Anda di halaman 1dari 9

Volume 7, No 1, Juli 2019 (30 – 38)

https://e-journal.stt-star.ac.id/index.php/asteros

Intermediate State: Studi Reflektif tentang Kematian dan Relevansinya


bagi Orang Percaya

Sumihar Tamba
Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Riau

Abstrak: Kematian bisa menjadi suatu hal yang menakutkan dan suatu hal yang dinanti-nantikan.
Oleh sebab itu, masalah tentang keberadaan orang yang telah meninggal dunia adalah hal yang
sangat penting. Pertanyaan yang timbul dari kalangan orang-orang Kristen masa kini berkaitan
dengan kematian adalah “Setelah mati, ke manakah orang-orang Kristen berada?
Bergentayangankah? Nerakakah? Surgakah? Atau ada tempat lain?” Hal ini dikenal dengan isti-
lah intermediate state (masa antara). Orang-orang Kristen dibingungkan oleh banyak pandangan
tentang hal ini. Ironisnya, banyak orang Kristen salah memihak sehingga mereka salah mengerti
karena tidak tahu apa yang sesungguhnya Alkitab katakan mengenai hal ini.
Kata kunci: intermediate state; kematian; neraka; surga

PENDAHULUAN
Istilah intermediate state (masa antara) merupakan suatu kondisi orang yang telah
mati di antara saat kematiannya dan kebangkitannya pada akhir zaman. 1 Kata intermediate
merupakan kata sifat yang mengacu pada suatu kurun waktu tertentu. Kata state
merupakan suatu kondisi manusia di bawah keadaan tertentu.2 Berdasarkan pengertian
tersebut, di manakah orang-orang Kristen yang meninggal dunia itu berada sebelum tiba
hari kebangkitan itu? Bagaimana tubuh dan jiwa mereka?
Tulisan ini akan membahas mengenai konsep intermediate state yang ditinjau dari
beberapa pandangan umum dan pandangan alkitabiah. Makalah ini ditulis supaya pembaca
mendapatkan konsep yang benar mengenai intermediate state. Adapun metodologi penuli-
san makalah ini adalah sebagai berikut. Makalah ini diawali dengan pendahuluan yang
berisi mengenai pertanyaan yang timbul di kalangan orang Kristen mengenai konsep inter-
mediate state ini. Bagian pendahuluan ini juga disertai pengertian intermediate state itu
sendiri, tujuan makalah, dan metodologi penulisan makalah ini. Setelah itu, penulis akan
memaparkan beberapa pandangan yang berbicara mengenai konsep ini, di antaranya adalah
purgatori dan jiwa-tidur. Selain itu, penulis juga akan memaparkan pandangan Alkitab
terhadap konsep intermediate state. Pada akhirnya, penulis akan menyimpulkan secara
ringkas makalah ini pada bagian penutup.

1
Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2004) 123.
Benny Solihin, “Di Manakah Orang-orang yang Telah Meninggal Dunia Berada?: Sebuah Studi
2

Mengenai Intermediate State” dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 4/2 (Oktober 2003) 225.

Copyright© 2019, ASTEROS | 30


Sumihar Tamba: Intermediate State: Studi Reflektif tentang Kematian…

Beberapa Pandangan Mengenai Intermediate State


Adalah sebuah fakta yang didukung oleh pengalaman umum dan juga merupakan
ajaran Alkitab bahwa “tubuh manusia setelah mati kembali ke tanah” seperti yang
diungkapkan di dalam Pengakuan Iman Westminster dalam bagian mengenai keadaan
manusia setelah kematian dan kebangkitan dari kematian.
Tubuh manusia setelah mati kembali menjadi debu dan diserahkan kepada
kebinasaan, tetapi jiwa mereka (yang tidak mati maupun tertidur), karena memiliki
substansi kekal, secara langsung kembali kepada Allah yang memberikannya. Jiwa
orang-orang benar dijadikan sempurna di dalam kekudusan . . .sambil menantikan
penebusan sempurna bagi tubuh mereka. Sedangkan jiwa orang-orang fasik
dilemparkan ke dalam neraka . . . disimpan untuk penghakiman di hari terakhir.
Selain kedua tempat bagi jiwa yang terpisah dari tubuhnya, Alkitab tidak mengakui
tempat lain mana pun.3
Bagian dari Pengakuan Iman Westminster ini mengajarkan kepada kita bahwa tubuh fisik
manusia kembali kepada debu dan mengalami kebinasaan setelah kematian. Jiwa manusia
memasuki masa antara (intermediate state), tetapi masa antara ini berbeda bagi orang
benar dan bagi orang fasik.
Pemahaman masa antara sendiri telah mengalami berbagai macam penafsiran dan
perkembangan selama abad belakangan ini. Millard J. Erickson mengatakan bahwa, “The
doctrine of intermediate state is an issue that is both very significant and problematic.”4
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan dua pandangan yang membahas mengenai masa
antara (intermediate state).
Doktrin Purgatori
Pada abad pertengahan kekristenan, purgatori menjadi masalah yang serius. Gereja
Katolik Roma mengajarkan bahwa orang-orang berdosa bisa lepas dari neraka dengan
pertobatan yang sunguh-sungguh, tetapi penghakiman Allah tetap tidak dapat mereka
hindari.5 Doktrin ini menyatakan bahwa jiwa mereka akan pergi menuju ke purgatori di
mana jiwa mereka akan “undergo purification [by suffering in the fires of purgatory], so as
to achieve the holiness necessary to enter the joy of heaven.”6 Selama jiwa berada di
dalam api penyucian tersebut, mereka merasakan sakitnya keadaan terpisah dari hadirat
Allah dan penderitaan mereka ini positif mempengaruhi jiwa.7 Jadi, hanya orang-orang
yang sempurnalah yang bisa memasuki surga.
Pengajaran Katolik Roma ini didasarkan pada penafsiran 2 Makabe 12:46 dan a
very strained exegesis dari 1 Korintus 3:15, 1 Petrus 1:17, dan Yudas 22-23.8 Gereja Roma
Katolik juga mengeluarkan indulgensia yang dimaksudkan untuk menghapus dosa-dosa
orang yang telah mati. Fundamentals of Catholic Dogma mengartikan indulgensia sebagai

3
G. I. Williamson, Pengakuan Iman Westminster (Surabaya: Momentum, 2006) 389.
4
Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1998) 1179.
5
Reginald W. Deitz, Luther and the Reformation (Philadelphia: Muhlenberg, 1953) 46.
6
Robert L. Reymond, The Reformation’s Conflict with Rome (Great Britain: Christian Focus, 2001)
113.
7
Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 1997) 51.
8
Reymond, The Reformation’s Conflict 114.

Copyright© 2019, ASTEROS | 31


ASTEROS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol 7, No 1, Juli 2019

remisi ekstra sakramen atas penghukuman sementara dari sisa dosa setelah pengampunan
dari kesalahan dosa.9 Dengan kata lain, dosa dapat dihapuskan atau penghukuman dalam
api penyucian dapat dipersingkat oleh doa-doa dan perbuatan baik dari orang beriman yang
masih tinggal di dunia dan terutama melalui korban missa.
Doktrin purgatori dianggap sebagai pernyataan positif yang mengatakan bahwa
penderitaan manusia itu bertujuan untuk melanjutkan penyucian setelah mereka mati.
Masalah yang lebih serius dari doktrin ini adalah doktrin ini mengajarkan bahwa kita harus
menambahkan sesuatu kepada karya penebusan Kristus dan bahwa karya penebusan-Nya
bagi kita itu tidak cukup untuk membayar hukuman atas seluruh dosa kita.10 Menanggapi
doktrin ini, penulis setuju dengan apa yang diungkapkan oleh N. T. Wright bahwa
“Purgatori . . hal ini ditolak dengan yakin oleh dasar biblika dan teologi dan bukan semata-
mata oleh karena antipati pada penyalahgunaan keterangan atau fakta pada Reformasi.”11
Lebih lanjut lagi dalam bagian lain, Wright mengatakan bahwa:
I do not believe in purgatory as a place, a time, or a state…As the reformers
insisted, bodily death itself is the destruction of the sinful person…Death itself gets
rid of all that is still sinful; this isn’t magic but good theology. There is nothing
then left to purge…The myth of purgatory is an allegory, a projection from the
present onto the future. This is why purgatory appeal to the imagination.12
Alkitab pun tidak mengatakan bahwa purgatori (api penyucian) merupakan pernyataan
positif untuk penyucian setelah kematian. Doktrin ini dianggap telah merampas orang-
orang percaya yang telah percaya bahwa mereka akan segera masuk ke dalam kehadiran
Tuhan ketika mereka meninggal.
Doktrin Jiwa-Tidur
Ide dari doktrin ini adalah arwah orang mati selama periode antara kematian dan
kebangkitan, tidur atau beristirahat dalam keadaaan tidak sadar dan mereka akan kembali
pada keadaan sadar ketika Kristus kembali dan membangkitkan mereka menuju kehidupan
kekal.13 Doktrin ini juga mengajarkan bahwa setelah kematian, jiwa terus ada sebagai suatu
keberadaan spiritual yang individual tetapi dalam keadaan tidak sadar. Calvin juga
memaparkan tentang doktrin ini dalam makalahnya yang berjudul Psychopannychia
(Anabaptis dan Luther).14
Alkitab seringkali berbicara mengenai kematian sebagai tidur (Mat. 9:24; Yoh.
11:11). Selanjutnya bagi penganut doktrin ini, beberapa ayat setidaknya menunjukkan
bahwa orang mati berada dalam keadaan tidak sadar (Mzm. 146:4; Pkh. 9:5-6; Yes.
38:18).15 Sebenarnya, dukungan bagi doktrin ini adalah kata “sleep” atau “falling asleep”

9
Jhon Ankerberg dan Jhon Weldom, Protestants and Catholic: Do They Now Agree? (Eugene:
Harvest, 1995) 102. Karena keterbatasan halaman pada makalah ini, penulis tidak akan membahas mengenai
sejarah indulgensia dan inti pengajran yang terkandung di dalamnya.
10
Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994) 818-819.
11
N. T. Wright, Surprised by Hope (New York: HarperCollins, 2008) 166.
12
Ibid. 170-171.
13
Grudem, Systematic Theology 819.
14
Berkhof, Teologi Sistematika 55.
15
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematik (Malang: Gandum Mas, 1979) 523.

Copyright© 2019, ASTEROS | 32


Sumihar Tamba: Intermediate State: Studi Reflektif tentang Kematian…

yang merupakan metafora yang menyatakan bahwa kematian hanya sementara bagi orang
Kristen (tidur bersifat sementara).16 Penganut doktrin ini adalah gerakan Adven Hari
Ketujuh di mana mereka merumuskan ajaran ini demikian: “Kondisi manusia dalam
kematian adalah pada ketidaksadaran [dan itu] semua manusia, dan yang jahat, tinggal di
dalam kuburan dari kematian sampai kebangkitan.”17 Dengan kata lain, doktrin ini menya-
takan bahwa tidak ada neraka atau tidak ada tempat penyiksaan kekal. Doktrin ini tidak
terlalu diterima oleh gereja karena doktrin ini menggunakan eksegesis yang tidak tepat
terhadap ayat-ayat pendukungnya.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan doktrin ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ada beberapa keterangan Alkitab yang menunjuk pada pribadi, yaitu
kebingungan antara kematian dan kebangkitan (mis. Luk. 16:19-31). Kedua, hal yang
logis adalah untuk menyimpulkan bahwa bagian Alkitab yang merujuk pada kematian
sebagai tidur adalah deskripsi yang literal dari kondisi kematian sebelum kebangkitan.
Ketiga, konsep tambahan yang sulit untuk pandangan di mana natur manusia itu satu
adanya.18
Tanggapan atas doktrin ini adalah sebagai berikut. Pertama, frase “jiwa-tidur”
cenderung menyesatkan. Di dalam Alkitab, frase ini seringkali digunakan sebagai gamba-
ran yang menunjuk kepada kematian.19 Kedua, apakah doktrin ini masuk akal untuk
menyimpulkan bahwa maksud Alkitab dengan menunjuk kematian sebagai keadaan
tertidur adalah gambaran yang literal dari kondisi kematian sebelum terjadi kebangkitan? 20
Frase ini seharusnya lebih kelihatan sebagai euphemism terhadap kata “tidur.” Ketiga,
keterangan dalam Alkitab menunjukkan bahwa orang-orang percaya yang telah mati
menikmati suatu hubungan yang sadar dengan Kristus, bukannya dalam kondisi yang tidak
sadar, seperti yang ditekankan oleh doktrin ini.21 Doktrin ini menganggap bahwa jiwa dari
orang-orang benar akan berada di dalam keadaan sadar ketika mereka mengalami
persekutuan dengan Allah di dalam surga, bukan setelah mereka mengalami kematian.
Pandangan Alkitabiah Mengenai Intermediate State
Konsep intermediate state sendiri sebenarnya tidak banyak dituliskan dan dibahas
di dalam Alkitab. Tapi, ada beberapa bagian dari Alkitab yang sering digunakan sebagai
dasar pengajaran dari konsep intermediate state ini. Selain ayat-ayat tersebut, istilah sheol
dan hades juga sering digunakan untuk menunjukkan tempat di mana orang-orang yang
mati itu berada. Pemaparan dari ayat-ayat tersebut serta istilah sheol dan hades adalah
sebagai berikut.
Sheol dan Hades
Istilah sheol digunakan di dalam Perjanjian Lama, sedangkan istilah hades
digunakan di dalam Perjanjian Baru. Sheol adalah cara Perjanjian Lama untuk menegaskan
16
Grudem, Systematic Theology 819.
17
Erickson, Christian Theology 1182.
18
Erickson, Christian Theology 1182-1183.
19
Ibid. 1182.
20
Ibid. 1183.
21
Thiessen, Teologi Sistematika 524.

Copyright© 2019, ASTEROS | 33


ASTEROS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol 7, No 1, Juli 2019

bahwa kematian tidak mengakhiri eksistensi manusia. Sheol (Ibr.) tidak pernah digunakan
dalam bentuk jamak karena istilah ini semata-mata tidak merujuk pada kuburan yang digali
di dalam tanah, tapi merujuk pada alam baka. Sheol berbeda dari qeber. Qeber selalu
digunakan hanya untuk tempat penguburan tubuh seseorang. Sheol memiliki pengertian
lebih daripada qeber.22 Sheol dapat berarti wilayah kematian atau dunia orang mati (secara
figuratif). Istilah ini juga terkadang dipakai untuk menunjukkan suatu peristiwa kematian
(Kej. 37:35, dunia orang mati  sheol).23 Sheol dilukiskan sebagai tempat yang dalam
(Ayb. 17:16), gelap (Ayb. 17:13), dan seperti kerongkongan yang menganga dan tidak
pernah puas menelan (Ams. 27:20; 30:15-16; Yes. 5:14; Ibr. 2:5). Istilah sheol bersifat
netral yang diperuntukkan bagi orang beriman dan tidak beriman. Adakalanya pula, sheol
dapat dimengerti sebagai neraka atau tempat hukuman bagi orang-orang yang tidak
percaya (Mzm. 9:18; 55:16; Ams. 15:24).24 Berdasarkan penjelasan di atas, sheol dapat
dimengerti sebagai tempat di mana orang-orang yang telah mati berada dan berada pada
kondisi yang tidak menyenangkan (penderitaan, dalam, gelap) di sana. Tapi, sheol tidak
bisa dijadikan tempat hukuman kekal karena sheol dalam Perjanjian Lama mengatakan
bahwa kematian tidak mengakhiri eksistensi manusia. Dengan kata lain, sheol bukanlah
tempat terakhir untuk orang yang mati, tapi tempat di mana orang yang mati berada untuk
sementara.
Perjanjian Baru menggunakan istilah hades untuk menunjukkan tempat di mana
orang-orang mati berada. Hades adalah terjemahan dalam bahasa Yunani untuk sheol.
Istilah hades digunakan 10 kali di dalam bahasa Yunani.25 Dalam beberapa tulisan, hades
menunjukkan tempat penghukuman jiwa-jiwa orang fasik. Hades secara umum juga
dimengerti sebagai dunia orang mati (Kis. 2:27, 31). Di dalam Kitab Wahyu, istilah hades
digunakan beberapa kali dengan pengertian yang berbeda. Hades digambarkan seperti
sebuah penjara dengan pintu yang kokoh (Why. 1:18), dipakai dalam kaitannya yang erat
dengan kematian (Why. 6:8), dan sebagai sebuah dunia yang menyerahkan orang-orang
mati (Why. 20:13). Matius 11:23 dan 16:18 mengartikan hades sebagai dunia orang mati.26
Lain halnya dengan pengertian-pengertian di atas mengenai hades, Lukas 16:19-31
memakai istilah ini bukan hanya sebagai gambaran untuk dunia orang mati, tapi sebagai
tempat hukuman selama masa antara di mana kondisi yang ada penuh sengsara dan adanya
penghukuman bagi orang-orang fasik.27 Dengan demikian, hades dapat dipahami sebagai
tempat di mana orang yang sudah mati berada dan di dalamnya terdapat kesengsaraan dan
penghukuman.
Berdasarkan pemaparan dari pengertian sheol dan hades di atas, kesimpulan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut: (1) Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

22
Sidlow J. Baxter, The Other Side of Death: What The Bible Teaches About Heaven and Hell
(Grand Rapids: Kregel, 1987) 25.
23
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman 128.
24
Ibid. 129.
25
Baxter, The Other Side of Death 26.
26
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman 133.
27
Ibid. 134.

Copyright© 2019, ASTEROS | 34


Sumihar Tamba: Intermediate State: Studi Reflektif tentang Kematian…

menunjukkan bahwa ada suatu tempat (sheol dan hades) bagi orang yang telah mati; dan
(2) orang-orang yang mengalami kematian akan masuk ke dalam dunia orang mati.
Pengertian hades di dalam Perjanjian Baru mengalami perkembangan dari pengertian sheol
yang ada di Perjanjian Lama.
Lukas 16:19-31
Perikop ini sebenarnya masih menjadi perdebatan apakah mengandung konsep
intermediate state atau tidak. Perikop ini membahas mengenai kisah Lazarus yang miskin
dan seorang yang kaya. Dalam perikop ini, Lazarus yang mati tidak masuk ke dalam
hades, tapi “dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham” (ay. 22). Sedangkan,
seorang yang kaya “menderita sengsara di alam maut (Yun. Hades)” setelah dia mati (ay.
23). Hades dalam perikop ini mewakili tempat hukuman dan kesengsaraan setelah
kematian. Hades juga merupakan intermediate state di mana orang-orang yang mati
menantikan kebangkitan akhir.28 “Pangkuan Abraham” mewakili tempat atau kondisi yang
penuh kebahagiaan (ay. 25).29 Dalam kondisi seperti ini, Lazarus dan orang kaya itu sadar
akan di mana mereka berada sekarang sehingga orang kaya itu berusaha untuk mendapat
keringanan dari kesengsaraannya (ay. 24) dan dia juga meminta agar keluarganya tidak
mengalami apa yang dia alami (ay. 27-28).
Kesimpulan yang dapat diambil adalah jika seorang benar segera memasuki
keadaan kekalnya maka orang durhaka juga akan segera memasuki keadaan kekalnya.
Dengan demikian, orang-orang yang telah meninggal dunia akan masuk ke dalam
intermediate state dengan kesadaran penuh. Orang-orang yang telah masuk ke dalam
hades tidak akan bisa untuk pindah ke “pangkuan Abraham.”
Lukas 23:39-43
Bagian ini menunjukkan konsep intermediate state karena ada indikasi (lokasi)
yang dipakai di sini. Bagian ini menceritakan bahwa Yesus berada di antara dua orang
penjahat ketika Dia disalibkan. Seorang dari penjahat itu berkata pada Yesus supaya
Yesus mengingatnya ketika Yesus datang sebagai Raja (ay. 42). Pada saat itu, Yesus
mengatakan bahwa penjahat itu berada di dalam Firdaus hari itu juga (ay. 43).
Kata “Firdaus” disejajarkan dengan “tingkat ketiga dari surga” (2Kor. 12:2)
sehingga “Firdaus” di sini dipahami sebagai surga di mana Allah berdiam atau sebagai
tempat orang mati yang penuh berkat. Hal ini juga dimengerti sebagai tempat
peristirahatan sementara untuk jiwa orang-orang benar yang mati sebelum menuju kepada
kebangkitan besar.30 Kemudian, janji Yesus kepada penjahat itu memiliki arti bahwa
penjahat itu akan hidup bersama Yesus di dalam kemuliaan surgawi pada hari itu juga,
yaitu segera setelah kematiannya.31 Mereka akan mendapat kebahagiaan di sana bersama-
sama dengan Kristus.

28
R. Kent Hughes, Preaching The Word: Luke Vol. 2 “That You May Know The Truth” (Illinois:
Crossway, 1998) 158.
29
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman 134-135.
30
Hughes, Preaching The Word: Luke 385.
31
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman 137-138.

Copyright© 2019, ASTEROS | 35


ASTEROS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol 7, No 1, Juli 2019

Dengan demikian, konsep intermediate state yang dapat disimpulkan dari bagian
ini adalah orang-orang percaya yang meninggal dunia akan segera masuk ke dalam
persekutuan dengan Kristus tanpa harus menunggu kedatangan Kristus yang kedua kali.
2 Korintus 5:1-10
Perikop ini merupakan bagian yang sangat penting dan sering dipakai untuk
menjelaskan intermediate state.32 Di dalam perikop ini, Paulus memperlihatkan tentang
bagaimana kehidupan manusia di masa yang akan datang dan takhta pengadilan Kristus
yang harus dia hadapi nantinya. Bagian ini ditulis sebagai pengajaran Paulus yang
eksplisit dari Filipi 3:20-21. Ada kekontinuitasan antara kemah dan tempat kediaman
kekal, yaitu kekontinuitasan antara tubuh yang mati dan tubuh yang kekal dari
kebangkitan.33
“Kemah tempat kediaman kita di bumi” (ay. 1a) berarti suatu kondisi kehidupan
sekarang ini yang penuh kesulitan dan sengsara. Frase “suatu tempat kediaman yang
kekal” (ay. 1b) menjadi permasalahan.34 Tapi, Paulus menyebutkan dengan jelas bahwa
tempat kediaman kekal itu adalah di surga dan tidak dibuat oleh tangan manusia. Di dalam
ayat 8, Paulus tidak sedang berbicara tentang kematian, tetapi tentang apa yang akan
segera mengikuti kematian.35 Orang yang mati akan masuk (beralih) ke dalam suatu
tempat (menetap) untuk bersekutu bersama dengan Tuhan. Di sinilah, orang-orang yang
mati akan menunggu sampai pengadilan Kristus itu terjadi atas mereka.
Jadi, konsep intermediate state yang dapat disimpulkan dari bagian ini adalah
orang-orang benar yang telah mati akan segera berada bersama dengan Kristus dalam
keadaan sementara sambil menantikan takhta pengadilan Kristus. Selain itu, mereka akan
menerima kemuliaan surgawi meskipun mereka belum disempurnakan (ay. 3).
Filipi 1:20-23
Bagian ini termasuk perikop yang menceritakan Paulus di penjara Filipi. Pada saat
itu, Paulus menghadapi keadaan yang buruk. Waktu pemenjaraan itu digunakan Paulus
untuk merefleksikan dirinya dengan kehidupannya di masa yang akan datang. Paulus
menunjukkan imannya bahwa Kristus akan dimuliakan di dalam tubuhnya, baik itu ketika
dia hidup maupun mati (ay. 20). Paulus juga menegaskan bahwa hidup adalah Kristus dan
mati adalah keuntungan baginya (ay. 21). Ayat 21 ini menyatakan bahwa Kristus membuat
orang-orang benar hidup bahagia, baik dalam kematian dan kehidupan. Kristus juga akan
memberkati hidup dan mati orang-orang benar.
Ayat 23 memberikan kejelasan atas hal ini: “aku ingin pergi dan diam bersama-
sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik.” Orang-orang benar tidak berhenti
untuk memandang kematian dengan ketakutan, tapi ketika mereka mengarahkan mata
mereka pada kehidupan yang diikuti kematian, mereka mengatasi dengan mudah ketakutan

32
F. F. Bruce, I & II Corinthians (NCBC; Grand Rapids: Eerdmans, 1990) 201.
33
R. Kent Hughes, Preaching The Word: 2 Corinthians “Power in Weakness” (Illinois: Crossway,
2006) 104.
34
Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman 141.
35
Ibid. 143.

Copyright© 2019, ASTEROS | 36


Sumihar Tamba: Intermediate State: Studi Reflektif tentang Kematian…

mereka dengan penghiburan. Paulus menjelaskan keadaan orang-orang benar di mana


mereka hidup bersama Kristus setelah kematian. Kristus tinggal di dalam orang-orang
benar oleh iman dan janji-Nya di mana Dia akan bersama dengan mereka sampai akhir dari
dunia ini.36
Berdasarkan penjelasan di atas, konsep intermediate state pada bagian ini adalah
orang-orang benar menganggap bahwa kematian merupakan keadaan di mana mereka akan
diam bersama dengan Kristus. Orang-orang benar itu juga akan memiliki kehidupan yang
jauh lebih baik setelah kematian (ay. 23).
KESIMPULAN
Intermediate state telah menjadi konsep yang menimbulkan banyak kebingungan.
Berdasarkan studi yang penulis lakukan terhadap konsep ini di atas, penulis akan menarik
kesimpulan teologis. Alkitab jelas tidak mengajarkan mengenai doktrin purgatori dan
doktrin jiwa-tidur. Ayat-ayat pendukung kedua doktrin ini pun tidaklah tepat dalam
eksegesisnya. Penganut kedua doktrin ini memang menyoroti istilah atau kata kunci dari
ayat-ayat yang mereka pegang, tapi pengertian mereka hanya sebatas bagian tersebut dan
tidak dikaitkan dengan bagian Alkitab yang lainnya. Oleh karena itu, kedua doktrin ini
tidak dapat dibenarkan dan dipakai dalam gereja.
Penulis memegang pemahaman mengenai konsep ini di mana orang-orang yang
meninggal dunia segera memasuki suatu tempat sementara sampai kedatangan Kristus
yang kedua kalinya. Orang mati yang telah berada di tempat sementara itu berada dalam
keadaan sadar. Dalam hal inilah, doktrin jiwa-tidur jelas bertentangan. Orang yang jahat
akan mengalami penderitaan di hades dan orang yang percaya Tuhan akan masuk ke dalam
persekutuan dengan Tuhan segera setelah mereka mati. Orang-orang yang telah masuk ke
dalam hades tidak dapat berpindah ke “pangkuan Abraham” (tempat yang penuh dengan
kebahagiaan).
Pada saat Yesus datang untuk yang kedua kalinya, Dia akan membangkitkan orang-
orang yang telah mati itu. Setelah itu, orang-orang yang percaya pada-Nya akan tinggal
bersama-sama dengan Dia dalam kemuliaan dan sukacita surgawi. Inilah konsep
intermediate state yang dapat dipahami melalui pemaparan di atas. Alkitab hanya
mengajarkan ada suatu kehidupan sementara setelah kematian sebelum Yesus datang untuk
menghakimi manusia apakah manusia itu masuk ke surga atau neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Ankerberg, Jhon dan Jhon Weldom. Protestants and Catholic: Do They Now Agree?
Eugene: Harvest, 1995.
Baxter, J. Sidlow. The Other Side of Death: What The Bible Teaches About Heaven and
Hell. Grand Rapids: Kregel, 1987.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika: Doktrin Akhir Zaman. Surabaya: Momentum, 1997.
Bruce, F. F. I & II Corinthians. NCBC; Grand Rapids: Eerdmans, 1990.
Deitz, Reginald W. Luther and the Reformation. Philadelphia: Muhlenberg, 1953.
Erickson, Millard J. Christian Theology. Grand Rapids: Baker, 1998.

36
David W. Torrance dan Thomas F. Torrance, eds., Calvin’s New Testament Commentaries:
Galatians, Ephesians, Philippians, and Colossians (Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 238-240.

Copyright© 2019, ASTEROS | 37


ASTEROS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol 7, No 1, Juli 2019

Grudem, Wayne. Systematic Theology. Grand Rapids: Zondervan, 1994.


Hoekema, Anthony A. Alkitab dan Akhir Zaman. Surabaya: Momentum, 2004.
Hughes, R. Kent. Preaching The Word: Luke Vol. 2 “That You May Know The Truth.”
Illinois: Crossway, 1998.
_____________. Preaching The Word: 2 Corinthians “Power in Weakness.” Illinois:
Crossway, 2006.
Reymond, Robert L. The Reformation’s Conflict with Rome. Great Britain: Christian
Focus, 2001.
Solihin, Benny. “Di Manakah Orang-orang yang Telah Meninggal Dunia Berada?: Sebuah
Studi Mengenai Intermediate State” dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan
4/2 (Oktober 2003) 225.
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematik. Malang: Gandum Mas, 1979.
Torrance, David W. dan Thomas F. Torrance, eds. Calvin’s New Testament
Commentaries: Galatians, Ephesians, Philippians, and Colossians. Grand Rapids:
Eerdmans, 1974.
Williamson, G. I. Pengakuan Iman Westminster. Surabaya: Momentum, 2006.
Wright, N. T. Surprised by Hope. New York: HarperCollins, 2008.

Copyright© 2019, ASTEROS | 38

Anda mungkin juga menyukai