yaitu setiap orang yang
melakukan pekerjaan berada dalam suatu hubungan kerja ataupun swapekerja. Pekerja lebih
diidentikkan dengan karyawan atau orang yang bekerja yang dicirakan dengan pekerjaan non
fisik atau sifat pekerjaanya itu halus dan tidak kotor, contohnya ialah karyawan di bank.
Pekerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja dan di
dalam hubungan kerja, ada yang secara tidak tepat banyak orang menyebutnya sebagai
pekerja lepas. Untuk pekerja seperti itu, seperti dokter dan pengacara yang membuka praktek,

1
Harahap, A. M, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Malang: Literasi Nusantara, 2020), h. 34.
mereka disebut dengan istilah swa-kerja karena mereka bekerja dengan tanggung jawab dan
risiko sendiri.
Pasal 1 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah pekerja
digabungkan dengan istilah buruh, sehingga menjadi istilah pekerja/buruh. Dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan “Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

B. PENGUSAHA
Dalam Pasal 1 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha atau
pemberi kerja adalah perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
memberi perkerjaan atau mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar gaji atau imbalan
dalam bentuk lain.
Dalam kehidupan masyarakat sering kali ditemukan istilah pengusaha memiliki makna
yang sempit, yaitu hanya mereka yang memiliki perusahaan-perusahaan dan pabrik yang
besar. Sementara pemilik lembaga-lembaga sosial, individu, pemilik yayasan, koperasi dan
sebagainya yang sama mempekerjakan orang lain tidak digolongkan kedalam pengusaha.2
Jika melihat UU No. 13 Tahun 2003, kata perseorangan mengandung makna yang sangat
luas dalam hukum ketenagakerjaan. Arti yang luas ini mencakup ibu rumah tangga dalam hal
pemberi kerja, sehingga dalam hal ini Asisten Rumah Tangga (ART) yang dipekerjakan oleh
seorang Ibu Rumah Tangga haruslah mendapatkan perlindungan hak sesuai dengan undang-
undang ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 1 ayat 5 UU No. 13 Tahun 2003, dijelaskan bahwa pengusaha adalah:
1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menjalankan perusahaan
yang bukan miliknya (pengurus perushaan), termasuk dalam artian pengusaha, artinya
pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha (orang/pemilik perusahaan). Pembantu

2
Pujiastuti, Endah. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Semarang: Semarang University Press, 2008), h. 8.
perusahaan (manager/direktur) dalam suatu perusahaan disebut pimpinan, yaitu pemegang
atas kuasa pengusaha perusahaan.

C. ORGANISASI PEKERJA/BURUH
Perjuangan dalam membangun serikat pekerja/buruh secara mandiri untuk hak-hak buruh
yang sesungguhnya sudah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda, yakni sejak abad ke-19,
dan berlanjut hingga sekarang. Sejarah pergerakan buruh Indonesia dimulai pada tahu 1878.
Munculnya serikat guru Belanda dipengaruhi oleh Gerakan Sosial Demokrat Belanda. Pada
saat itu, serikat pekerja/buruh muncul sebagai organisasi kelompok, yang menampung orang
kulit putih.
Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi pekerja/buruh telah diverifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia dalam Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk organisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya dasar-
dasar untuk berorganisasi dan untuk berunding. Kedua konvensi diatasi adalah dasar yang
menjadi landasan hukum bagi serikat pekerja/buruh untuk mendirikan organisasi.
Pekerja/buruh tidak dapat menyuarakan aspirasi secara perseorangan/sendiri, maka dari
itu perlu adanya sebuah wadah yang dapat mewadahi, menampung, dan memperjuangkan
hak-hak pekerja/buruh secara terorganisir sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.3
Organisasi pekerja ada untuk memperjuangkan hak-hak pekerja dan untuk mencegah dari
diperlakukan secara sewenang-wenang. Keberhasilan ini sangat tergantung pada kesadaran
para pekerja/buruh untuk mengorganisir dirinya. Semakin baik organisasi maka akan semakin
kuat, tetapi sebaliknya, semakin lemah, maka semakin tidak mampu untuk melakukan
tugasnya. Inilah sebabnya mengapa para pekerja di Indonesia harus menghimpun diri dalam
sebuah wadah atau organisasi. Dalam konteks ini, keberadaan serikat pekerja/buruh sangat
penting, artinya organisasi pekerja/buruh dalam rangka untuk memperjuangkan, membela
dan melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja/buruh dalam rangka untuk meningkatkan
kesejahteraan.4
Keberadaan serikat pekerja/buruh masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar serikat
buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga. Prinsip kesatuan, yaitu solidaritas antara kalangan
buruh bahwa mereka adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam organisasi. Prinsip
kemandirian, yaitu organisasi pekerja/buruh harus terbebas dari dominasi yang timbul dari

3
Harahap, A. M, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, h. 35
4
Pujiastuti, Endah. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, h. 9.
luar baik dari pemerintah, partai politik, majikan, organisasi agama dan tokoh-tokoh individu.
Prinsip demokratis, yaitu mendapat dukungan dan partisipasi secara penuh dari para
anggotanya.5
1. Sifat, Asas, Tujuan, dan Fungsi Organisasi Pekerja/Buruh
Mengenai sifat serikat pekerja/buruh undang-undang telah membagi kedalam lima
sifat, diantara adalah:
a. Bebas, serikat pekerja/buruh sebagai sebuah organisasi yang bebas tidak berada
dalam tekanan pihak manapun dalam menjalankan hak dan kewajibannya.
b. Terbuka, tidak membeda-bedakan satu sama lain, artinya menyamakan semua aliran
politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin dalam menerima anggota.
c. Mandiri, serikat pekerja/buruh merupakan pihak yang independen yang tidak
dikendalikan oleh pihak manapun dalam mengembangkan dan menjalankan
organisasinya.
d. Demokratis, artinya setiap kegiatan organisasi baik pembentukan organisasi,
pemilihan pengurus, sampai hak dan kewajiban organisasi harus didasarkan pada
prinsip demokratis.
e. Bertanggung jawab, setiap serikat pekerja/buruh dalam menjalankan tugasnya dalam
mencapai tujuan organisasi harus bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat,
dan negara.
Asas pendirian serikat pekerja/buruh adalah harus sesuai dan sejalan dengan
Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusi yang mengatur serikat pekerja/buruh.
Sementara tujuan didirikannya serikat pekerja/buruh merupakan bentuk upaya
perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan serta untuk meningkatkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya.6 Dan dalam mewujudkan tujuan tersebut Pasal 4 ayat 2 UU No.
21 Tahun 2000 menjelaskan terkait serikat pekerja yang mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian
perselisihan industrial.
b. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan
sesuai dengan tingkatannya.

5
Abdullah Sulaiman dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, (Jakarta: YPPSDM Jakarta, 2019),
h. 339-340.
6
Mohammad Fandrian A, Dauman, dan Agus Purwanto, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I (Tangerang Selatan:
Unpam Press, 2021), h. 176.
c. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan.
d. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya.
e. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di
perusahaan.
2. Pembentukan Serikat Pekerja/Buruh
Pembentukan serikat pekerja/buruh dapat dibentuk dengan berdasarkan pada jenis
usaha, jenis pekerjaan atau dibentuk sesuai dengan keinginan pekerja.
Serikat pekerja/buruh bebas membentuk jumlah anggotanya dengan jumlah minimal
adalah 10 orang pekerja/buruh tanpa adanya campur tangan dari pihak lain atau
pemerintah.7 Hal ini tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/buruh.
Setiap serikat pekerja/buruh harus mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga (AD-ART). Dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan lambang;
b. Dasar negara, asas dan tujuan,
c. Tanggal pendirian;
d. Tempat kedudukan;
e. Keanggotaan dan kepengurusan;
f. Sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. Ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Serikat pekerja/buruh yang telah dibentuk kemudian melaporkan keorganiasiasnnya
kepada dinas tenaga kerja setempat dengan tujuan untuk dicatat dan diberi nomor.
Pemberitahuan tersebut harus disampaikan secara tertulis yang memuat:
a. Daftar anggota pembentuk.
b. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD-ART).
c. Daftar susunan pengurus.

7
Harahap, A. M, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, h. 37.
Adanya pemberian nomor dan pencatatan ini serikat pekerja/buruh yang sudah
didirikan tidak langsung diterima bahkan pembentukan organisasinya bisa ditangguhkan.
Batas akhir pemberitahuan pencatatan dan pemberian nomor tersebut harus dilakukan
paling lambat sejak 21 hari kerja atau terhitung sejak diterimanya surat pemberitahuan.
Kemudian penangguhan pencatatan dan penomoran tersebut harus diinformasikan
kepada serikat pekerja/buruh tersebut 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya surat
pemberitahuan. Adapun penangguhan pencatatan dan penomoran tersebut jika terbukti
melakukan hal-hal seperti berikut:
a. Tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
b. Kurangnya anggota serikat pekerja/buruh.
c. Nama atau lambang organisasi serikat pekerja/buruh sama atau telah dipakai oleh
serikat pekerja/buruh lain.

D. ORGANISASI PENGUSAHA
Seiring dengan berkembang dan meningkatnya isu dalam bidang ketenagakerjaan,
layaknya pekerja yang membentuk serikat//organisasi pekerja/buruh, para pengusaha juga
ikut andil membuat suatu wadah, yaitu organisasi pengusaha. Organisasi pengusaha ini
dibentuk sebagai wadah komunikasi, interaksi, dan bertukar ide untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang ketenagakerjaan atau perburuhan.
Ketentuan mengenai organisasi pengusaha telah ditentukan dalam Pasal 105 UU No. 13
Tahun 2003 sebagai berikut:
1. Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
2. Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum, di Indonesia terdapat organisasi pengusaha yang dijadikan sebagai wadah
persatuan para pengusaha, diantaranya adalah KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan
APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia):8
1. KADIN (Kamar Dagang dan Industri)
KADIN (Kamar Dagang dan Industri) didirikan pada tanggal 24 September 1968
oleh Kadin Daerah Tingkat 1 yang ada di seluruh Indonesia yang di prakarsai oleh
KADIN DKI Jakarta, kemudian diakui oleh pemerintah dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1973, selanjutnya dibentuk kembali dengan

8
Zaeni Asyhadie dan Rahmawati Kusuma, Hukum Ketenagakerjaan: Dalam Teori dan Praktik di Indonesia,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h. 63.
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
dalam Musyawarah Pengusaha Indonesia pada tanggal 24 September 1987 di Jakarta.
Kadin adalah tempat bagi para pengusaha Indonesia yang bergerak dalam bidang
perekonomian. Tujuan berdirinya Kadin adalah:
a. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha
Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam
kedudukannya sebagai pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan
kehidupan ekonomi dan dunia usaha yang sehat dan tertib sesuai Pasal 33 UUD
1945.
b. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan
keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat
berperan secara efektif dalam pembangunan nasional.
2. APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia)
Apindo pada awal berdirinya bernama Badan Permusyawaratan Urusan Sosial
Seluruh Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1952. Apindo merupakan organisasi
pengusaha yang secara khusus mengurusi masalah yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan. Apindo berdiri dengan tujuan:
a. Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya
di dalam bidang sosial ekonomi.
b. Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan, dan kegairahan kerja
dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan.
c. Mengusahakan meningkatkan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif
untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual,
dan materil.
d. Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan ketenagakerjaan dari
para pengusaha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah.

E. PEMERINTAH/PENGUASA
Peran pemerintah dalam hal ketenagakerjaan menjadi faktor yang sangat menentukan
keberhasilah pengolahan ketenagakerjaan di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini berperan
sebagai kontrol hukum ketenagakerjaan bidang hubungan kerja agar tetap adil tidak
merugikan pihak manapun. Bentuk keterlibatan pemerintah dalam soal-soal ketenagakerjaan
tampak jelas dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal-soal
bekerjanya tenaga kerja tersebut.
Keterlibatan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan diartikan sebagai suatu upaya
untuk menciptakan hubungan industrial yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan
pengusaha yang berbeda secara sosial dan ekonomi diserahkan kepada para pihak, maka
tujuan untuk menciptakan hubungan industrial yang adil tersebut akan sulit dicapai karena
yang kuat akan menguasai yang lemah. Dari dasar itulah keterlibatan pemerintah melalui
perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak.
Upaya untuk mewujudkan hubungan kerja yang adil tersebut sulit untuk dicapai tanpa
adanya struktur sosial ekonomi yang berkeadilan antara pekerja dan pengusaha. Maka dari
itu, diperlukan adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang
menyeluruh yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas
dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, dan pembinaan
hubungan industrial yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang
ketenagakerjaan.9

F. PIHAK LAIN
1. Arbiter
Arbiter Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang ditunjuk oleh para pihak
yang berselisih dari daftar arbiter yang sudah ditetapkan oleh menteri untuk memberikan
putusan menganai kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam
satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase, putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final.
Arbitrase Hubungan Industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan
dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis antara pihak yang yang
berselisih untuk diselesaika dan putusannya bersifat final.
Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sedang atau
telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan
hubungan industrial. Sebagaimana putusan arbitrase ini mengikat para pihak dan bersifat
final dan putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum mengikat sebagai putusan hukum
akhir dan tetap sama dengan putusan pengadilan.10

9
Pujiastuti, Endah. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, h. 12.
10
Fuqoha. (2020). “Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Penyelesaian Perselisihan Non-Litigasi dalam
Perselisihan Hubungan Industrial”. Indonesian State Law Review, 2(2), 119-136.
2. Mediator
Mediator ialah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang telah ditetapkan
oleh menteri tenaga kerja dan transmigrasi untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan yang telah dilimpahkan kepadanya.
Mediasi yang sedang dilakukan melalui musyawarah oleh seorang atau lebih
mediator yang menangani perselisihan hak, kepentingan, PHK, dan perselisihan antar
serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam mediasi apabila para pihak sepakat maka
akan dibuatkan perjanjian bersama dan kemudian akan di daftarkan di Pengadilan
Hubungan Industria. Namun, apabila apabila kedua belah pihak tidak sepakat maka
mediator akan membuat anjuran tertulis dan jika anjuran tersebut diterima kemudian para
pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila salah
satu pihak menolak anjuran, maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan
kepada pihak yang lain melalui Pengadilan Hubungan Industrial.11
3. Negosiator
Negosiasi adalah proses dimana dua atau lebih pihak dengan kepentingan yang sama
atau bertentangan bertemu dan berdiskusi untuk mencapai kesepakatan. Konflik
kepentingan dan kesamaan memberikan alasan untuk bernegosiasi berdasarkan insentif
untuk mencapai kesepakatan. Dalam hubungan industrial, kepentingan bersama antara
pekerja dan pengusaha terletak pada produksi. Kedua belah pihak ingin produksi terus
dan meningkat karena itu adalah sumber pendapatan dan keuntungan mereka.12
Negosiasi atau sering disebut juga dengan perundingan Bipartite. Perundingan
Bipartite adalah perundingan antara pekerja/buruh dengan dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Dalam Pasal 3 ayat 1 UU No. 12 Tahun
2004 adalah perundingan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau antara serikat
pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Negosiasi adalah proses tawar-menawar yang pada umumnya setiap orang pernah
melakukannya, seperti dalam hubungan jual beli, penentuan gaji dalam perusahaan,
perumusan kontrak dan sebagainya.

11
Mantili, Rai. (2021). “Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Antara Serikat Pekerja Dengan
Perusahaan Melalui Combined Process (Med-Arbitrase)”. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(1), 47-65.
12
Robert Heron dan Caroline Vendenaneele, Negosiasi Efek: Sebuah Panduan Praktis, (Penerbit Edisi Bahasa
Indonesia, Frederich-Ebert-Stiftung (FES), 1998), h. 5.
Dalam upaya penyelesaian jika terjadi kesepakatan, maka dibuat kesepakatan tertulis
yang selanjutnya didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah dimana
perusahaan berada atau tempat dimana pekerja/buruh untuk mendapatkan kekuatan
eksekutorial, akan tetapi jika tidak terdapat kesepakatan, maka para pihak pengusaha
atau pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan ke Suku Dinas di wilayah hukum
perusahaan berada atau tempat dimana pekerja bekerja untuk dilakukan Tripartite.13
4. Konsiliator
Konsiliasi adalah perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antarserikat pekerja/buruh yang hanya dalam satu perusahaan yang ditengahi
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral melalui jalan musyawarah. Yang
dimaksud konsiliator adalah seorang atau lebih yang telah memenuhi syarat sebagai
konsiliator yang ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan surat anjuran kepada para pihak yang berselisih dalam upaya menyelesaikan
perselisihan antara serikat pekerja/buruh dalam perusahaan.
Dalam menyelesaikan perselisihan para pihak yang berselisih dalam hubungan
industrial pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika
perundingan tersebut telah mencapai kesepakatan diantara dua pihak, konsiliator
membuat perjanjian bersama dan di tanda tangani oleh kedua belah pihak dan disaksikan
oleh konsiliator yang kemudian untuk didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mendapatkan alat bukti pendaftaran.14 Tetapi, apabila perundingan tersebut tidak
mencapai kesepakatan maka hal yang harus dilakukan adalah:
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.
b. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari setelah dilakukannya konsiliasi pertama,
anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak.
c. Para pihak harus sudah menyampaikan jawaban tertulis kepada pihak konsiliator
yang berisi menyetujui atau tidak melakukan anjuran dalam waktu selambat-
lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran. Dan pihak yang tidak memberitahu
jawaban dianggap menolak anjuran.
d. Terhadap anjuran yang disetujui, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari
sejak anjuran disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak

13
Mustakim, M. (2022). “Kajian Hukum Peniadaan Peninjauan Kembali Dalam Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial”. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 8(1), 127-148.
14
Silalahi, R. (2019). “Kajian Hukum Atas Pernyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Secara Konsiliasi”.
Jurnal Darma Agung, 27(2), 1000-1011.
membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial.

G. PENGADILAN
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hukum ketenagakerjaan
dikenal dengan beberapa cara yaitu Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, dan Negosiasi. Namun,
penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial antara pihak pekerja/buruh dengan
pengusaha juga dapat melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang berada dalam lingkup
sistem peradilan umum, pengadilan hubungan industrial berfungsi untuk memutuskan
perselisihan antara buruh dan pengusaha, seperti:
1. Perselisihan hak;
2. Perselisihan kepentingan;
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK); dan
4. Perselisihan antara serikat pekerja/buruh.
Dalam pertama kalinya pengadilan hubungan industrial akan dibentuk pada setiap
pengadilan negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya mencakup
provinsi yang bersangkutan. Adapun pada kota/kabupaten terutama yang padat dengan
industri, berdasarkan keputusan presiden harus segera dibentuk pengadilan hubungan
industrial di pengadilan negeri setempat.
Pengadilan Hubungan Industrial sangat penting dan menjadi harapan bagi para
pekerja/buruh agar dapat mengatasi ketidakpuasan mereka terhadap Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah (P4P/P4D) yang keberadaannya dirasa sangat bertele-
tele, lambat, dan tidak pasti. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 dalam rangka mencapai
tujuan sistem peradilan yang adil, cepat, murah dan berkepastian hukum mengatur bahwa
penyelesaian perselisihan hubungan industrial diawali dari perundingan bipartite, mediasi,
Peradilan Hubungan Industrial, dan proses Banding ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah lembaga yang berwenang memeriksa dan
memutus semua jenis perselisihan hubungan industrial. Hakim yang memeriksa dan memutus
tersebut terdiri dari hakim lembaga peradilan dah hakim Ad Hoc. Dalam peradilan ini serikat
pekerja/buruh dan organisasi pengusaha bisa bertindak sebagai kuasa hukum dalam mewakili
15
anggotanya. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
b. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
c. Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
d. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam
satu perusahaan.
Kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial adalah perselisihan hak, dan perselisihan
kepentingan antara serikat pekerja/buruh yang hanya dalam satu perusahaan. Jenis
perselisihan dalam hubungan industrial dikenal dalam pengertian kompetensi di dalam legal
concept. Jadi dalam pengjakian objek Pengadilan Hubungan Industrial tentu harus berkaitan
dengan legal concept yang ada dalam ilmu hukum. Jenis perselisihan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatas jika dikaji lebih mendalam ternyata tidak sesuai
dengan rumusan perselisihan yang dikenal secara umum dalam legal concept.

KESIMPULAN
a. Pekerja
Pekerja merupakan bagian penting dalam dunia kerja, karena peran pekerja erat
kaitannya dengan proses produksi barang dan jasa. Pekerja merupakan tenaga kerja yang
bekerja dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah sebagai
imbalannya. UU No. 13 Tahun 2003 menjelaskan pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Pengusaha
Pengusaha adalah setiap badan usah yang berkekuatan hukum atau tidak, milik
perorangan, milik badan hukum baik milik swasta ataupun negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah dalam bentuk lain sebagainya imbalan atas hasil
pekerjaannya.
c. Organisasi pekerja/buruh
Organisasi pekerja/buruh adalah sebuah wadah yang dapat mewadahi, menampung,
dan memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh secara terorganisir. Tujuan dibentuknya
organisasi pekerja/buruh ini adalah sebagai upaya perlindungan pembelaan hak dan
kepentingan pekerja/buruh.

15
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 196.
d. Organisasi pengusaha
Organisasi pengusaha merupakan wadah bagi pengusaha untuk meningkatkan peran
serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Organisasi pengusaha adalah wadah dan tempat bertukar
pikiran, komunikasi dan interaksi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
ketenagakerjaan.
e. Pemerintah
Peran pemerintah dalam hal ketenagakerjaan menjadi faktor yang sangat
menentukan keberhasilah pengolahan ketenagakerjaan di Indonesia. Pemerintah dalam
hal ini berperan sebagai kontrol hukum ketenagakerjaan bidang hubungan kerja agar
tetap adil dan tidak merugikan pihak manapun.
f. Pihak lain
Arbitrator, Mediator, Konsiliator, dan Negosiator adalah pihak lain dalam hukum
ketenagakerjaan sebagai pihak yang menjadi penengah dalam menyelesaikan berbagai
perselisihan hubungan industrial melalui jalur Non-Litigasi atau penyelesaian
perselisihannya di luar pengadilan.
g. Pengadilan
Pengadilan dalam hukum ketenagakerjaan disebut dengan pengadilan hubungan
industrial, yaitu pengadilan yang berwenang untuk memutuskan dan menyelesaikan
berbagai perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam
satu perusahaan seperti perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK).

DAFTAR PUSTAKA
Aripudin, M. H., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Literasi Nusantara, Malang, 2020.
Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang University Press,
Semarang, 2008.
Abdullah Sulaiman dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, YPPSDM
Jakarta, Jakarta, 2019.
Mohammad Fandrian A, Dauman, dan Agus Purwanto, Hukum Ketenagakerjaan, Cet.I,
Unpam Press, Tangerang Selatan, 2021.
Zaeni Asyhadie dan Rahmawati Kusuma, Hukum Ketenagakerjaan: Dalam Teori dan Praktik
di Indonesia, Jakarta, 2019.
Fuqoha. (2020). “Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Penyelesaian Perselisihan Non-Litigasi
dalam Perselisihan Hubungan Industrial”. Indonesian State Law Review, 2(2), 119-136.
Mantili, R. (2021). “Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Antara Serikat
Pekerja Dengan Perusahaan Melalui Combined Process (Med-Arbitrase)”. Jurnal Bina
Mulia Hukum, 6(1), 47-65.
Silalahi, R. (2019). “Kajian Hukum Atas Pernyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Secara Konsiliasi”. Jurnal Darma Agung, 27(2), 1000-1011.
Robert Heron dan Caroline Vendenaneele, Negosiasi Efektif: Sebuah Panduan Praktis,
Frederich-Ebert-Stiftung (FES), Penerbit Edisi Bahasa Indonesia, 1998.
Mustakim, M. (2022). “Kajian Hukum Peniadaan Peninjauan Kembali Dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial”. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 8(1),
127-148.
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Anda mungkin juga menyukai