Anda di halaman 1dari 5

Nama : Siti Alfina Zahrah

NIM : 2001036084
Mata Kuliah : Perpajakan 2 AK/B

❖ Sistem Kredit PPN


A. Faktur Pajak Masukan
Pengkreditan faktur pajak masukan tidak bisa dilepaskan dari definisi faktur pajak masukan.
Secara sederhana, faktur pajak masukan adalah faktur pajak yang dibuat PKP yang telah
membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
Jika dalam suatu periode masa pajak nominal pajak keluaran yang dilaporkan lebih besar
ketimbang pajak masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP.
Penyetorannya wajib dilakukan paling lama akhir bulan selanjutnya, setelah berakhirnya masa
pajak serta sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Pengkreditan pajak masukan merupakan
suatu upaya dari PKP untuk memasukkan kembali PPN yang telah dibayar melalui pajak
keluaran yang telah dipungut.

B. Pengkreditan Faktur Pajak Masukan


Pengkreditan faktur pajak masukan memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1. Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama.
2. Pajak masukan atas perolehan barang modal sebelum berproduksi (sehingga belum
melakukan penyerahan kena pajak) dapat dikreditkan.
Pajak masukan dapat dikreditkan sepanjang BKP atau JKP terkait berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.
Kegiatan mengkreditkan pajak masukan ini akan menghasilkan tiga kemungkinan, yakni:
1. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih kecil ketimbang jumlah pajak
keluaran yang dipungut. Konsekuensinya, selisih kelebihan pajak keluaran wajib
disetorkan ke kas negara.
2. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih besar dibandingkan nominal pajak
keluaran yang dipungut. Atas hal ini, selisih kelebihan pajak masukan tersebut dapat
dikompensasi ke masa pajak berikutnya atau bisa dimintakan pengembalian (restitusi).
3. Nominal pajak masukan dan keluaran sama besar.

C. Syarat Pengkreditan Faktur Pajak Masukan


Agar pajak masukan dapat dikreditkan untuk suatu masa pajak yang sama, ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang usaha. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama
dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Sementara, pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi jenis pengeluaran
sebagai berikut:
1. Pengeluaran atas BKP atau JKP saat pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP.
2. Pengeluaran atas BKP atau JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Artinya, pengeluaran yang bukan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen, tidak bisa dikreditkan.

D. Batas Waktu Pengkreditan Pajak Masukan


Dalam dunia usaha tak jarang terjadi kesalahan administrasi yang sering dilakukan tidak
disengaja. Contohnya, faktur pajak belum dikirimkan kepada lawan transaksi. Hal ini membuat
lawan transaksi yang menerima BKP atau JKP tidak dapat membuat faktur pajak masukan
untuk dilaporkan.
Pengkreditan faktur pajak masukan sebagaimana diatur dalam UU PPN menyebutkan adanya
toleransi keterlambatan yakni 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan. Hal
ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (9) UU PPN 1984 yang secara spesifik menyebutkan:
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dkreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Contoh 1:
PKP A menyerahkan BKP pada tanggal 1 Maret 2018 dan membuat faktur pajak pada tanggal yang
sama. Kemudian, faktur pajak tersebut diterima oleh PKP pembeli pada tanggal 22 April 2018.
Sementara, SPT Masa PPN Masa Pajak 2018 wajib disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
paling lambat tanggal 30 April 2018.
Namun, ketika PKP Pembeli menerima faktur pajak tertanggal 1 Maret, SPT Masa PPN masa pajak
Maret 2018 belum disampaikan ke KPP, sehingga pajak masukan dalam faktur pajak tersebut dapat
dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama, yaitu pada SPT Masa PPN masa
pajak Maret 2018.

❖ PPN Pedagang Eceran


Pedagang eceran adalah pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan
penyerahan barang dengan cara sebagai berikut:
a. Melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen
akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
b. Dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak,atau lelang; dan
c. Pada umumnya penyerahan barang atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual
atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang yang dibelinya.
Termasuk dalam pengertian Pedagang Eceran adalah pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan penyerahan jasa dengan cara sebagai berikut:
a. Melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung
mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
b. Dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis,
pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
c. Pada umumnya pembayaran atas penyerahan jasa dilakukan secara tunai.
Contoh tempat penjualan eceran yaitu toko dan kios.
Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" adalah pembeli yang mengkonsumsi secara langsung
barang tersebut, dan tidak digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan produksi atau perdagangan.

A. Dasar hukum
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009;
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor36Tahun2008;
• Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
• Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
• Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan
Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

B. Objek penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sebagaimana diatur dalam Pasal
4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

C. Hak
Hak atas Kelebihan Pembayaran Pajak. Jika pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau
dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang WP berhak mendapatkan kembali kelebihan
tersebut.
Hak dalam hal WP dilakukan Pemeriksaan, dalam hal WP dilakukan pemeriksaan, WP berhak:
a. Meminta Surat perintah Pemeriksaan;
b. Melihat tanda pengenal pemeriksa
c. Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan;
d. Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT; dan dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan
e. Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali
f. Hak-hak llainnya

D. Kewajiban
• Kewajiban Mendaftarkan Diri
• Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan dan Pelaporan Pajak
• Kewajiban Dalam Hal Diperiksa
• Kewajiban Memberi Data

E. Contoh :
Tuan X merupakan pedagang tekstil. Omzet penjulan berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2018 adalah Rp3.000.000.000. Selama tahun 2019 total omzet penjualannya adalah
Rp3.600.000.000, sehingga jumlah PPh Final terutang setiap bulan dapat disajikan sebagai
berikut:

Bulan Omzet PPh Terutang


Januari 200.000.000 1.000.000
Februari 150.000.000 750.000
Maret 250.000.000 1.250.000
April 300.000.000 1.500.000
Mei 350.000.000 1.750.000
Juni 400.000.000 2.000.000
Juli 250.000.000 1.250.000
Agustus 250.000.000 1.250.000
September 450.000.000 2.250.000
Oktober 250.000.000 1.250.000
November 500.000.000 2.500.000
Desember 450.000.000 2.250.000
Jumlah 3.600.000.000 19.000.000

Karena omzet penjualan tahun 2019 masih di bawah Rp4.800.000.000, Tuan X tidak wajib
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak memungut PPN.

❖ PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)


I. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam ketentuan pajak, kegiatan yang membangun sendiri yang dimaksud adalah membangun
bangunan yang dilakukan tidak dalam rangka untuk kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
Perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) agak berbeda dengan perhitungan PPN
pada umumnya. Selain itu, tidak semua kegiatan membangun sendiri terutang pajak. Hal
tersebut karena ada Kriteria tertentu dalam pengenaan pajaknya.

II. Dasar hukum dan kriteria


Segala aturan terkait pajak pertambahan nilai untuk membangun sendiri juga diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 163 Tahun 2012 tentang Batasan dan Tata Cara
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Sendiri .
Sebagai catatan, aturan tersebut tidak mencakup kegiatan pembangunan sebagai kontraktor atau
pengembang. Berbicara tentang kriteria yang sebelumnya disebutkan, PMK tersebut juga
menjelaskan kriteria bangunan sendiri yang terkena pajak yaitu:
Konstruksi bersifat permanen , dimana sebagian besar materialnya terbuat dari batu bata, kayu,
beton, besi baja, serta material sejenis yang bersifat kokoh. Hal tersebut berlaku juga apabila
konstruksi merupakan gabungan dari beberapa materi yang telah disebutkan.
Maksudnya adalah bangunan tersebut dapat digunakan seperti hunian maupun tempat usaha
pribadi, misalnya ruko atau warung. Ukuran tertentu, Bangunan yang dibangun setidaknya
memiliki luas total lebih dari 200 m2

III. Terutang PPN


PPN KMS terutang saat bangunan dibangun termasuk saat penggalian pondasi atau
pemasangan tiang hingga pembangunan selesai. Waktu pembangunan juga bisa dilakukan
secara bertahap dan tidak melebih waktu dua tahun.
Sama dengan penerapan pajak lainnya, berdasarkan PMK No. 163 Tahun 2012, apabila
kegiatan yang dibangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan pajak pertambahan nilai, Ditjen
Pajak pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai hasil pemeriksaan.

IV. Tarif PPN untuk kegiatan membangun sendiri (KMS)


PPN untuk kegiatan membangun sendiri adalah 2%. Tarif tersebut efektif yang berasal dari tarif
PPN sebesar 10% yang dikalikan berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 20% dari jumlah
biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan.

V. Contoh :
Bapak Budi memiliki sebidang tanah dengan luas 300 meter per bidang dengan nilai Rp
100.000.000. Kemudian Bapak Budi berniat membangun rumah dengan rincian sebagai
berikut:
• Upah mandor: Rp 80.000.000
• Biaya total bahan : Rp100.000.000
Lalu berapakah PPN terutang atas pembangunan itu sendiri?
Sesuai dengan PMK No. 163 tahun 2012 tarif PPN terutang atas KMS adalah:
= PPN x DPP
= 10% x (20% x 80.000.000 + 100.000.000)

catatan: karena harga perolehan tanah tidak dihitung, hanya biaya total pembangunan saja yang
dihitung.
= 10% x 36.000.000
= 3.600.000
Maka, besaran PPN KMS terutang bapak Budi adalah Rp 3.600.000

Anda mungkin juga menyukai