Oleh :
Kelas 5B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi perekonomian yang tinggi potensi
tersebut mulai diperhatikan dunia Internasional, perekonomian Indonesia memiliki
sejumlah karakteristik yang menempatkan Indonesia dalam posisi yang bagus untuk
mengalami perkembangan ekonomi yang pesat mulai dari perekonomian masa Soekarno
dan perekonomian masa Soeharto. Perekonomian Indonesia dari masa ke masa
mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan. Setelah Indonesia merdeka
perekonomian mengalami masa yang sulit dan buruk, dalam pemerintahan Soekarno
perekonomian banyak mengalami perubahan namun mengarah pada kondisi
perekonomian yang buruk. Dengan beredarnya lebih dari satu jenis mata uang yang
menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi yang tidak dapat dikendalikan, sehingga saat itu
Indonesia mengalami pergolakan dan pada pemerintahan Soekarno menghasilkan
kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi. Masa
perekonomian Soekarno banyak mengalami perubahan yang beragam mulai dari
perekonomian pasca kemerdekaan, perekonomian masa demokrasi terpimpin, dan
perekonomian masa demokrasi liberal. Ketika perekonomian masa Soekarno mengalami
keburukan lahirlah perekonomian masa Soeharto atau orde baru dengan kebijakan yang
mengarah pada perubahan radikal, namun demikian perekonomian masa Soeharto
mengalami perubahan dengan timbul masalah baru dimana adanya utang luar negeri,
melonjaknya harga kebutuhan pokok, dan rendahnya pendapatan per kapita penduduk
Indonesia. Dengan demikian perekonomian masa Soeharto akan melakukan
pembangunan perekonomian. Penulis akan memaparkan materi tentang perekonomian
masa Soekarno dan Perekonomian masa Soeharto.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak awal, pemerintah Orde Baru menyadari bahwa kebijakan anti Barat yang merupakan
suatu ciri mencolok dari pemerintah Soekarno juga telah menimbulkan kesulitan bagi
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk meninggalkan
kebijakan “memandang ke dalam” (inward-looking policies) yang hanya membawa
kebangkrutan bagi Indonesia dan menggantikannya dengan kebijakan “memandang ke luar”
(out-ward policies). Kebijakan ini dicirikan oleh kebijakan perdagangan luar negeri dan
kebijakan investasi asing yang bersifat lebih liberal itu artinya, pemerintah Indonesia mulai
menerapkan kebijakan yang dapat menghapus atau mengurangi berbagai rintangan atas
perdagangan luar negeri dan investasi asing (Abdul Syukur, dkk, 2010 : 153).
Salah satu tindakan pertama Soeharto setelah mengambil alih pimpinan negara adalah
menugaskan tim penasihat ekonominya, yang terdiri atas kelima dosen FEUI, yaitu Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Soebroto, dan Emil Salim untuk menyusun
suatu program stabilisasi dan rehabilitasi. Tujuan utama dari program ini adalah memulihkan
stabilitas makro ekonmi dengan menghentikan hiperinflasi setinggi 600% yang telah
berkecamuk pada akhir masa pemerintahan Soekarno. Alat kebijakan utama untuk
menurunkan laju inflasi adalah anggaran berimbang (balance budget), artinya pengeluaran
pemerintah dibatasi oleh penerimaan pemerintah
Walaupun pemerintah Orde Baru bergerak cepat dan pasti untuk membangun sejumlah tujuan
di bidang ekonomi, sampai tahun 1985 industrialisasi hanya berpengaruh kecil di Indonesia.
Sektor pertanian menyumbang sekitar 24%dari PDB, sementara industri non migas
menyumbang kurang dari 14%(Abimanyu (Ed.), 2010, 24-25). Pada masa Soeharto banyak
berdiri organisasi pengusaha seperti KADIN (Kamar Dagang dan Industri), Hippi (Himpunan
Pengusaha Pribumi Indonesia), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), HIPLI
(Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia), IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia),
APEGTI (Asosiasi Pengecer Gula dan Terigu Indonesia), REI (Real Estate Indonesia) dan
ASI (Asosiasi Semen Indonesia), yang dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi anggota
dan bargaining power-nya. Pendirian HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), SPSI
(Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan sejenisnya mempunyai tujuan yang sama. Dalam
perekonomian internasional, Indonesia masuk dalam OPEC (Organisation of Petrolium
Exporting Countries) dan kerja sama regional APEC (Asia Pasific Economic Cooperation)
(Kuntowijoyo, 1995, 129-130). (Fareza, 2016)
Orde Baru yang dibangun oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1966 telah menghasilkan
prestasi yang luar biasa. Pada tahun 1996 atau 30 tahun kemudian sebagai hasil
pembangunan, Indonesia mengalami dua kali Quantum Leap, dari negara miskin ke negara
berkembang, dan dari negara berkembang menjadi negara berpendapatan menengah. Pada
tahun 1966 tingkat kemiskinan diperkirakan lebih dari 50%, sementara pada tahun 1996
kurang dari 15% Inflasi sekitar 400%pada tahun 1966, sementara tahun 1996 kurang dari
10%. Bahkan, pendapatan per kapita melonjak dari USD200 pada tahun 1966 menjadi
USD1.200 pada tahun 1996. Selama 25 tahun terakhir sebelum krisis 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia bergerak di kisaran 6%-8%per tahun (Abimanyu (Ed), 2010, 581-582).
(Hakim, 2009).
BAB III
Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan
ekonomi; langkah pertama adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara
bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan
keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat dan Jepang masuk ke Indonesia.
Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga dihentikan. Langkah
kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi
(sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk membuat sebuah rencana pemulihan
ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang
melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang.
Kemudian sebuah mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan
membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman
Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang
ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di
negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.
Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-
1982)
Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5%
dijaga. Fakta lain yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua
oil boom yang terjadi di tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun 1973/1974
ketika Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk
Indonesia, memotong ekspornya dengan drastis dan menyebabkan kenaikan harga minyak
yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika Revolusi Iran mengganggu
produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena kedua oil boom ini,
pendapatan ekspor Orde Baru dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam. Ini
memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian
dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah,
pembangunan sosial, infrastruktur dan pendirian industri-industri (dasar skala besar),
diantaranya termasuk industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan bahan-
bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Hal ini
membangkitkan sektor manufaktur yang berkembang. Namun, kemudian terjadi kerusuhan
besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa ada
terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa
frustasi karena orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah
perekonomian. Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai
Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi
asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus
yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya pendapatan pemerintah yang didapat
dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung pada investasi-investasi asing,
dan karenanya pendekatan intervensionis bisa dimulai.
Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun
1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru
untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk
mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk
menambah pendapatan dari pajak non minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan
dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk
menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah diarahkan
ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang
memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini menyebabkan
adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para
investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah
meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong oleh ekspor
(seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah).
Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an)
juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang berorientasi pada
ekspor disambut secara khusus.
Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam
adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-
bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing
bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah
yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an. Namun sebelumnya, tindakan-
tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-
produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991
produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat
menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun
selanjutnya.
Masalah-masalah di Horison
Yang menjadi isu pertama adalah inti dari karakteristik pemerintahan Orde Baru.
Orde Baru adalah rezim otoriter yang didukung militer dan tidak menghormati hak asasi
manusia. Selama periodenya yang lebih dari 3 dekade, Pemerintah tampaknya semakin tidak
selaras dengan warganegaranya. Pembuatan keputusan-keputusan politik dan ekonomi pada
dasarnya direbut dari masyarakat umum dan diberikan kepada sekelompok kecil elit
pendukung Suharto. Namun, karena masyarakat Indonesia menjadi lebih berpendidikan
berkat perkembangan-perkembangan sosial, kalangan-kalangan berpendidikan secara natural
ingin suara mereka didengar dan berpartisipasi baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Meskipun begitu, Suharto tidak mendukung hal ini dan menempatkan lebih banyak batasan
dalam masyarakat Indonesia (contohnya dengan pembatasan demonstrasi mahasiswa yang
hanya bisa dilaksankan di dalam universitas-universitas saja). Kemacetan politik ini
menimbulkan frustasi berat dalam sebagian besar dari populasi Indonesia.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati masih di bawah bimbingan IMF. Oleh karena itu
pemerintah Indonesia tidak memiliki kebebasan dalam pembuatan kebijakan, tujuan
utamanya adalah untuk mencapai stabilitas makro ekonomi dan reformasi sektor perbankan,
yang mana Boediono dan Burhanuddin bertanggung jawab dalam sektor itu. Pada saat itu
Program bantuan IMF berakhir pada 2003, pemerintah dengan bantuan dari IMF dan Bank
Dunia, membentuk tim antar lembaga yang menyusun Exit Strategy untuk mengatasi
program pasca-IMF dan memilih untuk masuk ke dalam skema pemantauan pasca program
dengan IMF.
Salah satu kebijakan ekonomi pasar yang dilakukan Megawati adalah kebijakan pergulaan
yang merupakan produk ekonomi politik, namun kebijakan tersebut malah lebih dipengaruhi
oleh bisnis. Ada beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya kesenjangan dalam
kebijakan pergulaan di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Pada saat pemerintahan
Megawati disahkan suatu aturan atau kebijakan yang mengatur tentang tata niaga impor gula
yaitu, SK No. 643 / MPP / Kep / 9 / 2002. Tujuan dikeluarkan kebijakan ini adalah untuk
mengatur tentang tata niaga impor gula dengan tarif bea masuk. Kebijakan yang ada akhirnya
lebih membatasi jumlah impor gula mentah dan gula rafinasi yang dimana pelaku usaha
industri rafinasi mendapatkan kemudahan dalam investasi dan bea masuk yang di dapatkan
lebih murah. Hal ini menyebabkan harga gula rafinasi cenderung lebih murah dibandingkan
harga gula kristal putih produksi dalam negeri. Meskipun secara tujuan dan spesifikasi dibuat
berbeda dengan gula kristal putih, akan tetapi dalam kenyataannya gula rafinasi juga dapat
dikonsumsi dan merembes ke pasar konsumen dalam negeri. Aspek lainnya adalah harga
sembako. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri harga sembako masih
terjangkau karena rata-rata inflasi bahan makanan sebesar 4,8 persen. Sementara inflasi yang
sama pada pemerintahan saat ini lebih besar, yaitu 12,7 persen. Artinya, harga-harga sembako
pada pemerintahan ini makin tak terjangkau.
Tahun 2008-2009 pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terjadi krisis
ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan di Amerika Serikat dan merambat ke
sejumlah Negara maju lainnya, seperti Jepang dan egara-negara Uni Eropa atau berada di
zona Euro(EU), yang pada akhrinya mengakibatkan suatu resesi ekonomi dunia.Krisis global
ini yang membuat permintaan bahan pokok dunia merosot juga berdampak pada
perekonomian Indonesia terutama lewat penurunan ekspor dari sejumlah komoditi
penting.Namun, dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak lebih buruk pada saat
krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 yang membuat pertumbuhan ekonomi nasional
negatif hingga mencapai sekitar 13 persen.
Berdasarkan janji kampanye dan usaha untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat,
pemerintah SBY-JK selama 4 tahun belum mampu memenuhi target janjinya yaitu
pertumbuhan rata-rata diatas 6,6%.
Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata
5,9%,di sisi lain harga barang dan jasa (inflasi) naik diatas 10,3%. Ini menandakan secara
ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat.Tidak ada prestasi yang patut di
iklankan oleh Demokrat di bidang ekonomi pada periode pertama Susilo Bambang
Yudhoyono. Hal tersebut dapat dilihat dari catatan koalisi, utang pemerintah sampai januari
2009 meningkat 31% dalam lima tahun terakhir. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar
Rp 1.667 Triliun atau naik Rp 392 Triliun.Kenaikan utang tersebut berdasarkan data
Desember 2003 sebesar Rp 1.275 Triliun.
Dipilih sebagai presiden pada tahun 2014, Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla membuat
beberapa kebijakan seperti pembangunan jalan tol, reklamasi, infrastruktur dll. Hampir
keseluruhan pemerintahan jokowi terbilang cukup bagus di awal-awal pemerintahan. Namun
ketika masuk pada tahap akhir, kepuasan dari pemerintahan/elektabilitas Jokowi-JK
menurun. Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4
Oktober 2019, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan
penurunan. Di awal pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai
angka 65.1% dan turun cukup signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.
Ditengah euforia pelantikan Joko Widodo dan Maruf Amin 20 Oktober mendatang, muncul
sejumlah catatan kegagalan kinerja pemerintahan di periode pertama. Salah satunya adalah
penanganan hukum dan HAM yang dinilai suram. Sebelum jauh berbicara target di periode
kedua, tidak ada salahnya kita menilik lagi potret kinerja pemerintahan Jokowi- JK di periode
pertama, yang ternyata mewariskan sejumlah catatan kegagalan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4 Oktober 2019,
tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan penurunan. Di
awal pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai angka 65.1% dan
turun cukup signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.
Lebih spesifik terhadap semua bidang, Litbang Kompas juga mencatat terjadinya penurunan
kepuasan publik di hampir semua bidang kerja.
Bidang Politik dan Keamanan, turun dari 73,1% pada Januari 2015 menjadi 64,3% pada
Oktober 2019. Bidang Hukum, turun dari 59,9% pada Januari 2915 menjadi 49,1% pada
Oktober 2019. Bidang Sosial, turun sedikit dari 61,1% pada Januari 2015 menjadi 59,4%
pada Oktober 2019.
Namun berbeda dengan Bidang Ekonomi, tingkat kepuasan publik alami kenaikan, yaitu
43,2% pada Januari 2015 menjadi 49,8% pada Oktober 2019. Survei oleh Litbang Kompas
ini melibatkan lebih dari 1.200 responden dari 34 provinsi dengan tingkat kepercayaan 95%
dan margin of error lebih kurang 2.83%. Berbeda dengan Litbang Kompas, Lembaga Survei
Parameter Politik juga merilis evaluasi kinerja umum Presiden Jokowi di lima tahun
kepemimpinannya. Hasilnya, publik yang merasa kinerja Jokowi baik bahkan tidak
menyentuh angka 50 %. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno
mengatakan bahwa hanya 41% saja publik yang menilai kinerja Presiden Jokowi baik.
Sisanya, sebanyak 23,3% persen menilai kinerja Presiden Jokowi buruk, 33,4% menjawab
biasa saja dan 2,3% tidak menjawab.
Di bidang politik, pemerintah disebutkan telah memastikan perlindungan dan rasa aman,
pemerintahan yang bersih, kemajuan desa dan daerah-daerah pinggiran serta tegaknya sistem
hukum. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode
2019-2020 disebut sebagai capaian dalam politik luar negeri.
Di bidang ekonomi, disebutkan soal naiknya skor Ease of Doing Business (kemudahan
berusaha) sebagai wujud komitmen pemerintah melakukan perbaikan struktural
berkesinambungan. Selain itu, rasio elektrifikasi yang telah mencapai 98,8% sebagai bagian
dari program 35 ribu MW yang ditargetkan pemerintah juga disebut sebagai sebuah
keberhasilan.
Sementara di bidang sosial, pemerintah disebutkan telah memastikan hak rakyat atas tanah
melalui program redistribusi dengan realisasi hingga Juni 2019 mencapai 558.700 bidang dan
418.748 hektar. Sementara yang paling popular, pemerintah sukses membagikan Kartu
Indonesia Pintar kepada 18,9 juta siswa, Program Keluarga harapan sebanyak 10 juta
keluarga dan 96,7 juta orang peserta Kartu Indonesia Sehat.
Dan keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah awalnya menargetkan IPM
bisa mencapai 76,3 poin pada 2019 namun baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018.
Meskipun sejumlah indikator ini meleset dari target, pemerintah mampu memenuhi target
inflasi yang sampai pada September 2019 berada di kisaran 3,39%. Angka ini sesuai dengan
target RPJMN 2015-2019 yaitu 3,5 – 5%. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development
of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan bahwa faktor eksternal
seperti ketidakpastian global dan dampak perang dagang tidak dapat sepenuhnya dijadikan
alasan mengapa target ekonomi makro diatas tidak tercapai. 80% struktur ekonomi Indonesia
ditentukan oleh perekonomian domestik, dan selama
pemerintahan Jokowi Selain itu, program Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggir
yang disebutkan dalam Nawacita juga menurutnya belum terlaksana secara maksimal.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol di Papua, Sumatera dan Kalimantan belum
menunjukkan adanya peningkatan kegiatan untuk mendongkrak perekonomian nasional.
Kesimpulan
Setiap pemimpin dalam suatu negara memiliki ciri khas kepemimpinan yang akan
mempengaruhi semua sektor yang terdapat di bawahnya. Pertumbuhan ekonomi pada awal
kemerdekaan tidak berjalan dengan baik. Ketika pembenahan di sektor ekonomi semakin
dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto, perekonomian meningkat dengan pesat. Selama
pemerintahan Soeharto peningkatan terjadi dalam sektor pembangunan fisik. Pemerintahan
selama 32 tahun ini menjadi semakin rapuh ketika dalam pemerintahan Soeharto terdapat
KKN, diperparah oleh krisis moneter pada 1997-1998 hingga pertumbuhan ekonomi adalah
minus 13,12%di tahun 1998. Sejak peristiwa tersebut, kondisi perekonomian Indonesia
mengalami perbaikan dan kembali meningkat di masa pemerintahan megawati hingga masuk
pada pemerintahan SBY.
REFERENSI
Ferina nadya Pratama, “Pemikiran Soekarno Tentang Ekonomi Indonesia Tahun 1932-1965,”
Skripsi, 2018.
M. ARIF DARAINI and C. LIANA, “Koperasi Sebagai Alat Untuk Melaksanakan Prinsip
Ekonomi Terpimpin Di Indonesia Tahun 1961,” Avatara, vol. 6, no. 2, 2018.
Fareza, M. (2016). Dampak Kebijakan Perekonomian Era Orde Baru Terhadap Pembangunan
di Indonesia. Repository.Upy.Ac.Id, 1–10. http://repository.upy.ac.id/id/eprint/1203
Hakim, A. (2009). ( 1945 - 2009 ). 161–180.
Kebijakan ekonomi pasar sebelum masa pemerintahan sby,” pp. 17–35, 1999.
(https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.umy.ac.id/
bitstream/handle/123456789/28080/BAB%2520II.pdf%3Fsequence
%3D6%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwj-
zrjamfn0AhUIIbcAHTy4ChYQFnoECDcQAQ&usg=AOvVaw0-
7vIiZ8HBWW9oa94mZw0c
Aswicahyono, H., & Christian, D. (2017). Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997-
2016. Centre for Strategic and International Studies, (02), 1–16.
Widiatmaja, A., & Albab, U. (2019). Indonesia di Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan Joko Widodo: Kebijakan Luar Negeri di Tengah Dinamika Lingkungan [Indonesia under
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Joko Widodo: Foreign Policy in the Middle of
Regional Strategic Environment Dynamics]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik
Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 10(1), 77–93.
https://doi.org/10.22212/jp.v10i1.1313
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://
www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-
ekonomi&ved=2ahUKEwi7u6j-
sfn0AhXtUGwGHXN3A9YQFnoECCMQAQ&usg=AOvVaw2_o9dzkJ-
DGH9DxDxnkBiP
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://m.republika.co.id/
amp/
pzmiaw370&ved=2ahUKEwjsxL2Cs_n0AhVZ7HMBHRwFACcQFnoECDsQAQ&usg=
AOvVaw0SCtkosAAGzi_LBCcx96sT