Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ PEREKONOMIAN PADA MASA KE MASA“

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Sejarah Perekonomian

Dosen Pengampu: Jumardi M.Pd

Oleh :

1. Daffa Aryapranata (1901075053)

2. Lilis Fauziyah (1901075058)

3. Tiara Lulu Arafah Latarissa (1901075054)

4. Rizqy Hanint Roficho Akbar O. (1901075057)

Kelas 5B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi perekonomian yang tinggi potensi
tersebut mulai diperhatikan dunia Internasional, perekonomian Indonesia memiliki
sejumlah karakteristik yang menempatkan Indonesia dalam posisi yang bagus untuk
mengalami perkembangan ekonomi yang pesat mulai dari perekonomian masa Soekarno
dan perekonomian masa Soeharto. Perekonomian Indonesia dari masa ke masa
mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan. Setelah Indonesia merdeka
perekonomian mengalami masa yang sulit dan buruk, dalam pemerintahan Soekarno
perekonomian banyak mengalami perubahan namun mengarah pada kondisi
perekonomian yang buruk. Dengan beredarnya lebih dari satu jenis mata uang yang
menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi yang tidak dapat dikendalikan, sehingga saat itu
Indonesia mengalami pergolakan dan pada pemerintahan Soekarno menghasilkan
kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi. Masa
perekonomian Soekarno banyak mengalami perubahan yang beragam mulai dari
perekonomian pasca kemerdekaan, perekonomian masa demokrasi terpimpin, dan
perekonomian masa demokrasi liberal. Ketika perekonomian masa Soekarno mengalami
keburukan lahirlah perekonomian masa Soeharto atau orde baru dengan kebijakan yang
mengarah pada perubahan radikal, namun demikian perekonomian masa Soeharto
mengalami perubahan dengan timbul masalah baru dimana adanya utang luar negeri,
melonjaknya harga kebutuhan pokok, dan rendahnya pendapatan per kapita penduduk
Indonesia. Dengan demikian perekonomian masa Soeharto akan melakukan
pembangunan perekonomian. Penulis akan memaparkan materi tentang perekonomian
masa Soekarno dan Perekonomian masa Soeharto.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perekonomian Masa Soekarno


1. Perekonomian pasca kemerdekaan
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, setidaknya Indonesia
mengalami tiga fase perekonomian. Mulai dari penataan ekonomi pasca-
kemerdekaan, penguatan ekonomi melalui langkah nasionalisasi, hingga
timbulnya krisis akibat ekonomi terpusat dan biaya politik yang besar.
Pemerintahan masa Soekarno yang berlangsung tahun 1945-1966 yang disebut
sebagai periode pemerintahan orde lama, Perekonomian Indonesia tidak
terlepas dari sosok Soekarno yang merupakan seorang tokoh proklamator dan
presiden pertama di Indonesia setelah kemerdekaan. Kegiatan produksi,
Perdagangan, dan kondisi ekonomi Indonesia belum stabil akibat situasi
konflik awal kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Soekarno Indonesia
mengalami masa yang sulit bagi perekonomian serta keadaan perekonomian
keuangan setelah kemerdekaan amat sangat buruk yang disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya :
a. Inflasi yang sangat tinggi, yang disebabkan karena beredarnya lebih
dari satu mata uang secara tidak terkendali, pada waktu itu untuk
sementara waktu pemerintahan Republik Indonesia menyatakan tiga
mata uang yang berlaku yaitu mata uang De Javasche Bank, mata
uang pemerintahan Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang.
b. Pada tahun 1946, pada saat kesulitan ekonomi yang melanda
Indonesia, panglima AFNEI yang baru Letnan Jenderal Sir Montagu
Stopford memberitahukan atas berlakunya uang NICA di daerah
yang diduduki oleh sekutu. Uang NICA dimaksudkan sebagai
pengganti uang jepang uang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah
melalui perdana menteri syahrir memproses tindakan tersebut.
Karena hal itu berarti pihak sekutu telah melanggar persetujuan yang
telah disepakati yakni selama belum ada penyelesaian politik
mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
c. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945
untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
d. Kas negara kosong.
e. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
2. Ekonomi Liberal
Kebijakan dalam mengatasi perekonomian masa demokrasi Liberal
diantaranya :
a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20
Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar
tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan
wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor
barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-
perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena
sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15
Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang
diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama
antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-
pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-
usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik,
karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar,
termasuk pembubaran Uni Indonesia Belanda. Akibatnya banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Ekonomi Terpimpin
Ekonomi terpimpin merupakan perencanaan untuk menggunakan alat-alat
produksi yang terbatas atas dasar kebutuhan rakyat yang diperlukan bertujuan
untuk meningkatkan produksi dan pembagian pendapatan. Ekonomi terpimpin
merupakan ekonomi nasional yang setiap elemennya terintegrasi kedalam satu
kesatuan pengelolaan dan pengaturan sedangkaan ekonomi nasional
merupakan seperangkat aturan dan kebijakan dalam bidang ekonomi yang
dijalnkan oleh suatu negara sesuai dengan sasaran yang ingin di capainya
(Amiruddin, 2014:33). Dalam ekonomi terpimpin pemerintah membagi
kegiatan usaha antara perusahaan negara, swasta dan koperasi dengan
mengatur sedemikian rupa sehingga ketiga sektor ini dapat diharapkan
berkesinambungan dalam mewujudkan cita-cita negara. Perusahaan negara
dapat menguasai seluruh lapangan-lapangan perekonomian yang menguasai
hidup rakyat banyak, produksi, pengangkutan dan distribusi bahan penting
diselenggarakan oleh negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara.
Pemerintah daerah dianjurkan bergerak dalam tiga hal diantaranya produksi,
pengangkutan dan distribusi, sedangkan koperasi dianjurkan untuk bergerak
disegala hal terutama disektor distribusi, dan pihak swasta yang diberikan
tempat layak dalam sektor produksi dan pengangkutan. Adapun Perusahaan
swasta masih memiliki tempat untuk menjalankan usahanya, karena dalam
berbagai wilayah perekonomian masih banyak sektor-sektor yang belum dapat
dikelola langsung oleh perusahaan negara. Pemerintah mengarahkan
perusahaan-perusahaan swasta agar dapat sesuai dengan rencana pemerintah
sehingga perusahaan swasta yang dulu sebagai perusahaan kapitalis dengan
tujuan untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya berubah menjadi
perusahaan swasta yang berjasa bagi masyarakat dengan melengkapi kegiatan-
kegiatan produksi negara secara efektif.

KEBIJAKAN PEREKONOMIAN ERA ORDE BARU

A. Keadaan Perekonomian Awal Orde Baru

Sejak awal, pemerintah Orde Baru menyadari bahwa kebijakan anti Barat yang merupakan
suatu ciri mencolok dari pemerintah Soekarno juga telah menimbulkan kesulitan bagi
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk meninggalkan
kebijakan “memandang ke dalam” (inward-looking policies) yang hanya membawa
kebangkrutan bagi Indonesia dan menggantikannya dengan kebijakan “memandang ke luar”
(out-ward policies). Kebijakan ini dicirikan oleh kebijakan perdagangan luar negeri dan
kebijakan investasi asing yang bersifat lebih liberal itu artinya, pemerintah Indonesia mulai
menerapkan kebijakan yang dapat menghapus atau mengurangi berbagai rintangan atas
perdagangan luar negeri dan investasi asing (Abdul Syukur, dkk, 2010 : 153).

B. Kebijakan Perekonomian Indonesia Era Orde Baru

Salah satu tindakan pertama Soeharto setelah mengambil alih pimpinan negara adalah
menugaskan tim penasihat ekonominya, yang terdiri atas kelima dosen FEUI, yaitu Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Soebroto, dan Emil Salim untuk menyusun
suatu program stabilisasi dan rehabilitasi. Tujuan utama dari program ini adalah memulihkan
stabilitas makro ekonmi dengan menghentikan hiperinflasi setinggi 600% yang telah
berkecamuk pada akhir masa pemerintahan Soekarno. Alat kebijakan utama untuk
menurunkan laju inflasi adalah anggaran berimbang (balance budget), artinya pengeluaran
pemerintah dibatasi oleh penerimaan pemerintah

Kepemimpinan Soeharto (1967-1998). Soeharto mulai menjalankan tugasnya sebagai


presiden Indonesia ke-2 pada 12 Maret 1967, dinamakan masa Orde Baru. Pada tahun 1967,
Indonesia berada dalam situasi yang kacau. Pendapatan per kapita turun sampai tingkat di
bawah yang telah dicapai lima tahun sebelumnya, perekonomian hancur oleh hiper-inflasi,
sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan pangan yang cukup untuk kebutuhan
dalam negeri dan kemiskinan menjadi nasib sebagian besar penduduk.

Walaupun pemerintah Orde Baru bergerak cepat dan pasti untuk membangun sejumlah tujuan
di bidang ekonomi, sampai tahun 1985 industrialisasi hanya berpengaruh kecil di Indonesia.
Sektor pertanian menyumbang sekitar 24%dari PDB, sementara industri non migas
menyumbang kurang dari 14%(Abimanyu (Ed.), 2010, 24-25). Pada masa Soeharto banyak
berdiri organisasi pengusaha seperti KADIN (Kamar Dagang dan Industri), Hippi (Himpunan
Pengusaha Pribumi Indonesia), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), HIPLI
(Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia), IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia),
APEGTI (Asosiasi Pengecer Gula dan Terigu Indonesia), REI (Real Estate Indonesia) dan
ASI (Asosiasi Semen Indonesia), yang dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi anggota
dan bargaining power-nya. Pendirian HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), SPSI
(Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan sejenisnya mempunyai tujuan yang sama. Dalam
perekonomian internasional, Indonesia masuk dalam OPEC (Organisation of Petrolium
Exporting Countries) dan kerja sama regional APEC (Asia Pasific Economic Cooperation)
(Kuntowijoyo, 1995, 129-130). (Fareza, 2016)
Orde Baru yang dibangun oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1966 telah menghasilkan
prestasi yang luar biasa. Pada tahun 1996 atau 30 tahun kemudian sebagai hasil
pembangunan, Indonesia mengalami dua kali Quantum Leap, dari negara miskin ke negara
berkembang, dan dari negara berkembang menjadi negara berpendapatan menengah. Pada
tahun 1966 tingkat kemiskinan diperkirakan lebih dari 50%, sementara pada tahun 1996
kurang dari 15% Inflasi sekitar 400%pada tahun 1966, sementara tahun 1996 kurang dari
10%. Bahkan, pendapatan per kapita melonjak dari USD200 pada tahun 1966 menjadi
USD1.200 pada tahun 1996. Selama 25 tahun terakhir sebelum krisis 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia bergerak di kisaran 6%-8%per tahun (Abimanyu (Ed), 2010, 581-582).
(Hakim, 2009).

BAB III

Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Baru

Orde Baru berlangsung dari 1966-1998 di bawah kekuasaan Presiden Soeharto.


Meskipun Indonesia mengalami pembangunan pesat selama Orde Baru, tetap ada sejumlah
masalah perekonomian yang dihadapi bangsa. Ada masalah inflasi, utang luar negeri, dan
ketimpangan. Puncaknya yakni krisis moneter di tahun 1998 yang mengakhiri 32 tahun
kekuasaan Soeharto.
Masalah Kebijakan ekonomi Orde Baru diarahkan pada pembangunan di segala
bidang. Namun, pada pelaksanaannya tidak sesuai aturan sehingga berdampak pada
kesenjangan ekonomi yang besar di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi
serta pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah baik, tetapi tidak bersifat merata,
sehingga muncul kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin. Di awal
pemerintahan Soeharto menjabat, ia dihadapkan oleh masalah yang cukup sulit di bidang
ekonomi, yaitu:
● Hiperinflasi hingga 650 persen
● Utang luar negeri Melonjaknya harga kebutuhan pokok
● Kerusakan sarana dan prasarana
● Rendahnya pendapatan per kapita penduduk Indonesia, hanya mencapai 70 dollar AS.

Program atau Kebijakan

Untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru,


pemerintah pun mengeluarkan beberapa kebijakan atau program untuk menanggulanginya,
yaitu: Program Jangka Pendek Program ini dibuat berdasarkan dari Tap. MPRS No.
XXII/MPRS/1966 dengan dua cara: Stabilitas Menyusun APBN Berimbang Pinjaman Luar
Negeri Rehabilitasi Menjamin keamanan para investor asing Program jangka pendek ini
diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan sehingga stabilitas ekonomi
juga tercapai serta kegiatan ekonomi dapat pulih sehingga produksi meningkat. Program
Jangka Panjang Pada 1 April 1969, pemerintah Orde Baru mengeluarkan landasan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita sendiri
dibagi menjadi lima periode, sebagai berikut: Repelita I (1969) Pada Repelita I pemerintah
fokus melakukan rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha serta
investasi.
Pembangunan sektor pertanian menjadi prioritas guna memenuhi kebutuhan pangan
sebelum membentuk sektor-sektor lain. Repelita II (1979 – 1979) dan Repelita III (1979-
1984) Pada Repelita II dan III, pemerintah fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi,
stabilitas nasional, serta pemerataan pembangunan dengan melakukan penekanan pada sector
pertanian dan industry. Sehingga pada 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada
beras yang tadinya menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar dunia pada tahun
1970-an. Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989 – 1994) Selain berusaha untuk
mempertahankan kemajuan sector pertanian, pada periode ini juga mulai berfous pada sektor
industri khususnya industri barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, pengolahan
hasil pertanian, dan menghasilkan mesin industri. Program-program baru yang muncul pada
Orde Baru dapat dikatakan memberikan hasil yang signifikan, akan tetapi masih ada sisi
negatif yang juga muncul, salah satunya ketimpangan pertumbuhan antar ekonomi daerah dan
antar golongan pekerjaan. Krisis Moneter Krisis Moneter menghantam Asia pada 1997, tak
terkecuali Indonesia. Pada bulan Juli 1997 otoritas moneter Indonesia memperluas
perdagangan mata uang rupiah yang semula hanya 8 persen menjadi 12 persen. Kemudian
pada 14 Agustus 1997, rupiah diserang secara hebat, sehingga nilai rupiah pun semakin
melemah. Rupiah dan Bursa Efek Jakarta menyentuh titik terendah mereka pada bulan
September 1997.
Utang perusahaan semakin meningkat, terjadi inflasi, dan peningkatan besar harga
bahan pangan. Melemahnya sektor keuangan di Indonesia ini semakin membuat kondisi
perekonomian di Indonesia merosot, terlebih saat krisis sudah terjadi. Demi mengatasi krisis
ini, Indonesia pun mengajukan pinjaman langsung ke bank asing. Namun, cara ini tidak
menjamin Indonesia terlepas dari krisis moneter, justru krisis tetap meluas, karena faktor
utama terjadinya krisis bukan dari sektor perbankan. Terjadi demonstrasi besar-besaran yang
memprotes pemerintah. Bahkan kerusuhan dan penjarahan berlangsung di mana-mana.
Situasi yang sangat panas ini akhirnya membuat Presiden Soeharto mundur pada 12 Mei
1998.

Pemulihan Ekonomi (1966-1973)

Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan
ekonomi; langkah pertama adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara
bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan
keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat dan Jepang masuk ke Indonesia.
Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga dihentikan. Langkah
kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi
(sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk membuat sebuah rencana pemulihan
ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang
melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang.
Kemudian sebuah mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan
membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman
Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang
ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di
negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.
Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-
1982)

Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5%
dijaga. Fakta lain yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua
oil boom yang terjadi di tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun 1973/1974
ketika Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk
Indonesia, memotong ekspornya dengan drastis dan menyebabkan kenaikan harga minyak
yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika Revolusi Iran mengganggu
produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena kedua oil boom ini,
pendapatan ekspor Orde Baru dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam. Ini
memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian
dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah,
pembangunan sosial, infrastruktur dan pendirian industri-industri (dasar skala besar),
diantaranya termasuk industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan bahan-
bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Hal ini
membangkitkan sektor manufaktur yang berkembang. Namun, kemudian terjadi kerusuhan
besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa ada
terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa
frustasi karena orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah
perekonomian. Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai
Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi
asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus
yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya pendapatan pemerintah yang didapat
dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung pada investasi-investasi asing,
dan karenanya pendekatan intervensionis bisa dimulai.

Pertumbuhan Ekonomi Didorong Ekspor dan Deregulasi (1983-1996)

Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun
1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru
untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk
mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk
menambah pendapatan dari pajak non minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan
dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk
menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah diarahkan
ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang
memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini menyebabkan
adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para
investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah
meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong oleh ekspor
(seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah).
Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an)
juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang berorientasi pada
ekspor disambut secara khusus.

Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam
adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-
bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing
bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah
yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an. Namun sebelumnya, tindakan-
tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-
produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991
produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat
menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun
selanjutnya.

Masalah-masalah di Horison

Penjelasan di atas memberikan gambaran positif tentang perekonomian pada masa


Orde Baru. Memang betul bahwa perekonomian berkembang dengan cepat dan bersama
dengan itu ada perbaikan-perbaikan dalam pembangunan sosial (walapun dalam kecepatan
yang lebih lambat). Secara khusus, pengurangan kemiskinan absolut adalah pencapaian
Pemerintah yang luar biasa. Di pertengahan 1960an setengah dari populasi Indonesia hidup di
bawah garis kemiskinan namun pada tahun 1996, angka ini telah berkurang menjadi 11% dari
total populasi Indonesia. Kendati begitu, gaya pemerintahan Pemerintah Orde Baru
mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi berbahaya yang akan memuncak pada Krisis
Finansial Asia pada akhir 1990an.

Yang menjadi isu pertama adalah inti dari karakteristik pemerintahan Orde Baru.
Orde Baru adalah rezim otoriter yang didukung militer dan tidak menghormati hak asasi
manusia. Selama periodenya yang lebih dari 3 dekade, Pemerintah tampaknya semakin tidak
selaras dengan warganegaranya. Pembuatan keputusan-keputusan politik dan ekonomi pada
dasarnya direbut dari masyarakat umum dan diberikan kepada sekelompok kecil elit
pendukung Suharto. Namun, karena masyarakat Indonesia menjadi lebih berpendidikan
berkat perkembangan-perkembangan sosial, kalangan-kalangan berpendidikan secara natural
ingin suara mereka didengar dan berpartisipasi baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Meskipun begitu, Suharto tidak mendukung hal ini dan menempatkan lebih banyak batasan
dalam masyarakat Indonesia (contohnya dengan pembatasan demonstrasi mahasiswa yang
hanya bisa dilaksankan di dalam universitas-universitas saja). Kemacetan politik ini
menimbulkan frustasi berat dalam sebagian besar dari populasi Indonesia.

Kedua - dan terkait dengan paragraf-paragraf sebelumnya - Orde Baru baru


berdasarkan pada sistem nepotisme dan korupsi membuat sekelompok kecil elit pendukung
Suharto luar biasa diuntungkan dalam menikmati manisnya buah-buah perekonomian negara.
Kelompok ini terutama terdiri dari mitra-mitra bisnis keturunan Tionghoa (mendorong
sentimen etnis) dan kemudian anak-anak Suharto juga ikut di dalamya. Janji-janji
keterbukaan dan transparansi kebijakan Pemerintah tak pernah dipenuhi. Terlebih lagi,
korupsi membuat ekonomi tidak bisa berfungsi efektif. Hal ini akan terungkap ketika Krisis
Asia terjadi di tahun 1997.

Ketiga - juga berhubungan dengan paragraf-paragraf sebelumnya - sistem finansial


sudah mulai kehilangan kontrol setelah tindakan-tindakan deregulasi di sektor perbankan di
akhir 1980an. Dengan sedikit batasan-batasan untuk membuka bank dan cabang-cabangnya,
menjadi semakin sulit untuk memonitor aliran uang dalam sistem perbankan Indonesia.
Kekurangan data finansial yang serius, peraturan dan kerangka hukum yang lemah dan aliran
uang ilegal berkontribusi pada fakta bahwa Indonesia mengalami pukulan paling keras saat
Krisis Keuangan Asia melanda Indonesia.

Kebijakan Perekonomian masa Megawati Soekarno Putri


Kepemimpinan Presiden Megawati dimulai pada 23 Juli 2001. Program pemulihan ekonomi
yang dilakukan oleh Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah privatisasi BUMN,
pengelolaan hutang luar negeri, restrukturisasi keuangan, dan usaha kecil menengah
(Muchtar, 2002, 118-119).
Memasuki tahun 2002, perekonomian tumbuh 3,7%, meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya, namun masih belum ada yang didukung oleh struktur yang seimbang.
Perekonomian ini masih bertumpu pada konsumsi sementara investasi dan ekspor masih
belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pertumbuhan pengeluaran
konsumsi rumah tangga meningkat dari 4,4%menjadi 4,7%pada tahun laporan, sedangkan
pengeluaran konsumsi pemerintah mencapai 12,8%pada 2002, jauh lebih tinggi dari tahun
sebelumnya yang mencapai 9%(Bank Indonesia, 2002).
Pada tahun 2003 Indonesia menghadapi tantangan perekonomian Pemerintah dan Bank
Indonesia telah memiliki kebijakan untuk mendorong proses pemulihan ekonomi dan juga
tetap menjaga kestabilan ekonomi makro. Dalam perkembangannya, berbagai langkah
kebijakan tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung
tercapainya kondisi ekonomi makro yang stabil dan cenderung membaik selama 2003.
Kondisi ini antara lain terlihat pada nilai tukar rupiah yang dapat menguatkan dan laju inflasi
yang menurun, dibandingkan dengan proyeksi di awal 2003 maupun dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan yang signifikan bahwa proses pemulihan


ekonomi terus berlangsung. Tahun 2004 merupakan sebuah fase baru dalam pengelolaan
ekonomi bangsa karena sejak awal 2004 Indonesia menjadi negara terakhir di antara negara-
negara terkena krisis di Asia yang telah menyelesaikan program stabilisasi ekonomi makro di
bawah pengawasan IMF. Keputusan untuk melepaskan diri dari program tersebut
dilatarbelakangi oleh perkembangan ekonomi makro yang semakin membaik serta komitmen
yang kuat untuk melanjutkan program restrukturisasi ekonomi secara mandiri. (Bank
Indonesia 2003).
Pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi sementara kegiatan investasi dan
ekspor tumbuh pada tingkat yang masih rendah. Kondisi ini diperberat karena belum adanya
strategi kebijakan yang tepat untuk mewujudkan sektor industri yang kuat dan berdaya saing
tinggi sehingga pertumbuhan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang memiliki
peluang terbesar dalam pembentukan PDB masih sangat rendah dibandingkan periode
sebelum krisis. Kondisi demikian yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi
masih belum cukup untuk menyerap tambahan angkatan kerja dan belum mampu
mengangkat pendapatan per kapita kembali ke level sebelum krisis (Bank Indonesia, 2003).

Kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati masih di bawah bimbingan IMF. Oleh karena itu
pemerintah Indonesia tidak memiliki kebebasan dalam pembuatan kebijakan, tujuan
utamanya adalah untuk mencapai stabilitas makro ekonomi dan reformasi sektor perbankan,
yang mana Boediono dan Burhanuddin bertanggung jawab dalam sektor itu. Pada saat itu
Program bantuan IMF berakhir pada 2003, pemerintah dengan bantuan dari IMF dan Bank
Dunia, membentuk tim antar lembaga yang menyusun Exit Strategy untuk mengatasi
program pasca-IMF dan memilih untuk masuk ke dalam skema pemantauan pasca program
dengan IMF.
Salah satu kebijakan ekonomi pasar yang dilakukan Megawati adalah kebijakan pergulaan
yang merupakan produk ekonomi politik, namun kebijakan tersebut malah lebih dipengaruhi
oleh bisnis. Ada beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya kesenjangan dalam
kebijakan pergulaan di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Pada saat pemerintahan
Megawati disahkan suatu aturan atau kebijakan yang mengatur tentang tata niaga impor gula
yaitu, SK No. 643 / MPP / Kep / 9 / 2002. Tujuan dikeluarkan kebijakan ini adalah untuk
mengatur tentang tata niaga impor gula dengan tarif bea masuk. Kebijakan yang ada akhirnya
lebih membatasi jumlah impor gula mentah dan gula rafinasi yang dimana pelaku usaha
industri rafinasi mendapatkan kemudahan dalam investasi dan bea masuk yang di dapatkan
lebih murah. Hal ini menyebabkan harga gula rafinasi cenderung lebih murah dibandingkan
harga gula kristal putih produksi dalam negeri. Meskipun secara tujuan dan spesifikasi dibuat
berbeda dengan gula kristal putih, akan tetapi dalam kenyataannya gula rafinasi juga dapat
dikonsumsi dan merembes ke pasar konsumen dalam negeri. Aspek lainnya adalah harga
sembako. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri harga sembako masih
terjangkau karena rata-rata inflasi bahan makanan sebesar 4,8 persen. Sementara inflasi yang
sama pada pemerintahan saat ini lebih besar, yaitu 12,7 persen. Artinya, harga-harga sembako
pada pemerintahan ini makin tak terjangkau.

Periode Susilo Bambang Yudhoyono(SBY)


Presiden SBYmenyadari pentingnyapembangunaninfrastrukturbagi perekonomian. Oleh
karena itu, pemerintah menyelenggarakan InfrastructureSummitpada Januari 2005 untuk
menarik partisipasi swasta dalam pengembangan infrastruktur. Namun demikian, usaha ini
kurang berhasil karena kegagalan pemerintah dalammenyelenggarakan reformasi dan
menghasilkanregulasi yang diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi infrastruktur. Salah
satu kemunduran tersebut adalah keputusan Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2004
untuk membatalkan UU Kelistrikan yang baru, yang berusaha untuk membuka persaingan
dengan swasta di sektor tersebut.
Akibatnya, Indonesia terus mengalami defisit infrastruktur selama masa pemerintahan SBY.
Adanya sejumlah upaya reformasi sempat dilakukan untuk mendorong pembangunan
infrastruktur (misalnya melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia atau MP3EI), namun progresnya dalam kenyataan cukup mengecewakan.
Indonesia terus tertinggal dari negara pesaing dalam sejumlah indikator kualitas infrastruktur
dan logistik. Investasi infrastruktur baru jumlahnya sangat jauh dari kebutuhandan terhalang
banyak hambatan regulasi, sehingga menyebabkan perekonomian Indonesia berbiaya tinggi
dan sangat tidak efisien.
Pemerintahjugagagal untuk mereformasi sektor transportasi dengan menghadirkan
persaingan, misalnya di sektor kelistrikan dan pelabuhan yang tetap didominasi/dimonopoli
oleh BUMN. Secara spesifik, UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menerapkan
asas cabotage,menjadi kemunduran, karena praktis menutup persaingan dengan kapal asing
dalam industri pelayaran dalam negeri. Baru menjelang akhir pemerintahannya, pemerintah
setidaknya meratifikasi UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum, yang mempermudah proses pembebasan lahan bagi proyek
pembangunan infrastruktur (meskipun baru berlaku 1 Januari 2015).

Program pertama presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY)


Program pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu merangkul rakyat Indonesia,
pelaku usaha luar dan dalam negeri, dan lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia,
dan ADB untuk optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia untuk 5 tahun kedepan akan jauh
lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan otoriter. Kabinet Susilo Bambang
Yudhoyono dan lembaga-lembaga dunia tersebut mentargetkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2005 akan lebih tinggi berkisar di atas 6%. Target ini dilandasi oleh asumsi
bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan terus membaik dan seperti tidak memperhitungkan
faktor-faktor akan adanya gejolak-gejolak harga minyak di pasar dunia. Faktor tersebut
termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor penggerak ekonomi dunia seperti AS,
Jepang ,EU (UNI EROPA) ,dan China akan meningkat.
Kenyataan yang terjadi pada pertengahan tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua
peristiwa tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga BBM di pasar Internasional dan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi
pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target yang telah ditentukan. Hal ini
merupakan tantangan terberat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikarenakan jika
tidak ditangani secara baik, pengaruh negatifnya akan sangat besar terhadap perekonomian
nasional dan juga terhadap kehidupan masyarakat, khusunya masyarakat miskin.
Kenaikan harga BBM ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan
pemerintah (APBN).Akibatnya, pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang
sangat tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar
dalam negeri meningkat tajam.Kenaikan harga BBM yang besar untuk industry terjadi sejak
1 Juli 2005. Harga Solar dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 4.750 per liter( naik 115 persen),
Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industry dari Rp2.200 per liter
menjadi Rp 5.490 per liter ( naik 93 persen) dan Tanggal 1 Oktober 2005 pemerintah
menaikkan lagi harga BBM yang berkisar 50 persen hingga 80 persen.
Diperkirakan hal ini akan berpengaruh terhadap ekonomi domestik. Terutama pada periode
jangka pendek karena biaya produksi meningkat. Menjelang akhir masa Jabatan Susilo
Bambang Yudhoyono yang pertama yang berakhir Tahun 2009, perekonomian Indonesia
menghadapi dua eksternal, yakni kenaikan harga minyak mentah harga pangan di pasar
global. Kenaikan harga minyak mentah yang terus menerus sejak tahun 2005 memaksa
Pemerintah menaikkan lagi harga BBM terutama Premium, di dalam negeri pada tahun 2008.

Tahun 2008-2009 pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terjadi krisis
ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan di Amerika Serikat dan merambat ke
sejumlah Negara maju lainnya, seperti Jepang dan egara-negara Uni Eropa atau berada di
zona Euro(EU), yang pada akhrinya mengakibatkan suatu resesi ekonomi dunia.Krisis global
ini yang membuat permintaan bahan pokok dunia merosot juga berdampak pada
perekonomian Indonesia terutama lewat penurunan ekspor dari sejumlah komoditi
penting.Namun, dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak lebih buruk pada saat
krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 yang membuat pertumbuhan ekonomi nasional
negatif hingga mencapai sekitar 13 persen.
Berdasarkan janji kampanye dan usaha untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat,
pemerintah SBY-JK selama 4 tahun belum mampu memenuhi target janjinya yaitu
pertumbuhan rata-rata diatas 6,6%.

Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata
5,9%,di sisi lain harga barang dan jasa (inflasi) naik diatas 10,3%. Ini menandakan secara
ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat.Tidak ada prestasi yang patut di
iklankan oleh Demokrat di bidang ekonomi pada periode pertama Susilo Bambang
Yudhoyono. Hal tersebut dapat dilihat dari catatan koalisi, utang pemerintah sampai januari
2009 meningkat 31% dalam lima tahun terakhir. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar
Rp 1.667 Triliun atau naik Rp 392 Triliun.Kenaikan utang tersebut berdasarkan data
Desember 2003 sebesar Rp 1.275 Triliun.

Periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono


Pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia kembali
menghadapi sebuah krisis ekonomi yang bersumber dari luar yakni krisis ekonomi di
sejumlah negara Anggota masyarakat Eropa(EU), yang dikenal dengan sebutan Krisis Zona
Euro. Krisis tersebut sekitar periode 2010-2011 tidak terlalu berdampak langsung pada
perekonomian Nasional karena EU bukan mitra dagang Indonesia terpenting, melainkan AS,
Jepang, dan Republik Rakyat Cina(RRC). Memang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada
awalnya mengalami kegoyahan yang tidak terlalu besar dan dalam waktu tidak lama kurs
Rupiah kembali menguat dan stabil. Goncangan terakhir yang cukup serius dihadapi
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013 adalah depresiasi Rupiah yang
mulai terjadi mulai bulan Agustus dan terus berlangsung secara bertahap dan hingga awal
tahun 2014 posisi Rupiah tetap lemah di atas Rp12.000 per satu dolar AS. Hal tersebut
membuat masyarakat umum maupun pembuat kebijakan ekonomi sangat kuatir melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang terus berlangsung. Suatu dampak yang terjadi
apabila nilai tukar Rupiah semakin lemah akan berubah menjadi sebuah krisis Rupiah, seperti
yang pernah dialami Indonesia pada masa krisis keuangan Asia 1997-1998.

Pemerintahan jokowi jilid 1

Dipilih sebagai presiden pada tahun 2014, Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla membuat
beberapa kebijakan seperti pembangunan jalan tol, reklamasi, infrastruktur dll. Hampir
keseluruhan pemerintahan jokowi terbilang cukup bagus di awal-awal pemerintahan. Namun
ketika masuk pada tahap akhir, kepuasan dari pemerintahan/elektabilitas Jokowi-JK
menurun. Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4
Oktober 2019, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan
penurunan. Di awal pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai
angka 65.1% dan turun cukup signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.

Ditengah euforia pelantikan Joko Widodo dan Maruf Amin 20 Oktober mendatang, muncul
sejumlah catatan kegagalan kinerja pemerintahan di periode pertama. Salah satunya adalah
penanganan hukum dan HAM yang dinilai suram. Sebelum jauh berbicara target di periode
kedua, tidak ada salahnya kita menilik lagi potret kinerja pemerintahan Jokowi- JK di periode
pertama, yang ternyata mewariskan sejumlah catatan kegagalan.

Menurunnya kepuasan publik

Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4 Oktober 2019,
tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan penurunan. Di
awal pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai angka 65.1% dan
turun cukup signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.

Lebih spesifik terhadap semua bidang, Litbang Kompas juga mencatat terjadinya penurunan
kepuasan publik di hampir semua bidang kerja.
Bidang Politik dan Keamanan, turun dari 73,1% pada Januari 2015 menjadi 64,3% pada
Oktober 2019. Bidang Hukum, turun dari 59,9% pada Januari 2915 menjadi 49,1% pada
Oktober 2019. Bidang Sosial, turun sedikit dari 61,1% pada Januari 2015 menjadi 59,4%
pada Oktober 2019.

Namun berbeda dengan Bidang Ekonomi, tingkat kepuasan publik alami kenaikan, yaitu
43,2% pada Januari 2015 menjadi 49,8% pada Oktober 2019. Survei oleh Litbang Kompas
ini melibatkan lebih dari 1.200 responden dari 34 provinsi dengan tingkat kepercayaan 95%
dan margin of error lebih kurang 2.83%. Berbeda dengan Litbang Kompas, Lembaga Survei
Parameter Politik juga merilis evaluasi kinerja umum Presiden Jokowi di lima tahun
kepemimpinannya. Hasilnya, publik yang merasa kinerja Jokowi baik bahkan tidak
menyentuh angka 50 %. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno
mengatakan bahwa hanya 41% saja publik yang menilai kinerja Presiden Jokowi baik.
Sisanya, sebanyak 23,3% persen menilai kinerja Presiden Jokowi buruk, 33,4% menjawab
biasa saja dan 2,3% tidak menjawab.

Capaian lima tahun pemerintahan Jokowi - JK


Moeldoko selaku Kepala Staf kepresidenan menyampaikan bahwa pemerintah telah bekerja
maksimal memenuhi target pembangunan seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional. Capaian keberhasilan oleh pemerintahan Jokowi – JK yang
dirangkum dalam 3 pilar yaitu politik, ekonomi dan budaya.

Di bidang politik, pemerintah disebutkan telah memastikan perlindungan dan rasa aman,
pemerintahan yang bersih, kemajuan desa dan daerah-daerah pinggiran serta tegaknya sistem
hukum. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode
2019-2020 disebut sebagai capaian dalam politik luar negeri.

Di bidang ekonomi, disebutkan soal naiknya skor Ease of Doing Business (kemudahan
berusaha) sebagai wujud komitmen pemerintah melakukan perbaikan struktural
berkesinambungan. Selain itu, rasio elektrifikasi yang telah mencapai 98,8% sebagai bagian
dari program 35 ribu MW yang ditargetkan pemerintah juga disebut sebagai sebuah
keberhasilan.

Sementara di bidang sosial, pemerintah disebutkan telah memastikan hak rakyat atas tanah
melalui program redistribusi dengan realisasi hingga Juni 2019 mencapai 558.700 bidang dan
418.748 hektar. Sementara yang paling popular, pemerintah sukses membagikan Kartu
Indonesia Pintar kepada 18,9 juta siswa, Program Keluarga harapan sebanyak 10 juta
keluarga dan 96,7 juta orang peserta Kartu Indonesia Sehat.

Predikat C untuk Ekonomi

Di balik sejumlah pencapaian di periode pertama khususnya pembangunan infrastruktur yang


patut diacungi jempol, kerja Jokowi – JK selama 5 tahun terakhir dinilai masih banyak
meninggalkan catatan kegagalan. Ada empat target ekonomi makro menurut RPJMN 2015-
2019 yang gagal dipenuhi oleh pemerintahan Jokowi – JK. Pertama, pertumbuhan ekonomi
cenderung stagnan di angka 5% padahal target pertumbuhan ekonomi diharapkan berada
pada angka 7-8%. Kedua, tingkat kemiskinan ditargetkan menurun ke angka 7-8 % pada
akhir 2019. Nyatanya, per Maret 2019, tingkat kemisikinan masih berada di angka 9,4%.
Ketiga, tingkat ketimpangan atau gini ratio. Pemerintah awalnya memperkirakan gini ratio
mampu mencapai angka 0,36 pada akhir tahun 2019. Namun, per Maret 2019 baru mencapai
0,382.

Dan keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah awalnya menargetkan IPM
bisa mencapai 76,3 poin pada 2019 namun baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018.
Meskipun sejumlah indikator ini meleset dari target, pemerintah mampu memenuhi target
inflasi yang sampai pada September 2019 berada di kisaran 3,39%. Angka ini sesuai dengan
target RPJMN 2015-2019 yaitu 3,5 – 5%. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development
of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan bahwa faktor eksternal
seperti ketidakpastian global dan dampak perang dagang tidak dapat sepenuhnya dijadikan
alasan mengapa target ekonomi makro diatas tidak tercapai. 80% struktur ekonomi Indonesia
ditentukan oleh perekonomian domestik, dan selama
pemerintahan Jokowi Selain itu, program Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggir
yang disebutkan dalam Nawacita juga menurutnya belum terlaksana secara maksimal.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol di Papua, Sumatera dan Kalimantan belum
menunjukkan adanya peningkatan kegiatan untuk mendongkrak perekonomian nasional.

Kebijakan ekonomi Jokowi Jilid 2

1. Kemudahan Layanan Investasi 3 Jam


Untuk menarik penanaman modal, terobosan kebijakan yang akan dilakukan adalah
memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian izin investasi dalam waktu tiga jam di
Kawasan Industri. Dengan mengantongi izin tersebut, investor sudah bisa langsung
melakukan kegiatan investasi. Regulasi yang dibutuhkan untuk layanan cepat investasi 3 jam
ini adalah Peraturan Kepala BKPM dan Peraturan Pemerintah mengenai Kawasan Industri
serta Peraturan Menteri Keuangan.

2. Pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday Lebih Cepat


Setelah dalam 25 hari syarat dan aplikasi dipenuhi, pemerintah mengantongi keputusan
bahwa investasi tersebut dapat menerima tax allowance atau tidak. Sedangkan untuk tax
holiday, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memutuskan pengesahannya maksimun
45 hari setelah semua persyaratan dipenuhi.

3. Pemerintah Tak Pungut PPN Untuk Alat Transportasi


Kebijakan tersebut termaktub regulasi yang telah terbit, Peraturan Pemerintah nomor 69
tahun 2015 tentang impor dan penyerahan alat angkutan tertentu dan penyerahan jasa kena
pajak, terkait angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN. Pemerintah akan memberikan
insentif berupa tidak memungut PPN untuk beberapa alat transportasi, terutama adalah
galangan kapal, kereta api, pesawat, dan termasuk suku cadangnya

4. Insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik Berikat


Dengan adanya pusat logistik, maka perusahaan manufaktur tidak perlu impor dan tidak perlu
mengambil barang dari luar negeri karena cukup mengambil dari gudang berikat. Rencananya
hingga menjelang akhir tahun akan ada dua pusat logistik berikat yang siap beroperasi, yakni
di Cikarang terkait sektor manufaktur dan di Merak terkait BBM. Daya saing kita untuk pusat
logistik berikat bisa diperkuat dan makin banyak pusat logistik berikat yang beroperasi di
Indonesia.

5. Insentif pengurangan pajak bunga deposito


Insentif ini berlaku terutama eksportir yang berkewajiban melaporkan devisa hasil ekspor
(DHE) ke Bank Indonesia. DHE disimpan dalam bentuk deposito 1 bulan, tarifnya akan
diturunkan 10 persen, 3 bulan maka menjadi 7,5 persen, 6 bulan menjadi 2,5 persen dan di
atas 6 bulan 0 persen. Jika dikonvert ke rupiah, maka tarifnya 1 bulan 7,5 persen, 3 bulan 5
persen, dan 6 bulan langsung 0 persen.

6. Perampingan Izin Sektor Kehutanan


Izin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan akan berlangsung lebih cepat.
Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan sebanyak 14 izin.
Dalam paket kebijakan tahap dua, proses izin dirampingkan menjadi 6 izin . Perampingan ini
melibatkan revisi 9 peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
PENUTUP

Kesimpulan

Setiap pemimpin dalam suatu negara memiliki ciri khas kepemimpinan yang akan
mempengaruhi semua sektor yang terdapat di bawahnya. Pertumbuhan ekonomi pada awal
kemerdekaan tidak berjalan dengan baik. Ketika pembenahan di sektor ekonomi semakin
dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto, perekonomian meningkat dengan pesat. Selama
pemerintahan Soeharto peningkatan terjadi dalam sektor pembangunan fisik. Pemerintahan
selama 32 tahun ini menjadi semakin rapuh ketika dalam pemerintahan Soeharto terdapat
KKN, diperparah oleh krisis moneter pada 1997-1998 hingga pertumbuhan ekonomi adalah
minus 13,12%di tahun 1998. Sejak peristiwa tersebut, kondisi perekonomian Indonesia
mengalami perbaikan dan kembali meningkat di masa pemerintahan megawati hingga masuk
pada pemerintahan SBY.

REFERENSI

Ferina nadya Pratama, “Pemikiran Soekarno Tentang Ekonomi Indonesia Tahun 1932-1965,”
Skripsi, 2018.

S. Erfan Rolis, Kayanswastika, “Pemikiran Dan Perjuangan Soekarno Tentang Demokrasi


Tahun 1933-1967,” 2014.

H. Hartanto, “Sejarah Pertentangan Soekarno-Hatta dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan


Politik Indonesia,” J. Sej., pp. 1–131, 2005.

M. ARIF DARAINI and C. LIANA, “Koperasi Sebagai Alat Untuk Melaksanakan Prinsip
Ekonomi Terpimpin Di Indonesia Tahun 1961,” Avatara, vol. 6, no. 2, 2018.

Fareza, M. (2016). Dampak Kebijakan Perekonomian Era Orde Baru Terhadap Pembangunan
di Indonesia. Repository.Upy.Ac.Id, 1–10. http://repository.upy.ac.id/id/eprint/1203
Hakim, A. (2009). ( 1945 - 2009 ). 161–180.

A. L. Pratiwi, “Megawati Soekarnoputri Presiden Wanita Di Indonesia ( 2001-2004 ),” J.


Pattingalloang, vol. 2, no. 1, p. 8, 2015.

A. Hakim, “Perbandingan Perekonomian Dari Masa Soekarno Hingga Susilo Bambang


Yudhoyono( 1945 - 2009 ),” pp. 161–180, 2009.

Kebijakan ekonomi pasar sebelum masa pemerintahan sby,” pp. 17–35, 1999.
(https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.umy.ac.id/
bitstream/handle/123456789/28080/BAB%2520II.pdf%3Fsequence
%3D6%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwj-
zrjamfn0AhUIIbcAHTy4ChYQFnoECDcQAQ&usg=AOvVaw0-
7vIiZ8HBWW9oa94mZw0c

Aswicahyono, H., & Christian, D. (2017). Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997-
2016. Centre for Strategic and International Studies, (02), 1–16.

Widiatmaja, A., & Albab, U. (2019). Indonesia di Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan Joko Widodo: Kebijakan Luar Negeri di Tengah Dinamika Lingkungan [Indonesia under
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Joko Widodo: Foreign Policy in the Middle of
Regional Strategic Environment Dynamics]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik
Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 10(1), 77–93.
https://doi.org/10.22212/jp.v10i1.1313

Hakim, A. (2009). ( 1945 - 2009 ). 161–180.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://
www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-
ekonomi&ved=2ahUKEwi7u6j-
sfn0AhXtUGwGHXN3A9YQFnoECCMQAQ&usg=AOvVaw2_o9dzkJ-
DGH9DxDxnkBiP

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://m.republika.co.id/
amp/
pzmiaw370&ved=2ahUKEwjsxL2Cs_n0AhVZ7HMBHRwFACcQFnoECDsQAQ&usg=
AOvVaw0SCtkosAAGzi_LBCcx96sT

Anda mungkin juga menyukai