Anda di halaman 1dari 5

POLITIK HUKUM RUU CIPTA KERJA

RUU Cipta Kerja dan omnibus law adalah dua padanan kata yang sering
dibicarakan. Alasannya, karena RUU ini bermetode kan omnibus, yang
menggabungkan begitu banyak UU dalam satu RUU. Ada 11 kluster, dengan isi 174
pasal tetapi menyisir 1.000-an di 79 UU multisektor. Tentu ada pertanyaan besar
tentang politik hukum di balik RUU ini. Sebelum biicara tentang politik hukumnya, ada
hal penting berkaitan dengan paradigma negara dengan mengusung RUU ini.
Paradigma punya keterkaitan erat dengan politik hukum. Apalagi, paradigma ini
seharusnya selaras jika diterjemahkan ke dalam konsep politik hukum sebagai suatu
hal yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan. Paradigma ini kajian cara pandang
dari kebijakan yang mendasari. Kita semua
paham bahwa ini adalah upaya yang mau dibuat pemerintah dalam mempermudah
investasi dan mengatasi ruwetnya perundang-undangan yang berkaitan dengan hal itu.
Tak bisa ditolak bahwa ekonomi memainkan peranan penting dalam kehidupan
bernegara, tetapi dalam menempatkan zero sum menunjukkan cara berpikir yang
terlalu simplisitik. Ini serupa tapi tak sama dengan cara berpikir pembangunanisme di
era Soeharto yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan “mengorbankan” aspek
kenegaraan lain. Kritik terhadap pendekatan ini sudah amat banyak. UU ini
memamerkan secara gamblang bahwa demi alasan menggelar karpet merah bagi
investasi, ada sekian banyak yang harus diterabas. Padahal, kita paham, ada batasan
nyata antara proses investasi dan perbaikan iklim perekonomian, yang tak semata oleh
rezim perundang-undangan. Ada begitu banyak faktor lain mempengaruhi yang rasanya
mustahil diindahkan, semisal kepastian hukum dan penegakan hukum serta
pemberantasan korupsi (Rimawan Pradiptyo, 2019). Namun, tidak bagi RUU ini. Secara
yakin memosisikan bahwa hukum dan beberapa aspek hak asasi adalah bagian yang
menghalangi investasi dan karena itu harus ditepikan.
Selain itu, ada nuansa sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat melalui presiden
dalam RUU ini. Pemda jadi ditepikan, tentu tak sepenuhnya keliru apalagi yang
memegang teguh paradigma sistem presidensial dan doktrin negara kesatuan. Karena
begitulah layaknya sistem presidensial yang mirip raja oleh karena kuasa tunggal dalam
suatu kepala (kuasa eksekutif maupun kuasa negara). Namun, jangan lupa nukilan
Alexander Hamilton, presiden dalam sistem presidensial adalah raja yang diberi
batasan oleh konstitusi. Intinya adalah batasan konstitusional. Dan tatkala penumpukan
kekuasaan dilakukan pada presiden tanpa batasan konstitusional yang jelas dan kuat,
jebakan ke arah otoritarian akan mudah terjadi. Selain kritik atas paradigma, materi
perundang-undangan juga harus
dilihat secara formal. Dalam kaitan paradigma, perlu diingatkan hakikat
perundang-undangan tidaklah melulu apa yang diinginkan oleh pembentuk UU,
tetapi apa yang diinginkan publik. Prinsip demokrasi menyebutkan pembentuk
UU, presiden dan parlemen, dalam sistem presidensial merupakan perpanjangan
tangan dari kedaulatan rakyat. Hanya jadi pelaksana dari keinginan rakyat. Dalam
perspektif Bryan Thomson (2001), konstitusionalitas atas kerja-kerja negara harus
bersumber dari hukum dasar, hanya mengikat jika didasarkan atas kekuasaan
tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara.
Dan ketika kekuasaan itu telah diberikan, ia berkewajiban untuk taat dan
patuh atas konsep pembatasan kekuasaan yang disematkan pada negara dan
memperhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat, sebagai sumber kedaulatan
yang dimiliki negara dalam menjalankan kewenangannya. Secara sederhana,
apakah UU itu lahir dari keinginan pembentuk UU saja yang merasa apa yang
baik dan benar dijalakan ke warga negara ataukan harus juga ada di dalam keinginan
dan aspirasi masyarakat yang ingin diatur dengan cara apa. Ini menjadi
penting untuk mendudukkan catatan kritis awal atas RUU Cipta Kerja ini.
Konsep Politik Hukum
Selain soal paradigma, yang tak kalah menarik adalah melihat secara
konsep politik hukum, yang dalam konsep Mahfud MD (2004), setidaknya bisa
dibahasakan menjadi tiga hal. Pertama, “cetak biru” dari kebijakan dan dan
peraturan yang dicita-citakan. Kedua, tarik-menarik politik pada proses di dalam
ruangan pembahasan dan persetujuan legislasi. Ketiga, implementasi yang
diharapkan dan dapat terkawal oleh kebijakan tersebut.
Cetak biru sebenarnya adalah konsep perundang-undangan yang berkaitan
dengan keseluruhan UU dan sistem yang diharapkan akan dibangun ke depan
dalam kebijakan yang akan dibuat. Ia berisi pandangan menyeluruh, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Sekurang-kurangnya, itu hadir dalam naskah
akademik. Dari 2.278 halaman naskah akademik yang dibuat, tak banyak bicara
tentang bangunan apa yang diharapkan dalam membuat konsep hukum ke depan.
Dari 11 kluster yang terimbas RUU ini, tak jelas apa yang mau dibangun ke depan
dari tema pada kluster itu.
Misalnya perizinan, ke depan apa konsep perizinan yang mau dicapai?
Apalagi di kluster itu terdapat begitu banyak hal yang berkaitan: kehutanan,
lingkungan hidup, pertanahan, dan lain-lain. Artinya, bukan hanya soal bangunan
cetak biru di wilayah perizinannya yang harus didetailkan, tetapi juga bagaimana
cara pandang negara pada sektor terimbas itu? Karena UU tidaklah bersifat
einmaleigh (sekali pakai), tapi dia harus dapat memotret secara forward looking
tentang apa yang diharapkan ke depan. Begitu pun dengan kluster lain selain soal
perizinan.
Pada cetak biru, kemungkinan tarik-menarik kepentingan politiknya pun
harus diwaspadai. Siapa pun paham, UU memang merupakan resultante
kepentingan politik. Namun, di situlah fungsi konstitusi dan peraturan perundang
undangan memberikan ruang agar tak sekadar memenuhi kaidah politik, tetapi
juga memenuhi keinginan publik. Karena itu, dibuka ruang yang namanyapartisipasi,
aspirasi, dan berbagai tindakan penyesuaian serta masukan lain. Pasal
96 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
P3), misalnya, jelas menyatakan partisipasi masyarakat amat penting.
Pasal ini mengatur, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan tulisan, melalui RDPU, kunjungan kerja, sosialisasi maupun seminar,
lokakarya atau diskusi. Masyarakat di sini adalah semua orang yang punya
kepentingan dan karena itu RUU harus dimudahkan untuk dapat diakses. Pada
penyusunan RUU Cipta Kerja, semua hal itu dilanggar. Nyaris tidak ada
partisipasi, transparansi, dan terkesan terburu-buru. Tak ada pengayaan wacana
sebagai bentuk partisipasi yang diperintahkan dalam UUP3.
Bahayanya adalah konsep pembuatan UU di Indonesia memang
menyimpan kemungkinan tinggi untuk mengalami politisasi dan tukar-menukar
kepentingan. Ikut sertanya presiden dalam membahas dan menyetujui UU
berakibat kedudukan presiden sangat kuat dalam penyusunan UU. Posisi yang
kuat ini–meski pada saat yang sama UUD memberikan kewenangan legislasi
kepada DPR–membuat presiden sangat mungkin bertukar kepentingan dalam
pembuatan UU. Di tengah besarnya kepentingan politik di DPR, tukaran
kepentingan itu akan mudah terjadi. Ini sudah terlihat di berbagai UU, seperti UU
No. 19/2019 tentang Perubahan UU KPK.
Tak kalah urgen adalah memastikan implementasi. Sudah terlihat cara
pandang pemerintah memastikan implementasi dengan membuang segala hal
teknis ke peraturan pemerintah (PP). Dari RUU yang ada, ada sekitar 500 norma
delegasi ke tingkat PP. Dengan cita-cita melakukan perampingan regulasi,
bayangkan betapa ide ini adalah jauh panggang dari api. Bahaya mendelegasikan
ke PP ini adalah meninggikan kemungkinan diskresi presiden dalam pengaturan.
Bukan sekadar itu, dapat dibayangkan bengkaknya kewenangan presiden dengan
adanya pasal 170 ayat (1), (2), dan (3) di RUU ini yang menegaskan bahwa demi
pelaksanaan kebijakan UU Cipta Kerja, pemerintah pusat berwenang melakukan
perubahan ketentuan dengan PP yang akan dikonsultasikan ke DPR.Pemerintah
seakan mengangkangi ketentuan UUD, bahkan perundang
undangan lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan
kemungkinan adanya 500-an PP, pembengkakan dan monopoli kewenangan
pemerintah sangat mudah terjadi.
Memilih Metode “Omnibus”
Berkaitan dengan politik hukum, pilihan metode kebijakan juga menarik
untuk diperhatikan. Secara sederhana, metode omnibus ini memang memiliki
beberapa keunggulan untuk dapat dengan cepat merapikan dan
mengharmonisasikan UU yang tumpang tindih dan tak beraturan. Memang tak ada
keseragaman istilah dan praktik penggunaannya. Namun, paling sederhana,
omnibus law adalah ‘A draft law before a legislature which contains more than
one substantive matter or several minor matters which have been combined into
one bill, ostensibly for the sake of convenience” (Duhaime Legal Dictionary)
Problem pertama adalah seberapa luas satu-dua hal subtantif atau beberapa
yang minor itu. Praktik pada umumnya menjelaskan, omnibus dipakai untuk
beberapa kluster yang lebih mirip, misalnya berkaitan dengan pelaksanaan
anggaran/budget implementation (praktik di Kanada dan AS) walau memang ada
praktik yang terlalu luas dan besar (Irlandia). Praktik meluas selalu dapatkan
kritik yang kuat. Apalagi dengan RUU Cipta Kerja yang menggabungkan 11
kluster yang memiliki corak dan paradigma hukum yang tak seragam. Ketika
digabungkan dalam satu konsep seragam, sangat mungkin menjadi problem.
Secara teknis pun ada begitu banyak konsep pembahasan perundang
undangan yang diatur di beberapa UU yang diterabas melalui aturan ini. Semisal
UU No. 12 tahun 2011 ataupun UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD ataupun peraturan teknis lain yang tersebar di Tata Tertib. Mungkin
memang tak ada kesiapan negara dengan menyesuaikan aturan pembentukan
perundang-undangan model omnibus.
Lebih khusus dengan proses pembahasannya. Di pembahasan antara DPR
dan pemerintah (DPD dapat ikut dalam posisi tertentu) menjadi menarik melihat
teknis pembahasannya akan seperti apa. Jumlah komisi di DPR sebenarnya
mencerminkan berapa jumlah urusan pemerintah yang dibagi habis dalam kluster
komisi. Namun, dengan UU yang sangat luas dan lebar, akan berkaitan
lintaskomisi. Seberapa keterlibatan partai-partai di situ, seberapa representatif
pembahasan itu pun, akan menjadi hal yang menarik untuk dipertanyakan lebih
lanjut.
Namun bola telah dilemparkan ke DPR. Jauh lebih mulia bagi DPR untuk
tidak melanjutkan proses pembahasan, tetapi meminta pemerintah untuk
memperbaiki kekacauan paradigma, politik hukum, dan pilihan cara omnibus yang
terlalu besar ini. Semoga DPR mau meluruskan kekeliruan wilayah politik hukum
ini dan bukan meluluskan keinginan pemerintah begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai