Anda di halaman 1dari 226

Referensi

bagi Hakim Peradilan Agama


Referensi
bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Referensi bagi Hakim Peradilan Agama


tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Diterbitkan oleh Komnas Perempuan

Tim Penulis:
Faqihuddin Abdul Kodir; Ummu Azizah Mukarnawati

Editor:
Ninik Rahayu (Edisi Kedua)
Ismail Hasani (Edisi Pertama)

Tim Diskusi: (Edisi Kedua)


Asma’ul Khusnaeny; Deliana Sayuti Ismudjoko; Ema Mukarramah; Josephine F.
Ditta Wisnu; Kunthi Tridewiyanti; Ninik Rahayu; Tumbu Saraswati

Tim Diskusi: (Edisi Pertama)


Azriana; Deliana Sayuti Ismudjoko; Herlyna Hutagalung; Husein Muhammad;
Husna Mulya; Ninik Rahayu; Tety Kuswandari

Disain dan Tata Letak:


Agus Wiyono

Edisi Kedua: Tahun 2013


Edisi Pertama: Tahun 2008

Diterbitkan atas dukungan dana dari:


UNFPA (Edisi Kedua)
IALDF (Edisi Pertama)

ISBN: 978-979-26-7531-3

Komnas Perempuan
Jl. Latuharhary 4B
Jakarta 10310
Telp. : (62-21) 3903963
Fax : (62-21) 3903922
Website : www.komnasperempuan.or.id
Email : mail@komnasperempuan.or.id

ii
Sekapur Sirih

D
ari berbagai proses baik dari hasil pemantauan, mendengar
suara korban, konsultasi dengan berbagai stakeholders dari
lembaga pengada layanan,  parlemen, Aparat Penegak Hukum
(APH) Penegak Hukum (PH) serta pemerintah di tingkat nasional
maupun berbagai wilayah, Komnas Perempuan mendapat sejumlah
temuan menarik yang berkembang setelah 4 tahun dipublikasikannya
buku referensi ini, baik pola kasus, inisiatif dan intervensi yang sudah
dilakukan maupun yang akan dilakukan berbagai elemen tersebut yang
penting untuk dicerna bagi para hakim dan PH lainnya.
Beberapa catatan penting antara lain, jumlah gugat cerai dari perem-
puan, membumbung nyaris merata di berbagai wilayah, antara tiga
hingga tujuh kali lipat dibanding talak dari suami. Analisis terhadap
fenomena ini bertaburan. Fenomena di Tasikmalaya, ada yang menghu-
bungkan dengan program sertifikasi guru yang membuat mereka
mendadak lebih “berada” yang memicu perselingkuhan. Apabila guru
tersebut perempuan, kemapanan ekonomis mengkondisikan mereka
untuk bisa berkeputusan atas lanjut tidaknya perkawinannya. Begitupula
di Gunung Kidul ada yang menilai, fenomena migrasi, dimana para
perempuan migran semakin berdaya, lebih memilih menyudahi relasi
perkawinan yang tidak sesuai harapan. Sejumlah wilayah pertambangan,
karena kekayaan yang diterima lebih cepat dari kesiapan mengkonsoli-
dasi institusi keluarga, membuat suami kesulitan kendalikan komitmen.
Juga dinamika politik lokal yang mengkondisikan orang bertabur mate-
ri, kerentanan dengan kehadiran pihak ketiga maupun over power suami,
membuat perempuan memilih bisa “bernafas” dari kepengapan perka-
winan. Belum lagi canggihnya IT, sosial media, yang menyisakan kega-
mangan dan menjadikan ruang privat semakin kabur, dan berakhir de-
ngan tercabiknya perkawinan. Artinya banyak aspek yang membuat institusi
perkawinan yang menjadi mimpi banyak pihak menjadi surga, rupanya
justru sebaliknya, menjadi terjangan ribuan kasus ke Pengadilan Agama.

iii
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Catatan Komnas Perempuan selama lima tahun, lebih dari 95 persen


kasus KDRT adalah terhadap isteri. Data 10 tahun terakhir, 70 persen
pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang dekat dalam relasi privat
dan domestik. Artinya institusi domestik yang dulunya menjadi bunker
privacy yang tak tertembus, rupanya membekam banyak kasus
kekerasan. Tahun 2004 dengan lahirnya Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah gong penting, di
mana kekerasan atas nama apapun di balik pagar rumah, tidak bisa
ditolerir dan negara harus hadir untuk menuntaskannya.
Delapan tahun sudah UU PKDRT hadir, tetapi seberapa jauh
penyiapan sistemnya sudah berjalan? Lembaga layanan untuk korban
rata-rata hanya ada satu di setiap kabupaten, training untuk para hakim
agar berkeadilan gender juga banyak digeser untuk training anti korupsi,
narkoba di kalangan APH. Kalau toh ada soal perempuan, isu
trafickinglah yang menjadi mercusuar program di berbagai wilayah,
hingga potensial menggeser isu perempuan yang lain.
Catatan penting lainnya untuk para hakim agama, paska otonomi
daerah, hasil pantauan Komnas Perempuan, hingga Agustus 2012
terdapat 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas.
Kebijakan ini berlomba warnai mindset publik di daerah maupun
keputusan-keputusan publik lainnya. Sehingga instrumen HAM seperti
The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (Cedaw), bahkan konstitusi juga semakin redup
dianut. Paralel dengan perkembangan tersebut, kita saksikan
menggeliatnya religiousitas masyarakat Indonesia, tak terkecuali di
kalangan para APH yang titik tertentu bisa mempengaruhi keputusan
hukum dan penghukuman. Persoalan yang perlu dicermati, Komnas
Perempuan tidak menyoal aspek keimanannya, tetapi khawatirkan
meluruhkan imparsialitas para APH, tidak memijak konstitusi atau
memutuskan perkara dengan bias pandangan yang tidak adil gender
dengan mengatasnamakan agama.
Seluruh dinamika di atas, mendorong Hakim Pengadilan Agama
semakin tertantang untuk menyelesaikan persoalan yang semakin
kompleks. Hakim harus faham konstitusi dan hak asasi, serta juga

iv
penting punya pemahaman keagamaan yang berkeadilan, khususnya
terkait hak-hak perempuan. Contoh kasus yang menuntut perpektif
dan tindak sensitif hakim, misalnya, banyak asumsi bahwa relasi seksual
di luar perkawinan yang sah, adalah masuk dalam keranjang perzinahan.
Solusinya, cenderung menikahkan antara keduanya. Ironisnya, kasus
perkosaan sering dijawab dengan solusi yang sama, yaitu menikahkan
korban dengan pelaku. Tantangan lain, putusan MK tentang hak
keperdataan anak atas ayah biologisnya, juga menjadi PR tersendiri
untuk pelaksanaannya. Belum lagi sederet isu hak waris perempuan
yang masih setengah dibanding laki-laki. Padahal perempuan banyak
yang sudah menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah utama. Data
dari Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), jumlah perempuan menjadi
kepala keluarga di Indonesia semakin membubung. Artinya elan vital di
balik pembagian waris karena peran laki-laki sebagai  pencari nafkah
utama, kembali ditantang secara induktif. PR lainnya, Konvensi
Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Indonesia juga menuntut
perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
mencerabut martabat perempuan disabilitas, karena alasan kondisi
kecacatan isteri, bisa memperbolehkan suami menceraikan atau
menikah lagi. Undang-undang ini juga masih melanggengkan
ketidaksetaraan posisi peran suami dan istri dalam perkawinan,
termasuk hakim peradilan agama belum sepenuhnya menggunakan
dalil delik-delik rumusan dalam UU PKDRT, yang menjadi penyebab
perempuan korban mengalami reviktimisasi selama proses persidangan
dan bahkan berlanjut putusan yang tidak mempertimbangkan suara
korban. Persoalan krusial lain bagi hakim, tantangan dari para
transgender yang ingin menunjukkan keimanannya dengan menikah
sah di pengadilan agama. Mereka menghadapi dilema, berrelasi seksual
di luar perkawinan dituduh zina, tetapi meminta diinstitusikan oleh
negara, juga bentuk tantangan lebih jauh yang perlu jawaban, karena
ini nyata di depan mata.
Tantangan persoalan di aras yang berbeda, yang melenting juga
perkembangan instrumen HAM internasional yang melesat cepat,
seperti mewakili peradaban dan keberadaban. Konvensi dan Kovenan

v
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

tentang HAM adalah konsensus dan komitmen global di mana negara-


negara Islam juga terlibat dalam merumuskan dan memutuskan.
Indonesia termasuk negara yang lahab dan beradab untuk berkomitmen
menjalankan norma-norma universal tersebut, seluruh Kovenan dan
Konvensi sudah diratifikasi, kecuali konvensi untuk penghilangan
paksa. Artinya, perlu harmonisasi perundang-undangan, pematangan
perspektif bagi penyelenggaranya dan menyuburkan kesadaran warga
bangsanya. APH adalah kunci sebagai penjembatan dan penerjemah
untuk mengayomi manusia, khususnya perempuan.
Hasil rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) 2012 maupun
Concluding Comment Komite Cedaw untuk Indonesia, menegaskan
pentingnya pelatihan untuk APH. Komnas Perempuan dengan buku
ini, bentuk upaya kongkrit untuk mendekatkan para hakim agama pada
pemahaman utuh atas persoalan perempuan dengan perspektif HAM
dan gender, dengan detail isu-isu krusial yang sering menjadi kontroversi
untuk mengkayakan hakim.
Buku ini hadir untuk menyelip di antara rongga persoalan di atas,
dan menyalib berkejaran dengan waktu agar perempuan-perempuan
korban kekerasan yang diolah Komnas Perempuan hingga minimum
120 ribu setiap tahun tersebut, jelas nasibnya. Pemutakhiran data ini
diharapkan dapat menjadi bahan Hakim dalam membuat terobosan
hukum akibat diskriminasi gender yang selalu dialami perempuan
dalam perkawinannya. Kalau toh tak berkesempatan mendapat layanan
dukungan psikologis, hukum maupun dukungan keberdayaan lain,
setidaknya perempuan korban punya tuas penyelamat melalui tangan
para hakim akan konteks yang terus melaju, sementara dasar hukumnya
jalan di tempat.
Karya ini belum sempurna, diharap menjadi buku bertumbuh yang
responsif dan konstekstual. Pengerjaan buku ini diolah oleh Sub Komisi
Reformasi Hukum dan Kebijakan dengan ketua ibu Kunthi Tridewiyanti,
tim komisioner ibu Ninik Rahayu dan ibu Tumbu Saraswati, tim penulis
yaitu: Bapak Faqihuddin Abdul Kodir, Ibu Ummu Azizah Mukarnawati,
dan tim diskusi antara lain: Ibu Deliana Sayuti Ismudjoko, Bapak Husain
Muhammad, Sdri. Tety Kuswandari, Sdr. Ismail Hasani, Sdri. Azriana,

vi
Sdri. Husna Mulya, Herlyna Hutagalung, Ema Mukarramah, Asma’ul
Khusnaeny, Josephine F. Ditta Wisnu, dan rekan-rekan lain yang tidak
bisa disebutkan namanya satu persatu yang telah berperan di dalam
proses revisi buku referensi edisi kedua ini. Buku ini semoga menjadi
jendela wacana dan pintu untuk menyelamatkan perempuan dengan
bersiteguh pada keadilan.

Jakarta, 22 November 2012

Yuniyanti Chuzaifah
Ketua

vii
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sambutan
Ketua Muda Mahkamah Agung Ri Urusan
Lingkungan Peradilan Agama

S
yukur alhamdulillah bahwa Komnas Perempuan akan menerbitkan
lagi buku yang akan menjadi referensi bagi para Hakim Peradilan
Agama. Komnas Perempuan bahkan telah menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan dengan melibatkan para Hakim Peradilan Agama.
Hal-hal di atas amat bermanfaat untuk menghilangkan kesan bahwa
Peradilan Agama sama sekali tidak berkompeten soal UU PKDRT karena
merupakan ranah pidana. Kepada setiap Hakim Peradilan Agama
diharapkan benar-benar memahami isi buku referensi ini dan
berpartisipasi pada setiap pelatihan menyangkut KDRT. Para hakim
harus mempertimbangkan pasal-pasal UU PKDRT yang menuntut
perlindungan bagi kalangan perempuan dan tidak lagi memandang
bahwa UU PKDRT sepenuhnya adalah ranah pidana.
Segenap jajaran Peradilan Agama berbangga bahwa Komnas
Perempuan telah melihat Peradilan Agama sebagai power yang dapat
melakukan perlindungan dalam soal kekerasan dalam rumah tangga dan
tidak lagi memandang Hakim Peradilan Agama sebagai Hakim Nikah,
Talak, Rujuk (NTR) yang tidak sanggup berbuat apa-apa.
Semoga partisipasi para Hakim Peradilan Agama dalam mendukung
upaya Komnas Perempuan akan membawa arti yang besar bagi perlin-
dungan dan pembebasan kaum perempuan dari segenap kekerasan dan
diskriminasi.

Jakarta, 13 November 2012


Ketua Muda MARI
Urusan Lingkungan Peradilan Agama,

Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H.

viii
Sambutan
Direktur Jenderal
Badan Peradilan Agama

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara


hukum keluarga yang salah satunya berkaitan dengan perceraian bagi
warga negara yang beragama Islam, menjadi perhatian bagi pegiat
perjuangan hak-hak perempuan di tanah air. Kekerasan dalam rumah
tangga baik yang bersifat fisik maupun psikis sering terungkap bahkan
menjadi alasan pengajuan gugat cerai di Pengadilan Agama. Itulah
sebabnya, menurut Komnas Perempuan, Pengadilan Agama merupakan
pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga.
Setiap hakim Pengadilan Agama berkewajiban mendalami dan
memahami berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi terhadap
perempuan, perlindungan anak, perdagangan orang dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Penguasaan hakim Pengadilan Agama
terhadap peraturan perundang-undangan tersebut akan memperluas
cakrawala berpikir dan akan dapat memperkaya pertimbangan hukum
putusan majelis hakim, khususnya dalam perkara-perkara perceraian.
Kami gembira selama ini sejumlah Pengadilan Agama telah
memberikan akses yang baik kepada para petugas Komnas Perempuan
untuk mendapatkan data yang diperlukan. Kami juga menyambut baik
penyusunan dan penerbitan buku referensi ini sebagai salah satu
referensi bagi hakim-hakim Pengadilan Agama dalam memahami salah
satu isu yang sekarang sedang berkembang di tanah air.

ix
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Demikianlah sekedar sambutan kami untuk menghantarkan


kehadiran buku ini. Akhirnya atas perhatian Komnas Perempuan dan
jajaran hakim Pengadilan Agama kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 12 November 2012


An. Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama
Sekretaris

Drs. H. Farid Ismail, S.H., M.H

x
Daftar Isi

Sekapur Sirih ................................................................................. iii


Sambutan Ketua Muda Mahkamah Agung Ri Urusan
Lingkungan Peradilan Agama ...................................................... viii
Sambutan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama................. ix
Daftar Isi ........................................................................................ xi
I. Pendahuluan............................................................................. 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................... 2
Peran Strategis Pengadilan Agama.......................................... 3
Memulai dari Teks Agama....................................................... 6
Konstruksi Buku....................................................................... 8

II. Relasi yang Adil antara Laki-Laki dan Perempuan . ............. 11


Antara Kodrat dan Gender . .................................................... 17
Analisis Ketimpangan Relasi Gender .................................... 22
Bentuk Ketidakadilan Gender ............................................... 26
a. Subordinasi ................................................................... 27
b. Marjinalisasi . ................................................................ 30
c. Beban Ganda ................................................................. 32
d. Kekerasan . .................................................................... 33
e. Stereotip......................................................................... 41
Perspektif Hukum yang Adil dan Gender ............................. 46

III. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif


Islam . ...................................................................................... 53
Pengertian dan Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 57
Faktor Penyebab terjadinya KDRT ........................................ 61

xi
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Tauhid sebagai Basis Relasi yang Adil ................................... 69


Ijtihad Fiqh Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga . ............ 80

IV. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif


Hukum Nasional .................................................................... 99
Hukum Nasional .................................................................... 99
Ketidakadilan Gender dalam Hukum Nasional...................... 102
Undang-Undang PKDRT dan Re-definisi Konsep Rumah
Tangga....................................................................................... 111
KDRT dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak..................................................... 125
KDRT dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam............................................................................ 134
Aspek KDRT dalam UU PTPPO.............................................. 155

V. Penanganan KDRT di Peradilan Agama . ............................... 162


Peradilan Agama ..................................................................... 164
Kewenangan Peradilan Agama dalam Penyelesaian KDRT.... 165
Mencari Solusi melalui Peradilan Agama............................... 171
Keadilan Gender dalam Prosedur Peradilan Agama............... 184
Peradilan yang Berpihak pada Korban KDRT......................... 188

VI. Rekomendasi............................................................................ 201

Lampiran: Mengharap Terobosan Hukum Lebih Lanjut di


Pengadilan Agama?
Oleh : Husein Muhammad............................................................ 202

xii
Bab I

Pendahuluan

K
omisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 181 Tahun 1998, dan diperbaharui dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2005, bertujuan untuk menciptakan situasi
yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan
penegakan hak-hak asasi perempuan. Sebagai Lembaga Nasional Hak
Asasi Manusia (National Human Rights Institution), dalam rangka
menjalankan mandatnya, komisi ini bekerja secara independen dengan
melakukan pemantauan terhadap fakta-fakta kekerasan dan diskri-
minasi terhadap perempuan di berbagai daerah di Indonesia serta
kajian terhadap produk-produk di tingkat internasional, regional,
nasional maupun di daerah. Komnas Perempuan juga melakukan
kemitraan strategis dengan institusi-institusi pemerintah, legislatif
serta penegak hukum dalam rangka memastikan pemenuhan akses
perempuan pada keadilan.
Guna memastikan penegakan hukum yang berkeadilan gender,
Komnas Perempuan melalui Sub Komisi Reformasi Hukum dan
Kebijakan, sejak awal telah melakukan pengkajian berbagai peraturan
perundang-undangan serta instrumen internasional, peningkatan
kapasitas penegak hukum, dan kemitraan strategis dengan institusi-
institusi hukum untuk terus menerus mencari terobosan baru dalam
penegakan hukum yang berkeadilan gender.
Program Penguatan Penegak Hukum (PPH), Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
(SPPT-PKKTP) termasuk penanganan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) adalah dua program utama Sub Komisi Reformasi
Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan yang paling banyak

1
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

mendapat apresiasi dari berbagai pihak, khususnya institusi penegak


hukum. Program yang pada awalnya dimulai Tahun 2003 ini bekerjasama
dengan Lembaga Derap Warapsari, Pusat Kajian Wanita dan Jender
(PKWJ) Universitas Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
APIK Jakarta ini dilakukan karena semakin meningkatnya kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan, di sisi lain perempuan korban masih
belum merasakan keadilan dalam proses hukum formal. Pada periode
2007-2009, selain terus merawat kerjasama dan program yang sudah
dibangun, Komnas Perempuan kembali mengembangkan kerjasama
dengan institusi penegak hukum, khususnya Peradilan Agama. Pilihan
kerjasama ini didasarkan pada kebutuhan nyata para hakim-hakim
Pengadilan Agama untuk meningkatkan pengetahuannya di bidang
instrumen hukum yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah
tangga dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
UU PKDRT yang secara konseptual telah meletakkan definisi baru
yang lebih progresif tentang keluarga dan kekerasan dalam rumah
tangga telah diapresiasi secara positif oleh APH dan Penegak Hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan), termasuk
para hakim Pengadilan Agama. Secara prosedural, institusi Peradilan
Agama bukanlah institusi peradilan yang menerima mandat penegakan
Undang-Undang ini. Akan tetapi, karena karakter kasus KDRT sangat
berhubungan dengan persoalan perkawinan dan keluarga serta
kekerasan dalam rumah tangga salah satu pemicu perceraian, dimana
atas perkara ini yang menjadi kompetensi Peradilan Agama. Tak pelak
Peradilan Agama juga menjadi bagian institusi peradilan yang memiliki
peran strategis dalam rangka menghapus segala jenis kekerasan dalam
rumah tangga.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tentang kekerasan
terhadap perempuan memperlihatkan setiap tahun mendapat pasokan
data dari Pengadilan Agama yang sangat signifikan. Dari tahun ke
tahun, Pengadilan Agama semakin baik dalam mengidentifikasi,

2
menelisik, dan mendokumentasikan fakta kekerasan dalam rumah
tangga se-hingga memudahkan berbagai pihak melakukan penanganan
sis-tematis dan komprehensif. Inisiatif dan peran aktif Pengadilan
Agama dalam mendorong penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
telah mendorong Komnas Perempuan untuk mengembangkan
kerjasama intensif dengan Pengadilan Agama. Salah satu inisiatif
kerjasama ini adalah pelatihan bagi hakim Pengadilan Agama tentang
Implementasi UU PKDRT yang diadakan pada tanggal 1-2 November
2007, di Jakarta.
Menangkap antusiasme hakim-hakim Pengadilan Agama untuk
meningkatkan pemahamannya tentang kekerasan dan diskriminasi
gender terhadap perempuan, Komnas Perempuan dan Pengadilan
Agama menyelenggarakan workshop penyusunan bahan bacaan atau
buku referensi yang bisa dijadikan salah satu acuan pengetahuan bagi
hakim-hakim Pengadilan Agama.
Peran Strategis Pengadilan Agama
Dinamika sosial baru yang terus didorong oleh berbagai kalangan
untuk melakukan pembaruan hukum yang adil gender telah melahirkan
sejumlah terobosan-terobosan di bidang pembentukan kebijakan
internasional, regional dan nasional dalam bentuk perundang-
undangan yang konstruktif bagi pemenuhan hak-hak perempuan,
termasuk perempuan korban. Sejumlah perundang-undangan
menunjukkan bahwa meskipun konstruksi sosial belum sepenuhnya
berubah dari konstruksi patriarkhi menuju konstruksi yang berkeadilan,
ikhtiar dan ijtihad yang dipelopori oleh banyak kalangan telah mampu
memberikan jaminan konstitusional dan legal dalam rangka
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Berbagai pembaruan itu
sekaligus menunjukkan bahwa hukum bukanlah norma yang tidak bisa
diubah dan berlaku sama di setiap kurun waktu. Hukum adalah produk
politik yang dikonstruksi dari situasi dan kondisi sosial yang melatari.
Menyikapi kondisi tersebut lahirlah kesepakatan dalam Konferensi
Perempuan untuk menyusun sebuah naskah guna menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan di seluruh dunia. Pada tahun 1979

3
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

naskah tersebut telah terwujud dalam bentuk Konvensi Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (International Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau
disingkat CEDAW). Konvensi ini sering disebut juga sebagai Inter-
national Bill of Rights for Women. Tahun 1984 melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, konvensi
ini disahkan dan diterima sebagai bagian dari kebijakan negara. Selain
itu disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU PTPPO) adalah bukti perubahan konstruktif
bagi penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan pada umumnya, selanjutnya menuntut jaminan implemen-
tasi dan operasionalisasi yang lebih kongkrit sehingga deretan pasal
dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu
yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas
Aparat Penegak Hukum, bersama para pendamping korban, adalah
memastikan bahwa perundang-undangan itu bisa dijalankan.
Pengadilan Agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang
sangat berhubungan dengan penegakan berbagai perundang-undangan
di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap
menjadi kewenangan Pengadilan Umum sebagaimana Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi Catatan
Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang salah satunya dihimpun
dari Pengadilan Agama, menunjukkan bahwa Pengadilan Agama adalah
pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga
yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu,
meskipun tidak langsung mengadili tindak pidananya, pengadilan
agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan
yang terjadi.

4
Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat
legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak
bisa semata-mata mengacu secara tekstual perundang-undangan yang
memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa
KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut secara kontekstual menelaah
dan membongkar diskriminasi gender dan kekerasan berbasis gender
dalam setiap relasi perempuan sebagai istri dan laki-laki sebagai suami
dalam keluarga, sehingga terbangun argumen yang holistik (me-
nyeluruh dan luas) dan juga mendasarkan berbagai kebijakan dan
perundang-undangan nasional yang tersedia. Meskipun kasus yang
disidangkannya terkait kasus perdata, misalnya, kasus perceraian, peran
hakim dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, harus menelisik
setiap kemungkinan tindak pidana yang terjadi di balik peristiwa
perceraian itu. Jika kemudian ditemukan indikasi tindak pidana, maka
hakim dengan otoritas yang dimiliki dapat mengintegrasikan temuan-
temuan indikasi kekerasan yang dialami korban dan menjadikannya
sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perceraiannya, terkait
hak pengasuhan anak, nafkah bagi anak, nafkah keluarga, pembagian
harta bersama maupun perlindungan bagi perempuan korban selama
dan sesudah proses perceraian. Proses pidana dapat dimulai dengan
atau tanpa dukungan pendamping korban. Secara substantif putusan
hakim Pengadilan Agama tidak hanya memenuhi standar penyelesaian
kasus perceraian secara perdata saja, tetapi juga mendiskripsikan fakta-
fakta bentuk kekerasan yang dialami korban sebagai langkah awal
membuka jalan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Tak dipungkiri, sejumlah terobosan baru dalam memutus perkara
perceraian telah dimulai oleh hakim-hakim Pengadilan Agama. Salah
satunya adalah putusan perkara perceraian Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA
Bgr. di Pengadilan Agama Bogor. Putusan atas perkara tersebut, hakim-
hakim Pengadilan Agama tidak saja mengacu pada perundang-undangan
yang berhubungan langsung dengan peristiwa perceraian, tapi juga
menggali perundang-undangan lain yang relevan. Bahkan hakim

5
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

menggali teks-teks keagamaan progresif yang berpihak pada perempuan


untuk memperkuat bangunan argumentasinya. Pemahaman holistik
yang dimiliki para hakim, jelas sangat berpotensi memberikan keadilan
bagi korban. Dialog yang dilakukan Komnas Perempuan dengan
beberapa Pengadilan Agama di Wilayah Sulawesi Selatan pada tahun
2012 memberi gambaran bahwa para hakim “sudah” menggunakan UU
PKDRT sebagai dasar rujukan dalam membongkar penyebab dan pemicu
perceraian dan menjadikannya “pertimbangan” dalam memberikan
putusan perceraian dan pemenuhan hak-hak perempuan korban pasca
perceraian.
Memulai dari Teks Agama
Kekerasan dalam rumah tangga, terjadi akibat ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender. Kondisi ini dipicu oleh pandangan yang bias
gender tentang posisi dan peran gender perempuan. Pandangan yang
merendahkan perempuan pada gilirannya telah menempatkan
perempuan sebagai subordinat dari laki-laki. Posisi yang subordinat
inilah kemudian sejumlah kekerasan terhadap perempuan akan terjadi:
diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, beban ganda dan lain-lain.
Pandangan bias terhadap posisi perempuan, harus diakui juga
memperoleh legitimasi dari pandangan keagamaan. Meskipun teks-
teks normatif keagamaan seperti Alquran dan hadis, jelas-jelas
menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk yang setara,
pandangan yang bias gender telah juga mempengaruhi pandangan
keagamaan para pemikir Islam terdahulu.
Hukum Islam yang hidup dalam kesadaran masyarakat muslim di
dunia ini, termasuk yang telah menjadi hukum positif dalam per-
undang-undangan yang berlaku di negara-negara muslim, sebenarnya
adalah fiqh. Sebagian besar dari pandangan-pandangan fiqh ini berasal
dari pandangan ijtihad empat madzhab terbesar; Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hambali. Fiqh berasal dari akar f-q-h, yang berarti faham atau tahu.
Ibn Manzhûr dalam Lisân al-‘Arab menyatakan bahwa kata al-fiqhu
berarti pengetahuan terhadap sesuatu atau pemahaman terhadap
sesuatu, kemudian menjadi istilah secara khusus untuk ilmu-ilmu

6
keagamaan, dan lebih khusus lagi untuk ilmu-ilmu hukum yang terkait
dengan kasus-kasus parsial. (Ibn Manzur, tt: juz XII, hal. 522).
Secara terminologis, fiqh didefinisikan dengan berbagai ungkapan
dan pernyataan. Di antara definisi fiqh yang bisa dianggap representatif
adalah: “Ilmu yang membahas mengenai hukum-hukum syari’at
menyangkut perbuatan-perbuatan manusia, yang dipahami dari teks-
teks syar’îy yang kasuistis (tafshîlî)”. (Muhammad ad-Dasuqi dan
Aminah al-Jabir, 1990: hal. 13-22).
Makna dari kalimat “yang dipahami dari teks-teks syar’îy” pada
rumusan fiqh di atas menegaskan bahwa sesungguhnya fiqh merupakan
kreasi pikir para ulama dan pemikir Islam. Sebagai sebuah hasil
pemikiran, karenanya, di samping tetap mengacu pada sumber rujukan
utama (Alquran dan Hadis) pemikiran itu jelas berhubungan dengan
realitas sosial masyarakat di sekelilingnya. Karena keterikatannya
dengan realitas; baik yang dihadapi seorang mujtahid yang melakukan
penggalian hukum maupun realitas masyarakat sekitar yang menuntut
jawaban hukum, maka fiqh tidak bisa dikatakan jauh atau berada di atas
realitas. Fiqh justru lahir, hidup dan bergelut bersama realitas, tetapi
dengan panduan dan dasar-dasar dari teks-teks (an-nushûsh); yaitu
Alquran dan Hadis, karena itu, fiqh bisa bersifat fleksibel untuk
menjawab kasus yang berbeda-beda, bahkan bisa jadi hanya untuk
suatu kasus tertentu saja yang tidak bisa dipaksakan pada kasus lain di
tempat dan/atau waktu yang berbeda. Ragam pandangan ini merupakan
sebuah keniscayaan dari adanya ragam realitas yang hadir dalam
kehidupan nyata. Oleh karena itu, ia merupakan kekayaan intelektual
yang sangat bermanfaat dan bisa menjadi jalan keluar bagi generasi
berikutnya, yang menghadapi realitas dari apa yang terjadi
sebelumnya.
Berangkat dari pemahaman yang demikian, ikhtiar penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga juga harus ditopang oleh teks-teks
keagamaan yang lebih memahami situasi dan kondisi diskriminasi
gender pada perempuan. Penafsiran kembali atas teks-teks keagamaan
adalah keniscayaan, karena fakta menunjukkan terdapat pemahaman
keagamaan yang justru kontradiktif dengan misi penghapusan kekerasan

7
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terhadap perempuan menuju keadilan bagi perempuan. Sebagaimana


ditegaskan KH Husein Muhammad, kita perlu membangun kembali
makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma
keadilan substantif dan nyata. Pemaknaan keadilan bagi perempuan
dalam konteks ini, harus didasarkan pada pengalaman-pengalaman
perempuan sebagai korban ketimpangan relasi gender karena
pemenuhan keadilan secara mendasar harus dengan menunjukkan
pemihakannya kepada korban. Hal lain yang lebih mendasar, pe-
maknaan keadilan harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia.
Melalui paradigma ini, perempuan didudukkan secara sejajar dengan
seluruh potensi kemanusiaan yang dimiliki sebagaimana laki-laki.
Konstruksi sosial yang menjamin keadilan gender diharapkan lahir
menjadi basis pendefinisian kembali tatanan hukum, aturan budaya,
regulasi dan kebijakan, tidak terkecuali pemahaman-pemahaman kea-
gamaan atau apa yang disebut sebagai fiqh. (Kompas, 12/11/2007, hal.
35). Pemihakan kepada korban dapat dimulai dengan mendengar suara
korban atas situasi dan kondisi yang dialami, segala kesulitan dan
penderitaan yang dirasakan, informasi serta segala harapan yang
diperlukan untuk memulihkan dirinya seperti semula.
Konstruksi Buku
Buku ini disusun dalam rangka turut serta mendorong upaya
terobosan hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan, khususnya
terkait dengan kasus-kasus KDRT. Bab pertama berisi pendahuluan,
yang berupaya mengetengahkan latar belakang penyusunan buku
bacaan ini, serta rangkuman seluruh isi buku. Pada bab kedua, buku ini
mengidentifikasi praktik relasi yang tidak setara antara laki-laki dan
perempuan. Ulasan historis dan fakta-fakta ketidaksetaraan laki-laki
dan perempuan dalam kontruksi sosial disajikan pada bab ini. Tujuannya
adalah mengingatkan kembali para pembaca, bahwa ternyata di sekitar
kita masih melekat apa yang disebut dengan pandangan yang bias
gender. Perspektif yang tidak adil dalam memandang posisi dan peran
gender perempuan. Bab ini kemudian diakhiri dengan paparan me-
ngenai gagasan ideal kehidupan manusia, di mana keadilan merupakan

8
misi semua peradaban manusia. Keadilan adalah inti ajaran setiap
agama dan obsesi semua produk hukum kala ia diciptakan. Bab ini
memberikan pijakan historis, sosiologis, betapa kita semua harus
mengubah perspektif kita tentang perempuan. Sama dengan laki-laki,
perempuan juga diciptakan untuk dihormati kemanusiaannya.
Bab ketiga, secara lebih detail mengulas tentang pengertian, faktor-
faktor penyebab, dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Bab ini dilengkapi dengan kekerasan dalam rumah tangga dalam
perspektif Islam. Pada bab ini penulis mengetengahkan pemahaman
bahwa sesungguhnya banyak pemahaman keagamaan atau fiqh yang
belum sepenuhnya menghargai martabat perempuan. Bahkan beberapa
pemikiran keagamaan jelas-jelas melegitimasi peran subordinat pe-
rempuan, sehingga perempuan menjadi rentan untuk didiskriminasi
dan mengalami kekerasan. Padahal, sebagaimana ditulis pada bab ini,
ikrar ketauhidan kita sebagai seorang muslim, telah menegaskan bahwa
tauhid merupakan basis relasi yang adil. Sejumlah rujukan dari Alquran
dan Hadis dipaparkan untuk memperteguh pandangan keagamaan
yang lebih memberikan keadilan bagi perempuan.
Setelah memahami kekerasan dalam rumah tangga dari perspektif
Islam, selanjutnya pada bab keempat dipaparkan bagaimana hukum
nasional memberikan jaminan terhadap penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga. Tidak hanya UU PKDRT, berbagai kebijakan lain juga
digali dan dipaparkan untuk memperkuat argumen bahwa tidak ada
tempat di dalam hukum nasional bagi praktik kekerasan dalam rumah
tangga. Terakhir, bab kelima memaparkan praktik di Pengadilan Agama
tentang bagaimana peran-peran strategis Pengadilan Agama dalam
memutus sebuah perkara perceraian dan kasus perdata Islam lainnya,
yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun
Pengadilan Agama tidak memiliki kompetensi mengadili perkara
kekerasan dalam rumah tangga, akan tetapi pemeriksaan dan penggalian
adanya potensi konflik dari para pihak yang berperkara mampu
memberikan keadilan bagi perempuaan korban dan membuka ruang
dan potensi keadilan baru setelah perkara kekerasan dalam rumah

9
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

tangga itu ditindaklanjuti oleh Peradilan Umum. Sebagai penutup, bab


ini juga diakhiri dengan pemaparan putusan perkara di Pengadilan
Agama Bogor, sebagai sebuah ijtihad dan kreasi hukum para hakim
Pengadilan Agama yang secara holistik menggunakan berbagai sumber
rujukan untuk memutus perkara.

10
Bab II

Relasi yang Adil antara


Laki-laki dan Perempuan

M
anusia tidak hidup pada ruang yang hampa. Setiap orang
pasti berada dalam tatanan nilai tertentu, pandangan dan
cara hidup yang diwariskan secara turun temurun. Tatanan
yang terus diproduksi, diperbaharui dan disosialisasikan dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Inilah budaya sebagai hasil kreasi manusia.
Budaya lahir sebagai peradaban yang membedakan manusia dari
makhluk-makhluk yang lain. Manusia akan memikirkan, menafsirkan,
mereproduksi dan mencipta. Kemudian yang satu membakukan tafsir
dari pemikiran itu, sementara yang lain menggugat dan mengkritik
untuk menciptakan tafsir baru atas fakta dan fenomena yang berulang
atau mungkin baru. Demikianlah putaran kehidupan, mencipta dan
membakukan, kemudian dibakukan untuk mencipta kembali.
Kita bisa menyaksikan, bahwa seseorang tidak hanya terlahir dengan
jenis kelamin tertentu, dari suku tertentu dan dengan bahasa tertentu.
Tetapi ada tafsir sosial budaya terhadap eksistensi jenis kelamin, ras,
atau suku yang melekat pada diri setiap orang. Suku tertentu ditafsirkan
sebagai keras kepala dan kasar, misalnya. Sementara suku yang lain
lembut dan perasa. Tafsir ini yang kemudian menciptakan asumsi dan
cara pandang seseorang dalam berinteraksi dengan orang yang berasal
dari suku tersebut. Tidak sedikit juga yang menimbulkan tindakan
pelecehan, ketimpangan dan kekerasan.
Begitu juga dengan jenis kelamin seseorang; laki-laki atau pe-
rempuan. Ada tafsir-tafsir sosial dengan identitas yang berkembang
atas jenis kelamin tersebut. Bahwa manusia yang memiliki penis itu
seharusnya tangguh, kuat dan bersedia mengemban tanggung jawab

11
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

keluarga dan masyarakat. Sementara manusia yang terlahir dengan


vagina, ditafsirkan sebagai manusia yang pasti lembut dan perasa.
Karena itu seharusnya atau sebaiknya mengelola urusan domestik dan
di dalam rumah saja. Urusan masyarakat dianggap lebih sulit dan
kompleks, karena itu bagi yang mengembannya, yaitu laki-laki yang
berpenis itu, diperlukan pendidikan yang tinggi dan kapasitas yang
memadai. Sementara urusan rumah tangga mudah dan simpel, tidak
diperlukan pengetahuan apalagi pendidikan tinggi.
Tafsir sosial dengan identitas tertentu ini lahir, berkembang dan
terbentuk mulai dari seseorang yang berjenis kelamin itu lahir sebagai
bayi, yang baru melihat dunia dan budaya. Masyarakat sekitar sudah
mengenalkan dan membakukan tafsir sosial atas jenis kelamin yang
melekat pada bayi tersebut. Tafsir-tafsir ini kemudian membentuk
berbagai pandangan, nilai dan norma budaya yang lebih memilih anak
laki-laki (boy preference) dan bisa menjadi budaya yang kemudian
membenci anak perempuan (misoginis).
Julia Clave Mosse menceritakan mengenai kelahiran seorang anak
perempuan di Kenya Afrika. Dukun bayi yang mengurus persalinan
anak kedua Sosamma dari suku Turkana, Kenya bagian Utara, itu
meringis dan bergumam: “Yahh.. perempuan lagi”. Biasanya, sang
dukun hanya akan menerima pembayaran separuh dari persalinan un-
tuk bayi laki-laki. Jika bayinya laki-laki, beritanya akan diumumkan
dengan gembira, akan ada hadiah dan Sosamma sang ibu akan ke-
banjiran pujian. Tetapi bayi perempuan adalah kekecewaan bagi
Sosamma, bahkan bagi sang dukun. Sekalipun tenaga dan beban
persalinan untuk keduanya sama. Karena itu, sang dukun menggerutu.
Tali pusar bayi laki-laki akan dipotong dengan sebilah tombak, dan
pesta diselenggarakan dengan menyembelih empat ekor kambing.
Ketika perempuan itu bangun dan keluar rumah setelah selesai dari
persalinannya, tombak itu akan digunakan untuk membegal seekor
lembu. Kemudian perempuan itu dan suaminya memakan daging
lembu itu sebagai tanda syukur bahwa keluarga itu telah memiliki
keturunan yang akan mengurus ternak mereka. Jika bayi perempuan,
tali pusarnya hanya dipotong dengan sebilah pisau dan cuma seekor

12
kambing yang disembelih. Itupun tanpa ada pesta. Julia melanjutkan,
bahwa kebanyakan masyarakat dunia menyambut kehadiran bayi perem-
puan secara berbeda dari bayi laki-laki. (Julia Claves Mosse, 2003: 1-2).
Penanaman nilai yang membedakan peran dan posisi anak laki-laki
dari anak perempuan terus berlanjut, sampai seseorang menjadi de-
wasa, menikah, berkeluarga dan meninggal dunia. Nilai ini yang
membentuk norma budaya, yang kemudian menjadi menguat dan
baku dalam kesadaran seseorang sebagai budaya masyarakat. Bahkan,
tidak sedikit nilai-nilai yang disosialisasikan sebagai kodrat yang
melekat pada perempuan, atau pada laki-laki, menjadi kesadaran di
bawah sadar. Nilai ini yang menjadi cara pandang seseorang terhadap
dirinya, maupun cara pandang terhadap orang lain ketika melakukan
interaksi sosial misalnya, pandangan mengenai kodrat perempuan dan
kodrat laki-laki. Banyak orang menilai bahwa pada perempuan me-
lekat kodrat untuk dikejar laki-laki, dicari, diperhatikan dan dicintai.
Sementara pada laki-laki, melekat kodrat untuk mengejar, mencari,
memperhatikan dan mencintai. Sehingga ketika ada laki-laki yang
mengejar-ngejar perempuan, dianggap wajar, sementara kalau
perempuan mengejar laki-laki, dianggap tidak wajar karena menyalahi
kodratnya sebagai perempuan. Padahal, apa yang dianggap kodrat itu,
sebenarnya lebih merupakan norma, nilai yang dikonstruksi oleh
masyarakat sebagaimana digambarkan di atas. Kita juga sering
mendengar ungkapan bahwa di antara kodrat perempuan adalah hamil,
melahirkan, menyusui dengan ASI dan memelihara anak. Jika ada
perempuan yang enggan untuk hamil atau menyusui dengan ASI, ia
akan dianggap orang yang mengingkari kodratnya.
Rumusan tentang kodrat, sebenarnya memiliki perbedaan yang
tegas dengan apa yang disebut sebagai persepsi dan asumsi, yang
kemudian menjadi norma. Ketika menjadi norma, maka persepsi dan
asumsi yang sering dianggap ‘kodrat perempuan’ ini menjadi baku
meski tetap bersifat relatif, karena tetap berbeda antara satu tempat
dengan tempat lain, dan berbeda dari satu kurun ke kurun yang lain.
Istilah ‘kodrat perempuan” kemudian lebih banyak digunakan untuk
mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat, membatasi,

13
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

mengekang, bahkan melecehkan mereka. Misalnya, ungkapan bahwa


kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, sering digunakan
sebagian orang untuk mengekang perempuan agar tinggal di dalam
rumah saja dan tidak banyak keluar sekalipun untuk belajar atau
bekerja. Ketika bekerja pun, pekerjaan perempuan dianggap sambilan
untuk membantu suami, karena itu ia digaji ‘sambilan’ dan tidak utuh.
Persepsi kodrat seperti ini, yang menyebabkan perempuan pekerja
rumah tangga misalnya, digaji sangat kecil sekalipun jenis pekerjaanya
cukup melelahkan dan melebihi batas kewajaran. Jika dibandingkan,
pasti upah pekerja rumah tangga lebih kecil dari gaji supir yang hanya
melakukan pekerjaan antar-jemput majikan.
Persepsi kodrat terus berkembang di masyarakat, yang pada
praktiknya sering merugikan perempuan. Mereka seringkali diharuskan
untuk hidup sesuai kodrat yang diasumsikan, padahal peran mereka
sudah tidak lagi bisa disesuaikan dengan apa yang diasumsikan
masyarakat itu. Ketika dipaksakan, yang terjadi adalah keburukan,
pelecehan, kekerasan dan kezhaliman. Seperti ‘kodrat’ keibuan, lemah
lembut, dipilihkan dan dikawinkan. Perempuan sebagai istri harus siap
melayani, kapanpun dan dalam keadaan apapun, tidak peduli, apakah
ia sibuk dengan kerja rumah tangga, sakit, atau sedang mengurus dan
merawat anak. Kewajiban istri adalah memuaskan suami. Persepsi
kodrat yang salah ini sering diperkuat dengan pandangan-pandangan
yang dianggap sebagai ajaran keagamaan, sehingga menjadi kebenaran
bawah sadar setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Simak apa yang dikeluhkan seorang suami, dalam sebuah rubrik
konsultasi psikologi Kompas, yang diasuh Leila Ch Budiman:
“....Kami telah enam tahun menikah Uni Lei. Saya mempunyai kedudukan
baik di kantor setelah kerja keras selama tujuh tahun. Kadang saya harus
pulang sampai larut malam karena pabrik harus bekerja terus-menerus.
Keadaan pabrik yang bising dengan baunya yang khas, dan tentu saja tidak
terlalu bersih, membuat saya ingin segera pulang. Saya sering bayangkan,
pulang disambut istri dengan senyum, rumah teratur bersih, dan ia memberi
segelas air jeruk kesukaan saya. Tapi bayangan indah itu tinggal mimpi, tak
pernah terjadi.

14
Yang selalu saya temukan wajah cemberut, rambut awut-awutan, dan bau
minyak kayu putih sebab ia sering pusing. Kalau saya pulang sore, istri bau
minyak tanah sebab ia sedang memasak dan mengepel rumah. Jangankan air
jeruk panas, air putih saja harus ambil sendiri. Kalau ia ‘bercerita’, mulailah
keluar keluhan; anak ingusan, ledeng mampet, kursi jebol dsb. Saya jadi males
omong, dan dia tambah marah. Katanya saya tidak peduli lagi padanya.
Malam pun sama saja. Dulu saya bayangkan dapat menonton teve bersama-
sama, ingin bermesraan kalau anak sudah tidur. Ternyata anak tidur, dia pun
ikut ngorok. Padahal dia di rumah saja, kan punya waktu banyak untuk tidur?
Tambah lama saya jadi tambah malas pulang. Dulu pernah saya katakan
padanya agar mengambil pembantu, tetapi ia tidak setuju dengan alasan yang
dicari-cari. Yang masih membuat pulang adalah anak lelaki saya yang memang
cerdas. Dia sudah bisa membaca sebelum masuk SD, dan sekarang termasuk
lima besar di kelasnya.
Akhir-akhir ini saya cepat naik darah, sukar tidur, dan sakit. Hubungan
kami jadi makin renggang. Saya berpikir, pantaslah suami mudah tergoda
wanita lain....Uni Leila, bagaimana sebaiknya sikap saya agar dia berubah?
Ataukah saya mencari wanita lain saja”. (Leila Ch Budiman, 2000: hal. 3-4).

Cara pandang seseorang terhadap ‘kodrat perempuan’ dan ‘kodrat


laki-laki’, akan mempengaruhi penilaian terhadap cerita tersebut di
atas. Apalagi jika dia termasuk agen perubahan sosial, atau elit di
masyarakat. Dia sebagai konsultan rumah tangga misalnya, atau kyai
yang memberikan pandangan keagamaan, anggota parlemen yang
membuat undang-undang, polisi yang mengatasi perkara atau hakim
yang menafsirkan teks perundang-undangan untuk memutuskan suatu
perkara. Setiap keputusan yang diberikan, pasti terpengaruh dari cara
pandang yang dimilikinya.
Mungkin kita perlu simak pandangan yang lain dari Leila Ch.
Budiman, dalam menanggapi sang suami yang mengirimi surat tersebut.
Pandangan ini lebih berimbang dalam memahami persoalan relasi
suami dan istri. Mungkin karena dari seorang psikolog yang perempuan.
Penulis kutip penuh, untuk melihat betapa cara pandang itu sangat
mempengaruhi seseorang untuk berbicara, berbuat dan memutuskan.

15
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“...................... Saya tidak tahu siapa yang bekerja lebih keras, Bapak atau Ibu?
Sebagai ibu dan istri tanpa pembantu, ia –istri Bapak- punya banyak tugas.
Ia harus menjadi juru masak buat sekeluarga, menjadi ahli gizi bagi bayinya
sampai sekarang, juga buat anggota keluarga lain. Ia tidak hanya merencanakan
makanan saja, juga membeli dan memilih sendiri. Ia juga menjadi cleaning lady
yang bukan hanya mengepel dan membersihkan kamar mandi saja, tetapi juga
mencuci piring, panci dan pakaian sekaligus mensetrikanya. Ia pun menjadi
“akuntan” yang membereskan pengeluaran rumah tangga, menjadi beberapa
guru bagi si buyung, mengajarkan makan dengan benar, menjaga kesehatan,
mengajarkan baca tulis, bernyanyi, berhitung, adat istiadat, sopan santun,
agama, hingga ia bisa baca sebelum masuk SD dan tergolong lima besar di
kelasnya. Kita tahu, kecerdasan tidak jatuh dari langit begitu saja. Betapa pun
cerdasnya seorang bayi, jika tidak ada yang membimbing dan mengajarkan
berbagai hal kepadanya, si bayi akan tidak belajar apa-apa, alias menjadi bodoh.
Istri pun perlu bisa jadi pemain akrobat: harus terampil memasak sambil
menjaga anak jangan jatuh dari kursi. Ia pun jadi sopir si buyung yang harus
bolak-balik mengantar pergi ke sekolahnya. Semua pekerjaan ini dikerjakan
sepanjang hari, tiap hari sejak menikah dengan Bapak. Tidak mengherankan
bila ia kurang waktu buat dandan dan membuat air jeruk panas, dan demikian
lelahnya di malam hari.
Bedanya, Bapak digaji sedangkan istri Bapak tidak. Imbalannya? Jangankan
penghargaan, perhatian saja sukar didapatkannya dari Bapak. Bukankah
Bapak cenderung melihatnya sebagai pengangguran cerewet yang “di rumah
saja”.
Tampaknya istri yang supersibuk itu perlu sekali mendapatkan beberapa
asisten. Ya, paling sedikit seorang pembantu rumah tangga yang terampil
hingga ia masih punya waktu untuk bersenam, membaca buku yang berguna
dan merawat kecantikannya..........Bapak Jangan ungkapkan keinginan ini sekali
seumur hidup saja, kalau perlu dapat diingatkan dengan lemah lembut, sekali
dalam beberapa bulan, agar masing-masing tahu apa yang didambakan dari
pasangannya.
Jika sikap Bapak sering manis dan mesra kepadanya, saya percaya dia pun
akan berusaha melakukan hal yang sama pula. Misalnya Bapak tidak hanya
minta dilayani dengan menyediakan air jeruk panas, tetapi sekali-kali juga

16
membuatkan susu cokelat kegemarannya. Jangan lupa, sesekali hadiahkanlah
sang istri parfum Soir de Paris, atau Beautiful, Estee Lauder, supaya dia tidak
senantiasa bau kayu putih dan minyak tanah saja”. (Leila Ch Budiman, 2000:
hal. 4-6).

Guna memperoleh cara pandang yang imbang ini, kita perlu


mengenal lebih jauh mengenai apa sesungguhnya yang disebut kodrat
bagi perempuan, juga kodrat bagi laki-laki. Kita sering terjerumus pada
asumsi kodrat jenis kelamin, yang mungkin mengantarkan kita pada
cara pandang yang menistakan salah satu jenis kelamin. Apakah yang
diasumsikan sebagai kodrat oleh masyarakat adalah benar-benar kodrat
ciptaan bagi perempuan, atau sesunggunya adalah ciptaan budaya yang
berkembang dan berubah. Jika kodrat yang diasumsikan itu merupakan
budaya, maka seharusnya kita memikirkan ulang agar budaya yang kita
ciptakan itu tidak menghadirkan pembedaan peran dan posisi
perempuan dan laki-laki, juga tidak menyebabkan kekerasan.
Seharusnya, tidak ada nilai budaya yang kita ciptakan sendiri, yang
menghadirkan kekerasan. Justru kita perlu menciptakan nilai budaya
yang menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan untuk seluruh
anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Antara Kodrat dan Gender
Pembedaan antara yang kodrat dan yang bukan kodrat, dalam relasi
laki-laki dan perempuan merupakan konsep penting dalam membahas
isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Kodrat biasa disebut sebagai
konsep seks. Sementara yang bukan kodrat biasa disebut sebagai konsep
gender. Pemahaman dan pembedaan konsep seks dan konsep gender
diperlukan untuk melakukan analisis dalam memahami persoalan-
persoalan ketidakadilan yang menimpa laki-laki dan perempuan,
utamanya perempuan. Hal ini, sebagaimana dikatakan Mansour Fakih,
karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam mengurai struktur
ketidakadilan masyarakat secara luas. (Mansour Fakih, 2001, h. 3).

17
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Jika kodrat diartikan sebagai sesuatu yang melekat dan tidak berubah
sepanjang masa, kita tidak bisa menggunakannya untuk sesuatu yang
terkait dengan sifat atau karakter yang dibentuk oleh masyarakat
melalui pembiasaan atau pendidikan. Kodrat yang tetap, melekat dan
tidak berubah sebagai penciptaan asal dalam diri seseorang adalah yang
biologis. Ia melekat dan ada pada tubuh seseorang penciptaan dari Allah
SWT. Kodrat perempuan misalnya, adalah vagina, rahim, indung telur,
kelenjar susu, menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui. Inilah
sesuatu yang melekat pada perempuan, meski tidak pada semua
perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui dan tidak akan
berubah oleh tempat, atau lekang oleh waktu. Begitu juga kodrat laki-
laki, adalah adanya penis, biji zakar dan sperma. Ini pun tidak akan
berubah sepanjang zaman dan di semua tempat. Inilah konsep seks,
atau konsep kodrat.
Lies Marcoes Natsir memberikan gambaran yang cukup menarik.
Ketika seseorang melihat persalinan di rumah sakit, Puskesmas atau
tempat bidan, orang akan segera mengenali bayi itu perempuan jika ia
punya vagina dan bayi itu laki-laki jika punya penis. Orang mengenalinya
dari ciri fisik itu, maka inilah yang kodrat itu.
“Karena, sesuai dengan definisinya, kodrat adalah suatu ketentuan yang
datang dari Tuhan. Sebagai kodrat, jenis kelamin bersifat abadi, dalam arti
tidak berubah “kepemilikannya” dan “fungsinya”. Di mana-mana di dunia ini
yang namanya laki-laki pastilah memiliki penis, perempuan punya vagina. Di
mana-mana di dunia ini jika perempuan telah mencapai usia remaja maka
ia akan mengalami haid. Itulah kodrat perempuan yang tidak bisa dihindari
oleh semua perempuan, tak peduli apapun latar belakang kehidupannya.
Alat kelamin yang dimiliki manusia lengkap bersama fungsi-fungsi dan
kemampuannya bersifat abadi, tidak berubah berdasarkan waktu, tempat, suku,
latar belakang pendidikan, agama, kemampuan ekonomi dan lain-lain. Dan
sebagai konsekuensi lanjutan atas kepemilikan alat kelamin itu, perempuan
misalnya kemudian dikodratkan memiliki payudara, haid, hamil, melahirkan
dan menyusui dengan ASI”. (Lies Marcoes, 2001, h. 3).

18
Tetapi manusia, sebagai makhluk yang kreatif mengenali laki-laki
dan perempuan tidak hanya berhenti pada yang bersifat fisik-biologis.
Ada banyak ciri-ciri lain, yang diberikan pada manusia, sebagai
interpretasi mereka terhadap apa yang disebut lak-laki atau perempuan,
fungsi dan kemampuan dari masing-masing jenis kelamin itu. Setiap
kebudayaan, manusia dengan kesepakatan sosial sebagai masyarakatnya
lalu memberi atribut dan melengkapi ciri-ciri biologis tadi dengan ciri-
ciri yang bersifat non biologis. Misalnya dengan warna, tanda-tanda,
atribut-atribut, sifat dan karakter yang dianggap sesuai dengan jenis
kelamin yang dimilikinya itu. Tentu saja pemberian atribut itu
berkembang berdasarkan pengalaman dan anggapan manusia di
masing-masing tempat. Karenanya, berbeda dengan ciri-ciri yang
diciptakan Tuhan yang bersifat abadi berlaku universal bagi semua
manusia di seluruh dunia, ciri-ciri yang diciptakan manusia bersifat
tidak kekal, tidak abadi dan tidak berlaku universal. Ciri-ciri itu berbeda
dari masa ke masa, dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dari satu
lapisan sosial ke lapisan sosial lainnya.
Atribut-atribut produk manusia yang bersifat sosial dan budaya,
yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan disebut dengan istilah
gender. Istilah ini digunakan untuk memudahkan pembedaan, antara
yang fisik-biologis sebagai seks atau kodrat dengan yang sosial-budaya
sebagai gender. Karena seringkali, kebanyakan orang tidak mem-
bedakan keduanya.
Konsep gender, menurut Mansour Fakih, adalah sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural, dapat dipertukarkan, dan bersifat relatif.
(Mansour Fakih, 2004: hal. 9). Perbedaan gender antara manusia yang
berjenis kelamin laki-laki dengan yang perempuan, berlangsung cukup
lama dan terbentuk dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat yang
turun-temurun, diperkuat melalui berbagai institusi dalam masyarakat;
adat kebiasaan, pendidikan formal, termasuk kebijakan negara dan
pemikiran keagamaan.

19
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kebanyakan orang, biasanya mengidentifikasi perempuan sebagai


orang yang bersifat feminin; lemah lembut, cantik, gemulai, suka
menangis, emosional, pengasih, pasif dalam banyak hal, mengalah,
beraninya di belakang. Karena sifatnya yang feminin, masyarakat
memberikan tempat yang lebih “aman” bagi perempuan, yaitu di dalam
rumah dengan kerja-kerja domestik dan reproduksi, karena perempuan
perlu dilindungi dengan kelemahannya itu. Merawat rumah, mencuci,
membersihkan, menyetrika, memasak, melayani suami dan anggota
keluarga, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI. Atau dalam
istilah Jawa macak, manak dan masak. Perempuan tidak perlu bekerja,
ia harus menjadi tanggungan anggota laki-laki. Jikapun bekerja, ia
hanya dianggap sebagai pelengkap atau pekerja tambahan, untuk
melengkapi kebutuhan rumah tangga belaka. Inilah yang disebut
dengan peran gender perempuan.
Sementara jenis kelamin laki-laki diidentikkan dengan sifat-sifat
maskulin; kuat, gagah, perkasa, aktif, suka merebut, berani, menantang,
siap melawan siapapun dan menghadapi apapun. Karena sifat-sifatnya
yang demikian, laki-laki harus berada di wilayah luar rumah atau publik
dan untuk kerja-kerja produksi. Atau kerja-kerja yang menghasilkan
uang untuk dibawa masuk ke keluarga. Berdagang, berkebun, bekerja di
pabrik, bepergian jauh, beraktivitas politik dan berperang. Karena
sifatnya yang maskulin, mereka juga harus menanggung beban keluarga.
Karena itu, jika bekerja, laki-laki harus diperhitungkan sebagai yang
utama, diberi gaji penuh, dan diperhitungkan sebagai orang yang
menanggung beban anggota keluarga yang lain. Inilah yang disebut
dengan peran gender laki-laki.
Demikianlah peran gender perempuan dan laki-laki yang ber-
kembang di masyarakat. Konstruksi peran gender hampir menjadi
sesuatu yang baku dalam pemikiran dan keinginan kebanyakan orang.
Banyak institusi-institusi sosial yang ikut membakukan peran gender
ini, tidak terkecuali pemikiran keagamaan. Syekh Nefzawi, ulama abad
pertengahan, dalam salah satu bukunya menulis, sebagaimana dikutip
Asghar Ali Engineer:

20
“Seorang perempuan yang ideal jarang berbicara dan tertawa tanpa sebab.
Ia tidak pernah meninggalkan rumah, bahkan untuk menemui tetangga yang
dikenalnya. Ia tak punya teman-teman perempuan, tidak memberi kepercayaan
kepada siapa pun, dan suaminya adalah satu-satunya tempatnya bergantung.
Dia tak menerima apa pun dari seseorang, kecuali dari ayah dan suaminya. Jika
bertemu dengan karib kerabatnya, ia tak ikut campur dalam urusan mereka.
Ia tak berkhianat dan tak mempunyai kesalahan yang disembunyikan. Ia tak
berusaha memikat orang lain. Jika suaminya mengajukan keinginan untuk
berhubungan badan, dia akan berkenan memuaskan nafsu suaminya. Ia
selalu membantu suami dalam berbagai urusan, tidak banyak mengeluh dan
mengeluarkan air mata. Ia tak tertawa atau bergembira ketika melihat suami
dalam keadaan murung dan kesulitan; ia akan membantu memecahkan
masalahnya sampai suami benar-benar terhibur. Ia tidak menyerahkan dirinya
kepada orang lain, kecuali kepada suami, walaupun suami tidak ada dan akan
membuat ia mati. Perempuan seperti itulah yang akan diidamkan setiap orang”.
(Asghar Ali Engineer, 1994: hal. 89).

Hampir sama juga, apa yang dikonstruksikan dalam budaya ma-


syarakat Jawa dan masyarakat pesantren. Budaya Jawa misalnya, kita
punya serat Centini yang juga mengilustrasikan bagaimana seharusnya
menjadi perempuan Jawa yang lemah lembut, pandai mengurus rumah,
merawat tubuh dan menyenangkan suami. Hal yang hampir serupa juga
kita temukan dalam kitab Syarh Uqud al-Lujjayn, karangan Syekh
Nawawi Banten, yang menjadi rujukan beberapa masyarakat pesantren
di Jawa. Ini salah satu konstruksi yang membakukan peran gender
perempuan. Mungkin pertanyaannya adalah mengapa peran gender ini
perlu dibicarakan? Atau lebih tepatnya, mengapa peran gender ini perlu
dipersoalkan?
Mansour Fakih dalam buku ‘Analisis Gender’, ditegaskan bahwa
perbedaan gender sesungguhnya tidaklah masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Artinya,
perbedaan-perbedaan gender yang hidup di masyarakat tidak perlu
dipersoalkan sepanjang tidak terkait dengan ketimpangan dan
kekerasan. Namun, pada kenyataanya, justru perbedaan gender ini telah
melahirkan berbagai ketidakadilan. Ketimpangan ini yang kemudian

21
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

diuraikan melalui apa yang disebut sebagai analisis gender, atau


perspektif gender. (Mansour Fakih, 2004: hal. 72).
Analisis Ketimpangan Relasi Gender
Analisis gender dikenalkan oleh para ilmuwan sosial, terutama dari
gerakan perempuan, untuk mengurai ketidakadilan struktural yang
terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan. Sebagai istilah, gender
pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk me-
misahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri
fisik biologis. Dalam ilmu sosial, orang yang juga sangat berjasa dalam
mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley
(1972). Sebagaimana Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai
kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang
dibangun oleh kebudayaan manusia. (Lies Marcoes, 2001: hal. 6 dan
Mansour Fakih, 2004: hal. 71).
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, pada proses
berikutnya, karena tuntutan struktur nilai dan sosial, akan melahirkan
perbedaan peran gender antara keduanya. Peran gender ini, sekali lagi
tidak digugat dan tidak perlu digugat ketika tidak menimbulkan
diskriminasi gender dan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, karena
secara biologis (kodrat) kaum perempuan yang memiliki vagina dan
rahim, berperan untuk bisa hamil, melahirkan dan menyusui dengan
ASI, dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh
dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah, dan tidak perlu
dipermasalahkan. Tetapi yang perlu dipermasalahkan, oleh analisis
gender ini, adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh
perbedaan gender dan peran gender tersebut.
Salah satu dari bentuk ketidakadilan yang ditimbulkan dari posisi
dan peran gender, adalah cara pandang yang merendahkan. Coba kita
bayangkan, bukankah kebanyakan masyarakat menganggap lebih
penting kerja publik daripada kerja domestik? Cara pandang ini
merupakan struktur ‘ketidakadilan’ yang bisa berakibat pada pengabaian
orang-orang yang kerja di wilayah domestik. Kebetulan yang bekerja di

22
wilayah ini justru perempuan dan ibu-ibu rumah tangga. Mereka tidak
diperhatikan, tidak diberi gaji cukup dan tidak perlu istirahat.
Perbedaan dan peran gender antara laki-laki dan perempuan,
sesungguhnya tidak serta merta melahirkan ketidakadilan dan
kekerasan. Ketidakadilan ini lebih banyak ditimbulkan oleh hegemoni
dan dominasi dan struktur kuasa relasi yang timpang, antara peran
gender perempuan dan laki-laki. Peran gender laki-laki dikonstruksikan
untuk mendominasi peran gender perempuan. Inilah ketimpangan
relasi gender. Struktur berpikir kita, struktur sosial, politik, budaya dan
ekonomi membentuk pola relasi antar individu masyarakat dan
kelompok-kelompok di antara masyarakat. Relasi ini seringkali
didasarkan pada dominasi dan hegemoni satu pihak kepada pihak yang
lain. Bentuk relasi seperti ini yang melahirkan ketidakadilan, kekerasan
dan kezhaliman. Minimal membentuk cara pandang yang merendahkan
dan mengabaikan. Dari mereka yang mendominasi kepada mereka yang
didominasi.
Cara pandang yang merendahkan ini, dalam proses berikutnya,
melahirkan sikap mementingkan dan mendahulukan yang dominan
dari yang didominasi, atau privilese, kemudian penguasaan, penindasan
dan tentu saja kekerasan-kekerasan sosial, politik dan ekonomi.
Begitupula di banyak wilayah sosial budaya, garis relasi dari dua
kutubnya tidak sejajar dan tidak seimbang. Ada yang ditempatkan di
atas, diperhitungkan dan diutamakan, dan ada yang ditempatkan di
bawah, dilupakan dan dipinggirkan. Kerentanan seseorang terhadap
kekerasan akan semakin terakumulasi ketika ia berada di kelompok
bawah dari berbagai domain. Dia perempuan misalnya, sekaligus juga
miskin, dari kelompok minoritas, kelas buruh dan tidak memiliki
pengetahuan dan informasi. Problem ketidakadilan sosial adalah
problem ketimpangan relasi.

23
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Gambar garis relasi dominasi dan hegemoni

24
Konteks relasi laki-laki dan perempuan, juga pada praktiknya terjadi
perebutan pengaruh dan penguasaan. Tetapi karena posisinya yang
marjinal, perempuan sering dikalahkan. Struktur relasi kuasa yang
sudah terbentuk, memang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Istilah ‘sejarah’ misalnya, dalam bahasa Inggris adalah ‘history’ dari his
story, yang berarti sejarah laki-laki. Yang dicatat dan diapresiasi adalah
sejarah para lelaki. Sejarah mengenai perebutan laki-laki terhadap
kekuasaan dan pertahanan hidup. Sejarah perempuan hanya pelengkap
dari sejarah kekuasaan laki-laki. Bahkan, kebanyakan dari aktivitas
perempuan yang di dalam rumah tidak penting untuk dicatat sebagai
sejarah. Karena itu, tidak mungkin disebut ‘her story’ atau sejarah
perempuan. Sejarah yang sepertinya netral, ternyata dengan analisis
gender, bisa nampak ada ketimpangan data dan fakta. Sejarah hanya
mencatat orang-orang yang kuat dalam relasi kuasa. Pejabat, penguasa
dan orang-orang kaya, mereka adalah laki-laki. Jikapun ada perempuan,
ia hanya pelengkap dari sejarah yang bernuansa laki-laki.
Konstruksi budaya di kebanyakan tempat juga merendahkan peran
gender perempuan, yang dibakukan dan dilegitimasi oleh tafsir agama.
Sebagai contoh, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menjadi
istri adalah ‘kodrat’ perempuan. Bukan sebagai peran gender perem-
puan. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang mencibir para perempuan
yang dalam hidupnya tidak memiliki suami, apalagi yang tidak sempat
berumah tangga dan tidak pernah menjadi istri. Para perempuan ini,
ketika terus beranjak dewasa, akan banyak dipergunjingkan orang,
dicurigai, bahkan dituduh memiliki kelainan-kelainan. Menikah dan
menjadi istri bagi seorang laki-laki, adalah kodrat dan kewajiban, bukan
merupakan pilihan yang disesuaikan kecenderungan setiap orang.
Pandangan terhadap kodrat ini, mempengaruhi persepsi dan perilaku
masyarakat terhadap eksistensi perempuan dalam relasi kehidupan
berumah tangga. Baik sebelum perkawinan, pada masa hidup berumah
tangga, maupun paska perceraian. Perempuan seringkali diperlakukan
dengan cara yang tidak adil, bahkan mengakibatkan kekerasan yang
menistakan. Demikian juga mitos ‘perawan tua’, telah mempengaruhi
banyak orang melakukan tindakan yang merugikan perempuan.

25
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Mitos-mitos seperti ini, cara pandang, penafikan dan penundukan


adalah lahir dari ketimpangan sebuah relasi antar dua jenis kelamin;
laki-laki dan perempun. Tentu saja, semua orang tidak ingin menjadi
korban dari ketimpangan relasi. Karena itu, sejarah kemanusiaan selalu
mengupayakan berbagai cara untuk mengakhiri dan mengurangi segala
bentuk ketidakadilan dan ketimpangan. Kritik terhadap ketidakadilan
dan kebutuhan terhadap konsep dan pemikiran tentang keadilan akan
tetap menjadi isu dunia yang penting dan menarik. Ada banyak analisis
sosial yang lahir untuk mengurai struktur ketidakadilan sosial. Ada
analisis kelas Karl Marx, analisis idiologi Antonio Gramsci dan Louis
Althusser, juga analisis ‘teori kritis’ ala mazhab Frankfrut yang
menggugat obyektivitas pengetahuan dan netralitas ilmu.
Analisis gender datang untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial
dari aspek hubungan antar jenis kelamin. Analisis gender akan
memudahkan kita untuk mengenali peran-peran gender yang ada di
masyarakat. Sejauhmana peran tersebut mendatangkan keadilan atau
ketidakadilan sosial. Kita bisa menggunakan analisis gender, untuk
memetakan kebutuhan-kebutuhan dan menggerakkan segala kom-
ponen kehidupan individual laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
rumah tangga, sosial dan bernegara, agar tidak ada lagi orang yang di-
jadikan korban diskriminasi gender dan ketidakadilan struktur sosial.
Bentuk Ketidakadilan Gender
Keadilan adalah kondisi di mana setiap orang, dalam masyarakat
tertentu secara umum, memperoleh apa saja yang menjadi haknya dan
memperoleh bagian kekayaan dari kekayaan kita bersama. Kondisi
sebaliknya adalah ketidakadilan, (Agnes Widanti, 2005: hal. 6). Seperti
yang disebutkan di atas, ketidakadilan gender terkait dengan aspek
relasi laki-laki dan perempuan. Ketika struktur sosial dan budaya
menempatkan relasi gender secara timpang, maka akan lahir
ketidakadilan gender. Analisis gender mengenalkan lima bentuk
ketidakadilan, sebagai salah satu cara untuk mengenali ketimpangan
relasi laki-laki dan perempuan. Yaitu; subordinasi, marjinalisasi, beban
ganda, kekerasan dan stereotip.

26
a. Subordinasi
Ordinat adalah titik pusat, sementara subordinat adalah sesuatu
yang bergantung pada titik tersebut. Secara sederhana, subordinasi
berarti pengkondisian atau penetapan seseorang pada keadaan yang
tidak mandiri, tidak diakui dan tentu saja tidak diperhitungkan. Kecuali
dia harus melekat dan bergantung, atau subordinat pada orang lain.
Relasi gender yang timpang bisa mengakibatkan subordinasi salah satu
jenis kelamin, biasanya perempuan, yaitu ketika keberadaan perempuan
tidak diakui dan tidak diperhatikan.
Jika perempuan akan memutuskan suatu hal tentang dirinya, dia
harus melibatkan orang lain yang laki-laki. Bahkan keputusan dirinya
tidak dianggap dan tidak diakui. Perempuan, jika ingin membuat kartu
tanda penduduk misalnya, mengurus paspor, membuka rekening di
bank, atau mendirikan sebuah usaha, dulu dia harus menyertakan izin
suami. Sementara laki-laki tidak memerlukan penyertaan izin istri.
Beruntunglah, persyaratan itu tidak ada lagi.
Fenomena kehidupan dalam rumah tangga, masyarakat, maupun
negara, melahirkan begitu banyak kebijakan tanpa ‘menganggap penting’
peran kaum perempuan. Demikian pula di beberapa negara Islam, masih
ada yang tidak memperkenankan perempuan memilih suara dalam
Pemilu. Karena suara perempuan sudah cukup diwakili oleh suara laki-
laki; suami atau orang tua. Apalagi untuk dicalonkan dan dipilih. Kuwait,
baru tahun 2005 memperbolehkan perempuan ikut serta dalam pemi-
lihan umum. Hukum pidana di Pakistan, tidak menerima kesaksian
perempuan dan anak-anak untuk kasus pidana pembunuhan. Mereka
hanya menerima kesaksian laki-laki saja. Jika terjadi pembunuhan di
dalam rumah, yang hanya disaksikan perempuan dan atau anak-anak, maka
besar kemungkinan terdakwa akan terlepas dari jeratan hukum. Karena
tidak ada saksi yang dianggap kompeten diajukan ke pengadilan.
Konstruksi yang sama juga terjadi di masyarakat pesantren yang
tidak mengarahkan tujuan belajar bagi perempuan untuk menjadi
ulama perempuan. Yaitu sosok yang pintar dan mampu berijtihad dalam
agama. Tetapi tidak jauh dari tujuan untuk menjadi istri yang taat
kepada suami, atau paling jauh untuk menjadi istri bagi sang kyai atau
ulama. Konstruksi ini mensubordinasi posisi perempuan dalam

27
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

pencarian ilmu pengetahuan. Perempuan menjadi terhambat untuk


bisa pintar dan menjadi ulama sebagaimana laki-laki. Padahal pada
awal Islam, banyak catatan yang melukiskan keterlibatan ulama-ulama
perempuan. Al-Hafidz al-Maqdisi (w. 600 H) mencatat dalam kitabnya
‘al-Kamâl f î asmâ ar-Rijâl’, ada 824 nama perempuan di abad pertama,
kedua dan ketiga hijriyah, yang memiliki kontribusi pengajaran ilmu-
ilmu transmisi (ar-riwâyah). (Muhammad al-Habasy, 2005: hal. 16).
Beberapa pasal hukum di Indonesia yang mensubordinasi perempuan
bisa dilihat dari ilustrasi yang diberikan Donny Danardono. Menurutnya,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, masih mengharuskan istri
untuk membawa suami ketika menghadap hakim di pengadilan untuk
urusan-urusan perdata. Ada pasal yang menyatakan: “Suami wajib
mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya (kecuali dinyatakan
lain dalam perjanjian kawin), tapi setiap bentuk pemindahan tangan
harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya”. Bahkan suami
boleh menjual atau memindah-tangankan harta persatuan (harta yang
diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa persetujuan istrinya
(Pasal 124 KUH Perdata). Perjanjian pernikahan, yang ditetapkan pada
Pasal 139 KUH Perdata, sebagai kesepakatan yang setara antara laki-laki
dan perempuan, kemudian ditentang sendiri dengan pengecualian
bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi dan menghalangi
posisi laki-laki sebagai suami (Pasal 140). Di antaranya pernyataan
bahwa: “Suami adalah kepala persatuan suami-istri”. (Pasal 105).
(Sulistyowati Irianto (ed.), 2006: hal. 7-8).
Berikut pengaturan beberapa pasal KUH Perdata yang terkait hal
tersebut di atas:
Pasal 105:
“Sang suami menjadi kepala persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib
memberi bantuan kepada istrinya atau tampil untuknya di muka hakim,
dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. Dia
harus mengurus harta kekayaan pribadi si istri, kecuali bila disyaratkan yang
sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai kepala keluarga
yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam
pengurusan itu. Dia tidak diperkenankan memindah atau membebankan
harta kekayaan tak bergerak istrinya tanpa persetujuan istri.”

28
Pasal 124:
“Hanya suami saja yang boleh mengurus harta benda bersama itu. Dia
boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa
bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 140. Dia tidak
boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka sama-sama
masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau
suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan
kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu
kedudukan. Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah
mengenai suatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya
hak pakai hasil dari barang itu.”
Pasal 139:
“Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari
peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak
bertentangan dengan tata-susila yang baik dengan tata tertib umum, dan
diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.”
Pasal 140:
“Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada
kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai ayah, tidak
pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih paling
lama. Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang
diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami-istri; namun
hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mensyaratkan bagi dirinya
pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun
barang-barang tak bergerak, di samping penikmatan penghasilannya pribadi
secara bebas.”
“Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada
gabungan harta-bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran
dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya
dan piutang yang diperoleh alas nama istri, atau yang selama perkawinan dari
pihak istri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau
dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si istri.”

29
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Lies Marcoes juga memberikan ilustrasi mengenai subordinasi


gender perempuan, antara lain, dapat dilihat dari:
1. Masih sedikitnya perempuan yang bekerja di dalam peran
pengambil keputusan dan menduduki peran penentu kebijakan.
2. Adanya status perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Misalnya perempuan yang tidak menikah
dinilai secara sosial lebih rendah dari laki-laki yang tidak menikah,
perempuan yang tidak punya anak dihargai lebih rendah dari lelaki
yang tidak punya anak. Karenanya suami dibenarkan secara hukum
dan sosial melakukan poligami. Lelaki lajang akibat perceraian
dianggap lebih berharga dibandingkan perempuan dengan status
yang sama.
3. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dibayar sebagai
pekerja lajang dengan anggapan setiap perempuan mendapatkan
nafkah yang cukup dari suaminya.
4. Di beberapa perusahaan terdapat aturan di mana gaji perempuan
mendapatkan potongan pajak lebih tinggi karena dianggap sebagai
pekerja lajang meskipun secara de facto harus menafkahi keluarga.
(Lies Marcoes, 2001: hal. 14-15).
b. Marjinalisasi
Marjinalisasi adalah suatu proses peminggiran seseorang atau suatu
kelompok masyarakat. Jika subordinasi biasanya digunakan untuk
aspek politik-sosial, marjinalisasi biasanya menunjuk pada peminggiran
aspek ekonomi, sehingga mengakibatkan yang bersangkutan menjadi
dimiskinkan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan
seseorang atau suatu kelompok. Salah satunya adalah dengan
menggunakan asumsi gender. Sebagai contoh, ketika Bantuan Tunai
Langsung (BLT) sebagai kompensasi dari subsidi BBM tahun 2006,
hanya dibagikan kepada kepala keluarga yang dalam rumusan
masyarakat Indonesia adalah laki-laki, maka perempuan mengalami
peminggiran. Dalam kasus BLT, terdapat dua bentuk ketidakadilan
gender: subordinasi dan marginalisasi. Tatanan budaya dan kebijakan
hukum yang menetapkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga adalah
bentuk tindakan subordinasi perempuan. Kemudian kebijakan

30
pemberian BLT kepada kepala rumah tangga yang laki-laki, adalah
bentuk marjinalisasi kaum perempuan. Karena pada kenyataanya, ada
sekitar 13% keluarga justru dikepalai perempuan. Bisa karena ditinggal
suami, atau menjadi single parent yang mengurus seluruh kebutuhan
keluarga. Tetapi keberadaan mereka tidak diperhitungkan (subordinasi)
dalam perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibentuk pun
memarjinalkan mereka.
Mansour Fakih mencontohkan program Revolusi Hijau yang hanya
memfokuskan pada petani laki-laki. Program ini telah nyata
memarjinalkan kaum perempuan yang telah lama bergelut dengan
pertanian. Karena, definisi petani hanya untuk petani laki-laki; baik
mengenai kredit petani maupun pelatihan untuk para petani. Semua
hanya diberikan kepada petani laki-laki. Para petani perempuan
semakin tergusur dengan hadirnya teknologi pertanian, karena mereka
mengandalkan alat manual ani-ani. Sementara teknologi yang dihadir-
kan, hanya dilatihkan kepada laki-laki. (Mansour Fakih, 2004: 73).
Lies Marcoes menuliskan beberapa indikator, untuk mengukur
sejauhmana adanya proses marjinalisasi yang didasarkan pada per-
bedaan gender. Di antaranya berikut ini:
1. Apakah kinerja perempuan dalam rumah tangga (domestik) di-
nilai sama dengan pekerjaan publik?
2. Apakah perempuan memiliki akses yang sama terhadap sumber
daya ekonomi, pemanfaatan waktu dan pengambilan keputusan?
3. Apakah perempuan memiliki kesempatan yang luas untuk
mengembangkan karirnya?
4. Apakah perempuan mendapatkan dorongan atau setidaknya
kebebasan kultural dan politik untuk memilih kariernya
dibandingkan dengan rumah tangga tanpa ada sanksi sosial?
5. Apakah perempuan secara de facto menerima upah sama dengan
upah rekan sekerjanya yang laki-laki untuk jenis pekerjaan yang
dinilai setara?
6. Apakah perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk
masuk ke lapangan pekerjaan apapun dan di manapun tanpa ada

31
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

pembedaan yang disebabkan oleh kemampuan reproduksinya?


7. Apakah perempuan tetap dipertahankan sebagai tenaga kerja
meskipun perusahaan sedang mengurangi pekerjaannya?
8. Apakah perempuan diakui di depan hukum setara dengan pria
dalam hal memperoleh waris, harta gono-gini dan sejenisnya.
Jika jawabannya TIDAK atau belum, maka sebenarnya di sana proses
marjinalisasi sedang dan masih berlangsung.
c. Beban Ganda
Istilah beban ganda, digunakan untuk seseorang yang mengalami
situasi di mana ia harus menanggung kedua wilayah kerja sekaligus;
domestik dan publik. Biasaya, beban ganda diberikan kepada perempuan
yang bekerja di luar rumah, dan masih harus bertanggung jawab atas
kerja-kerja domestik. Di dalam rumah mereka bertanggung jawab
mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengurus anak-anak dan
memenuhi kebutuhan emosional dan biologis suaminya, sementara di
luar rumah mereka juga dituntut sebagai pekerja yang harus bekerja
secara profesional oleh perusahaan atau kantor tempat dia bekerja.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis
dan permanen. Peran yang tidak bisa diganggu-gugat dan tidak bisa
dialihtugaskan kepada laki-laki. Peran ini dikonstruksikan masyarakat
sebagai kodrat perempuan, bukan sebagai gender yang dibentuk oleh
masyarakat sendiri. Sementara, karena capaian pendidikan perempuan
semakin tinggi, permintaan pasar akan tenaga kerja perempuan juga
meningkat. Dalam situasi seperti itu tidak sedikit perempuan yang
masuk ke dalam sektor-sektor formal sebagai tenaga kerja. Akan tetapi,
masuknya perempuan ke sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan
berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan
oleh anggapan tentang tanggung jawab yang dilimpahkan kepada
perempuan dalam mengurus rumah tangga. Paling jauh pekerjaan itu
dialihtugaskan kepada perempuan lain, baik itu pekerja rumah tangga,
atau anggota keluarga perempuan lainnya. Meskipun tugas itu
dialihtugaskan kepada pihak lain, namun tanggung jawabnya masih
tetap ada pada pundak perempuan. Akibatnya, perempuan mengalami

32
beban ganda (double burden). Beban di wilayah domestik dan beban
kerja di wilayah publik.
Jika beban ganda merupakan bentuk ketidakadilan gender, maka
menghapuskan beban ganda dari perempuan merupakan bentuk
keadilan gender. Cara yang terbaik untuk mengatasi persoalan beban
kerja itu adalah dengan memberikan nilai dan penghargaan yang sama
untuk kerja produksi dan kerja reproduksi. Laki-laki juga didorong
untuk masuk ke wilayah kerja reproduksi tanpa merasa mendapatkan
sanksi sosial berupa perendahan atas perubahan peran itu.
d. Kekerasan
Kekerasan secara sederhana diartikan sebagai ketidaknyamanan dan
kesakitan yang dialami seseorang. Kekerasan yang menimpa perem-
puan, umumnya karena diskriminasi gender. Kekerasan ini mencakup
kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan yang berdimensi ekonomi
yang dalam UU PKDRT disebut sebagai penelantaran ekonomi.
Kekerasan fisik merujuk pada serangan terhadap kondisi fisik seseorang,
misalnya pemukulan, penganiayaan, pembunuhan. Kekerasan psikis
merujuk pada serangan terhadap kondisi mental seseorang, misalnya
merendahkan, menghina, memojokkan, menciptakan ketergantungan,
pembatasan aktivitas, ancaman termasuk yang sangat khas melakukan
rayuan yang membuat perempuan tidak berdaya. Kekerasan seksual
mengarah pada serangan atas alat-alat kelamin/seksual atau reproduksi,
misalnya pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual tertentu,
perkosaan (termasuk dengan menggunakan alat/bukan penis),
perbudakan seksual. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit
dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi
yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa
antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap
perempuan. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketim-
pangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan
perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku)
memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sum-
ber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan

33
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang


muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti
antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-
warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.
Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun terakhir
kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh
total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan sebanyak 400.939. Artinya setiap
hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini
merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan
tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi
perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang
pengalaman kekerasan terhadap perempuan data dari Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) atas Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi
Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR). Lainnya
data dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi,
Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas
Perempuan pada Deklarasi PBB mengenai hak-hak perempuan, secara
eksplisit ditegaskan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:
“Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat, atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasaan
terhadap Perempuan Pasal 1, 1992).

Kekerasan jenis ini berbasis pada gender (gender based violence),


bukan sekedar kekerasan biasa. Karena itu, ciri-ciri khusus dalam
definisi di atas adalah; 1) korbannya perempuan karena jenis kelaminnya
yang perempuan; 2) tindakannya, dengan sengaja menyakiti perempuan
secara fisik, seksual atau psikologi; 3) akibatnya, yang diserang tubuh
perempuan tetapi penderitaanya adalah keseluruhan diri pribadinya;
dan 4) tindakan itu dilakukan atas dasar adanya asumsi perbedaan
gender.

34
Beberapa tindakan yang dinilai sebagai tindakan kekerasan terhadap
perempuan, antara lain adalah:
- Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi;
- Pengabaian kebutuhan akan alat kontrasepsi;
- Penyebutan dan penggunaan bahasa yang menujuk pada ciri-ciri
fisik dan status perkawinan perempuan (misalnya bahenol, janda
kembang dan sejenisnya);
- Sikap dan tindakan yang diasosiasikan pada pernyataan hasrat
seksual berupa suitan, tepukan, rangkulan, kedipan dan lain-lain;
- Pencabulan;
- Pornografi;
- Pembatasan pemberian nafkah yang tidak mencukupi kebutuhan
rumah tangga;
- Larangan bagi perempuan untuk mencari ilmu dan mengem-
bangkan karir dengan alasan kecurigaan melakukan pelanggaran
moral;
- Tindakan perselingkuhan dan poligami tanpa izin istri atau
pasangan;
- Pemukulan dan penyiksaan fisik lainnya;
- Pengurungan di dalam rumah;
- Perkosaan;
- Incest (Hubungan sedarah atau hubungan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain yang mempunyai relasi keluarga
walaupun tidak sedarah);
- Pemasungan hak-hak politik;
- Pemaksaan perkawinan;
- Pemaksaan untuk pindah agama, mengikuti agama suami/
pasangan;
- Penggunaan perempuan sebagai alat penaklukkan baik di masa
damai maupun konflik.
Selama 13 tahun perjalanan Komnas Perempuan melakukan
pendokumentasian pengalaman perempuan terhadap kekerasan,
Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk kekerasan seksual. Keempat

35
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

belas jenis kekerasan seksual tersebut adalah (1) perkosaan; (2)


pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5)
perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual
termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa;
(8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan
perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
(12) kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi
perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;
(13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14)
praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual
ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis
kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi
mengenainya.
Kekerasan berbasis gender, sebagaimana bentuk-bentuk ketidak-
adilan yang lain, juga diakibatkan karena ketimpangan relasi kuasa
antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan berbasis gender dikendalikan
oleh relasi kuasa yang timpang dari kelompok yang ditempatkan sebagai
pihak yang mendominasi terhadap kelompok yang dikategorikan
sebagai pihak yang didominasi. Roda kuasa dan kendali yang
digambarkan Endah Triwijati, 2003 mengutip Duluth, 1996 sebagai
berikut:

36
Roda Kekerasan

37
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Konstruksi sosial-budaya kita masih melanggengkan pengunggulan


maskulinitas laki-laki, sifat berani, tegas dalam bertindak dan me-
nempatkan laki-laki dalam posisi lebih tinggi dari perempuan. Laki-
laki diajarkan untuk melihat perempuan sebagai objek pelengkap
mereka, yang dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Konstruksi ini juga dilengkapi dengan penanaman nilai feminitas yang
dianggap positif bagi perempuan; untuk bersifat pasrah, selalu
mendahulukan kepentingan suami, mempertahankan ketergan-
tungannya kepada laki-laki dan tidak perlu menuntut, apalagi
melaporkan kejadian-kejadian yang menimpa dirinya.
Relasi hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perem-
puan, ini bisa terjadi di dalam rumah, di lingkungan kerja maupuan
dalam konteks masyarakat umum dan negera. Kebanyakan orang, baik
perempuan maupun laki-laki, menerimanya sebagai hal biasa. Se-
hingga, kekerasan yang terjadi akan tetap dibiarkan, bahkan didaur
ulang terus-menerus. Pelaku kekerasan ini bisa saja dilakukan individu,
bisa juga dilakukan institusi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kekerasan yang seringkali menimpa tubuh dan martabat perempuan
sebagai manusia, sebagaimana dirumuskan di atas, dalam waktu yang
cukup lama, didefinisikan oleh hukum Indonesia sebagai kejahatan
kesusilaan, perkosaan, zina dan perbuatan tidak menyenangkan.
Kejahatan ini dianggap sebagai ‘moralitas masyarakat’, yang didefi-
nisikan elit masyarakat, yang kebanyakan laki-laki. Kesusilaan bukan
menjadi milik tubuh perempuan, sehingga seringkali hukuman atas
kejahatan kesusilaan tidak untuk melindungi perempuan. Baik tubuh
maupun harga diri perempuan. Kesusilaan seringkali hanya berakhir
pada hukuman ‘damai’ yang sama sekali tidak memberikan perlindungan
pada perempuan.
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus
menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka
tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai
kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan
didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Kekerasan seksual dalam KUHP seperti
perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan.

38
Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang
dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan
seksual adalah persoalan moralitas semata. Pandangan bahwa kekerasan
seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas dari
ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau
penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya
seringkali pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan
apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya,
apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka
perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi
seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak
sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman
kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak suci” atau
“tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak
kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang
terdekat, dan masyarakat sekitarnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan
di Indonesia, sebagai warisan dari Belanda, adalah potret dari sebuah
kekerasan hukum terhadap perempuan. KUHP dalam banyak pasal
yang terkait dengan kekerasan perempuan, justru masih melestarikan
terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kejahatan perkosaan
misalnya, didefinisikan dengan menggunakan cara pandang laki-laki
sebagai pelaku, bukan cara pandang perempuan sebagai korban.
Sehingga, perempuan seringkali tidak memperoleh keadilan sebagai
korban kekerasan. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang
bermartabat dan memiliki hak-hak individu sebagaimana laki-laki.
Pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 285 mengatur bahwa delik perkosaan terjadi harus bukan pada
istri sendiri dan harus dalam bentuk ‘hubungan seksual’, yaitu penetrasi
penis ke vagina. Selain itu, tidak dianggap sebagai kejahatan perkosaan
dan tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan.

39
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dalam konteks ini, hak asasi perempuan tidak ditempatkan sebagai


cara pandang utama dalam melihat kekerasan, sehingga banyak sekali
kasus kekerasan yang sulit dibawa ke pengadilan, karena rumusan di
KUHP yang tidak sensitif terhadap hak perempuan. (Sulistiyowati (ed.),
2006: 8-9).
Jika kekerasan terhadap perempuan dianggap kejahatan kesusilaan,
kita akan sulit memberikan perlindungan terhadap perempuan.
Penanganan lebih banyak diarahkan kepada persoalan susila dan
masyarakat belaka, bukan pada hak individu perempuan. Kita juga akan
kesulitan untuk menumbuhkan empati kepada perempuan yang
menjadi korban langsung, apalagi untuk memenuhi kebutuhan psikis-
sosialnya. Dalam kondisi ini, perempuan akan semakin rentan untuk
menjadi korban terus menerus, karena dapat dinilai merugikan nama
baik pelaku, atau merusak moralitas masyarakat. Korban bisa jadi akan
mengalami tindak ketidakadilan yang lain dan berkelanjutan. (Komnas
Perempuan, 2002: 202-205).
Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih
sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di
satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan
kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan
isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan.
Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual
menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh
integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan
hidupnya lagi.
Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas
juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban
memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Pengaitan
peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas menyebabkan
korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan
yang dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai
“aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya,
korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban yang diusir dari rumah
dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan
dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan

40
stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai “barang yang rusak” akibat
kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun korban
memenangkan kasusnya di pengadilan.
Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian
tentang “jejak moralitas” perempuan korban. Perempuan korban
dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan
seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi
sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya
pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban
kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia
dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya
terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai dengan
iming-iming pelaku.
e. Stereotip
Stereotip berarti pelabelan secara negatif terhadap salah satu pihak
dalam pola hubungan relasi antar dua pihak. Pelabelan muncul karena
ada relasi kuasa yang saling mempengaruhi dan mendominasi. Biasanya,
pihak yang dominan akan lebih banyak melakukan pelabelan negatif,
memproduksinya terus-menerus dan menyebarkannya ke masyarakat
luas. Pelabelan ini seringkali dijadikan legitimasi untuk membenarkan
tindakan dari satu pihak atau kelompok yang dominan kepada pihak
atau kelompok yang lain.
Relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, juga tumbuh
berbagai stereotip yang berakibat negatif bagi perempuan. Pelabelan
ini berkaitan dengan jenis kelamin tertentu. Biasanya lebih banyak
berkaitan dengan peran gender perempuan. Bisa jadi pelabelan itu
melekat pada laki-laki, tetapi kemudian yang menerima imbas
negatifnya tetap perempuan. Seperti lelaki itu ‘mata keranjang’,
seringkali menjadi pembenar bagi perempuan untuk mendiamkan
perilaku mata yang nakal dari laki-laki.
Kelima bentuk ketidakadilan gender ini saling berkaitan satu sama
lain. Tetapi yang menjadi ujung pangkal dari semua itu, bisa jadi adalah
stereotip yang lahir akibat relasi gender yang timpang. Stereotip
melahirkan subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan. Karena anggapan

41
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

bahwa laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah,
maka muncul stereotip perempuan di rumah itu pengangguran, atau
sekedar ‘ibu rumah tangga’. Sebutan ini hanya pengganti dari kata
‘pengangguran’. Stereotip ini menyebabkan perempuan diposisikan
secara subordinat dan tidak penting. Ketika ia bekerja pun akhirnya
dimarjinalkan, karena hanya sebagai pekerja tambahan dan pelengkap
kerja-kerja suami. Tidak ada tunjangan untuk upah buruh perempuan.
Marjinalisasi ini, pada akhirnya juga mengakibatkan kekerasan.
Logika ini, yang bisa digunakan untuk memahami mengapa dalam
sebuah keluarga; gaji sopir keluarga (peran gender laki-laki) jauh lebih
besar dibanding dengan gaji pekerja rumah tangga (peran gender
perempuan) mereka. Sekalipun tidak ada yang bisa menjamin bahwa
kerja sopir jauh lebih berat daripada kerja rumah tangga. Pada kasus
konsultasi keluarga yang diasuh Leila Ch seperti di atas, juga mem-
perjelas betapa kerja-kerja istri yang begitu rupa di dalam rumah, tidak
dianggap ada oleh sang suami. Tidak memperoleh perhatian dan
apresiasi dari suami. Perundang-undangan kita di Indonesia juga, masih
belum menempatkan Pekerja Rumah Tangga, sebagai pekerja yang
memiliki hak-haknya sebagai pekerja. Hak atas upah minimum, hak
atas cuti, hak berorganisasi, hak atas kesehatan dan peningkatan karir.
Peradaban dunia dalam waktu yang cukup lama telah dikungkung
dalam konstruksi sosial yang membentuk stereotip yang tidak ramah
terhadap perempuan. Sebagai contoh, di India ada kebiasaan sathi,
yaitu tuntutan kesetiaan kepada istri yang ditinggal suami. Istri ikut
mati dengan cara masuk ke dalam api pembakaran mayat suaminya.
Tetapi bila istri mati lebih dahulu sang suami tak harus masuk ke dalam
api yang membakar jasad istrinya. Ini karena stereotip istri sebagai
milik penuh suami. Anak laki-laki dalam kebudayaan Cina, dianggap
sangat penting karena laki-laki adalah penerus marga keluarga. Sejak
tahun 70-an pemerintah Cina menerapkan program KB yang sangat
ketat akibat ledakan jumlah penduduk. Setiap keluarga hanya
diperbolehkan punya satu orang anak. Jika diketahui bahwa bayi yang
dikandungnya perempuan (jenis kelamin bisa diketahui dengan alat
ultra sonografi), padahal bagi keluarga Cina anak laki-laki lebih utama,
maka banyak keluarga melakukan pengguguran kandungannya.

42
Pemerintah Cina tidak menghalangi keluarga itu untuk melakukan
aborsi sampai mereka memperoleh bayi laki-laki.
Negara Pakistan dan Afganistan ada kebiasaan pembunuhan
terhadap perempuan yang melakukan pelanggaran adat seperti kawin
lari, menolak pinangan, bercerai atas kemauan sendiri atau hal-hal lain
yang dianggap mencemarkan nama baik keluarga. Kebiasaan itu dikenal
dengan istilah honor killing (pembunuhan demi kehormatan keluarga).
Kebiasaan ini dilakukan oleh kakak laki-laki, adik laki-laki atau paman
si korban atas sepengetahuan ayah dan ibu si korban. Tindakan honor
killing bukanlah ajaran Islam tetapi di Pakistan dan Afganistan
pembunuhan ini seringkali diasumsikan sebagai ajaran agama yaitu
menjunjung tinggi martabat keluarga.
Perempuan di Kuwait, baru boleh ikut memilih dalam Pemilu tanpa
bisa dipilih pada tahun 2005 padahal di Indonesia perempuan telah ikut
pemilu dan mendapatkan hak untuk dipilih sejak tahun 1955. Hal ini
terjadi karena ada stereotip bahwa perempuan tidak mampu memilih
secara rasional dan mandiri. Sementara di Saudi Arabia baru tahun
2004 perempuan diizinkan mengendarai kendaraan sendiri (mobil). Di
Saudi ada stereotip, kalau perempuan bisa menyetir mobil dia akan
pergi untuk urusan-urusan syahwat dan hal-hal yang tidak berguna.
Perempuan di Amerika sampai tahun 1890-an juga tidak boleh ikut
pemilu. Perempuan hitam tidak boleh naik kendaraan umum bersama
orang kulit putih. Ini semua karena stereotip yang sama, yang
merendahkan perempuan.
Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, juga melahirkan implikasi
yang kurang positif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sampai dengan bulan Agustus 2012, terdapat 282 kebijakan yang justru
mendiskriminasi terhadap perempuan dan tidak patuh pada upaya
pemenuhan hak konstitusional perempuan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Konstitusi, padahal UUD NRI 1945 memberikan
jaminan perlindungan hak bagi setiap warga negara Indonesia,
termasuk:
• hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun
dan hak atas perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif;

43
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

• hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan


untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi;
• hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum;
• hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
• hak atas penghidupan yang layak.
Ada 40 hak dalam 14 rumpun hak konstitusional perempuan yang
tidak dipatuhi, yang seharusnya selalu dijadikan pijakan bagi penyusun
dan penegak hukum. Misalnya, Perda Propinsi Gorontalo Nomor 3
Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat, yang antara lain di dalam
Pasal 6 nya mengatur (1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian
atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang
waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, (2) Setiap perempuan di tempat
umum wajib berbusana sopan, (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan
pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan
dengan busana yang minim dan atau ketat. Perda-perda serupa juga
diproduksi di beberapa daerah yang pada umumnya mengatur cara
berpakaian untuk jenis kelamin tertentu yaitu perempuan dan larangan
atau pembatasan di ruang publik yang dilakukan jenis kelamin tertentu
yaitu perempuan. Larangan ini didasarkan pada stereotip yang
melecehkan perempuan. Setiap perempuan yang keluar malam, pasti
dia sedang mencari mangsa atau tepatnya sebagai pelacur. Ini bukan
hanya stereotip, tapi sudah merupakan tuduhan yang menghina dan
melecehkan. Bukankah banyak perempuan desa yang keluar pada jam 1
malam untuk berjualan atau berbelanja ke pasar-pasar tradisional?
Bukankah banyak perempuan-perempuan di daerah pabrik dan industri
yang kerja pada shift-shift malam hari? Bukankah banyak perempuan
juga yang harus keluar malam untuk urusan-urusan pribadi atau
keluarga; membeli susu untuk anak, obat-obatan atau makanan untuk
dirinya atau keluarga? Mereka adalah sama seperti laki-laki yang
memiliki kebutuhan di malam hari, tetapi stereotip tentang perempuan

44
telah mendiskriminasi dan melecehkan perempuan. Padahal, jika pun
ada perempuan yang menjadi PSK, pasti ada laki-laki yang menjadi
pelanggan dan bahkan menjadi germo atau gigolo. Tetapi peraturan
daerah itu hanya ditujukan pada perempuan.
Konstruksi yang sama juga, yang meletakkan suami seperti apapun
sifat, karakter dan perilakunya, sebagai kepala rumah tangga. Sehingga
konstruksi ini dijadikan legitimasi untuk mencabut hak-hak istri
sebagai manusia yang utuh dan bermartabat. Istri tidak dilibatkan
dalam keputusan keluarga, mengenai anak dan segala urusan rumah
tangga, bahkan mengenai tubuhnya seperti keputusan untuk hamil,
melahirkan dan menyusui dengan ASI. Yang ada, istri harus patuh pada
seluruh keputusan kepala rumah tangga. Apapun keputusannya. Ia
harus minta izin untuk keluar rumah, untuk pergi ke tetangga, untuk
belanja, apalagi untuk belajar ke luar negeri atau bekerja. Jika suami
tidak mengizinkan, istri harus patuh, karena suami adalah kepala
rumah tangga. Istri juga harus minta izin ketika membelanjakan
hartanya. Dalam banyak kasus, istri juga tidak diberi kesempatan untuk
memperoleh hak milik atas hartanya sendiri. Semua dimiliki suami,
sebagai kepala rumah tangga. Semua asumsi ini, berawal dari konsepsi
suami, sebagai laki-laki adalah yang pantas dan satu-satunya sebagai
kepala rumah tangga untuk selamanya. Padahal asumsi ini sepenuhnya
salah.
Hukum positif dibentuk, dilahirkan oleh eksekutif dan legislatif dan
diimplementasikan oleh penegak hukum mulai di Kepolisian, Kejaksaan
dan di ruang-ruang Pengadilan dalam konstruksi sosial masyarakat
yang masih mendiskriminasi gender terhadap laki-laki dan perempuan.
Karena itu, hukum tidak ideal karena sejak awal tidak netral dan tidak
mungkin bisa netral kalau para penyusun dan penegak hukum masih
bias gender. Ia berada pada peraduan berbagai kepentingan para pihak.
Pihak yang paling berkuasa adalah yang menentukan bentuk dan teks-
teks hukum. Semua orang dituntut untuk melakukan terobosan hukum
menemukan substansi hukum berkeadilan. Terutama dari institusi
peradilan, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Umum maupun
Agama. Karena institusi tersebut menjadi tumpuan dari orang-orang

45
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

yang mencari keadilan. Para Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa,


Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan) dan Penegak Hukum lainnya
(Advokat) sebaiknya memiliki kesadaran bahwa konsepsi idealitas
sebuah aturan hukum dibuat justru meminggirkan perempuan dan
menyulitkan mereka menemukan keadilan karena minimnya
pengetahuan dan pemahaman mereka bahwa perempuan rentan akibat
diskriminasi gendernya. Para perempuan akan terpaksa tunduk pada
aturan yang sudah terbentuk sedemikian rupa tidak ramah pada mereka.
Tuntutan-tuntutan khusus bagi kebutuhan perempuan, juga akan sulit
dipenuhi dalam kondisi hukum yang netral dan tidak memihak kepada
perempuan sebagai korban.
Mewujudkan keadilan gender harus dimulai dengan membangun
relasi yang adil gender. Hampir semua manusia yang beradab dan
beragama pasti tidak menginginkan adanya ketimpangan relasi dan
ketidakadilan. Semangat inilah yang harus dihidupkan, dicari dan
dimunculkan melalui medium-medium yang memungkinkan kedua
belah pihak bisa membangun relasi yang setara, adil dan tidak
menjadikan pasangannya sebagai korban kekerasan.
Perspektif Hukum yang Adil Gender
Melalui analisis gender dan atau perspektif gender mengakui adanya
perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Karena itu,
perempuan berpotensi untuk menstruasi, hamil dan menyusui dengan
ASI. Sementara laki-laki tidak memiliki potensi reproduksi ini.
Perbedaan ini bisa berlanjut pada perbedaan-perbedaan psikologis,
kebutuhan dan keinginan. Bahkan dari satu jenis kelamin saja, bisa jadi
ada perbedaan-perbedaan karakter, kebutuhan dan keinginan antara
satu individu dengan individu yang lain. Penekanan dari analisis dan
atau perspektif gender, bahwa perbedaan biologis tidak bisa dijadikan
alasan bagi adanya pembedaan atau diskriminasi mengenai hak sosial,
budaya, hukum dan politik. Begitu juga perbedaan gender dan peran-
peran gender tidak boleh dijadikan dasar perlakuan yang tidak adil
terhadap salah satu jenis kelamin. Baik berupa stereotip, beban ganda,
subordinasi, marjinalisasi, kekerasan maupun bentuk-bentuk
ketidakadilan yang lain.

46
Perspektif gender menuntut adanya perlakuan yang adil terhadap
kedua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Perempuan menjadi
subyek pertama dari proyek keadilan gender. Semua tatanan sosial,
budaya, hukum dan kebijakan politik harus dirumuskan ulang untuk
memenuhi tuntutan perspektif gender, yaitu keadilan relasi laki-laki
dan perempuan. Memastikan tidak ada satu jenis kelamin menjadi
obyek ketidakadilan dari jenis kelamin yang lain. Keadilan relasi gender
bertujuan untuk dan menjadi salah satu dari agenda besar peradaban
kemanusiaan, yaitu keadilan sosial.
Keadilan adalah gagasan dasar dan tujuan utama dari semua jenis
peradaban kemanusiaan di dunia ini. Keadilan juga menjadi misi utama
(al-maqâshid al-‘âliyah) yang diajarkan setiap agama sebagai dasar
pencapaian cita-cita kesejahteraan kemanusiaan di muka bumi ini.
Sebagaimana dikutip KH Husein Muhammad, bahwa Abu Bakr al-Razi
(w. 865 M), pemikir besar Islam jauh-jauh telah menegaskan: “Tujuan
tertinggi kita diciptakan dan kemana kita diarahkan bukanlah kegem-
biraan atas kesenangan fisik, tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan
praktik keadilan”. Jauh sebelumnya, filosof klasik Aristoteles
mengemukakan: “Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya
setiap kebajikan dimengerti”. (Kompas, 12/11/2007, hal. 35).
Gagasan keadilan ini diterjemahkan dalam ruang waktu oleh masing-
masing komunitas, suku, bangsa dan negara sepanjang sejarah per-
adaban kemanusiaan. Kondisi konstruksi sosial yang timpang, dipas-
tikan pemenuhan keadilan juga menjadi teramat sulit bagi mereka yang
berada pada garis bawah dari relasi tersebut. Akhirnya, bisa dipahami
mengapa di banyak kebudayaan dunia yang patriarkhis, perempuan
belum memperoleh keadilan yang nyata. Proyek peradaban kemanusia-
an terus menerus mengoreksi kecenderungan ketimpangan relasi sosial
ini, yang kemudian menemukan momentumnya pada apa yang disebut
perspektif gender. Komunitas dunia saat ini telah sampai pada
kesepakatan bahwa ketidakadilan gender harus diakhiri dan dibangun
peradaban baru yang lebih adil, dengan memperhatikan perbedaan-
perbedaan jenis kelamin tetapi dengan memastikan tidak ada satupun
yang dijadikan korban ketimpangan, kekerasan dan penistaan.

47
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Proyek pembangunan dunia didasarkan pada pencapaian


kesejahteraan untuk semua orang dan praktik keadilan bagi semua
pihak, tidak terkecuali pembangunan hukum. Diktum dan teks hukum
tidak dibuat untuk melakukan penindasan. Tetapi hukum juga tidak
lahir dalam ruang yang hampa dan kosong, sebagaimana ditegaskan
pada awal bab ini. Hukum diciptakan dari rahim percaturan politik dan
kepentingan. Ketika kebudayaan patriarkhis tidak mengakomodasi
perempuan, maka dipastikan hukum yang lahir juga akan memiliki
nuansa yang sama. Karena itu, perspektif gender akan membongkar
dan mengoreksi kecenderungan hukum yang tidak adil gender.
Kesadaran penuh setiap penyusun kebijakan dan penegak hukum bahwa
hukum tidaklah lagi ideal dan netral bagi perempuan sangat penting
untuk memastikan setiap diktum hukum bisa memberikan rasa adil
bagi perempuan. Keadilan perempuan adalah keadilan sosial dan misi
agama-agama dan kemanusiaan.
Gerakan keadilan gender adalah segala upaya, sekecil apapun yang
memberikan perhatian terhadap problem yang dihadapi perempuan,
akibat ketimpangan relasi sosial yang terjadi, dengan tujuan meng-
hadirkan sistem relasi yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Gerakan
keadilan gender, sesungguhnya ingin membebaskan manusia dari
bentuk kezhaliman, penindasan dan pelecehan yang didasarkan pada
jenis kelamin. Gerakan keadilan gender adalah gerakan transformasi
untuk keadilan sosial. Bukan hanya untuk keadilan perempuan, tetapi
untuk semua komponen masyarakat. Tatanan sosial sudah harus
memastikan agar tidak ada lagi anggota masyarakat, terutama yang
lemah, minoritas dan perempuan, yang dihalangi untuk memperoleh
keadilan dan kesejahteraan. Ini adalah impian semua orang, tujuan
utama dari peradaban kemanusiaan dan misi agung agama-agama
dunia. Karena itu, semua orang harus mengupayakan secara sungguh-
sungguh untuk mewujudkan tatanan yang adil, terutama dalam hal
relasi laki-laki dan perempuan. Karena relasi ini yang paling dekat
dengan kehidupan semua orang dan memiliki implikasi yang paling
luas ke dalam tatanan sosial yang lain; sosial, budaya dan politik.

48
Sebagaimana ditegaskan KH Husein Muhammad, kita perlu
membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru
dan dengan paradigma keadilan substantif dan nyata. Pemaknaan
keadilan bagi perempuan dalam konteks ini, harus didasarkan pada
pengalaman-pengalaman perempuan sebagai korban ketimpangan
relasi gender. Karena pemenuhan keadilan secara mendasar harus
dengan menunjukkan pemihakannya kepada korban. Hal lain yang
lebih mendasar, pemaknaan keadilan harus didasarkan pada paradigma
hak asasi manusia. Paradigma ini, perempuan didudukkan secara sejajar
dengan seluruh potensi kemanusiaan yang dimiliki sebagaimana laki-
laki. Dari sini, konstruksi sosial yang menjamin keadilan gender
diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali tatanan hukum,
aturan budaya, regulasi dan kebijakan, tidak terkecuali pemahaman-
pemahaman keagamaan atau apa yang disebut sebagai fiqh. (Kompas,
12/11/2007, hal. 35).
Saat ini, sudah banyak upaya dari peradaban manusia kontemporer
untuk memenuhi rasa keadilan bagi perempuan. Dalam Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948, sebagai manusia
perempuan memiliki hak asasi seperti hak untuk hidup, hak untuk
dihormati martabatnya, hak untuk mendapatkan rasa aman, dan hak
untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Ketika DUHAM di-
anggap hanya mengurusi relasi seseorang dengan negara di ruang-ruang
publik, perempuan menuntut ada klausul khusus untuk perlindungan
perempuan, terutama yang di ruang-ruang privat, yaitu dengan lahirnya
konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (CEDAW, Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) Tahun 1979, yang kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 1984. Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap warga
untuk bebas dari diskriminasi, sebagaimana diatur dalam bunyi Pasal
28I ayat (2), bahwa “………..Jaminan atas hak untuk bebas dari kekerasan
dan diskriminasi”. Pemerintah juga telah mengesahkan UU PKDRT.
Tetapi konstruksi sosial yang sudah sedemikian lama tidak ramah bagi

49
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

perempuan, membuat kesepakatan-kesepakatan internasional dan


perundang-undangan lain yang dibuat belum maksimal memberikan
manfaat bagi kebanyakan orang. Terutama bagi mereka yang masih
terikat dengan tradisi dan budaya yang konservatif dan patriarkhal.
Pembacaan dan implementasi kesepakatan yang tanpa perspektif
keadilan, juga seringkali hanya berujung pada penyebaran kata-kata
dan kampanye politik pragmatis. Tidak sedikit juga yang dibelokkan ke
arah yang lain, yang bukan tujuan keadilan bagi perempuan, artinya
kesadaran atas pentingnya keadilan bagi perempuan menjadi yang
utama. Melalui perspektif keadilan, seorang hakim bisa melampaui
teks-teks hukum untuk memahami lebih dalam persoalan yang dialami
setiap korban. Hakim bisa memutuskan keadilan bagi korban, sekalipun
mungkin tidak tertulis dalam teks undang-undang atau hukum.
Donny Danardono menawarkan dan menegaskan, hukum harus
digunakan sebagai pengetahuan sekaligus sebagai medium bagi
perempuan, dan siapapun pencari keadilan, untuk mendefinisikan diri
mereka sendiri di antara eksistensi kemajemukan yang ada di masya-
rakat. Perempuan harus dilihat sebagai identitas yang berbeda, bahkan
‘yang lain’ dari identitas laki-laki. Hukum harus mendengarkan sepenuh
hati identitas perempuan. Identitas ini tidak akan ada batas dan bersifat
majemuk. Identitas setiap perempuan, sebagaimana juga laki-laki,
tidaklah homogen. (Sulistiyowati, 2006: 23).
Setiap perempuan, dan juga setiap pencari keadilan, harus dilihat
sebagai individu yang utuh di hadapan hukum. Karena itu, sistem
hukum harus dibentuk secara demokratis yang memungkinkan setiap
individu perempuan dapat mendefinisikan diri mereka sendiri. Sistem
hukum memungkinkan perbincangan, pendefinisian identitas setiap
perempuan, tidak dapat lagi dilakukan secara sentralistis oleh kelom-
pok feminis tertentu atau oleh negara, tetapi melalui metode yang
sangat populer di kalangan feminis, yaitu “peningkatan kesadaran”.
Metode ini merupakan dialog pencarian dan penguatan perspektif
keadilan yang tiada henti, antara konselor (bisa jadi hakim) dengan
korban atau klien. Patricia Cain, dalam konteks hukum mencoba
menguraikan metode ini:

50
“Peningkatan kesadaran adalah menyuarakan pengalaman yang tak
dikenal dari perempuan (the unknown in women’s experience).
Peningkatan kesadaran memungkinkan kisah-kisah yang bersifat
personal dan privat. Peningkatan kesadaran akan menghasilkan
pengetahuan baru, yaitu dengan menyingkap sesuatu yang tak diketahui
(by making known the unknown). Teori-teori hukum yang mendukung
peningkatan kesadaran tak hanya perlu memasukkan teori-teori yang
melindungi perbincangan, tapi juga teori-teori yang mendukung hak
untuk mendengarkan, terutama mendengarkan (secara temporer)
berbagai hal yang sebelumnya dibungkam. Kita harus membentuk
teori-teori hukum feminis untuk tujuan menyingkap berbagai hal yang
dibungkam tersebut. Pada saat yang sama, teori-teori harus
mencerminkan kewajiban kita untuk mendengarkan dan secara positif
berpartisipasi dalam pembentukan identitas diri pihak lain. Teori-teori
kita ini tidak dapat didasarkan pada berbagai definisi yang membatasi
pembentukan identitas diri pihak lain. Kita harus mengutamakan
interaksi kita dengan yang lain, dan kita harus juga senantiasa terbuka
terhadap kebenaran kisah pengalaman pihak lain. Jadi, kita perlu
membangun teori-teori hukum feminis yang mendukung penceritaan
kebenaran individual kita, maupun teori-teori hukum feminis yang
melindungi ruang bersama kita dengan yang lain saat kita membentuk
identitas kita”. (Sulistiyowati, 2006: 24).
Donny Danardono menyimpulkan, teori hukum yang berperspektif
gender adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan dan
setiap orang yang potensial menjadi korban, mampu membentuk
identitasnya sendiri secara utuh, dengan berbagai pengalaman yang
dimiliki. Dengan identitas diri ini, dia mampu bergerak untuk me-
lakukan perlawanan balik terhadap berbagai upaya yang hendak
menindasnya. Pengalaman setiap individu perempuan menjadi sangat
menarik untuk dilihat dan dipertimbangkan dalam setiap upaya
pencarian keadilan bagi setiap perempuan. (Sulistiyowati, 2006: 26).
Agnes Widanti dalam semangat yang sama, membuat rumusan
hukum yang berkeadilan gender, dengan menekankan pada metode: 1)
menanyakan pada pengalaman-pengalaman perempuan, yang se-

51
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

ringkali justru diam dan tidak tersuarakan: 2) memfokuskan pada hal-


hal yang praktis dengan pendekatan deduktif-logis dan multikultural,
untuk sampai pada; 3) memunculkan kesadaran pada aspek individu
dan masyarakat, yang memperkuat posisi mereka untuk perimbangan
dan penuntutan keadilan. Karena itu, hukum yang berkeadilan gender
menurut Agnes adalah hukum (baik hukum negara maupun hukum
masyarakat atau norma masyarakat) yang memungkinkan keseim-
bangan dinamis antara laki-laki dan perempuan dalam struktur-struk-
tur kekuasaan pada masyarakat dan negara. Struktur-struktur tersebut
terdapat dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan idiologi.
(Agnes Widanti, 2005: hal. 62-66).
Menuju hukum sebagai aturan secara material dan implementasinya
yang berkeadilan gender diperlukan transisi nilai-nilai budaya yang
berkembang di masyarakat, atau perubahan paradigma, baik bagi
penyusun kebijakan hukum, penegak hukum maupun budaya hukum
masyarakat, termasuk cara pandang terhadap substansi agama dan
pemikiran-pemikiran praktis dalam ajaran-ajaran agama.

52
Bab III

Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT)
dalam Perspektif Islam

P
encarian keadilan merupakan salah satu fitrah kemanusiaan.
Setiap peradaban kemanusiaan memiliki basis primordial pada
pembelaan untuk keadilan. Setiap orang di dunia ini, tidak
menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan
karena alasan apapun. Tetapi konstruksi relasi yang sudah sedemikian
rupa terbentuk seringkali, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran,
memaksa orang memainkan perannya yang timpang dan menindas
orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan
terjadi selama ketimpangan relasi itu masih mewujud dan perbedaan
keinginan serta kepentingan masih menghiasi kehidupan. Semangat
primordial untuk mencari dan mewujudkan keadilan, menjadi penting
terus digulirkan untuk menghapuskan ekses ketimpangan relasi,
menghentikan kekerasan dan memberikan pemihakan kepada korban.
Relasi suami-istri yang timpang termasuk yang masih menggurita
dan masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan
dan anak-anak. Karena itu, semua nilai sosial dan budaya harus dikritik,
direkonstruksi dan sekaligus didorong berkontribusi mewujudkan
tatanan keadilan untuk menghapuskan segala jenis kekerasan dalam
rumah tangga. Termasuk perangkat hukum, sebagai salah satu
instrumen penghantar pencarian dan penegakan keadilan. Tidak
terkecuali UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang di dalamnya
masih meletakkan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam
perkawinan, sebagai pengaruh dari relasi timpang sosial-budaya

53
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terhadap struktur maupun teks-teks Undang-Undang tersebut. Sebagai


contoh kita bisa mendiskusikan definisi perkawinan yang dicantumkan
dalam UU Perkawinan maupun dalam KHI, dengan yang masih tertulis
pada lembaran-lembaran kitab fiqh.
Pasal 1 UU Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
KHI Pasal 2 mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
Adapun Pasal 3 KHI menyebutkan tujuan perkawinan sebagai
berikut:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Definisi perkawinan dalam UU Perkawinan dan KHI ini sudah cukup
adil. Tentu saja masih belum sempurna, tetapi setidaknya hal ini bisa
kita anggap sebagai ikhtiar tatanan hukum untuk mewujudkan keadilan
relasi suami istri dalam kehidupan berumah tangga. Selain itu ada
ketentuan lain mengenai pencatatan pernikahan, perceraian di
pengadilan dan kemungkinan pembagian waris atas dasar perdamaian,
bukan faraid. Al-Jaza’iri, dan kebanyakan ulama madzhab fiqh men-
definisikan pernikahan sebagai kontrak kepemilikan atas seksualitas
perempuan; atau kontrak laki-laki untuk memperoleh manfaat seks
dari perempuan. (al-Jazairi, 2004: vol iv, hal. 8-9). Definisi ini mungkin
melahirkan pandangan totalitas kepemilikan atas seksualitas
perempuan, yang pada gilirannya bisa melahirkan berbagai kekerasan
dalam rumah tangga. Karena itu UU Perkawinan dan KHI berikhtiar
menawarkan definisi lain untuk memastikan cara pandang yang lebih
adil. Tetapi ikhtiar dari peraturan ini, bisa jadi tidak berpengaruh dalam
upaya mewujudkan keadilan nyata bagi perempuan, jika masyarakat
masih berada pada tatanan nilai budaya yang tidak ramah pada

54
perempuan. Melalui konteks budaya yang patriarkhis, kekokohan
pernikahan akan dibebankan kepada perempuan untuk merawat dan
menjaga, dan biasanya akan dijadikan sasaran kesalahan jika terjadi
keretakan dalam rumah tangga.
Minimnya kesadaran keadilan cara pandang terhadap perempuan,
menyebabkan banyak orang dengan mudah melakukan kekerasan
terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan
dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru
berbalik bagi perempuan menjadi tempat yang paling rentan terhadap
segala bentuk kekerasan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang
menimpa perempuan dan anak-anak, di sejumlah negara-negara muslim
tidak bisa dibilang kecil. Negara Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Maroko,
Indonesia, Malaysia dan belahan dunia yang lain, bahkan beberapa
Negara lainnya, menunjukkan angka kekerasan dalam rumah tangga
cukup besar. Padahal, kasus kekerasan, satu orang pun yang menjadi
korban adalah masalah serius dan mencederai martabat kemanusiaan.
Misalnya di Negara Mesir, temuan penelitian pada tahun 1995
terhadap 100 orang istri yang berumur antara 14-65 tahun yang tinggal
di perumahan Manshiet Nasser sungguh sangat mengerikan; 30 orang
istri dipukul suaminya setiap hari, 34 orang setiap minggu, 15 orang
setiap bulan dan 21 orang mengaku sekali-kali. Latar belakang
pemukulan, 75 % disebabkan karena istri dianggap menolak hubungan
intim. Sakinah, salah seorang korban menyatakan: “Saya sedang
mencuci pakaian ketika suami saya memanggil saya. Rupanya ia meminta
saya untuk melayani berhubungan seks. Saya katakan bahwa saya belum
selesai mencuci. Tiba-tiba ia membenturkan tubuh saya ke tembok
sembari mengeluarkan serentetan sumpah serapah”. Ketika suami
ditanya mengapa ia tega melakukan hal itu: “Sakinah milik saya. Apa
pun yang saya lakukan itu urusan dan hak saya. Lagi pula Islam memberi
hak kepada saya untuk melakukan itu”. (Farha Ciciek, 1999: hal. 14-15).
CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2011 menunjukkan bahwa
terdapat 119.107 kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga pengada
layanan sepanjang tahun 2011. Kasus kekerasan di dalam rumah tangga
(KDRT) masih menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh
lembaga pengada layanan 113.878 kasus (95,61%). Sebanyak 5.187 kasus

55
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

(4,35%) terjadi di ranah publik, dan sisanya 42 kasus (0,03%) terjadi di


ranah negara. Perempuan dalam usia antara 25 hingga 40 tahun adalah
yang paling rentan mengalami kekerasan, meskipun data yang dihimpun
menunjukkan korban berusia 13 hingga 40 tahun.
Perlu digarisbawahi bahwa jumlah ini hanya menunjukkan puncak
gunung es dari persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebab masih
banyak perempuan korban yang enggan atau tidak dapat melaporkan
kasusnya. Selain itu, bahwa jumlah kasus terbanyak ditangani adalah di
provinsi Jawa Tengah (25.628 kasus), disusul Jawa Timur (24.555), Jawa
Barat (17.720) dan DKI Jakarta (11.286) lebih menunjukkan kuantitas
dan kapasitas lembaga layanan yang tersedia pada daerah itu.
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang paling mencuat
dalam CATAHU 2011, terutama di ranah domestik dan publik. Dari
113.878 kasus di ranah domestik, lebih dari 97% (110.468 kasus) adalah
kasus kekerasan terhadap istri, dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam
pacaran. Teridentifikasi bahwa di dalam ranah domestik, kekerasan
psikis paling banyak dialami (103.691), dan berturut-turut jenis
kekerasan ekonomi (3.222), kekerasan fisik (2.790), serta kekerasan
seksual (1.398). Sementara itu, jenis kekerasan terhadap perempuan di
ranah Negara ini mencakup kekerasan yang dilakukan oleh aparat (31
kasus), pengambilalihan lahan (6), pelayanan publik berkaitan dengan
kewarganegaraan (2), penahanan (2), dan penembakan (1).
Ranah komunitas, kasus kekerasan seksual adalah yang terbanyak
(57%, 2.937 kasus), dan ada 1.408 kasus kekerasan fisik (1.408), 267
kekerasan psikis (267). CATAHU 2011 juga mencatat 289 kasus trafiking,
105 kekerasan yang dialami oleh pekerja migran dan 43 kekerasan di
tempat kerja yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
Kekerasan seksual dalam kategori kekerasan yang terjadi di ranah
Komunitas yang dimaksud ini termasuk: pencabulan, perkosaan,
percobaan perkosaan, persetubuhan, pelecehan seksual, aborsi,
eksploitasi seksual, prostitusi, incest, dan pornografi. Sebanyak 87 kasus
dialami oleh perempuan dengan orientasi seksual sejenis dan
transgender. Jenis kekerasan yang dialami mencakup pengusiran
sebanyak 80 korban oleh warga setempat (di Jakarta), penganiayaan

56
yang dilakukan oleh warga karena orientasi seksual (5), penolakan
kepada transgender di tempat hiburan (1), dan pelarangan berpacaran
dengan sesama jenis (1) (Komnas Perempuan, 2012, hal 4).
Laporan yang ditulis Khairani, dari Flower Aceh menggambarkan
“Pada hari Kamis tanggal 15 Juni 2000, pukul 08.00 WIB korban sedang
memasak di dapur, ketika suami memanggil “oi – oi ipak ni mongot”
(memberitahukan anaknya menangis – red). Korban menjawab: “Bawa ke sini,
ia tidak mau ama saya”. Mendengar jawaban korban, suami korban bangun
dari tempat tidur dengan masih berselimut tebal dan mendatangi korban.
Tanpa diduga, sang suami langsung memukul istrinya dengan kayu, menyepak
dan menendang perut korban yang sedang hamil 5 bulan. Suami korban juga
menampar dan memukul kening korban dengan tangan. Setelah itu pelaku
menyepak-nyepak perlengkapan di dapur, termasuk jerigen yang berisi minyak
lampu. Pada saat bersamaan korban sedang menyalakan api untuk memasak.
Tak ayal lagi, api langsung menjilat sekujur tubuh korban. Setelah melihat
korban terbakar, suami korban bukannya berusaha menolong memadamkan
api yang membakar tubuh korban, malahan melontarkan makian “mati ko
(mati kamu)”. (Komnas Perempuan, 2002: 71).
Pengertian dan Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sebagaimana telah disebutkan pada bab pertama, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis
gender, yakni kekerasan yang terjadi karena adanya asumsi gender
dalam relasi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan masyarakat.
KDRT bukan sekedar percekcokan atau perselisihan antara suami istri.
Perselisihan antara suami dan istri dalam rumah tangga adalah hal
biasa, karena pertemuan dua individu yang berbeda dalam satu rumah,
pasti akan menghadirkan perbedaan keinginan dan harapan. Keadaan
ini memungkinkan terjadinya perselisihan dan percekcokan. KDRT
lebih buruk dari sekedar perselisihan dalam rumah tangga. KDRT
bersumber pada cara pandang yang merendahkan martabat kemanusiaan
dan relasi yang timpang, serta pembakuan peran-peran gender pada
seseorang. Oleh karena itu kasus KDRT bisa menimpa dan terjadi pada
siapa saja yang hidup dalam rumah tangga. Bisa terjadi pada istri, suami,
ibu, anak, saudara atau pekerja rumah tangga (PRT) yang hidup dalam

57
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

satu rumah. Tetapi, perempuan lebih banyak menjadi korban KDRT


karena relasi laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang belum
setara, masih dikonstruksi masyarakat secara patriarkhi.
Kekerasan adalah segala tindakan yang mengakibatkan kesakitan.
Selama ini memang kesakitan belum pernah didefinisikan. Jika kesakitan
merupakan kondisi kebalikan dari kesehatan, kita bisa mengambil
definisi kesehatan dari Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Kesehatan adalah: “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Sementara
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO); “Kesehatan adalah
keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial dan tidak hanya
terbebas dari penyakit dan cacat”. Berarti, ada empat aspek kesehatan;
fisik, mental, sosial dan ekonomi. Setiap individu, atau kelompok
masyarakat tidak memenuhi semua indikator kesehatan ini, maka ia
dapat dikatakan tidak sehat atau sakit. Karena itu, kesakitan pun
memiliki empat aspek; fisik, mental, sosial dan ekonomi, begitupun
kekerasan. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga. (Komnas
Perempuan, 2007: hal. 7-9).
Kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam UU
PKDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Sesungguhnya kekerasan yang dialami seorang istri memiliki
dimensi yang tidak tunggal. Seseorang yang menjadi korban kekerasan
fisik, biasanya ia telah mengalami kekerasan psikis sebelumnya dan
sesudahnya. Tidak sedikit juga yang mengalami kekerasan dan
penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai
bentuk dan rupa, mulai dari menampar, menempeleng, memukul,
membanting, menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa
jadi menusuk dengan pisau bahkan membakar. Berbagai kasus keke-

58
rasan dalam rumah tangga yang terjadi, kekerasan fisik yang dialami
perempuan banyak yang mengakibatkan cidera berat, cacat permanen,
bahkan kehilangan nyawa. Bisa jadi, kekerasan fisik itu tidak memiliki
dampak, atau hilang bekas fisiknya, tetapi hampir selalu memiliki
implikasi psikologis dan sosial pada korbannya.
Kekerasan non-fisik atau kekerasan mental yakni kekerasan yang
mengarah pada serangan terhadap mental/psikis seseorang, merupakan
yang paling banyak terjadi dalam kasus-kasus yang dilaporkan lembaga-
lembaga pendamping. Bisa berbentuk ucapan-ucapan menyakitkan,
kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman. Perempuan dijadikan
sasaran pelampiasan, bisa jadi karena faktor-faktor yang ada di luar
rumah tangga. Tidak sedikit juga, yang justru dibalik, perempuan
sebagai korban ditempatkan sebagai pelaku oleh suami, dengan
memutarbalikkan fakta. Ia mengungkapkan: “Istri saya menyakiti saya
karena berbicara dengan laki-laki lain; Ia sengaja menghina saya dengan
menyediakan makanan yang tidak saya sukai; Ia sama sekali tidak
menghormati saya sebagai suami”. Ini adalah bentuk pemutarbalikan
fakta, yang justru seringkali didukung budaya dan keluarga, sehingga
perempuan semakin terpuruk dan tidak memperoleh dampingan yang
memadai.
Kekerasan berdimensi ekonomi yang dialami perempuan, termasuk
yang terbanyak terjadi pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Sekalipun dalam konstruksi masyarakat di Indonesia, laki-laki
ditempatkan sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban untuk
mencari dan memberi nafkah kepada istri, tetapi tidak sedikit dari
mereka yang menelantarkan istri dan anak-anak secara ekonomi.
Bahkan ada yang secara sengaja mengontrol pendapatan istri, melarang
istri bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang
cukup untuk keluarga.
Kekerasan seksual, yakni kekerasan yang mengarah kepada serangan
terhadap seksualitas seseorang, bisa berupa pemaksaan hubungan
seksual (perkosaan), pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain
yang menyertai hubungan intim; bisa sebelum atau sesudah hubungan
intim, pemaksaan berbagai posisi dan kondisi hubungan seksual,

59
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

pemaksaan aktivitas tertentu, pornografi, penghinaan terhadap


seksualitas perempuan melalui bahasa verbal, ataupun pemaksaan pada
istri untuk terus menerus hamil atau menggugurkan kehamilan.
Kekerasan seksual yang dialami perempuan, biasanya disertai dengan
kekerasan-kekerasan lain, baik fisik, mental, maupun ekonomi.
Kekerasan tidak saja berdampak pada organ seks/reproduksi secara
fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikis atau mental perempuan
dan anak-anak dalam rumah tangga.
Kasus-kasus di bawah ini, bisa menggambarkan betapa seriusnya
kekerasan terhadap perempuan, dilakukan ‘suami tercinta’ dan di dalam
rumah tangga yang diasumsikan sebagai ‘rumah yang aman’ dan ‘tempat
menyemai rasa kasih dan sayang’.
“Pada bulan Pebruari 1994, seorang perempuan bernama Zainab
yang tengah sekarat dibawa suaminya, Hail Syarif, seorang imam masjid
ke sebuah rumah sakit dekat Rawalpindi, Pakistan. Menurut suaminya,
korban menderita luka bakar akibat terjatuh ke dalam minyak yang
sedang mendidih. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa Zainab
menderita luka bakar akut di bagian dalam tubuhnya sehingga tak
punya harapan hidup lagi. Namun Allah Maha Besar, ternyata keadaan
Zainab semakin membaik dan nyawanya tertolong. Korban kemudian
bersaksi bahwa vaginaya ditusuk oleh sang suami dengan sebatang besi
merah yang membara. Kasus ini dibawa ke pengadilan. Hail Syarif
dihukum seumur hidup. Sementara Zainab atas biaya pemerintahan
PM Benazir Bhutto dirawat di sebuah rumah sakit di London”. (Ciciek
Farha, 1999: 16).
“Ia bernama “H”, berusia 30 tahun, baru saja melahirkan anaknya
yang ketiga. Dalam sepuluh tahun usia perkawinan, suami sangat jarang
memberikan nafkah, sering ‘main perempuan’, dan sering pula
melakukan kekerasan. Saat mengandung anak ketiga ia tidak mampu
lagi bertahan, terjadi perpisahan, dan dua anaknya tinggal bersama
keluarga besar suami. Suatu hari, ia datang menjenguk anak-anak,
mendapati bahwa anak, suami dan perempuan ‘simpanan’ suami sedang
berada di kamar tidur. Terjadilah pertengkaran yang berbuntut
penganiyaan, bahkan keluarga besar suami ikut menganiaya “H”. “H”
jatuh tidak sadarkan diri, dan dua hari kemudian kehilangan nyawanya.

60
Kasus ini sampai ke pengadilan, tetapi suami tidak terjerat hukuman”.
(Pendampingan Kalyanamitra, catatan tahun 2000).
“Mar, anak sulung dari 4 bersaudara berumur 18 tahun, belum
menikah, tidak bersekolah lagi, dan bekerja mencari nafkah sebagai
tukang cuci pakaian. Beberapa hari setelah tsunami, bersama kedua
orang tuanya, Mar dan adik-adiknya pulang ke kampung di Kecamatan
Kembang Tanjung Pidie untuk melihat kondisi rumah yang tertinggal
dan mencoba membersihkannya. Setelah seharian bekerja di sana,
ibunya memutuskan kembali ke tenda pengungsian. Mar dan ketiga
adiknya tinggal di rumah bersama ayahnya. Beberapa malam kemudian,
ketika semuanya tertidur, Mar diperkosa ayahnya. Kejadian ini tak
berani Mar ceritakan kepada siapa pun. Dua bulan kemudian, ibunya
melihat ada yang lain pada diri Mar. Sambil membujuk, ibunya pun
bertanya, kuatir ada masalah yang dihadapi Mar. Mar tidak mau
membuka masalahnya, dia hanya berkata takut pada ayahnya. Kemudian
ibunya membawa Mar ke bidan. Ternyata Mar sudah hamil dua bulan.
Barulah Mar mengakui bahwa pelakunya adalah ayahnya. Awalnya ibu
tidak percaya dan marah, tetapi Mar meyakinkan ibunya. Karena takut
dan malu, bulan Mei 2005, ayah dan ibu Mar membawa semua keluarga-
nya pindah dari desa asalnya, tanpa memberitahukan penduduk setem-
pat ke mana mereka pindah”. (Komnas Perempuan, 2006: hal. 42).
“Rita tidak jarang dipukul suaminya, bila Rita menanggapi kemarahan
suaminya. Menurut suaminya, ia memukuli istrinya karena Rita
menjawabnya saat ia marah. Menurutnya, istri harus diam, kalau tidak
nanti dipukul lagi. Tetapi sering bingung, karena suaminya juga marah
kalau Rita diam saja, tidak menanggapi kemarahan suaminya. Bahkan
dalam keadaan seperti itu suaminya juga dapat menjadi-jadi kema-
rahannya”. (Penelitian Soetrisno, dari Komnas Perempuan, 2002: 80).
Faktor Penyebab terjadinya KDRT
Sikap kebanyakan masyarakat yang tidak memberikan “pemihakan”
--------tidak membongkar kerentanan perempuan akibat diskriminasi
gender--------- kepada korban, seringkali memunculkan sikap yang
berbalik dengan menyalahkan korban. Pelaku bisa leluasa dan lepas
kendali untuk terus melakukan kekerasan, dengan tanpa rasa bersalah.

61
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bahkan, bisa berbalik menyalahkan korban. Perempuan yang menjadi


korban pun, akan semakin sulit untuk memperoleh keadilan, baik di
tingkat masyarakat maupun di pengadilan. Kebanyakan masyarakat
berkeyakinan, masalah dalam keluarga adalah masalah internal keluarga
masing-masing. Termasuk juga persoalan kekerasan di dalamnya.
Keluarga pihak suami, atau pihak istri, bahkan perempuan korban itu
sendiri, akan merasa malu jika aib keluarga terdengar sampai keluar
rumah. Karena itu, kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan
akan tetap dibiarkan dan ia hanya diminta bersabar, tabah dan berdoa.
Keadaan ini semakin menyulitkan perempuan untuk bisa lepas dari
siklus kekerasan yang menimpa dirinya.
Sebagai contoh, kasus Suyatmi yang sempat mencuat di berbagai
media TV pada akhir bulan November 1997. Suyatmi pada akhirnya
membunuh suaminya, Ismail yang sudah bertahun-tahun melakukan
kekerasan dan mengancamnya dengan pembunuhan. Sebenarnya,
Suyatmi tidak menginginkan menikah dengan Ismail, karena tahu
tabiatnya yang buruk, nakal dan suka marah-marah. Tetapi ia selalu
diancam jika tidak bersedia menikah dengannya. Suyatmi akhirnya
kabur ke Jakarta dari desanya, untuk menghindari permintaan dari
Ismail. Tapi ternyata disusul dan dipaksa untuk menerima pernikahan,
jika tidak ingin mengalami persoalan hidup. Suyatmi akhirnya
menerima, dengan syarat Ismail bersedia mengubah perangai buruknya.
Pada awal pernikahan, Ismail nampak manis, tetapi seiring dengan
waktu ia kembali memperlihatkan perangai buruknya. Ia tidak segan-
segan membentak Suyatmi, memarahi, mengancam dan menyiksa. Ia
pun biasa berselingkuh dan menceritakannya pada Suyatmi. Ia juga
sering tidak memberikan nafkah, karena alasan tidak dapat uang dari
kerjanya sebagai supir taksi. Suyatmi sudah tidak tahan dan meminta
cerai, tetapi tidak digubris Ismail. Suyatmi pun pernah melaporkan
kasus-kasus kekerasannya ke KUA Koja, Tanjung Priok. Pihak KUA
hanya mengirim surat panggilan terhadap Ismail. Ismail tidak datang,
malah memarahi istrinya karena melapor. Semua tetangga pun tahu
dan sering mendengar pertengkaran mereka, dan semua kekerasan
yang dialami Suyatmi. Tetapi tidak ada satupun tetangga yang mencoba

62
membantu. Mereka menganggapnya sebagai urusan internal. Keluarga
dekat Suyatmi juga hanya memberi nasihat untuk tabah dan bersabar.
Ismail justru sering membanggakan di depan tetangga, ketika habis
memarahi atau menyiksa istri. Suyatmi akhirnya membunuh suaminya,
ia baru saja dibenturkan kepalanya ke dinding dan dibanting sampai
pingsan. Ketika Suyatmi dalam keadaan pingsan, Ismail berkoar-koar
ke tetangga kalau dia sudah membunuh Suyatmi. Tetangga pun tahu,
tetapi tidak ada satupun yang melerai. Ketika Suyatmi tersadar dari
pingsannya, dan mendapati suaminya sedang tidur di sampingnya,
keluarlah pikiran untuk menghentikan segala kekerasan yang
dialaminya, justru dengan membunuh suaminya dengan menggunakan
pisau dapur. Karena tidak ada satupun yang bisa menolongnya, tidak
keluarganya yang anggota TNI, tidak pejabat KUA, tidak juga kepolisian,
tidak juga tetangga. (Nursyahbani Katjasungkana dan Asnifriyanti
Damanik, 2004: hal. 23-28).
Memang kekerasan di dalam rumah timbul dan terjadi karena
berbagai faktor, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Tetapi
kekerasan adalah kejahatan. Kekerasan terhadap perempuan, istri
maupun ibu, merupakan kezhaliman atas kemanusiaan. Ini
permasalahan yang serius dan bisa menjadi penyebab atas mewabahnya
kekerasan dan kekacauan di dalam masyarakat. Kekerasan akan
berbuntut pada kekerasan yang lain. Kekerasan terhadap istri, biasanya
akan berlanjut pada kekerasan-kekerasan lain; terhadap anak dan
anggota keluarga yang lain. Kebiasaan buruk ini bisa menular, keluar
dari lingkup dalam rumah tangga dan selanjutnya keluar menjadi wabah
dalam masyarakat. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak,
remaja, maupun orang dewasa, jika ditelusuri secara seksama, banyak
sekali yang justru berakar dari proses pembelajaran di dalam rumah
tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang
penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian
memperlihatkan, bahwa 50% sampai 80% laki-laki yang memukul istri
dan atau anak-anak, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang
orang tuanya suka memukul dan melakukan kekerasan dalam rumah.
(Ciciek Farha, 1999: hal. 22-23).

63
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ada banyak faktor sosial, yang melestarikan adanya KDRT dan


menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari
masyarakat. Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi
antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam
kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan
laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada
akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Posisi keluarga misalnya,
kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan
penguasa keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami, yang
berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang
dilakukan istri, harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak se-
baliknya. Ketika terjadi kesalahan sedikit saja dari istri dalam cara
pandang suami, istri harus berhadapan dengan pengawasan dan
pengontrolan dari suami. Suami merasa dituntut untuk mendidik istri
dan mengembalikannya pada jalur yang benar, menurut cara pandang
suami. Pengontrolan ini tidak sedikit, yang pada akhirnya menggunakan
tindak kekerasan.
Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama
untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di
bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan
bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya
berada di luar rumah tangga. Banyak penelitian yang menunjukkan
beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di tempat
kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada istri atau anak-anak.
Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri, untuk
mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi
apa yang dibutuhkan. Seperti ancaman tidak memberi nafkah sampai
ancaman perceraian. Tampak bahwa pengendalian roda kendali dan
kuasa laki-laki dilakukan atas peran gendernya yang dianggap lebih
berkuasa daripada perempuan. Roda kendali dan kuasa hampir selalu
dimainkan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Situasi
dalam rumah tangga ditunjukkan dengan kuasa ekonomi suami sebagai
pihak yang kuat terhadap istri sebagai pihak yang lemah karena
bergantung dan tidak mempunyai akses ekonomi.

64
Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cen-
derung abai. Seperti pada kasus Suyatmi. KDRT dianggap urusan
internal dan hanya menyangkut pihak suami dan istri belaka. Paling
jauh, keluarga terdekat dari pihak suami maupun istri. Itupun masih
sangat jarang. Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat ada
perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi jika yang
menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya.
Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan
menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja. Ada catatan pendamping
korban, yang menulis ungkapan seorang Satpam: “Waktu Satpam itu
melerai suami yang memukuli istri di tempat parkir, ia mengatakan:
“Istighfar pa. Sekarang bulan puasa. Kalau mau pukul istri di rumah
saja, jangan di tempat umum seperti ini.....”. (Komnas Perempuan, 2002:
hal. 83).
Keempat, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat
termasuk yang mungkin bersumber dari tafsir agama. Bahwa perempuan
harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, harus pandai
menjaga rahasia keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga ideal
yang penuh dan lengkap, tentang istri shalihah, juga kekhawatiran-
kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari perceraian.
Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat ini,
pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan keluarga.
Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan
untuk melanggengkan KDRT. Paling tidak, membuat istri berpikir
seribu kali ketika harus memutuskan untuk mengakhiri KDRT yang
menimpa dirinya. Karena seringkali berakibat pada perceraian, atau
minimal pengabaian dari suami dan pihak keluarga suami.
Kelima, mitos tentang KDRT. Masyarakat selama ini masih mem-
percayai berbagai mitos seputar terjadinya KDRT. Mitos merupakan
suatu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai
kebenaran mengenai suatu perkara yang pernah berlaku pada suatu
masa dahulu. Ia dianggap sebagai satu kepercayaan dan kebenaran
mutlak yang dijadikan sebagai rujukan (A Wikipedia Project, 2007).
Mitos-mitos ini muncul dalam masyarakat yang pada akhirnya

65
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

memojokkan korban dan menjauhkan korban untuk mendapatkan


bantuan secara sosial. Berikut tabel mitos dan fakta KDRT.
Mitos dan Fakta KDRT
Mitos Fakta
KDRT jarang terjadi. Satu dari 3 istri mengalami KDRT.

KDRT adalah budaya “barat”. KDRT terjadi di seluruh belahan dunia.


KDRT dilakukan orang Pelaku KDRT juga dari orang



berpendidikan rendah. berpendidikan tinggi.

KDRT hanya terjadi pada keluarga Korban KDRT berasal dari semua

miskin. golongan.

KDRT adalah urusan pribadi. KDRT adalah perbuatan kriminal yang



jadi tanggungjawab masyarakat.

KDRT terjadi karena istri Korban kebanyakan adalah istri yg



membangkang. penurut.

Pelaku KDRT mengalami gangguan Pelaku KDRT adalah mereka yang



kejiwaan atau kehilangan kontrol memiliki gangguan maupun yang tidak;
sesaat yang memukul istrinya. penganiayaan merupakan bentuk
kontrol dan penciptaan ketakutan.

Pelaku KDRT punya perangai kasar Pelaku bisa berbuat baik dan santun

terhadap siapapun. pada orang lain, dan dihormati.

KDRT terjadi pada pasangan yg KDRT terjadi pada pasangan yang



memulai perkawinan tanpa dasar memulai perkawinan atas dasar cinta.
cinta.

Seorang istri dianiaya karena Istri seringkali dipukul karena alasan-



kesalahannya sendiri: keras kepala, alasan di luar kendali mereka dan
cerewet, membantah. menurut standar suami. Mereka
dipukul karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan seksual suami,
atau karena tidak dapat membuktikan
bahwa mereka tidak berselingkuh.
Banyak istri yang dipukul adalah
mereka yang penurut, ta’zim dan
mengalah.

66
Hanya lelaki yang gagal di beberapa Seringkali lelaki yang memiliki karir

aspek dalam hidupnya yang yang baik memukul istrinya. Istri-istri
memukul istrinya. ini lebih enggan untuk melaporkan
suami mereka karena merasa harus
menjaga reputasi suaminya yang baik
yang boleh jadi merupakan satu-
satunya sumber ekonomi keluarga.

Suami yang menganiaya istrinya Suami yang menganiaya istrinya



biasanya karena sedang stres dan kebanyakan dalam keadaan sadar,
mabuk. tidak mabuk maupun stres.

Hanya kelompok ekonomi bawah Laki-laki (suami) dari segala tingkat



yang menganiaya istrinya. sosial ekonomi berpotensi melakukan
penganiayaan.

Perempuan yang bertahan dalam Mereka bertahan karena banyak hal:



suasana aniaya oleh suami adalah ketergantungan ekonomi, psikologis,
Masochistis (mereka bertahan adanya proses isolasi.
karena “menikmati” kekerasan
tersebut).

Perempuan yang mengalami Perempuan seringkali bertahan dalam


penganiayaan selalu bisa situasi kacau tersebut karena mereka
meninggalkan situasi tersebut. merasa bersalah bila meninggalkan
rumahnya
( ketakutan dan demi anak).

Anak-anak membutuhkan kedua Ada efek jangka panjang yang sangat



orang tuanya sekalipun hubungan buruk yang akan dialami anak yang
yang ada penuh dengan kekerasan. hidup dalam keluarga yang sering
terjadi kekerasan di dalamnya.

Uraian di atas menegaskan bahwa KDRT bukan hanya sebatas


tindakan kekerasan terhadap seorang perempuan. Tetapi merupakan
kejahatan yang menodai harkat dan martabat kemanusiaan. Benar
bahwa wilayah rumah tangga adalah wilayah privat yang merupakan
otorita sebuah keluarga itu sendiri. Namun sebagai bagian dari
masyarakat, seharusnya sebuah keluarga dan urusan rumah tangga juga
merupakan bagian dari masyarakat publik. Sehingga apabila terjadi
kekerasan di dalam ranah manapun, termasuk domestik, maka hal ini

67
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

sudah masuk ke dalam wilayah publik karena merupakan bentuk


kejahatan kemanusiaan. Artinya publik atau masyarakat juga
mempunyai kewajiban untuk ikut campur tangan. Esensi ini pula yang
mendasari dikeluarkannya UU PKDRT yang menjadi legitimasi negara
bahwa KDRT tidak lagi bisa dianggap sebagai otorita wilayah domestik
yang tidak bisa diganggu gugat, melainkan telah menjadi wilayah publik
dan menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara untuk turut
campur menghentikannya.
Melalui kajian agama, kejahatan seperti ini justru mengancam dan
merusak nilai-nilai yang dibangun ajaran agama, yaitu keadilan, kese-
taraan, kemaslahatan, dan kerahmatan. KDRT dengan demikian bukan
saja melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, hukum dan aturan
perundangan-undangan yang berlaku, norma dan tata kesusilaan,
tetapi juga melanggar prinsip, nilai, dan hukum ajaran Islam. Semua
umat muslim yakin Islam tidak hadir untuk merestui kekerasan yang
dilakukan siapapun dalam rumah tangga, dalam bentuk dan dengan
alasan apapun. Tetapi semua orang juga melihat betapa banyak
kekerasan terjadi di kalangan masyarakat muslim, dan tidak sedikit
juga yang melegitimasi dengan teks dan ajaran keagamaan. Penguatan
kesadaran keadilan dalam kondisi ini, harus dilakukan dan disebarkan
secara terus menerus dengan berbagai media pendidikan dan pe-
nyadaran publik. Kerja-kerja institusi hukum seringkali tidak mencu-
kupi, jika tidak tumbuh kesadaran keadilan dalam kehidupan
masyarakat.
Tauhid sebagai Basis Relasi yang Adil
Keadilan adalah gagasan yang paling mendasar dalam Islam. Keadilan
adalah ketakwaan itu sendiri (QS. Al-Maidah, 5: 8). Prinsip keadilan
dinyatakan secara tegas dalam banyak ayat, diantaranya, pertama
prinsip keadilan dalam kehidupan keluarga: berupa perintah
menegakkan keadilan, kebaikan, berbuat baik kepada keluarga (QS. Al-
Nahl, 16: 90). Kedua, prinsip keadilan dalam memutuskan suatu perkara
(QS. Al-Nisa’, 4: 58), menegakkan keadilan sekalipun terhadap diri
sendiri, keluarga maupun orang-orang dekat (QS Al-Nisa’, 4: 135 dan QS
Al-An’am, 6: 152). Ketiga, prinsip keadilan tanpa rasa dendam, ketika

68
harus menegakkan keadilan di hadapan orang atau kelompok yang
tidak disukai (QS. Al-Ma’idah, 5: 8). Keempat, prinsip keadilan dalam
memelihara anak-anak yatim dan mengelola harta mereka, khususnya
terhadap anak-anak yatim perempuan (QS Al-Nisa, 4: 127).
Prinsip keadilan sosial pada tataran praktis harus memfokuskan
pada pembelaan mereka yang tertindas, atau mustadh’afin. Biasanya
adalah mereka yang miskin, minoritas dan perempuan. Karena mereka
yang selama ini tidak memperoleh dukungan sosial, sistem dan
kebijakan. Karena itu, dalam bahasa Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq
adalah “adh-dha’îfu f îkum qawiyyun ‘indî hattâ âkhudza lahu al-haqq,
wa al-qawiyyu f îkum dha’îfun ‘indî hattâ âkhudza minhu al-haqq/orang
yang lemah di antara kamu adalah kuat di mataku, karena itu akan aku
penuhi hak-haknya, dan orang yang kuat di mata kamu adalah lemah di
mataku, karena itu aku tidak segan-segan untuk mengambil dari mereka
hak-hak (orang lemah)”.
Sebelumnya, Nabi Muhammad SAW, juga berpendapat bahwa
menyuarakan keadilan (qawlu ‘adlin) di hadapan sistem yang otoriter
(sulthanin ja’ir) adalah jihad yang paling utama. Perspektif keadilan
menjadi kesadaran utama dalam memahami seluruh teks-teks
keislaman. Melalui perspektif ini, tidak mungkin kita memaknai Islam
sebagai agama yang menyetujui kekerasan, membiarkan apalagi
mendorong orang-orang untuk menjadi pelaku kekerasan. Jika
konstruksi pemikiran keagamaan masyarakat masih memungkinkan
tindak kekerasan dalam rumah tangga atas nama agama, kita perlu
memastikan kembali bangunan keimanan dan keislaman sebagai basis
perwujudan keadilan dan anti kekerasan, di sinilah relevansi
membincangkan KDRT dalam perspektif Islam. Dengan bangunan
pemahaman, di mana keadilan diletakkan sebagai basis utama dan inti
ajaran Islam, maka sesungguhnya Islam sangatlah menolak setiap
praktik kekerasan, termasuk kekerasan di dalam rumah tangga.
Islam hadir di muka bumi ini untuk manusia dan kemanusiaan.
Islam hadir dengan ajaran, akidah, syari’ah dan aturan-aturannya adalah
untuk kemaslahatan manusia di muka bumi ini dan di akhirat nanti.
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk
elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus

69
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terhadap kesamaan dan kesederajatan manusia. Semua manusia adalah


sama dan sederajat di mata Allah SWT, yang membedakan hanyalah
prestasi dan kualitas takwanya. Perlu ditegaskan bahwa ajaran tauhid
sebagai inti ajaran Islam adalah yang mengajarkan bagaimana ber-
ketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan
dengan benar.
Tauhid secara bahasa berarti meng-esa-kan Allah SWT yaitu,
keimanan dan keyakinan bahwa Tuhan yang benar hanyalah satu atau
esa. Dalam ungkapan bahasa Arab adalah wâhid, yang menjadi kata asal
dari istilah tauhid itu sendiri. Kalimat yang representatif adalah lâ ilâha
illa Allâh, Tidak ada Tuhan selain Allah. Inilah kalimat tauhid. Surat
dalam Alquran yang menjadi representasi dari ajaran tauhid adalah
surat yang ke-112. Yaitu surat al-Ikhlâsh, atau surat kemurnian dan
ketulusan.
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (2) Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (3) Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakan, (4) Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (Surat
al-Ikhlas, 112: 1-4).
Tetapi pengertian tauhid dalam Islam, tidak sekadar pengakuan ke-
esa-an Allah SWT, yang bersifat transendental semata. Tauhid juga
memiliki implikasi horizontal, untuk manusia dan kemanusiaan.
Karena sejatinya, tauhid juga untuk manusia. Bukan untuk kepentingan
Allah SWT. Kita bisa merujuk pada beberapa ayat Alquran mengenai
ketauhidan terhadap Allah SWT. Surah Al-Ikhlas, sebagai inti ajaran
tauhid, di dalamnya disebutkan mengenai beberapa ajaran penting
tentang tauhid, yakni Allah adalah Esa, Allah adalah tempat bergantung,
Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan, serta tidak ada satu
pun makhluk di alam semesta ini yang menyamai Allah.
Keteladanan Rasulullah SAW keyakinan bahwa tidak ada manusia
yang setara dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada
gilirannya melahirkan gerakan kesetaraan manusia sebagai sesama
makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor
dua. Manusia pada hakikatnya sama. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat,
suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang

70
miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh
mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh
mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan
suaminya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin,
atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah
merupakan pengingkaran terhadap tauhid. Pada tataran sosial juga,
kekuatan tauhid pada diri Rasulullah SAW membuatnya berani membela
mereka yang direndahkan, teraniaya, dan terlemahkan secara struktural
dan sistemik (mustadh’afin), seperti kaum perempuan, budak, dan
anak-anak yang diperlakukan oleh para penguasa dan pembesar
masyarakat yang menutupi kezhalimannya di balik nama Tuhan.
Tauhid dalam Islam mengantarkan pada prinsip keadilan sosial dan
relasi interpersonal. Sehingga, tidak boleh ada orang yang diposisikan
secara timpang dan menjadi korban dari segala bentuk kekerasan.
Secara eksplisit, ada sejumlah teks maupun hadis Nabi yang
mengharuskan manusia untuk berbuat dan menegakkan keadilan.
Beberapa ayat di antaranya adalah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di
antara manusia hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. an-Nisâ’, 4: 58).
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari berbuat keji,
kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. an-Nahl, 16: 90).
Keadilan adalah prinsip dalam Islam dan dalam setiap perumusan
hukum-hukumnya. Keadilan bukan saja milik Islam sebagai doktrin
sentral, melainkan juga dianut oleh semua aturan hukum di dunia. Ibnu
al-Qayyim secara tegas mengatakan bahwa “Jika Anda menemukan
indikator dan bukti-bukti adanya keadilan dengan cara dan jalan apapun
mendapatkannya, maka di sanalah hukum Allah.” Pandangan Ibnu al-
Qayyim ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap perumusan dan
keputusan hukum haruslah didasarkan kepada prinsip keadilan, dari

71
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

mana dan dengan cara apapun diperoleh, meskipun tidak ditemukan


dalam teks-teks keagamaan. Ini ditetapkan karena “mewujudkan
keadilan” adalah tujuan utama hukum Islam. Disepakati oleh seluruh
ulama ahli fiqh bahwa syari’at Islam dibuat dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Izzuddin ibn Abd al-Salam,
ahli fiqh mazhab Syafi’i, mengatakan, “Setiap tindakan hukum
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun
akhirat. Hukum tidak dimaksudkan untuk kepentingan Allah, karena
Allah tidak membutuhkan manusia. Kebaikan manusia tidak menambah
kebesaran Allah dan kejahatan manusia tidak akan mengurangi
kebesaran-Nya.” Oleh karena itu, menurutnya, “Setiap tindakan hukum
yang tidak memenuhi tujuan tersebut adalah salah.” (Faqihuddin Abdul
Kodir dkk, 2006: 36-38).
Tujuan pokok syari’at Islam ini, para ulama fiqh kemudian
mengembangkannya dalam bentuk kaidah-kaidah fiqh. Beberapa di
antaranya adalah adh-dhararu yuzâlu (semua hal yang merugikan atau
menderitakan orang haruslah dihilangkan), adh-dhararu lâ yuzâlu bi
adl-dharari (menghilangkan hal-hal yang menderitakan orang tidak
boleh dilakukan dengan cara menderitakan), dar’u al-mafâsid
muqaddamu ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan/bahaya
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan), al-‘âdatu
muhakkamah (adat bisa dijadikan dasar hukum), dan lain-lain. Lebih
dari semuanya, ketentuan-ketentuan tatanan hukum Islam harus
ditujukan untuk mewujudkan kerahmatan (kasih sayang) bagi semua
makhluk Tuhan di muka bumi. Hal ini karena agama sejatinya
diturunkan Tuhan untuk memberikan rahmat bagi semesta (rahmatan
li al-‘âlamîn). (Faqihuddin Abdul Kodir dkk, 2006: 38-39).
Secara sosial, Tauhid juga mengantarkan pada prinsip penghormatan
terhadap kemanusiaan. Dalam salah satu ayat, secara tegas disebutkan
bahwa Allah SWT telah menganugerahkan kemuliaan terhadap anak
cucu Adam atau manusia. “Sungguh, Kami benar-benar memuliakan
anak-anak Adam (manusia). Kami sediakan bagi mereka sarana dan
fasilitas untuk kehidupan mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka
rizki yang baik-baik, serta Kami utamakan mereka di atas ciptaan Kami
yang lain”. (Q.S. al-Isrâ’, 17: 70). Karena itu, misi utama kenabian Nabi

72
Muhammad SAW adalah untuk menebarkan kasih sayang terhadap
seluruh alam. ”Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad)
kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam.” (Q.S.
al-Anbiyâ’, 21: 107).
Prinsip penghormatan dan kasih sayang ini secara logis kemudian
menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan
bangunan etika dalam berelasi antar sesama. Seperti perlunya berbuat
baik, memberikan manfaat, saling membantu, pengharaman menipu,
pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala
bentuk kezhaliman. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
dengan demikian bertentangan dengan ajaran tauhid, prinsip keadilan,
prinsip penghormatan kemanusiaan dan prinsip kasih sayang dalam
Islam. KDRT adalah kekerasan dan kezhaliman yang diharamkan
Islam.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56).
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezhaliaman terhadap diri-
Ku,—dan Aku jadikan kezhaliman itu juga haram di antara kamu,—maka
janganlah kamu saling menzhalimi satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat
Imam Muslim).
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena
seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan
menzhalimi, menipu, atau melecehkannya”. (Hadis Riwayat Imam Muslim).
Prinsip-prinsip yang lahir dari ajaran ketauhidan ini, menjadi basis
dari relasi sosial dalam perspektif Islam. Prinsip dalam Islam, seseorang
tidak boleh bertindak zhalim terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap
orang harus saling berbuat baik dan membantu satu sama lain. Yang
kuat, misalnya, membantu yang lemah. Hubungan suami dan istri,
Alquran mengumpamakan keduanya laksana pakaian bagi yang lain.
Suami adalah pakaian bagi istri. Begitu juga sebaliknya, istri adalah
pakaian bagi suami. Sebagaimana pakaian, yang satu adalah pelindung

73
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

bagi yang lain. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan oleh pihak yang
satu terhadap yang lain, karena kesewenang-wenangan adalah tindakan
biadab yang dicela bukan hanya oleh Islam melainkan juga oleh akal
sehat.
Landasan etika perlakuan suami kepada istri, orang tua terhadap
anak, dan majikan kepada buruh seharusnya juga dilakukan atas dasar
kemanusiaan, yaitu melihat masing-masing sebagai manusia utuh
dengan segala hak yang dimilikinya dan bukan sebagai barang atau
mesin yang boleh diperlakukan untuk apa saja sesuai kehendak
pemiliknya. Prinsip dasar Islam terkait dengan relasi kemanusiaan
adalah efek-efek yang ditimbulkan dari relasi itu mengenai hak dan
kewajiban orang tua-anak, maupun suami-istri.
Alquran telah menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah
tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman
dan bertabur kasih sayang untuk setiap anggota yang ada di dalamnya.
Atau keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah. Keluarga sakînah hanya
bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling
menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah pondasi dasar
sebuah keluarga.
“Dan dari tanda-tanda (keagungan)-Nya, Dia menciptakan untuk kamu
pasangan kamu, dari jenis yang sama dengan kamu, agar kamu bisa memperoleh
ketentraman di sisiNya, dan Dia menjadikan di antara kamu (pasangan-
pasangan) rasa saling cinta dan sayang. Sesungguhnya pada (semua) hal itu,
ada tanda-tanda (keagungan Tuhan) bagi orang-orang yang berfikir.” (Q.S. ar-
Rûm, 30:21).

Tujuan pernikahan yang demikian ini hanya mungkin terwujud


apabila relasi yang terbangun dalam kehidupan suami-istri adalah relasi
yang adil, yakni hubungan yang setara, tidak totaliter dan hegemonik,
masing-masing memiliki akses untuk mengontrol, serta dibangun pada
sikap saling percaya, saling pengertian, saling mengingatkan dan saling
memberi. Model relasi seperti inilah yang memungkinkan sebuah
pasangan suami-istri bisa mencapai tujuan-tujuan mulia dari
pernikahan.

74
Sampai pada tujuan ini, menggariskan beberapa prinsip dasar relasi
suami dan istri, di antaranya adalah ikatan pasangan (zawâj) yang
setara. Hubungan suami dan istri ibarat sepasang sayap dari seekor
burung. Jika sayap yang satu berhenti mengepak, maka terjatuhlah si
burung itu. Begitu juga dengan suami dan istri. Alquran sendiri
mengibaratkan hubungan suami dan istri laksana pakaian (libâs), yang
satu adalah pakaian bagi yang lain. Sebagaimana diketahui, pakaian
selain berfungsi memberikan perlindungan dari hal-hal yang tidak
dikehendaki, juga memberikan keindahan, kehangatan, dan menutupi
kerahasiaan dan kekurangan.
Pada ayat yang lain ditegaskan bahwa akad perkawinan adalah suatu
perjanjian yang kokoh (mîtsâqan ghalîdhan). Sebagai perjanjian yang
kokoh, maka siapapun tidak boleh mengingkari dan mengkhianati
terlepasnya ikatan tersebut. Alquran menegaskan agar suami dan istri
benar-benar memperlakukan pasangannya dengan baik (mu’âsyarah bi
al-ma’rûf), penuh cinta kasih, mengupayakan kerelaan (tarâdlin), dan
mengembangkan tradisi dialog atau musyawarah dalam mengelola dan
menyelesaikan segala masalah dalam rumah tangga.
Relasi suami dan istri yang demikian itu digambarkan oleh Allah
SWT melalui ayat-ayat berikut ini:
“Dihalalkan bagi kamu sekalian pada malam hari (bulan) puasa berhubungan
intim dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagi kamu sekalian, dan
kamu juga adalah pakaian bagi mereka”. (Q.S. al-Baqarah, 2: 187).
“Bagaimana kamu (tega) mengambilnya (harta istri dari mahar), padahal
di antara kamu sudah berhubungan intim, dan mereka (istri-istri) telah
menerimanya (mahar) dari kamu sekalian melalui perjanjian (pernikahan)
yang kokoh’’. (Q.S. an-Nisâ’, 4: 21).
“Dan apabila kamu semua menceraikan istri-istri kamu, maka janganlah
kamu halangi mereka untuk menikahi (orang-orang yang akan menjadi) suami-
suami mereka, apabila di antara mereka ada kerelaan dengan (komitmen untuk)
kebaikan. Yang demikian itu adalah nasihat bagi orang dari kamu sekalian,
yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih murni bagi
kamu dan lebih suci. Dan Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu sekalian
tidak mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah, 2: 232).

75
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mewarisi (dengan


menikahi) perempuan dengan cara paksa. Dan janganlah kamu halangi mereka
(untuk menikah dengan yang lain), dengan tujuan agar kamu bisa membawa
pergi sebagian dari (mahar atau nafakah) yang kamu berikan kepada mereka,
kecuali jika mereka melakukan kekejian yang jelas. Dan saling bergaulah
dengan mereka dengan kebaikan...” (Q.S. an-Nisâ’, 4: 19).
“....... Maka apabila mereka (ayah dan ibu, atau suami dan istri) menghendaki
(untuk) menyapih (anak mereka), dengan kerelaan mereka kedua-duanya, dan
atas dasar musyawarah, maka tidak ada dosa bagi mereka berdua (melakukan
hal itu).....” (Q.S. al-Baqarah, 2: 233).

Ayat-ayat ini sesungguhnya menegaskan bahwa perkawinan yang


dikehendaki adalah perkawinan yang kokoh, yang memenuhi ke-
butuhan pasangan masing-masing, saling melengkapi, saling berbagi,
dan saling memperlakukan dengan baik, demi terciptanya kasih sayang,
ketenteraman, dan kebahagiaan, baik antara suami dan istri, maupun
antara suami-istri dengan anak-anak dan anggota keluarga yang lain.
Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga,
maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena
kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi
pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi
yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang
oleh ajaran Islam.
Kehidupan berumah tangga memang tidak selamanya berjalan
mulus tanpa konflik, perbedaan atau perdebatan. Bahkan bisa jadi
perbedaan-perbedaan adalah bunga kehidupan berumah tangga, yang
semestinya tidak memunculkan duri yang melukai salah seorang
anggota keluarga. Sebaliknya ia harus dikelola untuk menemukan saling
pengertian terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Semangat saling pengertian yang meniscayakan tidak adanya kekuasaan
yang dominan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Kekuasaan yang
menempatkan satu pihak bisa mendidik, menyalahkan, mengadili
bahkan menghakimi terhadap pihak lain yang selamanya harus menjadi
obyek untuk dididik, disalahkan dan dihakimi. Kekuasaan yang seperti
ini pasti akan melahirkan kekerasan yang menistakan.

76
Kita bisa mengambil teladan dari keluarga Rasulullah SAW
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-
Ahzab, 33: 21). Sejarah rumah tangga Nabi SAW juga menggambarkan
adanya situasi perbedaan dan perdebatan suami istri. Tetapi perbedaan
ini sama sekali tidak melahirkan kekerasan. Konflik yang sekeras
apapun, Nabi SAW tidak pernah menggunakan media kekerasan untuk
mengembalikan pada kebersamaan kehidupan berumah tangga.
Beberapa ayat dalam surat al-Ahzab dan surat at-Tahrim merekam
perdebatan yang pernah terjadi dalam kehidupan rumah tangga Nabi
SAW, lebih khusus antara Aisyah ra dan Hafsah ra sebagai istri di satu
sisi, dengan Nabi SAW sebagai suami. Puncak dari pertengkaran –atau
lebih tepatnya perbedaan- ini, Nabi SAW bersumpah untuk tidak
berkumpul bersama mereka selama satu bulan. Nabi SAW meninggalkan
istri dan tidur di dalam masjid selama dua puluh sembilan hari. Ketika
pulang dan memasuki kamar Aisyah ra, Nabi SAW disambut dengan
kata-kata: “Sumpah kamu kan satu bulan, ini baru dua puluh sembilan
hari sudah pulang”. Nabi SAW tidak marah, cukup menjawab: “Satu
bulan itu bisa dua puluh sembilan hari”. “Oh.... ya”, jawab Aisyah ra. Nabi
SAW kemudian masuk rumah dan pada akhirnya memberi pilihan
kepada mereka, untuk tetap hidup bersama Nabi SAW dengan segala
kelebihan dan kekurangan, atau berpisah agar bisa memperoleh apa
yang mereka inginkan.
“Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, jika kalian menginginkan
kehidupan dunia dan kenikmatannya, mari aku berikan kesenangan itu dan
kita berpisah dengan baik. Tetapi jika kalian menginginkan Allah, Rasul-Nya
dan hari akhirat nanti, maka sesungguhnya Allah telah mempersiapkan pahala
yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik dari kalian”. (QS. Al-Ahzab, 33:
28-29).
Kisah konflik dalam keluarga Nabi SAW tersebut terekam dalam
beberapa riwayat hadis, diantaranya yang diriwayatkan Ibn Abbas ra,
bahwa ia mendatangi Umar bin Khattab ra yang menceritakan:

77
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“Demi Allah, kami pada masa Jahiliyah tidak pernah memperhitungkan


perempuan. Kemudian Allah menurunkan beberapa ayat tentang mereka,
dan memberikan hak kepada mereka. Suatu saat kami sedang berpikir untuk
melakukan sesuatu, tiba-tiba istriku mengusulkan: “Kerjakan saja yang lain, ini
atau itu”.
Saya berkata kepadanya: “Apa hakmu berbicara dalam hal ini, tidak usah
ikut campur pada urusanku”. Istriku menjawab: “Aneh kamu ini, wahai anak
al-Khattab, kamu tidak rela dibantah istrimu sendiri, padahal anakmu Hafsah
istri Nabi SAW sering memberi masukan dan membantah tawaran Nabi SAW,
hingga pernah suatu ketika Nabi SAW marah seharian penuh”.
Mendengar berita itu, Umar bergegas menemui Hafsah: “Puteriku, benarkah
kamu sering membantah tawaran Rasulullah SAW hingga beliau pernah marah
seharian?
“Kami, para istri, biasa melakukan itu”, kata Hafsah.
“Aku peringatkan kamu, semestinya kamu takut akan siksa Allah SWT
dan kemarahan Rasul-Nya. Janganlah karena cemburu terhadap salah satu
istri yang tercantik, lalu membuat kamu berani melakukan hal itu terhadap
Rasulullah”.
Kemudian aku –kata Umar ra- keluar dari rumah Hafsah ra, dan
mendatangi rumah Umm Salamah ra, salah seorang istri lain dari Nabi SAW,
karena hubungan kerabatku dengannya. Aku ceritakan perihal perilaku buruk
anakku Hafsah terhadap Nabi SAW, dan kemarahanku kepadanya. Tetapi
Umm Salamah ra menjawab penuh heran:
“Aneh kamu ini, wahai anak al-Khattab, kamu mau mencampuri segala urusan
orang lain, hingga urusan Rasulullah dan keluargapun kamu campuri”.
Aku keluar dari rumah Umm Salamah ra dengan penuh malu. Ia telah
mematahkan semangatku untuk ikut mencampuri urusan ini”. (Riwayat
Bukhari Muslim, lihat teks lengkap dalam Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, II/481-
482, no. hadis 854).

Nabi SAW menghadapi beberapa perilaku para istri yang tidak sesuai
dengan keinginan beliau, dengan penuh bijaksana. Bahkan memberi
kesempatan kepada mereka untuk berpikir, merenung dan menentukan
sikap dan pilihan. Nabi SAW tidak marah dengan mengeluarkan kata-

78
kata serapah, busuk dan kotor, apalagi melakukan pemukulan dan
kekerasan. Nabi SAW cukup mulia untuk melakukan itu semua. Pada
puncaknya, Nabi SAW hanya keluar dari rumah meninggalkan mereka
dan duduk tinggal di dalam masjid. Bahkan jika perlu, selama satu
bulan penuh meninggalkan mereka. Ini adalah model pendidikan yang
diterapkan Nabi SAW kepada para istri. Sebuah cara pergaulan yang
memanusiakan perempuan.
Sikap yang memanusiakan antar pasangan, suami dan istri, maupun
orang tua terhadap anak, akan menjadi basis perspektif keagamaan
untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Sikap inilah
yang akan mengawali segala upaya setiap anggota keluarga, untuk
mewujudkan kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan
kebahagiaan. Sikap yang berakar pada ajaran inti tauhid ini, pada
gilirannya akan menjadi pondasi segala rumusan hukum Islam (fiqh)
yang membebaskan manusia, terutama perempuan, dari segala bentuk
kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Ijtihad Fiqh Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga
Hukum Islam yang hidup dalam kesadaran masyarakat muslim di
dunia ini, termasuk yang telah menjadi hukum positif dalam perundang-
undangan yang berlaku di negara-negara muslim, sebenarnya adalah
fiqh. Sebagian besar dari pandangan-pandangan fiqh ini berasal dari
pandangan ijtihad empat madzhab terbesar; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Fiqh berasal dari akar f-q-h, yang berarti faham atau tahu. Ibn
Manzhûr dalam Lisân al-‘Arab menyatakan bahwa kata al-fiqhu berarti
pengetahuan terhadap sesuatu atau pemahaman terhadap sesuatu,
kemudian menjadi istilah secara khusus untuk ilmu-ilmu keagamaan,
dan lebih khusus lagi untuk ilmu-ilmu hukum yang terkait dengan
kasus-kasus parsial. (Ibn Manzur, tt: juz XII, hal. 522).
Secara terminologis, fiqh didefinisikan dengan berbagai ungkapan
dan pernyataan. Tetapi secara umum definisi ini menyangkut empat
kata kunci yang menjadi dasar, yaitu; ilmu—hukum syari’ah—perbuatan
manusia—hasil ijtihad—dari dalîl tafshîlî. Pembahasan dalam ilmu

79
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

ushul fiqh, dibedakan antara al-adillah at-tafshiyyah dari al-adillah al-


ijmâliyyah. Yang pertama merujuk pada teks-teks dari Alquran maupun
Hadis yang menjadi dasar hukum dari kasus-kasus parsial; seperti
hukum shalat lima waktu adalah wajib didasarkan pada dalîl wa aqîmû
ash-shalâh/dirikanlah sembahyang. Ayat Alquran ini disebut sebagai
dalîl tafshîlî dari kasus wajibnya hukum shalat lima waktu. Sementara
yang kedua, atau al-adillah al-ijmâliyyah, merujuk pada rumusan-
rumusan metodologis yang didasarkan pada sejumlah ayat-ayat Alquran
dan teks-teks hadis. Rumusan ini kemudian dianggap sebagai pola atau
aksioma (al-qâ’idah) dalam memaknai maksud hukum dari teks-teks
tersebut. Seperti kaidah bahwa redaksi perintah harus dimaknai sebagai
hukum wajib (al-ashlu f î al-amri lil-wujûb). Aksioma ini menjadi dasar
untuk memaknai ayat wa aqîmû ash-shalâh dimaksudkan untuk
mewajibkan hukum bersembahyang. Dengan demikian, dalîl tafshîlî
bisa diartikan sebagai teks-teks sumber hukum yang kasuistis. Se-
mentara dalîl ijmâlî merupakan dasar-dasar metodologis.
Definisi fiqh yang bisa dianggap representatif adalah: “Ilmu yang
membahas mengenai hukum-hukum syari’at menyangkut perbuatan-
perbuatan manusia, yang dipahami dari teks-teks syar’îy yang kasuistis
(tafshîlî)”. (Muhammad ad-Dasuqi dan Aminah al-Jabir, 1990: hal. 13-
22). Definisi ini bisa disimpulkan sedikit beberapa karakter dasar fiqh,
seperti disebutkan Wahbah az-Zuahilî (1999: juz I, hal. 18-25), yaitu;
• Merujuk kepada wahyu Allah SWT (syari’at).
• Mencakup seluruh persoalan kehidupan; baik yang terkait antara
relasi manusia dengan Allah SWT, maupun antara manusia
dengan manusia yang bersifat privat maupun publik.
• Keterkaitan fiqh dengan nilai-nilai moral dan keluruhan.
• Konsekuensi hukum fiqh tidak hanya terhenti sebagai hukum
positif di dunia, tetapi juga menjadi kekuatan moral spiritual
yang bisa dituntut kelak di kehidupan akhirat.
• Memiliki prinsip yang permanen, tetapi banyak mengakomodasi
fleksibilitas kemaslahatan umat manusia pada tataran praktik
dan ketika berhadapan dengan realitas, selama masih
berkesesuaian dengan prinsip-prinsip yang permanen itu.

80
Perlu didiskusikan di sini adalah keterkaitan fiqh dengan realitas
kehidupan yang berkembang. Secara konseptual fiqh telah mengenal
metode ‘interaksi’ dengan realitas (ta’âmul ma’a al-wâqi’), seperti
tercantum dalam kaedah-kaedahnya; al-‘âdah muhakkamah (men-
daulatkan adat kebiasan), atau kaidah al-ma’rûf ‘urfan kal-masyruthi
syarthan (apa yang sudah menjadi adat kebiasaan, memiliki kekuatan
hukum, sama seperti apa yang sudah tertulis –disyaratkan- dalam
kontrak), atau kaedah yang cukup terkenal taghayyur al-ahkâm bi
taghayyur al-azmân (hukum bisa berubah mengikut perubahan zaman),
Ats-tsâbit bi al-‘urfi tsâbitun bi-dalilin syar’iyy (Apa yang ditetapkan
oleh kebiasaan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan apa yang
ditetapkan oleh teks agama), atau isti’mal an-nâs hujjatun yajibu al-‘amal
bihâ (Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus
diikuti). Kaedah-kaedah seperti ini masuk dalam ‘Konsep Adat’
(Nazariyyat al-‘Urf) dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Dari kaedah-kaedah
ini bisa disimpulkan bahwa fiqh telah mengakui perujukan terhadap adat
kebiasaan yang berlaku. (lihat: Wahbah az-Zuhaily, 1993).
Seperti yang telah ditegaskan bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad
ulama mengenai status hukum syari’at atas perbuatan-perbuatan
manusia, di mana ijtihad hukum ini digali dari teks-teks syar’îy yang
terkait langsung (tafshîlî). Ijtihad ini menjadi sebuah keniscayaan untuk
menjawab berbagai persoalan realitas yang terus berkembang, sementara
teks-teks sumber sudah berhenti sejak kewafatan Rasulullah SAW. Ibn
Rushd (1995: juz I, hal. 3) mengatakan, realitas masyarakat itu tidak
akan pernah terhenti dan tidak terbatas, sementara teks-teks itu sudah
berhenti dan terbatas. Sesuatu yang terbatas tidak mungkin bisa
mencakup persoalan-persoalan yang tidak akan terhenti dan tidak
terbatas. Karena itu, persoalan-persoalan realitas ini perlu dijawab
dengan cara ijtihad-ijtihad hukum yang dilakukan para ulama fiqh,
seperti yang telah dilakukan sejak pada masa sahabat sampai masa
sekarang ini. Asy-Syahrastani juga mengatakan hal yang sama:

81
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“Secara umum, kita mengetahui dengan pasti dan yakin bahwa berbagai
peristiwa dan kasus-kasus; baik dalam masalah ibadah maupun masalah
kehidupan (interaksi sosial) tidak terhitung dan tidak terbatas. Kita juga
mengetahui dengan pasti, bahwa tidak semua kejadian (atau permasalahan)
terdapat penjelasannya dalam teks (Alquran maupun Hadis). Memang hal
ini tidak mungkin. Karena teks-teks itu sesungguhnya terbatas, sementara
kejadian-kejadian tidak akan pernah terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas
tidak akan mampu dicakup oleh sesuatu yang terbatas. Karena itu, kita sangat
yakin bahwa ijtihad atau qiyas hukumnya wajib”. (Asy-Syahrastâni, 1992: juz I,
hal. 210).

Karena keterikatannya dengan realitas; baik yang dihadapi seorang


mujtahid yang melakukan penggalian hukum maupun realitas
masyarakat sekitar yang menuntut jawaban hukum, maka fiqh tidak
bisa dikatakan jauh atau berada di atas realitas. Fiqh justru lahir, hidup
dan bergelut bersama realitas, tetapi dengan panduan dan dasar-dasar
dari teks-teks (an-nushûsh); yaitu Alquran dan Hadis. Karena itu, fiqh
bisa bersifat fleksibel untuk menjawab kasus yang berbeda-beda,
bahkan bisa jadi hanya untuk suatu kasus tertentu saja yang tidak bisa
dipaksakan pada kasus lain di tempat dan atau waktu yang berbeda.
Posisi fiqh yang lebih pasti lagi, selama peradaban Islam ini telah
melahirkan berbagai madzhab, pandangan dan pendapat-pendapat
yang beragam bahkan berbeda dan bertentangan antara satu dengan
yang lain. Ragam pandangan ini merupakan sebuah keniscayaan dari
adanya ragam realitas yang hadir dalam kehidupan nyata, dan me-
rupakan kekayaan intelektual yang sangat bermanfaat dan bisa saja
menjadi jalan keluar bagi generasi berikutnya, yang menghadapi realitas
yang lebih nyata dari apa yang terjadi sebelumnya.
Contoh paling nyata dari ragam pandangan fiqh adalah adanya
madzhab-madzhab dalam fiqh yang berkembang sepanjang sejarah
peradaban Islam. Saat ini, yang populer yang menjadi rujukan mayoritas
umat Islam di dunia adalah empat madzhab; Madzhab Hanafi yang
merujuk pada Imam Abu Hanifah (w. 150H/767M), Madzhab Maliki
yang merujuk pada Imam Malik bin Anas (w. 179H/795M), Madzhab

82
Syafi’i yang merujuk pada Imam Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i (w.
204H/820M) dan Madzhab Hanbali yang merujuk pada Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241H/855M). Di samping banyak lagi madzhab-madzhab
fiqh yang lain, yang juga dikenal saat ini adalah Madzhab Ja’farî yang
merujuk pada Imam Ja’far ash-Shâdiq, Madzhab Zhâhiri yang merujuk
pada Imam Dâwud bin Khalaf azh-Zhâhirî (w. 270H/884M) .
Ragam madzhab dan pandangan ini terjadi karena fiqh adalah
pemahaman; baik ketika menggali hukum dari sumber-sumbernya atau
ketika menerapkannya dalam aras realitas. Pemahaman ini muncul dan
lahir sebagai proses pelayanan terhadap sumber-sumber hukum
(Alquran dan Hadis). Tujuannya, untuk mempertegas kesesuaian antara
maksud yang diinginkan oleh sang ‘Pembicara’ teks (al-mutakallim),
makna menurut sang penerima teks (al-mutalaqqî) dan konstruksi
bahasa yang digunakannya (al-uslûb al-lughawî). Karena itu, Ibn al-
Qayyim (w. 751H) menyatakan: “Fiqh itu lebih dalam dari sekedar
pemahaman terhadap makna, ia merupakan pemahaman terhadap
keinginan sang ‘Pembicara’ dari susunan kalimatnya. Ini tentu memiliki
kadar yang lebih dari sekedar konstruksi lafal dalam ilmu bahasa.
Perbedaan manusia dalam mencerna hal ini, akan mengakibatkan
perbedaan mereka dalam hal fiqh dan pemahaman terhadap agama”.
Karena itu, sekalipun ulama sepakat bahwa rujukan utama fiqh
adalah teks-teks, tetapi dalam tataran nalar kognitif (ijtihâd istinbâthi)
dan nalar implementatif (ijtihâd tathbîqiy) mereka berbeda pendapat.
Perbedaan ini secara jujur diakui oleh mereka, sehingga klaim kebe-
naran tidak mendominasi perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara
mereka. Perbedaan-perbedaan dari mereka ini bisa dikatakan fiqh
adalah pilihan pandangan-pandangan, yang dalam satu persoalan bisa
terjadi kontradiksi antara satu pandangan dengan pandangan yang lain.
Kontradiksi ini tentu saja tidak terjadi pada substansi teks, tetapi pada
pemahaman-pemahaman terhadap teks, yang bisa karena literal teks
dan bisa –ini yang terbanyak- karena perbedaan kondisi realitas-realitas,
baik yang melatari teks, maupun yang mengitari pembaca teks itu
sendiri.

83
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Persoalan ibadah, yang dalam fiqh dianggap sesuatu yang harus


diterima apa adanya (tawaqquf), tidak perlu dirasionalisasikan (ghair
ma’qûl al-ma’na), ulama berbeda pendapat terutama pada hal-hal
penjelasan yang rinci dan wilayah penerapan. Karena setelah selesai
turun dan Nabi Muhammad SAW wafat, semua itu hanya berkisar pada
fiqh, atau pemahaman, yang memiliki keterbatasan-keterbatasan, baik
pada realitas pembaca, masyarakat maupun teks itu sendiri. Tentu saja
untuk tema-tema yang terkait dengan persoalan kemasyarakatan (fiqh
al-mu’âmalat) akan lebih terbuka kepada perdebatan dan perbedaan.
Pertama, karena teks yang ada tidak lebih banyak dari teks yang terkait
dengan fiqh ibadah. Kedua, karena ia selalu bersentuhan dengan realitas
kemanusiaan yang selalu berkembang dan jauh lebih kompleks daripada
persoalan ibadah. Fiqh mu’amalat banyak bergumul bersama realitas,
yang dari pergumulan ini lahir berbagai pandangan yang bisa menjadi
alternatif di kemudian hari, sekaligus menandakan fleksibilitas fiqh
sehingga tidak hanya terhenti pada pandangan masa sebelumnya
semata. Setiap generasi dituntut untuk melahirkan gagasan dan
pandangan yang sesuai dan bisa menyelesaikan persoalan zamannya.
Karena keterkaitan fiqh dengan realitas ini, kita bisa memaklumi
banyak pandangan fiqh yang membolehkan kekerasan terhadap istri,
dengan alasan sebagai pendidikan atau alasan hak suami atas istri. Ini
tentu saja pengaruh dari konstruksi sosial masyarakat yang hidup
mengitari hasil ijtihad fiqh pada saat itu. Mulai dari yang paling ekstrim,
yang membolehkan pemukulan dengan benda-benda tertentu, hingga
pendapat mengenai pemukulan sederhana sekedar menunjukkan
kekuasaan suami atas istri. Syekh Nawawi, Muhammad bin Umar an-
Nawawi al-Bantani (1314H/1897M), misalnya mendaftar beberapa alasan
yang memperkenankan suami memukul istri, yaitu jika istri tidak mau
berhias padahal suami menghendaki, tidak memenuhi ajakan suami
untuk berhubungan intim, keluar rumah tanpa izin suami, memukul
anak kecil yang sedang menangis, merobek baju suami, memegang
janggut suami, mengatakan ucapan ‘keledai’ atau ‘bodoh’ ke hadapan
suami sekalipun karena dihardik suami, memperlihatkan muka kepada
orang lain, berbicara dengan orang yang bukan mahram, atau berbicara
dengan suami dengan suara lantang agar terdengar orang lain, atau jika

84
istri memberikan kepada orang lain dari rumah suami, sesuatu yang
semestinya harus disimpan dan dirawat.
Memang mayoritas ulama, termasuk Syekh Nawawi Banten,
menentukan bahwa yang diizinkan adalah pukulan yang terbatas dan
terukur. Dalam bahasa fiqh, adalah pukulan yang tidak melukai
(dharban ghairu mubarrih). Beberapa ulama juga melarang memukul
beberapa anggota tubuh, seperti wajah, tulang dan alat-alat vital. Dalam
tafsir Jami’ul al-Bayan, karya Imam ath-Thabari (w. 310H), banyak ulama
yang mendeskripsikan pukulan yang terukur, yaitu pukulan dengan
siwak atau kayu pembersih gigi. Tetapi pemberian peluang kepada
suami untuk memukul istri, pada praktiknya sering disalahgunakan
dan banyak yang terjadi berlebihan, dengan mengatasnamakan agama.
Masyarakat pun berdalih untuk tidak terlibat pada kasus keluarga,
sekalipun sudah melampaui batas. Seperti pada kasus-kasus di atas.
Penafsiran sendiri, beberapa ulama memperkenankan pemukulan
yang berlebihan, bahkan yang menistakan sekalipun. Misalnya, dalam
sebuah tafsir yang ditulis Abu Hayyan al-Andalussi (w. 745 H) al-Bahr
al-Muhith, dinyatakan bahwa:
“(Dalam menghadapi istri yang nusyuz), seorang suami mengawali dengan
nasihat yang lembut, jika tidak bermanfaat maka bisa dengan kata-kata kasar,
kemudian meninggalkan ranjang dan tidak menggaulinya, kemudian dengan
berpaling dari istri sepenuhnya, kemudian bisa memukul dengan ringan;
seperti tempeleng atau cara lain yang membuatnya merasa terhina dan jatuh
martabatnya, kemudian bisa memukul dengan cambuk atau galah lembu atau
sejenisnya yang bisa membuatnya sakit dan jera, tetapi tidak boleh mematahkan
tulang atau mengucurkan darah. Jika semua itu tidak membuahkan hasil, suami
bisa mengikat sang istri ke suatu tempat dengan tali, lalu dipaksa melayani
hubungan intim. Karena semua itu adalah hak suami”. (al-Andalusi, al-Bahr
al-Muhith, juz III, hal. 252).
Secara realita, sekalipun mayoritas ulama memberikan aturan
pemukulan, tetapi banyak sekali kasus-kasus yang melampau batas-
batas yang telah digariskan. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang
mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam, seperti kasus-kasus yang
telah disebutkan di atas. Beberapa ulama di Saudi Arabia, misalnya, dan

85
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

tentu di belahan bumi lain, masih banyak yang menyatakan bahwa


pemukulan suami terhadap istri merupakan media pendidikan yang
sesuai bagi laki-laki terhadap perempuan. Sementara pendidikan
perempuan terhadap laki-laki, atau suami, adalah dengan cara menangis
di hadapan laki-laki. Laki-laki harus tegas dalam mendidik, sementara
perempuan harus menggunakan kekuatan-kekuatan emosi. Fatwa yang
seperti ini, tentu saja akan melanggengkan kekerasan yang terus
menerus menimpa perempuan dan menjalar ke anak-anak.
Pada konteks sekarang ini, kita harus menolak pandangan-
pandangan yang membolehkan pemukulan terhadap istri. Sebaliknya,
kita harus memilih pandangan yang lebih sesuai dengan ajaran tauhid,
prinsip kemanusiaan dan prinsip kasih sayang, yaitu sesuatu yang asasi
dalam Islam itu sendiri. Pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya,
adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga
sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan .
Kita sebenarnya memiliki pandangan yang lebih tegas dalam hal ini.
Pandangan yang secara jelas menyatakan bahwa pemukulan terhadap
istri pada dasarnya adalah makruh. Pandangan ini dinyatakan Imam
Atha’ (w. 126 H/744 M), seorang tabi’in yang berguru langsung kepada
para sahabat Nabi SAW Ibn ‘Arabi, seorang ulama besar dari Mazhab
Maliki, mengutip pandangan ini dalam tafsirnya Ahkâm Alquran:
“Ini pandangan fiqh Imam ‘Atha’, dengan pemahamannya yang dalam
terhadap syari’ah dan ketekunannya menggeluti soal-soal ijtihad, dia meyakini
bahwa redaksi ‘pukullah’ pada ayat ini adalah hanya menunjukan kebolehan
saja. Tetapi dia sendiri memilih menyatakan (bahwa memukul itu hukumnya)
makruh, dengan argumentasi lain. Yaitu hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan
Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku tidak
senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah,
padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi,
juz I, hal. 420).
Imam ‘Atha’ paham betul ada ayat Alquran dalam surat an-Nisa, ayat
ke-34, yang membolehkan suami memukul istri, ketika dianggap
nusyuz. “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan

86
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa, 4: 34).
Tetapi kebolehan ini tidak bersifat mutlak. Ia diikat dengan berbagai
perintah pada ayat-ayat lain, dan teladan Nabi SAW yaitu ayat perintah
mengenai berbuat baik, penghormatan terhadap istri dan larangan
menciderai istri. Teladan Nabi SAW, juga seperti disebutkan di
pembahasan di atas, menegaskan betapa konflik dalam keluarga Nabi
SAW tidak pernah dan tidak perlu diselesaikan dengan media
pemukulan. Beberapa pernyataan Nabi SAW, juga dengan tegas
menyatakan larangan pemukulan terhadap istri. Pernyataan lain:
“Mereka suami yang suka memukul istri bukanlah orang-orang yang
terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Secara faktual posisi perempuan paling
rentan mendapatkan perlakuan yang subordinatif untuk selalu
mengikuti “perintah” suami dengan menggunakan dalil nusyuz ketika
tidak mengikuti “perintahnya”. Padahal, tidak sedikit data pengaduan
ke Komnas Perempuan menggambarkan terjadinya pelanggaran atas
martabat kemanusiaan ketika “perintah” suami dijalankan misalnya
istri atau anak diperdagangkan (trafiking) demi keberlangsungan
kehidupan ekonomi keluarga. Oleh karena itu hakim perlu memper-
timbangkan dalam keputusan persidangan untuk mendapatkan
keterangan dari istri dan keluarga sebelum memutuskan adanya unsur
nusyuz bagi istri. Hal lain bahwa sebenarnya nusyuz juga bisa terjadi
ketika suami melakukan pembiaran dan tidak membangun relasi yang
setara dengan istri dalam memutuskan kepentingan perkawinan dan
keluarga, misalnya suami tetap berkehendak memiliki 5 orang anak
dalam keluarga padahal kondisi si istri sangat rentan dalam kesehatan
reproduksinya dengan cara menghalang-halangi upaya istri melakukan
pencegahan kehamilan.
Riwayat Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah, bahwa kakeknya bertanya
kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, apa hak istri kita, dan apa yang
boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan?
Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli istrimu bagaimanapun kamu
suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya
pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh di depan wajah

87
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

dan jangan memukulnya”. (Riwayat Abu Dawud, lihat: Ibn al-Atsir,


VII/329, no. hadis: 4717).
Riwayat lain, dalam hadis Bukhari, Muslim dan Turmudzi, dari
‘Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
sekali-kali seseorang di antara kamu memukul istrinya, layaknya
seorang hamba saja, padahal di penghujung hari ia mungkin akan
menggaulinya”. (lihat: Ibn al-Atsir, VII/329, no. hadis: 4718).
Semestinya tidak ada seorangpun berhak melakukan kekerasan
terhadap perempuan, seperti pemukulan, dengan alasan pendidikan.
Apalagi dengan mendasarkan pada tuntutan, anjuran atau kewenangan
yang diberikan agama. Kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan
perilaku, nasihat dan peringatan Nabi SAW bahwa pemukulan, atau
segala bentuk perilaku kekerasan terhadap istri, bukan merupakan
bentuk pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) seperti diperintahkan
Alquran, tidak sesuai dengan anjuran penghormatan terhadap
perempuan (ma akramahunna illa karim) dan bentuk pelanggaran
terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap perempuan
(ishtaushu bin nisâi khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul
istri, dicap Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa
ulaika bikhiyarikum). Memukul istri, apapun alasannya, adalah
bertentangan dengan anjuran, harapan dan perilaku sehari-hari Nabi
SAW terhadap para istri.
Nabi SAW sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai
perbedaan dan perlakuan dari istri beliau. Bahkan memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan mereka,
memberikan masukan dan menentukan pilihan yang sesuai dengan
harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan,
menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor. Mungkin beberapa
orang dari umat Islam kecewa melihat perilaku Aisyah ra atau Hafsah ra
yang pernah menggugat Nabi SAW, memalukan bahkan memboikot
untuk tidak berhubungan intim selama dua bulan. Diantara mereka ada
yang mencap Aisyah ra kafir, atau fasiq, atau paling tidak dianggap
perempuan yang emosional, penuh rasa cemburu, sombong dan karena
umurnya yang masih muda kurang pertimbangan yang matang.
Sebagian memahami sebagai ijtihad Aisyah ra, yang jika benar

88
memperoleh dua pahala, jika salah akan memperoleh satu pahala. Lebih
dari itu, ada yang berpendapat bahwa keberanian Aisyah ra terhadap
Nabi SAW adalah cermin dari keberhasilan Nabi SAW mengangkat
harkat dan mendidik kemandirian perempuan. Perempuan, seperti
dikatakan Umar ra, pada masa itu tidak memiliki tempat sama sekali.
Mereka tidak pernah diperhitungkan, tidak pernah diajak bicara, dan
kalaupun berbicara tidak akan diterima. Umar ra sendiri, seperti
dikatakanya masih tidak suka melihat istrinya membantah apa yang
dikatakannya. Tetapi menanamkan kesadaran revolusioner untuk
membuat perempuan menjadi manusia mandiri, yang dihargai dan
dihormati kemanusiaannya. Nabi SAW lebih memilih menegosiasikan
kesepakatan keluarga dengan istri-istri mereka, dan memberikan hak
sepenuhnya untuk memberikan pilihan terhadap apa yang mereka
inginkan. Nabi SAW menerima untuk digugat, dipermalukan, bahkan
diboikot, sebagai proses pendidikan kemandirian perempuan untuk
menentukan pilihan mereka.
Nabi SAW dalam proses ini, tidak pernah menggunakan media
kekerasan, kata-kata penghinaan, ucapan kotor, apalagi pemukulan.
Mungkin Nabi SAW terkadang membiarkan mereka yang melakukan
pemukulan, beberapa sahabat juga melakukan, atau para ulama sendiri
memperkenankan dengan batasan-batasan tertentu. Ini semua harus
dipahami sebagai proses pelarangan yang bertahap, yang tidak bisa
serta merta karena kondisi sosial yang belum memungkinkan. Tetapi
secara prinsip, kekerasan dan pelecehan tidak diperkenankan dalam
Islam. Ia bisa diperkenankan ketika nyata memberikan dampak positif
pada proses pendidikan (lil ishlâh bainahumâ). Ketika ia tidak
memberikan dampak positif, maka ia kembali pada hukum semula
haram. Nabi SAW sendiri tidak menganjurkan dan tidak melakukannya
sepanjang hidup beliau. Orang-orang yang menjadikan Nabi SAW
sebagai teladan (uswah hasanah), semestinya tidak pernah berpikir
untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi SAW
lakukan, tidak memperkenankan siapapun untuk memukul perempuan
seperti yang juga Nabi SAW tidak pernah membolehkan, apalagi
menganjurkan pemukulan dengan mengatasnamakan agama, karena
justru Nabi SAW menganggap mereka yang memukul perempuan

89
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

sebagai orang yang tidak bermoral baik. Seperti yang dikatakan Imam
Ali bin Abi Thalib ra: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan
perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.
Atas berbagai pertimbangan di atas, pandangan fiqh pada saat
sekarang ini seharusnya memilih dan menegaskan ijtihad yang telah
dikumandangkan Imam Atha pada abad pertama hijriah. Demikianlah
yang dilakukan ulama terkemuka dari Maroko, syaikh Muhammad
Thahir Ibn ‘Asyur (w. 1393H/1973M). Dia menyatakan bahwa wewenang
“memukul istri” diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan
rumah tangga. Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk
memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, seperti yang terjadi
pada saat-saat sekarang ini, maka wewenang itu bisa dicabut. Bahkan,
pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum
mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan
hubungan suami-istri. Ada banyak cara yang lebih manusiawi untuk
memulihkan hubungan suami-istri, yang tidak menistakan
perempuan.
“Jika para penguasa [pemerintah] menjumpai para suami tidak lagi
bisa menempatkan hukuman syari’ah secara benar dan pada tempatnya,
dan tidak bisa berhenti pada batasan-batasannya yang telah ditentukan,
maka pemerintah boleh mencabut hak penghukuman dari tangan
mereka. Dan pemerintah juga memberitahukan pada para suami itu,
bahwa orang yang memukul istrinya, justru akan diberi sanksi. Agar
kekerasan antara suami dan istri tidak menjadi semakin besar, apalagi
ketika ‘spirit keimanan’ sudah melemah.” (Ismail Hasani, 1999: hal.
210).
“Sebenarnya sumber pemukulan terhadap istri adalah kemaksiatan
dan kebencian, dan hal semacam ini merupakan tradisi yang berlaku di
kalangan bangsa Arab. Oleh karenanya, tidak benar menjadikan tradisi
seperti ini sebagai dalîl (dasar) bagi kebolehan seorang suami memukul
istrinya. Karena peraturan seperti ini memperhatikan (mempertim-
bangkan) tradisi masyarakat Arab ketika itu, sebagaimana memper-
hatikan pula perbedaan tradisi bangsa lainnya.” (Ismail Hasani, 1999:
207).

90
Ini adalah salah satu pandangan ijtihad fiqh yang terekam dalam
khazanah fiqh Islam. Pandangan yang bisa kita pilih untuk menegaskan
prinsip Islam yang anti terhadap segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga. Tentu saja masih banyak rumusan fiqh yang diperlukan untuk
memastikan prinsip-prinsip pernikahan yang sakinah dan mawaddah,
sebagaimana sudah ditegaskan pada pembahasan sebelumnya. Karena
persoalan KDRT tidak hanya persoalan pemukulan dan kekerasan fisik.
Tetapi lebih dari itu, adalah persoalan ketimpangan relasi dan
perendahan terhadap martabat kemanusiaan perempuan. Sejak pertama
kali perempuan diikat dalam akad pernikahan, sampai ketika menjadi
ibu atas anak-anak yang dilahirkannya.
Kita harus memastikan, pandangan-pandangan fiqh yang kita
ajarkan haruslah yang mengakar pada prinsip ketauhidan, kesederajatan
dan anti terhadap segala jenis kekerasan. Dalam hal perkawinan, fiqh
harus menegaskan bahwa lembaga perkawinan dalam Islam bukan
lembaga perbudakan, yang meleburkan jati diri seseorang ke dalam jati
diri pasangannya. Setiap pasangan tetap memiliki hak kemandiriannya
untuk menjadi diri sendiri. Kemandirian ini dipertemukan antara dua
diri untuk menjadi kekuatan yang utuh dalam menghadapi tantangan
hidup. Dalam bahasa, istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah
pakaian bagi sang istri (QS. Al-Baqarah, 2: 187). Guna menjamin
kemandirian dan kebersamaan ini, ada beberapa prinsip yang harus
dijadikan dasar seperti yang tertulis dalam beberapa ayat Alquran [1]
kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS.
Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab [al-amânah] (QS. An-Nisa,
4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-
Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun
kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-
mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik
antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembuk
untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233,
Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38).

91
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Melalui prinsip-prinsip ini, perempuan seharusnya memperoleh


jaminan untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, apalagi menjadi
obyek kekerasan dalam relasi perkawinan. Pada persoalan pilihan
pasangan misalnya, perempuan harus diberi kesempatan untuk memilih
dan menentukan. Ketika dipaksa menikah, pernikahannya harus
dibatalkan atau ia diberi kesempatan untuk menentukan; meneruskan
atau membatalkan pernikahan tersebut. Dengan pemahaman ini, kawin
paksa atau perjodohan, seharusnya dihentikan. Kalau kita mau
mengambil pelajaran dari dialog yang terjadi antara seorang anak
perempuan, ayahnya dan Nabi Muhammad SAW, semestinya praktik
kawin paksa terhadap perempuan tidak terjadi dalam masyarakat yang
mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW Seribu empat ratus
tahun yang lalu, seorang perempuan mengemukakan pernyataan yang
sangat lantang di hadapan Nabi SAW dan para sahabat: “Aku lebih
berhak tentang perkawinan diriku daripada ayahku”.
Kisahnya, seperti yang dituturkan Aisyah ra, bahwa ada seorang
remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata:
“Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status
sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah,
sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah.
Ketika Rasulullah SAW datang, langsung diungkapkan di hadapan
beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si
perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan
persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di
hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas):
“Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin
memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan:
bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas
persoalan (pernikahan) ini”. (Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no.
hadis: 8974, juz XII, hal. 142).
Melalui hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud
dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa
binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi
mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau

92
dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu
Salamah, Nabi SAW menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang
berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”.
Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu
Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak
bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf
az-Zayla’i, Nashb ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, 2002: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, juz III, hal. 232).
Seharusnya fiqh memandang perempuan, sebagai calon mempelai,
memiliki hak lebih kuat daripada kedua orang tuanya. Kedua orang tua,
apalagi saudara yang lebih jauh, tidak berhak untuk memaksakan
kehendak dalam hal pemilihan pasangan hidup. Pemaksaan tidak akan
pernah melahirkan kerelaan, ketulusan, apalagi kebahagiaan, sekalipun
untuk hal-hal yang memang diperlukan oleh mereka yang dipaksa. Ia
hanya akan melahirkan hipokritas relasi keluarga, bahkan pertengkaran
dan pertentangan. Moralitas keberagamaan sejatinya ditanamkan
secara partisipatoris untuk menjadi pilar dalam membangun kehidupan
berkeluarga, bukan menjadi ‘cambuk’ yang mengancam orang agar
selalu taat dengan peraturan dan norma perkawinan.
Pernikahan adalah persoalan pilihan pasangan hidup, yang tentu
harus dikembalikan kepada kedua calon mempelai. Dalam fiqh sendiri
sudah dinyatakan bahwa persoalan pilihan ini bertumpu pada
kedewasaan dan kematangan seseorang (al-bulûgh wa ar-ruhsd), bukan
pada jenis kelamin. Dalam arti lain, ketika seseorang telah sampai pada
tingkat tertentu yang mengindikasikan kedewasaan dan kematangan,
maka ia berhak untuk menentukan pilihan yang menyangkut dirinya.
Kedewasaan dalam fiqh misalnya bisa diindikasikan dengan beberapa
hal; tumbuhnya bulu kelamin, menstruasi, mimpi basah, dan umur
tertentu. Tentu setiap masyarakat bisa menentukan sendiri kapan
seseorang sudah bisa dianggap dewasa dan matang.
Karena itu, ijtihad fiqh yang kita pilih saat ini, haruslah ijtihad yang
mendasarkan pada kemanusiaan perempuan. Bahwa perempuan itu
memiliki kapasitas yang sama dalam hal memilih pasangan, sehingga
tidak perlu lagi ada pandangan yang membolehkan wali atau siapapun
untuk memaksakan perkawinan kepada perempuan. Begitu juga

93
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

masalah pengelolaan rumah tangga, rumusan fiqh yang dipilih harus


yang memandang martabat kemanusiaan perempuan, yang memiliki
kemampuan sekaligus keterbatasan. Kehidupan berumah tangga pada
dasarnyaadalah seni pengelolaan kehidupan untuk meraih kesejahteraan.
Seni yang seharusnya didasarkan pada cinta kasih kedua belah pihak,
suami dan istri. Cinta kasih ini lahir komitmen untuk saling berbagi
dalam menyelesaikan persoalan dan menunaikan tugas-tugas rumah
tangga. Pembagian ini tentu tidak bisa atas dasar jenis kelamin. Tetapi
atas dasar kesempatan dan kemampuan. Karena mungkin saja, seseorang
dengan jenis kelamin tertentu, pada kondisi tertentu, tidak memiliki
keahlian dan kemampuan untuk menunaikan tugas rumah tangga.
Ijtihad fiqh yang kita pilih adalah ijtihad yang memandang
pembagian pekerjaan rumah tangga, kewajiban, maupun tugas-tugas
harian, dengan didasarkan pada keahlian dan kemampuan, bukan pada
jenis kelamin (QS. Al-Baqarah, 2: 286). Asumsi bahwa pekerjaan rumah
tangga adalah kewajiban perempuan, apalagi kodrat, adalah sepenuhnya
salah. Betapa Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan bahwa di
dalam rumah beliau selalu melakukan kerja-kerja rumah tangga,
menjahit baju dan sandal, memerah susu kambing, melayani istri dan
melakukan pekerjaan-pekeraan rumah lain. (Mahmud Abu Syuqqah,
1991: juz VI, hal. 130).
Sebuah teks hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dinyatakan:
Dari al-Aswad berkata: aku bertanya kepada Aisyah ra: “Apakah yang
dikerjakan Nabi ketika berada di dalam rumah? Aisyah menjawab: “Dia selalu
berada dalam tugas pelayanan terhadap keluarga, ketika datang waktu shalat,
dia keluar untuk shalat”. (H.R. Bukhari).
Tetapi, bukan berarti perempuan dilarang untuk melakukan kerja-
kerja domestik di dalam rumah, atau laki-laki diharuskan untuk
mengambil alih kerja-kerja tersebut. Fiqh adil gender yang dimaksud,
adalah fiqh yang memandang kehidupan berumah tangga sebagai
kehidupan bersama antara istri dan suami. Fiqh yang menganjurkan
kedua pasangan untuk memiliki komitmen untuk saling melayani,
menyenangkan dan memuaskan. Termasuk dalam kerja-kerja domestik

94
di dalam rumah tangga. Jika suami ingin dibuatkan kopi misalnya, istri
juga mungkin ingin dibantu menjemurkan pakaian. Atau sebaliknya,
yang penting dalam relasi yang adil gender, tidak ada seseorang yang
diposisikan untuk selalu melayani yang lain, dalam persoalan rumah
tangga; istri menjadi pelayan selamanya, kapanpun dan dimanapun.
Suami sebagai majikan yang selalu menuntut dan meminta, dan tidak
berlaku sebaliknya.
Persoalan hubungan intim misalnya, perempuan tidak bisa
diposisikan sebagai pelayan dan suami adalah yang dilayani. Sehingga,
ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan
dan di manapun. Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk
memperoleh kepuasan. Perilaku ini menyalahi ajaran dasar Islam.
Bahasa disebutkan bahwa suami adalah baju bagi istri, dan sebaliknya
istri adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun
lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan
intim antara suami dan istri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan
dan kepuasan seksual menurut Alquran, adalah persoalan yang bersifat
timbal balik. Jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang
sama ia harus bisa memuaskan. Kepuasaan yang searah adalah kepuasan
yang semu dan egoistik, yang tidak akan pernah bisa menciptakan
ketentraman, ketenangan, apalagi kesejahteraan. Bagi Imam al-Ghazali,
memuaskan suami adalah kewajiban istri, pada saat yang sama
memuaskan istri juga merupakan kewajiban suami.
Pelayanan seksual yang bersifat timbal balik harus diawali dengan
saling pengertian, saling mengkondisikan, tidak memaksa, apalagi
dengan cara-cara kekerasan. Suami harus bisa mengerti ketika sang istri
menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan,
apalagi karena mengakibatkan pencideraan. Teks hadis mengenai
laknat yang akan menimpa perempuan yang menolak ajakan hubungan
intim dari suaminya, tidak bisa dipahami secara literal.
“Dalam sebuah teks hadis, dari Sahabat Abu Hurairah ra, dikatakan
bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika suami mengajak istrinya ke tempat
tidur, tetapi sang istri menolak, sehingga suami marah sampai pagi,
maka sang istri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari,
no. Hadis 4697).

95
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini


ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan
apapun. Tetapi jika karena kewajiban yang harus dilakukan, atau karena
tahu akan mengalami kekerasan, perempuan berhak menolak ajakan
suami tersebut. (Husein Muhammad, 2001: hal. 201-202).
Menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks di
mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap
suaminya, yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya
selama menyusui, setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahir-
nya pernyataan Nabi SAW tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini
sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, apalagi
kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Karena itu, Nabi
SAW menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami pada
masa pantang bilah tersebut. (Lusi Margiyani (ed.), 1999: hal. 173).
Ijtihad fiqh harus lebih jelas dan lebih tegas dalam hal pelayanan
seksual ini. Setidaknya fiqh yang mampu menumbuhkan perasaan
empati dan simpati terhadap perempuan sebagai korban. Karena
persoalan seksual ini seringkali melahirkan kekerasan yang berakibat
fatal pada perempuan. Mulai dari perceraian, pemukulan, poligami,
bahkan pembunuhan. Sebagaimana pada kasus-kasus di atas.
Perkawinan, oleh beberapa masyarakat, dianggap merupakan tiket
kepemilikan terhadap kenikmatan tubuh perempuan. Sehingga ketika
suami tidak memperoleh kenikmatan tersebut, ia merasa berhak untuk
melakukan apa saja terhadap istri. Ayat dalam surat an-Nisa tentang
kebolehan memukul istri (QS. An-Nisa: 34), seringkali dijadikan dasar
untuk melakukan kekerasan terhadap istri yang tidak bisa memuaskan
suami. Imam ‘Atha dan Syekh Thahih ‘Ashur telah mengoreksi
pemahaman yang timpang atas ayat ini. Karena itu, tidak seharusnya
seseorang mendasarkan pada ayat ini, untuk melakukan kekerasan-
kekerasan, yang sesungguhnya untuk kepentingan dirinya, bukan untuk
kepentingan .
Ijtihad fiqh harus terus dikembangkan, dengan mempertimbangkan
berbagai realitas ketimpangan dan kekerasan yang menimpa pe-
rempuan. Fiqh harus berusaha keras untuk mengakhiri kekerasan-
kekerasan tersebut. Karena itu, fiqh harus ikut mengupayakan agar

96
perempuan bisa memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan
pernikahan dengan sadar dan penuh perhitungan. Hal-hal lain dalam
kehidupan dan keberlangsungan pernikahan, juga harus dikondisikan
untuk mewujudkan ketentraman (as-sakinah) dan kasih sayang (al-
mawaddah wa ar-rahmah) secara timbal balik, antara suami dan istri.
Pernikahan dengan demikian semestinya tidak lagi dijadikan media
perbudakan bagi laki-laki terhadap perempuan, apalagi diposisikan
sebagai ‘izin’ dari ajaran Islam untuk melakukan pengekangan,
pelecehan dan kekerasan. Islam pada prinsipnya mengatur bahwa segala
bentuk kekerasan adalah haram, baik yang berimbas pada diri sendiri
maupun pada orang lain, sebagaimana dalam teks hadis, Nabi
Muhammad SAW bersabda:
“Diharamkan melakukan kerusakan, baik kepada orang lain, maupun
kepada diri sendiri. Barang siapa mencelakakan orang lain, maka ia akan
dicelakakan Allah, barang siapa yang mempersempit orang, maka ia akan
dipersempit Allah”. (Riwayat Imam al-Hakim, al-Mustadrak, juz II, hal. 57).

Sebaliknya, Nabi SAW secara tegas memproklamasikan pentingnya


kasih sayang antar sesama, termasuk antar suami-istri dan orang tua-
anak.
“Dari Anas bin Malik menuturkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi
yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua.”
(Hadis Riwayat Imam al-Turmudzi, no. Hadis: 1842).
Kedua prinsip dasar ini; prinsip kasih sayang dan anti kekerasan,
harus menjadi kesadaran semua pihak dalam mengelola isu-isu
kemanusiaan. Terutama mereka yang memiliki tanggung jawab sosial,
karena telah mengemban amanah institusi keadilan, seperti para hakim,
jaksa, anggota parlemen, pejabat pemerintah, konselor dan pekerja-
pekerja sosial kemasyarakatan. Perspektif kasih sayang dan keadilan
ini, diharapkan akan lahir berbagai perundang-undangan, kebijakan,
keputusan hukum, pandangan dan pendampingan yang member-
dayakan perempuan. Sehingga kekerasan yang menimpa dan dialami
perempuan atau anak-anak, akan lebih terkikis dan berkurang dari

97
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

kehidupan kita. Masyarakat pun akan hidup dengan penuh kedamaian


dan kesejahteraan; baik perempuan maupun laki-laki, orang tua
maupun anak-anak.

98
Bab IV

Kekerasan dalam Rumah Tangga


(KDRT) dalam Perspektif
Hukum Nasional
Hukum Nasional
Produk hukum dalam suatu negara selalu dirumuskan dengan
semangat untuk memberikan keadilan bagi semua pihak. Hukum selalu
ditekankan sebagai suatu hal yang ideal karena secara subtantif obyektif
dan netral, tidak memihak dan ada untuk semua orang. Demikian pula
penegak hukum dianggap baik apabila mampu menjalankan aturan
hukum dengan tidak memihak siapapun, bersikap obyektif dan netral.
Persoalan kemudian muncul ketika hukum yang demikian ini ternyata
tidak mampu membawa keadilan bagi semua pihak utamanya bagi
pihak yang paling menderita atau menjadi korban. Banyak kasus,
keputusan hukum yang diambil para hakim masih menyisakan
kekecewaan, kemarahan, rasa tidak adil dan tanda tanya berkepan-
jangan, “keadilan bagi siapa?”
Hukum sebagai salah satu aspek dalam kehidupan sosial bertumbuh
dan berkembang dalam tata aturan, norma dan kaidah-kaidah sosial
yang melingkupinya. Produk hukum merupakan refleksi dari daya tarik
menarik antara pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kepentingan,
baik yang berkaitan dengan kepentingan ideologis, politis, ekonomi,
ras maupun gender. Hal ini dapat dimengerti karena produk hukum
merupakan alat legitimasi dan produk politik. Oleh karenanya, siapa
yang memegang kendali kuasa, maka dia yang akan memiliki hukum
itu. Masyarakat yang patriarkhis dengan relasi kuasa dominan pada
laki-laki, niscaya akan menghasilkan produk hukum yang sarat akan
legitimasi dominasi laki-laki. Misalnya Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34
ayat (1) dan (2) UU Perkawinan yang menetapkan peran berbeda laki-

99
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah


tangga, sebagaimana tercantum sebagai berikut:
Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan:
“Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”
Pasal 34 UU Perkawinan:
“(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-
baiknya.”
Juga pada Pasal 80 ayat (3) KHI disebutkan bahwa kewajiban suami
adalah sebagai pembimbing, pelindung dan pengajar agama istri,
sebagaimana tercantum sebagai berikut:
Pasal 80 ayat (3) KHI:
“Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.”
UU Perkawinan juga menetapkan usia yang berbeda bagi laki-laki
dan perempuan untuk menikah, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan. Asumsi yang dipergunakan adalah keyakinan
peran gender dalam masyarakat bahwa laki-laki akan menjadi kepala
dan pemimpin keluarga, maka dia harus lebih dewasa (mature)
dibanding perempuan. Salah satu parameternya adalah dengan melihat
pada usia tersebut.
Uraian di atas mengantarkan pemahaman bahwa sebenarnya produk
hukum merupakan sebuah konstruksi dari masyarakat dengan norma,
nilai, ideologi dan kepentingan tertentu. Hukum ternyata bukanlah
merupakan hal yang obyektif dan netral, tetapi subyektif dan berpihak
terutama pada pihak yang berkuasa. Konteks sosial budaya dan politik
dalam proses pembentukan hukum merupakan hal yang sangat
berpengaruh secara signifikan. Pada masyarakat yang didominasi oleh
subyektivitas asumsi peran gender, produk hukum yang dihasilkan
sangat memungkinkan memunculkan ketidakadilan gender dan

100
melanggengkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Pada
akhirnya hukum tidak lagi dapat dikatakan berdiri pada tonggak yang
ideal dan netral serta obyektif. Konstruksi sosial yang tidak adil gender
tentu saja tidak hanya mempengaruhi substansi hukum, tapi juga
penegaknya dan budaya hukum masyarakatnya.
Sistem hukum terdapat tiga unsur yang satu sama lain saling
berhubungan: substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.
Substansi hukum merupakan seluruh ketentuan dan kebijakan yang
dibuat sebagai landasan dalam melakukan proses hukum. Misalnya
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan
daerah, keputusan presiden, keputusan menteri, surat edaran, dan
sebagainya. Struktur hukum adalah para penegak hukum atau aparat
yang mempunyai kewenangan dalam proses hukum, yakni hakim, jaksa,
polisi, pengacara, dan lain-lain. Sedangkan kultur hukum adalah
norma-norma dan keyakinan dalam kehidupan sosial masyarakat yang
mempengaruhi cara pandang para penegak hukum dalam melakukan
proses hukum. Aplikasi dari tiga unsur hukum dalam konteks KDRT
adalah banyaknya produk hukum yang tidak adil gender, aparat penegak
hukum yang tidak sensitif dan tidak adil gender, dan kultur hukum
masyarakat yang masih memandang dan meletakkan perempuan
dengan perspektif patriarkhis.
Penegak hukum sebagai bagian dari masyarakat patriarkhis
kemudian memakai asumi di atas dalam melakukan proses hukum atas
korban KDRT. Asumsi, nilai dan norma di ataslah yang selama ini sering
menjadi penyebab munculnya ketidakadilan hukum bagi pihak
tertentu. Hal ini bahkan juga yang menyebabkan perempuan korban
KDRT menunda atau membatasi kehendak untuk meneruskan langkah
mencari keadilan hukum, seperti pengakuan “A”, 40 th, korban KDRT
oleh suaminya selama 15 tahun berikut ini:
“Kalau menganiaya itu sudah biasa dilakukan suami karena saya selalu
mempersoalkan kesukaannya main perempuan. Saya dalam keadaan hamil 7
bulan pernah diseret dan dilempar ke dalam kolam, gara-gara saya meminta
dia berhenti main perempuan dan memintanya nafkah untuk anak-anak. Anak
saya 5 orang. Dia bilang saya terlalu cerewet dan menghalangi kesukaannya.
Malam itu juga saya diperkosa oleh suami saya gara-gara saya tidak mau

101
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

melayani. Sudah 2 minggu dia tinggal di rumah perempuan idaman lainnya.


Saya merasa jijik dengan suami karena kegemarannya main perempuan dan
meninggalkan rumah. Dia memaksa, katanya saya wajib melayani jika tidak
ingin dilaknat malaikat. Tapi saya tidak peduli, saya tetap menolak. Sampai
akhirnya dia menyerang saya, merobek baju saya dan memperkosa saya secara
brutal. Saya masih simpan baju itu sampai sekarang. Saya tidak berani teriak
untuk minta tolong kepada tetangga, karena percuma mana ada yang percaya
kalau saya teriak minta tolong karena diperkosa oleh suami saya sendiri......”
(Catatan konseling Savy Amira WCC, 2002)

Kekhawatiran perempuan korban untuk mencari keadilan akibat


dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat seperti yang dialami “A”,
sangatlah sering kita dengar. Tidak hanya masyarakat yang memper-
tanyakan misalnya, masak ada suami memperkosa istri? Kalaupun ada,
pasti karena istrinya yang cari gara-gara atau tidak mau melayani suami.
Sampai di ruang sidang pun keyakinan semacam ini terbawa sebagai
budaya hukum yang mempengaruhi cara pandang penegak hukum
dalam menyidangkan perkara-perkara KDRT. Sekalipun ada payung
hukum yang menaungi, namun budaya hukum ini masih kuat
pengaruhnya di tingkat struktur hukum.
Ketidakadilan Gender dalam Hukum Nasional
Sebagai sebuah produk politik yang dikonstruksi oleh masyarakat,
hukum, norma, dan kaidah yang berlaku di masyarakat bersifat dinamis
dan relatif. Dinamika dan relativitas hukum ini akan sangat bergantung
pada situasi dan kondisi yang menjadi latar sebuah masyarakat.
Sebagaimana diketahui, banyak produk hukum, aparat hukum, dan
kultur hukum di Indonesia yang belum sepenuhnya menghargai
perempuan dan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.
Corak hukum yang patriarkhis sebagaimana digambarkan ternyata
penuh dengan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang
kemudian melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan,
khususnya bagi korban KDRT. Fakta inilah yang mendorong tumbuhnya
pemikiran untuk merumuskan kembali hukum yang lebih berkeadilan
gender. Perumusan yang dilakukan, di antaranya dengan mendengarkan

102
suara-suara kelompok rentan utamanya perempuan yang dalam struktur
masyarakat merupakan kelompok rentan dan lemah.
Hukum merupakan salah satu alat penting untuk melakukan
transformasi dan rekayasa sosial yang mengarah pada kesetaraan dan
keadilan gender. Ketidakadilan gender selama ini dikonstruksikan,
dirancang dan didistribusikan dari sumber-sumber yang tidak setara
(equal) dan dalam konteks budaya patriarkhis kemudian mewujud
dalam berbagai produk perundang-undangan yang dapat ditelusuri
dalam khazanah hukum nasional kita.
Meskipun masih sangat terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebenarnya juga mengatur tentang KDRT, tetapi
pengaturannya masih tidak adil gender. Hal ini karena KUHP, dibuat
dalam konteks budaya yang patriarkhis dan digali dari sumber-sumber
yang tidak equal tadi. Pasal-Pasal KUHP yang berkaitan dengan KDRT
dapat kita temukan pada:
1. Pasal-Pasal tentang kejahatan terhadap kesusilaan
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan kesusilaan terdapat dalam
Pasal 281 sampai dengan 303 KUHP yang mengatur tentang
pidana bagi mereka yang melanggar kesusilaan; menyebarkan
pornografi dan melakukan pelanggaran kesusilaan terhadap anak
bawah umur; perkosaan (di luar perkawinan); perkosaan dengan
korban yang pingsan (di luar perkawinan); perkosaan dengan
anak bawah umur (di luar perkawinan); perkawinan dengan anak
bawah umur (di dalam perkawinan); perbuatan cabul; perbuatan
cabul dengan anak bawah umur, perbuatan cabul dengan orang
yang pingsan; perbuatan cabul sejenis; perbuatan cabul dengan
rayuan atau iming-iming; perbuatan cabul dengan anak kandung,
anak tiri, anak asuh yang belum cukup umur; pengguguran
kandungan; membuat seseorang dan anak mabuk; perdagangan
anak kandung dan anak asuh; perjudian.
2. Pasal-Pasal tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong
Pasal 304 mengatur tentang pidana bagi orang yang menempatkan
dan membiarkan seseorang yang dalam tanggung jawabnya

103
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

dalam keadaan sengsara. Pasal ini tepat untuk menjerat orang tua
yang melakukan penelantaran anak yang merupakan salah satu
bentuk kekerasan dalam definisi KDRT.
3. Pasal-Pasal tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang
Pasal-Pasal yang mengatur masalah ini dapat ditemui pada Pasal
328 sampai dengan 336 kecuali 329 dan 334 yakni tentang
penculikan; membawa lari anak dan anak perempuan belum
cukup umur; merampas kemerdekaan seseorang; perbuatan tidak
menyenangkan; ancaman kekerasan dan kejahatan di depan
umum.
4. Pasal tentang kejahatan terhadap nyawa
Pasal 338 KUHP mengatur tentang pidana bagi seseorang yang
melakukan pembunuhan. Beberapa daerah yang banyak terjadi
KDRT, juga telah menelan korban nyawa dari pihak perempuan.
Misalnya di Sidoarjo, ketika seorang perempuan sedang mem-
perjuangkan haknya sebagai korban KDRT di tengah persidangan,
mantan suami menikamnya hingga tewas serta menyerang para
hakim pengadilan agama yang menyidangkan kasusnya. Salah
seorang hakim yang berusaha melerai turut tewas di tangan
mantan suami.
5. Pasal-Pasal tentang penganiayaan
Pasal 351 sampai dengan 356 KUHP mengatur tentang
penganiayaan yang terdiri dari penganiayaan berat; penganiayaan
ringan; penganiayaan dengan rencana; dan penambahan 1/3
hukuman pidana apabila dilakukan dalam lingkup KDRT (361).
Pasal 361 memandang bahwa KDRT justru merupakan persoalan
penting yang perlu ditambahkan pidananya demi keadilan bagi
korbannya.
KUHP sepintas tampaknya banyak mengatur tentang kasus-kasus
yang muncul dalam KDRT. Namun apabila dikaji lebih mendalam
terdapat kelemahan di dalamnya seperti diungkapkan oleh Ratna Batara
Munti, yaitu:

104
1. Konsep Penganiayaan dan KDRT
a. Definisi kekerasan hanya bersifat fisik (penganiayaan)
Pemaknaan kekerasan yang hanya meliputi kekerasan fisik tidak
mampu mengakomodasi bentuk kekerasan lain seperti kekerasan
psikis, seksual dan kekerasan berdimensi ekonomi. Sedangkan
kekerasan yang sering terjadi pada lingkup rumah tangga selalu
diawali ataupun disertai dengan kekerasan psikis dan bentuk
kekerasan lain. Berikut penuturan “N” (39), dalam konseling di
Savy Amira WCC Surabaya:
“Saya ini masih kurang apa, saya bekerja untuk membantu dia agar bisa
sekolah S2 di Jogja. Saya berhutang di bank untuk nambah modal agar bisa
menyekolahkan dia dengan harapan dapat menunjang karirnya sebagai dosen.
Sekarang setelah selesai sekolah dia meninggalkan saya begitu saja dengan
beban hutang yang berat dan hidup dengan perempuan lain. Dia memang tidak
pernah memukul saya, tetapi sejak hidup dengan perempuan lain dia sudah
tidak pernah memberi nafkah, dia tidak mau menengok apalagi membiayai
hidup saya dengan anak perempuan saya yang masih TK. Kalau saya cari dia
selalu menghindar. Di kantor juga sulit ditemui. Keluarganya juga menutupi
dan cuci tangan dan menganggap ini urusan rumah tangga saya sendiri. Dua
tahun saya mencari dia, mengharapkan dia segera insyaf dan ingat sama
anaknya. Tiba-tiba dia sudah menceraikan saya. Sementara saya dikejar-kejar
bank untuk segera membayar hutang yang saya pakai untuk menyekolahkan
dia dulu. Rumah ini milik orang tua dan saya agunkan untuk cari pinjaman
bank dulu. Kalau rumah ini disita, saya, anak saya dan orang tua saya harus
bagaimana?”

KUHAP tidak mampu secara optimal dalam menjawab masalah


ibu “N” ini.
Juga pengakuan “S” (23).
“Suami saya baik, tetapi saya tidak tahu kenapa setelah menikah dan saya
ikut dia kos di Jakarta dia tidak pernah mau menyentuh saya. Dia tidak pernah
memukul saya, mending dia pukul saya agar saya tahu salah saya. Sudah 1
tahun ini saya tidak disentuh sama sekali. Dia selalu tidur di bawah, dan selalu
berpindah tempat kalau saya menyusul. Kalau makan dia keluar rumah dan

105
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

beli makan sendiri. Saya masak untuk dia, tapi dia tidak mau memakannya,
katanya saya tidak bisa memasak, tidak enak. Mungkin ini gara-gara keluarga
saya yang pada awalnya dulu melarang saya menikah sama dia, sekarang dia
balas dendam ke saya. Saya pernah ngajak dia untuk kontrak rumah agar bisa
hidup normal sebagai suami istri, dia tidak mau dengan alasan saya tidak
akan mampu. Setiap usaha yang saya lakukan agar dia bisa dekat saya dia
selalu mengatakan bahwa saya tidak mampu. Kalau saya menanyakan kenapa
sikapnya aneh seperti itu, dia diam tidak menjawab dan selalu bilang, “kamu itu
tidak tahu, tidak mampu”. Selalu itu. Saya ini tidak mampu apa? Saya sampai
telanjang di depan dia agar dia mau menyentuh saya, dia malah mencibir dan
mengatakan kamu seperti orang gila.” (Catatan Konseling Savy Amira WCC,
2003)

“S” memang pada akhirnya mengalami gangguan kejiwaan yang


serius dan mengarah ke psikotik akut. Keluarganya telah
menjemput dan membawanya ke psikolog dan psikiater bahkan
ke Rumah Sakit Jiwa. Dia sering meraung-raung sendiri dan
berguling-guling di lantai dalam kondisi telanjang. Secara fisik
suaminya tidak melakukan penganiayaan, namun secara psikis
dia telah melakukan kekerasan yang luar biasa dengan “hanya”
mengatakan kepada “S” “kamu tidak tahu”, “kamu tidak mampu”.
Suami “S” menggunakan asumsi gender dalam mematikan kondisi
“S” secara psikologis bahwa dia sebagai perempuan yang tidak
mampu dan tidak tahu apa-apa. Hakim tidak akan mampu
melihat persoalan ini sebagai salah satu bentuk kekerasan jika
semata-mata berpegang pada KUHP saja karena secara fisik tidak
ada penganiayaan. Ini pula yang membuat “S” tidak mau
melaporkan kasusnya ke penegak hukum.
b. Tidak ada hukuman minimal dan alternatif sanksi lain
KUHP hanya mengatur pidana hukuman maksimal dan denda
yang sangat rendah bagi pelaku kekerasan. Oleh karenanya
hukuman yang dijatuhkan para hakim seringkali tidak setimpal
dengan beban penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan

106
pelaku. Luka fisik yang mungkin terjadi bisa disembuhkan dalam
kurun waktu tertentu jika luka tersebut ringan. Namun luka-luka
psikis, seperti trauma seumur hidup, ketakutan, kecemasan
berkepanjangan, post trauma syndrome disorder (PTSD),
scizrophenia, dan masalah psikotik lain yang mungkin muncul,
tidaklah terobati dengan hukuman semacam ini. Ada ketakutan
yang terbayang jika pelaku keluar dari kurungan penjara, dia akan
melakukan balas dendam ke korban dan keluarganya. Belum lagi
masalah ekonomi yang ditinggalkan pelaku dan harus menjadi
beban korban. Hukuman minimal menjadi perlu untuk mengukur
derajat kekerasan yang dilakukan dengan hukuman yang harus
ditanggung. KUHP juga tidak mengatur bentuk alternatif sanksi
lain kecuali kurungan dan denda.
c. Tidak spesifik mengatur kekerasan dalam rumah tangga
Sekalipun Pasal-Pasal yang diatur dalam KUHP dapat diterapkan
di dalam rumah tangga, namun tidak ada Pasal yang secara
spesifik mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Definisi kekerasan dalam rumah tangga tidak dikenal oleh KUHP
termasuk bentuk dan lingkupnya. Sementara KDRT merupakan
bentuk kekerasan yang berbeda dengan kekerasan pada umumnya
karena lokus, pelaku dan korban yang terikat pertalian keluarga
dengan berbagai batasan norma, mitos dan keyakinan-keyakinan
masyarakat sekitarnya.
d. Lingkup rumah tangga yang sempit (keluarga inti)
KUHP hanya memberikan pemahaman yang sempit tentang
keluarga sebagai keluarga inti, yakni ayah, ibu dan anak-anak.
Jika kita lihat konteks keluarga di Indonesia pada umumnya
menganut konsepsi keluarga batih, yang dapat terdiri dari
keluarga inti dan keluarga lain yang mempunyai pertalian dengan
keluarga inti baik karena adanya hubungan sedarah atau tidak.
Misalnya anak-anak yang “ngenger” atau orang lain yang tinggal
dan menumpang hidup di dalam sebuah keluarga, pembantu
rumah tangga, tukang kebun, keponakan, cucu, nenek, paman,

107
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

bibi, mantan suami, mantan istri, anak tiri, anak asuh, dan
lainnya. Sehingga dengan pengertian keluarga secara sempit
sebagai keluarga inti saja akan menyulitkan proses hukum yang
berkaitan dengan relasi dalam keluarga besar ini. Di beberapa
negara bahkan hubungan dalam masa pacaran sudah termasuk
dalam kategori hubungan dalam rumah tangga.
Rumah tangga dalam KUHP juga dimaknai sebagai keluarga yang
dibentuk atas dasar perkawinan heteroseksual yang mempunyai
keabsahan di depan hukum negara. Sedangkan perkawinan yang
dilakukan sesama jenis dan tidak di depan hukum negara dianggap
bukan sebagai perkawinan yang dapat tercakup dalam pengertian
rumah tangga ini. Sementara kekerasan pun dialami dalam relasi
sejenis dengan pola yang sama seperti pada relasi perkawinan
heteroseksual.
e. Secara umum tidak mengenal kekerasan berbasis gender
KUHP dalam mengatur pidana kekerasan dalam relasi keluarga
tidak didasarkan atas asumi gender yang berperan dalam berbagai
tindak kekerasan ini. KUHP tidak mengenal kekerasan berbasis
gender, sehingga perlakuan dalam pidana tidak mengedepankan
asumsi-asumsi gender yang mendasari kekerasan yang terjadi
dan akibatnya. KUHP juga tidak memuat pemahaman atas
pengalaman yang dialami korban (perempuan) sendiri.
2. Konsep tentang Perkosaaan
Perkosaaan diasumsikan terjadi di luar perkawinan dan KUHP
hanya mengatur pidana bagi pelaku perkosaan atas seseorang
yang bukan istrinya di luar perkawinan. Dengan demikian
perkosaan di dalam perkawinan seperti yang dialami oleh “A” di
atas tidak dikenal dalam KUHP.
Perkosaan dalam RUU KUHP mengalami perluasan makna yang
tidak saja mengatur penetrasi penis ke vagina tetapi juga
“penetrasi alat kelamin laki-laki ke anus atau mulut perempuan
dan memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya

108
ke dalam vagina atau anus perempuan (Pasal 423 ayat 2 RUU
KUHP).
Namun demikian, menurut catatan Ratna Batara Munti, rumusan
ini masih mempunyai kelemahan yakni:
• Memasukkan bagian tertentu dari tubuh seseorang ke dalam
alat kelamin anus dan mulut seseorang belum diakomodir
sebagai bentuk perkosaan.
• Perkosaan masih dimaknai sebagai penetrasi penis dan belum
memasukkan kontak-kontak alat kelamin laki-laki ke alat
kelamin perempuan yang non penetratif yang dilakukan
tanpa persetujuan perempuan.
• Perkosaan masih dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan
dengan ancaman yang berupa melukai dan membunuh, dan
belum mengakomodir bentuk-bentuk intimidasi atau
penyalahgunaan kekuasaan.
3. Konsep tentang pelecehan seksual
Pelecehan seksual atau sexual harrasment tidak dikenal dalam
KUHP, karena istilah yang dipergunakan adalah perbuatan cabul
dan pelanggaran kesusilaan. Penggunaan istilah ini sangat
mengaburkan makna bahwa telah terjadi penyerangan atas
integritas tubuh seseorang (perempuan). Makna cabul lebih
berkonotasi dengan perbuatan yang tidak pantas dalam tataran
norma sosial dan melanggar kesusilaan dalam masyarakat.
Padahal yang diserang dalam hal ini adalah tubuh seseorang dan
bukan masyarakat. Pencabulan dalam Pasal-Pasal KUHP juga
terbatas pada penyalahgunaan kewenangan dan terjadi pada
anak-anak dan bukan mengarah pada orang dewasa. Pada
kenyataannya perbuatan cabul juga dapat terjadi pada perempuan
dewasa. Asumsi pada korban juga sangat bisa sebagai perempuan
yang berkelakuan baik. Hal ini mengaburkan pemahaman
terhadap kemungkinan korban dari kalangan perempuan “tidak
baik” seperti yang dikategorikan oleh masyarakat, misalnya pada
pekerja seks komersial, pada pekerja restoran, pekerja club malam.

109
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ketentuan ini juga terbatas pada perempuan yang belum kawin,


artinya pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkup perkawinan
dianggap sebagai hal yang nisbi.
KDRT merupakan fenomena yang tidak saja menyebabkan
perempuan dan istri menjadi korban, namun juga anak-anak dan pihak
lain di dalam rumah tangga. Perempuan atau istri yang mengalami
kekerasan akan mereproduksi kekerasan yang dialaminya kepada pihak
yang mempunyai relasi lebih lemah darinya yakni anak-anak dan
pembantu rumah tangga. Tidak jarang ditemukan pelaku kekerasan
terhadap anak-anak dan pembantu rumah tangga justru adalah para ibu
rumah tangga. Akan tetapi hal yang tidak disadari oleh kita semua
adalah perbuatan kekerasan yang dilakukan si ibu seringkali merupakan
tindakan “survive”, keputusasaan, atau katarsis akibat kekerasan yang
dialami dari suaminya. Seperti catatan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (2006), salah satu alasan mengapa perempuan menjadi
pelaku kekerasan terhadap anak adalah akibat tekanan ekonomi dalam
keluarga, dan kemungkinan merupakan sasaran kekerasan dari suami/
ayah. Faktor-faktor yang menjadi pemicu perempuan menjadi pelaku
kekerasan terhadap anaknya sendiri diungkapkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia antara lain: perceraian dan disfungsi
keluarga; tekanan ekonomi; dan trauma masa lalu dari pelaku.
Melihat kenyataan tersebut, reformasi di bidang hukum bagi anak-
anak dan perempuan semakin mengemuka. Dorongan dari berbagai
pihak untuk melakukan amandemen dan RUU KUHAP terus digulirkan
untuk bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan dalam KUHP.
Beberapa perundang-undangan nasional saat ini sebenarnya dapat
diterapkan oleh para hakim dan penegak hukum lainnya dalam
menangani kasus-kasus KDRT, antara lain: UU Perlindungan Anak, UU
PKDRT, UU Perkawinan, UU PTPPO. Demikian juga sejumlah kovenan
dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dan menjadi bagian hukum hukum Indonesia, bisa dijadikan
konsideran dalam setiap memutus perkara KDRT.

110
Undang-Undang PKDRT dan Re-definisi Konsep Rumah Tangga
Kesadaran akan pentingnya merumuskan kembali hukum nasional
yang berkeadilan gender, telah mendorong segenap elemen bangsa
salah satunya dengan dirumuskannya UU PKDRT. Gagasan ini sudah
disuarakan para pekerja sosial yang peduli pada perempuan dan anak di
Indonesia sejak awal 2000 dan baru dapat disetujui menjadi undang-
undang pada tahun 2004 setelah mengalami pergulatan pemikiran dari
berbagai kalangan termasuk dari para pemuka agama, akademisi, dan
anggota parlemen dan pemerintah. Pasal-pasal yang sulit untuk
diloloskan pada saat itu adalah yang berkaitan dengan perkosaan dalam
perkawinan. Namun pada akhirnya melalui proses diskusi panjang dan
pembacaan ulang atas tafsir agama, pasal yang sensitif ini dapat
dipahami sebagai hal penting untuk dimasukkan ke dalam rumusan
UU PKDRT.
Undang-Undang ini didesain untuk mampu membongkar dan
mengubah sistem hukum yang sebelumnya memandang persoalan
perkawinan dan keluarga sebagai persoalan privat dan individual
menjadi persoalan publik. Hadirnya UU PKDRT membawa berbagai
aspek yang selama ini dianggap tabu dan tidak terungkap menjadi lebih
jelas atas kasusnya, dan jelas pula peran-peran yang harus dimainkan
baik oleh korban, keluarga, komunitas dan negara dalam konteks
pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Maka
dalam UU PKDRT juga mempunyai makna strategis terutama dalam
konteks perlindungan hukum bagi korban.
UU PKDRT memang tidak ditujukan hanya kepada perempuan saja
tetapi bagi seluruh anggota keluarga, termasuk laki-laki. Namun seperti
ditegaskan dalam Pasal 1 UU PKDRT, Undang-Undang ini lebih utama
dimaksudkan untuk melindungi perempuan sebagaimana tercantum
sebagai berikut:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

111
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,


atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga”.
Kutipan Pasal ini menunjukkan bahwa UU PKDRT menggambarkan
fakta-fakta bahwa sebagian besar korban KDRT adalah perempuan.
Hal-hal fundamental yang diatur dalam undang-undang PKDRT dan
implementasinya sampai saat ini adalah sebagai berikut:
1. KDRT sebagai masalah publik
Undang-Undang ini mengubah masalah domestik yang nyaris
tak tersentuh oleh hukum publik karena dianggap masalah
keluarga dan mempunyai otoritas sendiri, bahkan undang-
undang diabaikan berlakunya karena tingginya nilai keluarga.
UU PKDRT telah membuka perspektif masyarakat dan sistem
hukum itu sendiri. Selama ini masyarakat menganggap bahwa
urusan rumah tangga adalah urusan individual yang menjadi
otorita mereka yang berada di dalam rumah tangga. Pihak-pihak
di luar rumah tangga bahkan negara tabu dan tidak dapat ikut
campur di dalamnya, apalagi keluarga sepakat untuk
menyelesaikan sendiri berdasarkan musyawarah dan mufakat
termasuk jika ada unsur tindak pidana tertentu. Misalnya, jika
ada anak-anak atau istri atau suami melakukan tindak pencurian
di dalam rumah, maka dia tidak harus menjalani proses hukum
jika pihak keluarga sudah memaafkan. Itulah maka, seringkali
bila ada tetangga sebelah rumah atau depan rumah ribut-ribut
dan terdengar bunyi barang terbanting dan terpecah, para
tetangga hanya termangu-mangu menahan keprihatinan tanpa
melakukan tindakan suatu apapun, karena selalu berpijak bahwa
fenomena tersebut adalah permasalahan keluarga sehingga
biarlah masing-masing keluarga yang akan menyelesaikan
sendiri.
UU PKDRT melakukan redefinisi terhadap pemahaman
tanggung jawab hukum “rumah tangga”. Benar bahwa ini adalah
urusan keluarga (domestik), jika rumah tangga tersebut dalam
kondisi yang harmonis. Namun ketika terjadi kekerasan di

112
dalamnya, Undang-Undang ini dapat menerobos tembok rumah
tangga dan menjadi payung hukum yang membenarkan tindakan
masyarakat dan aparat untuk turut campur dalam urusan rumah
tangga. Undang-Undang ini melegitimasi bahwa KDRT bukan
lagi menjadi urusan keluarga (domestik), namun sudah menjadi
urusan publik (Negara), karena telah memberikan hak dan
kewajiban pada masyarakat dan negara untuk masuk dalam
ranah rumah tangga (domestik), guna memberikan bantuan dan
memastikan terpenuhinya hak perempuan korban dalam
penyelesaian terhadap KDRT yang terjadi, baik posisi perempuan
sebagai tersangka atau korban. Hal inilah yang menjadi tonggak
penting dalam mengubah pandangan masyarakat yang
menganggap wilayah rumah tangga (domestik) tidak bisa
diganggu gugat.
Hadirnya pihak luar (masyarakat dan negara) ke area rumah
tangga (domestik) berpijak pada prinsip untuk menghentikan
kekerasan berulang dan memberi efek jera pada pelaku kekerasan
di dalam rumah tangga, siapapun pelakunya, bisa perempuan
(ibu, anak perempuan), laki-laki (bapak, anak laki-laki) atau laki-
laki dan permpuan yang tinggal dalam satu atap rumah tangga.
Kekerasan di manapun terjadinya merupakan kejahatan atas
martabat kemanusiaan, sehingga harus diselesaikan secara
hukum. Konsideran dari UU PKDRT, butir b menegaskan bahwa
segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang
harus dihapus.
2. Pemahaman jenis kekerasan yang lebih variatif
Berbeda dengan KUHP, Undang-Undang PKDRT memberikan
pemahaman yang lebih variatif tentang jenis-jenis kekerasan.
Tidak hanya kekerasan fisik tapi juga kekerasan psikis, seksual,
dan penelantaran rumah tangga. Pasal 5 UU PKDRT menyebutkan
sebagai berikut:

113
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah


tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.”
Pemaknaan jenis kekerasan ini mengakomodir pengalaman
perempuan yang mengalami kekerasan dan sejalan dengan
definisi kekerasan dalam Pasal 1 Deklarasi Internasional
Pengapusan Kekerasan terhadap Perempuan yakni, setiap
perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. (Pusat Studi
HAM Universitas Surabaya, 2003).
Kekerasan ekonomi dalam terminologi internasional tidak
memasukkan secara eksplisit tentang kekerasan ekonomi karena
akibat yang ditimbulkan cenderung mengarah kepada kekerasan
psikis. Namun untuk mengakomodasi kekhasan pengalaman
kekerasan perempuan di Indonesia yang juga kerap menggunakan
dan mengenai aspek ekonomi, maka Undang-Undang PKDRT
memasukkannya sebagai penelantaran rumah tangga. Artinya
bahwa kekerasan berbasis ekonomi diakui secara implisit dalam
Undang-Undang PKDRT.
Pengaturan bentuk kekerasan psikis dalam Undang-Undang
PKDRT memungkinkan perempuan korban KDRT memperoleh
akses pada keadilan dari kekerasan psikis yang menimpanya.
Kekerasan psikis disebutkan sebagai perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

114
penderitaan psikis berat pada seseorang. UU PKDRT Pasal 7
menyebutkan sebagai berikut:
“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.”
Demikian juga kekerasan seksual tidak lagi didefinisikan
sebagai kejahatan kesusilaan, namun lebih dimaknai sebagai
kekerasan yang mengancam integritas tubuh seseorang. Rumusan
ini lebih mempertegas pemahaman masyarakat tentang bentuk
kekerasan seksual daripada pemahaman tentang kejahatan
kesusilaan. Termasuk di dalam rumusan kekerasan seksual adalah
tindakan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu. Oleh karena itu Pasal ini
tidak saja mengatur KDRT semata namun juga mencakup
perdagangan manusia. Pasal 9 UU PKDRT juga menyangkut
perdagangan orang dalam konteks rumah tangga, sebagaimana
tercantum sebagai berikut:
Pasal 9:
“(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/
atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.”
Berbagai bentuk KDRT dalam realitasnya tidak terjadi secara
sendiri-sendiri tetapi secara kontinum, atau saling berhubungan
satu sama lain. Kekerasan fisik pada umumnya dimulai dengan

115
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

kekerasan psikis, dan juga diikuti dengan kekerasan ekonomi.


Bahkan tidak jarang disertai dengan kekerasan seksual yang
merupakan perwujudan bentuk relasi kuasa laki-laki terhadap
perempuan dan anak-anak.
3. Pengakuan Hak-Hak Korban
KUHP selama ini tidak secara eksplisit mengatur tentang hak-
hak korban yang menyangkut hak atas kebenaran, keadilan, dan
pemulihan serta kerahasiaan korban. Berdasarkan pengalaman
penanganan korban, UU PKDRT merumuskan secara lebih detail
tentang hak-hak korban yang harus dilindungi oleh keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau
pihak lain yang ditetapkan secara legal. Pasal 10 UU PKDRT juga
menyebutkan hak korban untuk mendapatkan layanan kesehatan
baik fisik dan psikis, hak atas layanan pendampingan hukum, dan
jaminan atas kerahasiaan korban dalam penanganan kasusnya
serta hak atas rehabilitasi ekonomi, sebagaimana tercantum
sebagai berikut:
Pasal 10 UU PKDRT:
“Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.”
Pencantuman hak-hak ini, dalam penanganan KDRT tidak saja
mengedepankan unsur hukumnya saja tetapi juga memper-
timbangkan aspek lain yang berkaitan dengan yang dialami
korban, oleh karena itu mendengar ‘suara’ korban adalah bagian
penting dalam proses pengakuan dan pemenuhan hak-hak korban.

116
Selain dampak terhadap kesehatan fisik dan psikis korban,
KDRT juga telah merampas kebebasan korban, mengalienasi
korban dari kehidupan sosial, mereduksi kemampuan korban,
dan mengambil akses-akses ekonomi korban. Dampak yang
sangat kompleks dan luas ini coba diakomodasi UU PKDRT,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39, 40, 41 dan 42.
Pasal 39:
“Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.”
Pasal 40:
“(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kese-
hatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban.”
Pasal 41:
“Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam
bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.”
Pasal 42:
“Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat melakukan kerja sama.”
Layanan terhadap korban dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani yang kesemuanya bekerja dalam satu layanan
terpadu. Konnsep layanan terpadu sangatlah penting untuk tidak
menempatkan korban kepada kondisi yang sulit ketika harus
memilih layanan mana yang harus didahulukan. Melalui layanan

117
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terpadu, maka ketika korban tengah mengikuti proses pemulihan,


pada saat yang sama korban dapat memperoleh penguatan psikis
sekaligus diambilnya bukti-bukti yang dapat dipergunakan dalam
proses hukum.
Konsep keterpaduan tidak dimaksudkan untuk masuk ke
dalam otorisasi lembaga/ bidang lain, namun hanya melakukan
irisan atas bidang-bidang yang berkaitan dengan penanganan
korban. Gambar berikut menunjukkan pola keterpaduan kerja
layanan.

Medis

Psikososial Hukum

Irisan yang diarsir di tengah antara bidang medis, psikososial


dan hukum inilah yang dimaksudkan dengan keterpaduan. UU
PKDRT mengamanatkan penanganan korban KDRT secara
terpadu, sehingga korban akan mendapatkan haknya dalam
penanganan kasus pada satu waktu atau paling tidak korban tidak
perlu bolak balik untuk memperjuangkannya. Undang-undang
ini juga makin menguatkan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri
dan Kapolri yang dikeluarkan pada tahun 2002 tentang
Pembentukan Pelayanan Terpadu bagi Korban Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak. Masing-masing Kementerian dan Polri
telah mengeluarkan SK tentang hal yang sama: SK Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuaan No. 14/Men PP/Dep.V/X/2002, SK
Menteri Kesehatan No: 1329/MENKES/SKB/X/2002, SK Menteri
Sosial No: 75/HUK/2002, SK Kapolri No.Pol. B/3048/X/2002 .

118
Guna mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban,
maka Institusi kejaksaan juga mengeluarkan Surat Edaran JARI
Nomor 007/A/JA11/2011, yang pada prinsipnya mengatur bahwa
“penanganan perkara KtP harus dilakukan oleh Jaksa yang sudah
mendapat pelatihan khusus penanganan KtP”. Selain itu juga ada
SE JARI Nomor 013/A/JA/12/2011 yang dikeluarkan pada bulan
Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana, yang pada
prinsipnya mengatur bahwa “agar tidak terjadi disparitas dalam
penuntutan pidana”.
Selain itu, telah hadir Keputusan Menteri Pemberdayaan
Perempuan Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan yang memberikan penekanan pada standar
pelayanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan
dan korban tindak pidana perdagangan orang. Kesepakatan
pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini ditanda-
tangani oleh 9 Kementerian/Lembaga lainnya untuk memastikan
pemenuhan hak korban atas pemulihan.
4. Pendamping dalam proses hukum
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Advokat pada
prinsipnya mengatur bahwa yang disebut pendamping adalah
pendamping hukum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga
kehadiran pendamping yang bukan pendamping hukum tidak
diperkenankan untuk ikut hadir melakukan pendampingan
dalam keseluruhan proses hukum yang dijalani perempuan
korban, baik pada saat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di pengadilan. Padahal Pasal 23 UU PKDRT mengenal dan
memperbolehkan peran pendamping yang bukan pendamping
hukum selaku advokat untuk mendampingi korban dalam semua
proses hukum. Bahkan advokat juga diharuskan melakukan
koordinasi dengan pendamping/relawan/pekerja sosial dalam
melakukan pendampingan hukum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 25 UU PKDRT.

119
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasal 23 UU PKDRT:
“Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk
mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan
atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing
korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban
sehingga korban merasa aman didampingi oleh
pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis
dan fisik kepada korban.”
Pasal 25 UU PKDRT:
”Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat
wajib:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu
korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses
peradilan berjalan sebagaimana mestinya.”
Ketentuan pentingnya peran pendamping dalam proses hukum
untuk kasus-kasus KDRT sebagaimana yang diatur dalam UU
PKDRT didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain:
kehadiran pendamping diharapkan dapat menguatkan korban
yang seringkali masih sangat terpuruk sehingga seringkali sulit
menyampaikan keinginannya. Karena keterbatasan jumlah
Advokat, maka kehadiran pendamping yang pada awalnya
berperan memberikan dampingan penguatan psikologis korban,
tidak jarang juga memainkan perannya sebagai “paralegal”, karena

120
pendamping juga memainkan peran untuk menjelaskan hak-hak
hukum korban dan akibat-akibat yang harus dijalani pada saat
proses dan pasca putusan pengadilan.
Dialog dan advokasi yang terus menerus dilakukan berbagai
pihak, nampaknya membuahkan hasil. Saat ini berdasarkan
pengalaman para pendamping korban, kehadiran mereka pada
proses hukum yang dijalani korban sudah dapat diterima para
penegak hukum, bahkan pada kasus-kasus tertentu dan di wilayah-
wilayah tertentu yang sudah memiliki sistem koordinasi pena-
nganan kasus kekerasan terdahap perempuan (KtP) secara baik,
maka proses penyidikan dan penyelidikan tidak dimulai dari awal,
melainkan menggunakan data-data dan dokumentasi korban yang
sudah dilakukan lembaga layanan, sehingga proses hukum lebih
cepat dan dapat mengurangi resiko reviktimisasi pada korban.
Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum mengatur diperbolehkannya paralegal
melakukan pendampingan hukum bagi korban dalam proses
peradilan, meskipun tetap dalam pantauan advokat. UU ini juga
memberikan peluang bagi korban kekerasan untuk mendapatkan
dukungan dana bantuan hukum dalam proses pengungkapan
kebenaran. Kebijakan ini merupakan sebuah terobosan hukum
demi mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban karena
sebelumnya hanya posisi tersangka atau terdakwa yang diancam
hukuman 5 tahun dan miskin yang berhak mendapatkan dana
bantuan hukum.
5. Pelaporan
Pasal 26 UU PKDRT mengatur bahwa pelaporan kasus dapat
dilakukan korban baik di Kepolisian maupun di tempat kejadian
perkara. Pelaporan juga dapat dilakukan sendiri oleh korban atau
juga dapat memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan
pelaporan atas kejadian yang menimpanya, sebagaimana diatur
sebagai berikut:
”(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan
dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat

121
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

korban berada maupun di tempat kejadian perkara.


(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau
orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah
tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban
berada maupun di tempat kejadian perkara.”
Melihat ketentuan tersebut, maka korban tidak selalu harus
pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan, saat kondisi
korban tidak memungkinkan untuk melaporkan.
Persoalan yang selama ini dihadapi korban adalah tidak
diketahuinya kemana harus melapor, jauhnya tempat untuk
melapor atau adanya rasa takut untuk melapor, karena tidak
adanya dukungan dari keluarga besar maupun komunitas. Atas
berbagai persoalan tersebut, alangkah baiknya kalau semua pihak
ikut memberdayakan diri secara individu maupun institusi sosial
untuk menerima pengaduan. Jika itu dapat diwujudkan, maka
korban tidak merasa sulit dan sendirian untuk memecahkan
persoalan rumah tangganya. PKK, RT, RW, Kepala Lingkungan,
Kepala Dusun, Lembaga keagamaaan dan Lembaga Adat juga
dapat memainkan peran sebagai penerima pengaduan korban,
memberikan informasi kepada korban langkah-langkah yang bisa
dilakukan untuk mengungkap kebenaran kasusnya dan men-
dorong korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
6. Alat bukti dan kesaksian
Pasal 55 UU PKDRT mengatur bahwa pembuktian cukup
dengan keterangan saksi korban dan satu alat bukti yang sah,
sebagaimana disebutkan berikut ini:
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang
saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti
yang sah lainnya.”
Pembuktian semacam ini memang akan lebih memudahkan
korban dalam proses peradilan mengingat sulitnya mendapatkan
bukti-bukti KDRT. Ketentuan ini dengan jelas mengatur, bahwa
hanya dibutuhkan satu saksi dan itu bisa dilakukan korban yang
mengalami secara langsung peristiwanya. Terkait alat bukti, jika

122
memang sudah ditemukan, maka dapat menghadirkan bukti-
bukti yang diberikan saksi ahli.
Tantangan yang selama ini dihadapi korban terkait alat bukti
dan saksi dalam proses persidangan misalnya, pada umumnya
pihak pelaku telah mengantisipasi proses hukum dengan
menghilangkan barang bukti yang akan meringankan dirinya.
Selain itu,belum semua penegak hukum patuh menjalankan
ketentuan Pasal 55 UU PKDRT ini, tetapi tetap berpegang pada
dua alat bukti sebagaimana tertuang dalam KUHAP:
Pasal 183:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana  benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannnya.”
Pasal 183 KUHAP tidak dapat diterapkan secara murni dalam
menangani kasus-kasus KDRT, mengingat Pasal 55 UU PKDRT
mengatakan bahwa keterangan seorang saksi korban sudah
merupakan satu alat bukti , sehingga dalam penyelesaian kasus
ini cukup ditambahkan dengan satu alat bukti lain.
Tantangan lain adalah meletakkan tanggung jawab
pengumpulan bukti dan menguatkan saksi untuk mampu
memberikan kesaksian pada “korban”, padahal secara normatif
ini adalah tugas penegak hukum sebagai wakil negara. Akibat
dari kondisi ini seringkali ada bolak-balik pemberkasan dari
Kepolisian dan Kejaksaan, korban merasa letih dan memilih
mencabut perkaranya.
7. Ketentuan pidana
KUHP selama ini dikritisi karena tidak mencantumkan
hukuman minimal bagi pelaku kekerasan, sehingga seringkali
vonis hukuman yang ditimpakan tidak sepadan dengan kekerasan
yang dilakukan dan akibat yang diderita korban terutama yang
berkaitan dengan kekerasan seksual. UU PKDRT Pasal 47 dan 48
memberikan terobosan dengan menjatuhkan ancaman pidana

123
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terhadap kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga


dengan ancaman pidana minimal 4-5 tahun atau denda 12 juta
atau 25 juta.
Pasal 47 UU PKDRT:
“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam
rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Pasal 48 UU PKDRT:
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama
4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau
denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).”
Selain itu, Pasal 50 UU PKDRT juga memberikan sanksi pidana
tambahan yakni pembatasan gerak bagi pelaku baik secara fisik
(pembatasan ruang, jarak dan waktu) maupun pembatasan akan
hak-hak pelaku. Pelaku juga diwajibkan menjalani sesi konseling
untuk penyadaran.
Pasal 50 UU PKDRT mengatur sebagai berikut:
”Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu

124
tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.”
Walaupun pada kenyataannya ketentuan ini sulit untuk
dilakukan karena pelaku sangat jarang yang merasa bersalah dan
merasa tidak perlu disadarkan atas apa yang dilakukannya.
Sampai saat ini konseling bagi pelaku belum dijalankan secara
sistemik, seharusnya ini dilakukan baik saat pelaku dalam proses
hukum, saat menjalani hukuman maupun pasca menjalani
hukuman, sehingga tujuan mewujudkan keluarga bahagia dan
sejahtera dapat dipulihkan baik dengan keluarga lama maupun
dengan keluarga baru yang akan dibentuk.
Sekalipun pasal-pasal tentang hukuman minimal ini masih
terbatas pada kekerasan seksual, namun hal ini sudah merupakan
indikasi diakomodasinya hak atas keadilan bagi korban. Walaupun
kita masih harus mengkritisi pasal lain yang tidak menentukan
hukuman minimal untuk jenis kekerasan yang lain.
KDRT dalam UU Perlindungan Anak
Selain UU PKDRT yang secara khusus mengatur penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, pengaturan tentang KDRT juga diatur
dalam UU Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut secara tegas
mengatur perihal KDRT dalam rangka mewujudkan kepentingan
terbaik untuk anak, the best interest of child. Sejalan dengan UU PKDRT,
dalam UU Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa anggota
keluarga yang kedudukannya di rumah tangga sebagai anak-anak ini
mempunyai hak yang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan
dan penelantaran. UU Perlindungan Anak Pasal 13 menyatakan anak
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan; diskriminasi; eksploitasi
ekonomi dan seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya, sebagaimana
berikut ini:

125
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasal 13 UU Perlindungan Anak:


“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”
Pasal ini menegaskan apabila perlakuan-perlakuan di atas dilakukan
oleh orang tua, pengasuh atau walinya, maka hukuman yang ditimpakan
kepada pelaku tersebut akan ditambah. Penambahan hukuman ini
berangkat dari asumsi bahwa orang tua, wali dan pengasuh adalah
pihak-pihak yang seharusnya bertindak mengayomi dan melindungi
anak-anak dari berbagai tindak kekerasan.
Pasal 15 dan 16 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-
anak juga harus dilindungi dari penyalahgunaan politik, pelibatan
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, pelibatan dalam unsur kekerasan,
peperangan, sasaran penganiayaan, dan penyiksaan. Selain pemerintah,
legislatif dan yudikatif, pihak yang wajib dan bertanggungjawab
terhadap pemenuhan hak-hak anak seperti tertuang pada Pasal 20 UU
Perlindungan Anak ini adalah masyarakat dan orang tua. Lebih lanjut
dalam Pasal 26 orang tua diamanatkan untuk bertindak sebagai
pengasuh, pemelihara, pendidik dan pelindung anak yang apabila orang
tua gagal melakukannya mereka dapat diancam dicabut hak asuhnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Perlindungan Anak. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa, tidak hanya di dalam rumah tangga, di
komunitas dan negara, anak semestinya mendapatkan perlindungan
optimal dan bebas dari kekerasan.
Ketentuan tersebut sebagaimana tertuang dalam UU Perlindungan
Anak sebagai berikut:

126
Pasal 15:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.”
Pasal 16:
“(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.”
Pasal 20:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajibandan bertanggung jawabterhadappenyelenggaraan
perlindungan anak.”
Pasal 26:
“(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemam-
puan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-
anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya,
maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga,
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

127
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasal 30:
“(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat
dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang
tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau penca-
butan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui penetapan pengadilan.”
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
dikategorikan sebagai anak yang harus mendapatkan perlindungan
khusus sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak Pasal 59,
termasuk ketika anak dijerumuskan ke dalam tindakan perdagangan
orang oleh orang tuanya atau anggota keluarga lainnya, sebagaimana
bunyi pasal menyatakan sebagai berikut:
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.”
Seringkali anak dianggap aset keluarga yang dapat menghasilkan
pendapatan bagi keluarga. Anak-anak yang dilacurkan, dipekerjakan
sebagai pengemis di jalan oleh orang tuanya, merupakan potret KDRT
yang seringkali tidak kita sadari. Anak acapkali dijadikan sebagai
pelampiasan, tameng atau bahkan alat dalam KDRT. Melumpuhkan
perjuangan para perempuan (istri) yang mengalami KDRT tidak jarang
dilakukan oleh pelaku dengan mempergunakan anak sebagai alatnya,
seperti dituturkan oleh “R”:
“Saya membawa anak-anak keluar dari rumah karena sudah tidak tahan
perlakuan suami yang setiap hari menghajar saya dan kadang juga anak-anak.

128
Tapi suami saya mengambil anak-anak saya dari sekolah dan membawanya
sampai sekarang. Dia pindahkan sekolah anak-anak di SD yang bisa diawasi.
Dia dan keluarganya selalu menyertai dan mengawasi anak-anak kemanapun
sampai mereka tertekan. Bahkan anak saya yang kecil, kelas 3 SD mengancam
mau bunuh diri jika saya tidak segera datang mengeluarkan mereka dari rumah
itu. Saya tidak bisa menemui walaupun di sekolah, karena suami saya atau
keluarganya standby di sana dan akan memaki-maki bahkan bisa memukul
saya di sekolah. Saya tidak mau anak saya malu melihat saya dipukuli suami
di sekolah. Anak saya mencuri-curi waktu untuk menghubungi saya untuk
dikeluarkan dari rumah suami. Suami saya terus menteror, jika mau anak-
anak kembali saya harus pulang dulu ke rumah, menuruti semua maunya dan
mencabut gugatan cerai” (Catatan Konseling Savy Amira, 2004)

Banyak kasus, pelaku (suami) mengambil anak-anak dari istrinya


dengan dalih istrinya tidak mampu mengurusi anak-anak. Hal ini
digambarkan oleh pelaku bahwa sang istri selama ini tidak becus
mengurus diri dan rumah tangganya, bagaimana bisa mengurus anak-
anak? Alasan inilah yang sering dikemukakan oleh pelaku di hadapan
persidangan. Ketidakmampuan istri dalam hal ini sering dikaitkan
dengan ketiadaan akses ekonomi atau penghasilan dari sang istri sebagai
jaminan bahwa dia mampu memelihara anak-anak. Alasan ini pulalah
yang sering dijadikan dasar para penegak hukum di dalam memeriksa
dan memutuskan kasusnya dengan salah satu putusan menyerahkan
hak asuh anak kepada suami bukan pada ibunya. Tentu keputusan ini
tanpa mempertimbangkan faktor-faktor mengapa istri tidak “becus”
mengatur rumah tangga, mengapa istri sibuk mencari nafkah atau
bahkan tidak memiliki penghasilan secara ekonomis, dan faktor-faktor
yang secara spesifik dibutuhkan untuk pertumbuhan si anak. Padahal
situasi korbanlah yang menyebabkan mereka tidak memungkinkan
untuk dapat berpenghasilan sendiri dan mempunyai akses ekonomi
yang mendukung atau tidak adanya dukungan dan kerjasama dengan
suami, sehingga istri “tidak becus” mengurus rumah tangga yang
seharusnya dikelola bersama. Relasi dalam keluarga yang tidak setara
dan hanya meletakkan otoritas pada salah satu pihak untuk memainkan
peran tertentu dalam keluarga, itulah yang menjadi pemicu kekerasan

129
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

terjadi atau penilaian secara pihak becus dan tidak becusnya peran yang
dimainkan dalam mengayuh bahtera rumah tangga.
Memisahkan anak secara paksa dari asuhan ibunya yang ditetapkan
oleh pengadilan agama juga bertentangan dengan UU Perlindungan
Anak Pasal 14:
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
Suami pada dasarnya juga dapat mengajukan hak asuh jika memang
ditemukan alasan kuat untuk itu sebagaimana diatur dalam Pasal 31
ayat (1) UU Perlindungan Anak:
“Salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai
derajat ketiga dapat mengajukan permohonan ke pengadilan
untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang
pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan
pengawasan apabila terdapat alasan kuat untuk itu.”
Demikian pula dengan pihak lain dapat mengajukan hak asuh
seperti diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU Perlindungan Anak. Kendati
demikian hak asuh yang ditetapkan di pengadilan tidak boleh
memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kan-
dungnya sebagaimana diatur dalam Pasal ini, sebagaimana disebutkan
berikut:
“Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga
sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan
fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan
untuk itu.”
Orang tua yang menelantarkan anaknya secara jelas dianggap
melanggar undang-undang ini dan terancam pidana maksimal 5 tahun
atau denda seratus juta. Dalam konteks KDRT tidak jarang pelaku
(suami) tega untuk menelantarkan si anak, tidak saja dalam konteks
meninggalkan tugas dan kewajibannya namun juga dalam rangka

130
menggunakan anak sebagai alat kendalinya. Kisah “A” yang dicuplik
sebelumnya menggambarkan hal ini:
“Selama 15 tahun perkawinan saya dengan suami, sudah 8 kali dia berselingkuh.
Kalau saya tentang (menentangnya, pen.), dia memukul, menendang, menyiksa
bahkan pernah mengusir saya dengan acungan pisau. Orang kampung sudah
tidak bisa mengatasi. Biasanya dia terus pergi meninggalkan rumah dan tidak
mau menafkahi keluarga. Kalau saya minta (nafkah. Pen.) dia bilang salah saya
selalu menghalangi kesukaan dia (main perempuan-pen)... Kami dulu lumayan
berkecukupan, rumah ada 3 dan ada mobil. Rumah yang satu dan mobil sudah
diberikan ke teman perempuannya, rumah yang satu lagi digadaikan. Tinggal
rumah ini pun dia ancam mau dikasih ke teman perempuannya. Ini saya
pertahankan demi anak-anak karena tinggal ini yang saya punya. Dulu saya
kerja tapi sejak nikah, suami melarang. Dengan usia segini saya sulit cari kerja
sementara harus menghidupi dan menyekolahkan anak-anak. Saya sampai
malu minta bantuan kakak saya untuk kasih makan anak-anak” (Catatan
Konseling Savy Amira, 2002)

Kisah “H” beda lagi. Dia terpaksa menikah dengan suaminya karena
diperkosa dan hamil. Setelah melahirkan, suami meninggalkan dia dan
bayinya tanpa pertanggungjawaban. “H” harus berpindah-pindah dari
satu rumah/ bangunan kosong ke rumah/ bangunan kosong lain dengan
bayinya dan memakan apa saja untuk hidup. Bahkan dia terpaksa
menampung air hujan untuk minum bayinya. Dia tidak berani lagi
meminta bantuan keluarganya karena dia dianggap telah menorehkan
aib dan diusir dari keluarga karena peristiwa perkosaan itu. “H” pernah
mendatangi suami yang hidup dengan istri pertamanya untuk
menyerahkan bayinya karena dia tidak sanggup menghidupinya, namun
hinaan dan makian dia terima bukan saja dari suami tetapi juga dari
istri barunya. Suaminya secara terang-terangan menolak untuk
memelihara anak kandungnya.
Selain mengatur tentang larangan melakukan kekerasan dan
penelantaran anak, UU Perlindungan Anak juga mengantisipasi
penggunaan anak-anak oleh orang tuanya untuk aktivitas yang melawan
hukum seperti penggunaan narkoba, atau eksploitasi lainnya seperti
diatur pada Pasal 59 dan Pasal 67 UU Perlindungan Anak. Pemaksaaan

131
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

anak dalam usaha ini dapat dilihat sebagai kekerasan psikis karena
mengandung intimidasi dan pemaksaan.
Pasal 67 UU Perlindungan Anak mengatur sebagai berikut:
“(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya,
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak
dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
Ketentuan pidana minimal dalam UU Perlindungan Anak juga
diterapkan untuk kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana diatur
dalam Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83.
Pasal 81:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.”
Pasal 82:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,

132
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Pasal 83:
“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau
menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Pasal-Pasal ini mengatur tentang perkosaan, perbuatan cabul, perda-
gangan dan penculikan terhadap anak dengan ancaman hukuman pidana
penjara minimal 3 tahun atau denda 300 juta dan maksimal 15 tahun
atau denda 60 juta rupiah. Namun demikian pidana minimal ini tidak
dikenakan pada kasus-kasus kekerasan fisik, psikis dan eksploitasi eko-
nomi (Pasal 88) terhadap anak utamanya di dalam wilayah domestik.
KDRT dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam
Ketentuan perkawinan dalam UU Perkawinan sesungguhnya
ditujukan untuk memperbaharui posisi hukum perempuan di
Indonesia, sehingga perempuan memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum utamanya dalam wilayah privat. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam UU Perkawinan Pasal 1 yang berbunyi sebagai
berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Upaya memahami kasus-kasus KDRT melalui Undang-Undang ini
kerap digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara
terutama di pengadilan agama. Beberapa hal pokok yang terkandung di
dalam Undang-Undang ini yang berkaitan dengan KDRT adalah
pengaturan-pengaturan mengenai:

133
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Hak untuk menikah dan melakukan pernikahan tanpa paksaan


Tonggak perkawinan ditekankan pada UU Perkawinan Pasal 1
bahwa perkawinan adalah penyatuan atau ikatan laki-laki dan
perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu dalam
Pasal 2 Buku I KHI tentang Hukum Perkawinan menegaskan
bahwa pernikahan adalah mitsaqan ghalizhan atau akad yang
kuat untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, sebagaimana
berikut ini:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan
untuk menaati perintah Allah dan melakukannya
merupakan ibadah.”
Bunyi kedua pasal ini secara implisit menegaskan, bahwa
perkawinan yang diliputi kekerasan bukanlah perkawinan yang
hendak dituju oleh undang-undang ini dan dituju oleh agama
Allah. Perkawinan yang menuju kebahagiaan adalah apabila
disetujui kedua belah pihak (calon mempelai) dan tidak dilakukan
atas dasar paksaan dari siapapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan:
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.”
Konteks KDRT masih sering kita temui kekerasan psikis berupa
paksaan dari orang tua untuk menikahkan anak gadis mereka
dengan pilihan orang tua dan tanpa sepersetujuan anak. Orang
Tua biasanya berdalih bahwa merekalah yang bertanggungjawab
terhadap anak dan anak mempunyai kewajiban untuk patuh dan
menuruti kemauan kedua orang tuanya. UU Perkawinan
mengatur bahwa anak dapat menolak paksaan tersebut dan
berhak menentukan pilihannya, kecuali anak belum berusia 21
tahun. Walaupun demikian, dalam UU Perlindungan Anak,
orang tua diamanatkan untuk mencegah dilakukannya kawin
usia anak. Pengaturan samacam ini semata-mata dimaksudkan
untuk memberikan “kebebasan” kepada anak dari paksaan

134
termasuk dari paksaan kedua orang tuanya, karena anak adalah
memiliki otoritas penuh atas tubuh dan dirinya, bukan milik
kedua orang tuanya, meski dilahirkan dan dipelihara oleh kedua
orang tuanya. Semata-mata untuk memastikan kepentingan anak
sebagai hak asasinya sebagai manusia yang utuh untuk tetap
terlindungi.
Demikian pula pada kasus poligami yang masih sarat dengan
unsur pemaksaan. Sekalipun dalam UU Perkawinan ditegaskan
bahwa prinsip perkawinan adalah monogami, namun poligami
merupakan hal yang masih diizinkan dengan batasan-batasan
tertentu yang sangat ketat. Pasal 3 (1) menyebutkan:
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami”.
Undang-undang ini lebih melihat monogami sebagai hal yang
dapat membawa tujuan perkawinan yang sakinah mawadah
warahmah. Namun dalam kondisi khusus dan dengan persetujuan
istri terdahulu serta konsekuensi atas hak waris dan hak nafkah,
suami diperkenankan untuk melakukan poligami. Akan tetapi
pada kenyataannya banyak sekali poligami yang dilakukan dengan
tidak mengindahkan ketentuan hukum ini. Poligami dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan dengan melakukan manipulasi
dokumen tanpa ada persetujuan dari istri terdahulu. Permintaan
izin dari istri terdahulu juga tidak dilakukan dengan
mengedepankan hak istri untuk menolak, tapi dengan melakukan
paksaan dan intimidasi yang memanfaatkan posisi rentan dan
lemah sang istri. Istri yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan
sendiri tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengiyakan
permintaan suami yang disertai dengan ancaman pemutusan hak
atas nafkah.
Upaya pencegahan poligami supaya tidak terus berulang tentu
dibutuhkan dukungan semua pihak, termasuk keluarga dan
komunitas. Terjadinya pemalsuan dokumen, atau intimidasi dari
pelaku pada korban, seringkali dikarenakan masih rendahnya

135
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

upaya pencegahan yang dilakukan keluarga dan komunitas.


Stigma yang terus mempersalahkan perempuan yang tidak bisa
memiliki keturunan seakan-akan tidak adanya keturunan se-
mata-mata adalah kesalahan istri atau semata-mata menjadi
tujuan membina rumah tangga sehingga jika tidak ada ketu-
runan dapat menjadi pemicu poligami, apalagi jika komunitas
tidak ikut melakukan pencegahan. Beberapa waktu lalu secara
terang benderang di beberapa media memberitakan poligami
tersembunyi yang dilakukan salah seorang pekerja seni ibukota.
Publikasi itu bahkan menggambarkan adanya dukungan keluarga
dan komunitas. Padahal ada perempuan lain sebagai istrinya dan
anak-anak serta keluarga besarnya yang tersakiti akibat poligami
yang dilakukannya.
Kondisi aturan hukum yang sampai saat ini belum
mengkriminalkan pelaku poligami yang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam UU Perkawinan dan sistem penegakannya masih
sangat lemah, tentu membutuhkan dukungan keluarga dan
komunitas untuk mencegah terjadinya poligami dan lahirnya
komunitas laki-laki baru yang anti pada poligami, karena poligami
menyebabkan kondisi yang tidak kondusif bagi terwujudnya
keluarga yang sejahtera dan bahagia.
2. Hak yang sama untuk memelihara anak dan menentukan
pendidikan anak.
Hak dan kewajiban orang tua -suami istri- diatur dalam Bab X
UU Perkawinan. Pasal 45 UU Perkawinan menyebutkan bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya, sebagaimana kutipan lengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 45:
“(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.”

136
Demikian pula dalam Pasal 1 (g) KHI mengatur bahwa
“Pemeliharaan anak atau hadlanah adalah kegiatan mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu
berdiri.” Pasal 77 ayat (3) KHI semakin meneguhkan kewajiban
suami istri untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecer-
dasannya dan pendidikan agamanya, sebagaimana disebutkan
sebagai berikut:
“Suami-istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan
agamanya.”
Kondisi ini sejalan dengan prinsip dalam UU Perlindungan
Anak, bahwa anak mempunyai hak atas pengasuhan dan
pendidikan dan orang tua mempunyai kewajiban untuk
memenuhinya. Konteks KDRT tidak jarang ditemui orang tua
yang melalaikan kewajibannya bahkan dengan cara sengaja.
Kasus “E” yang telah ditulis di atas menunjukkan salah satu bukti
kasus tentang kelalaian orang tua (ayah) dalam memelihara dan
mendidik anak. “E” menuturkan:
“Waktu di kandungan anak saya tidak diakui sebagai anaknya dan saya
diusir dari rumah, waktu lahir saya dibiarkan. Saya titip-titipkan anak saya
ke ibu kos kalau saya kerja untuk menghidupi anak saya. Dia tidak pernah
memberi nafkah, tidak pernah menjenguk, tidak peduli anak saya sakit.....”
(Catatan konseling Savy Amira WCC, 2002).

3. Hak yang sama untuk pengelolaan harta bersama


Salah satu bentuk KDRT juga bisa terjadi dalam bentuk
penguasaan atas harta di dalam rumah tangga. Sebagian besar
korban (istri) mengalami kesulitan untuk mendapatkan
pemanfaatan dan pemilikan harta benda yang diperoleh baik
sebelum menikah maupun setelah menikah. “D”, 35,
menuturkan:

137
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

“Saya kawin membawa warisan banyak dari bapak saya. Tapi setelah menikah
semua dikuasai suami. Suami kerjaannya marah dan memukul sampai saya
tidak tahan dan lari dari rumah. Sekarang saya butuh uang untuk kehidupan
saya dan anak saya, saya mau jual tanah warisan orang tua. Saya harus minta
tanda tangan dia. Mana mungkin, itu bunuh diri namanya. Suami saya sudah
mengancam kalau menemukan saya akan disiram air keras. Saya terpaksa
memalsu tanda tangannya, dan dia lapor yang akhirnya saya masuk penjara
ini” (Catatan kasus Savy Amira, 2001).

Pasal 35 dan Pasal 36 UU Perkawinan mengatur hak yang sama


antara suami istri untuk mengatur harta bersama. Ayat 2 Pasal 35
bahkan memperbolehkan masing-masing untuk menguasai dan
mengelola harta yang diperoleh mereka sebagai hibah dan
warisan. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagaimana dikutip
berikut ini:
Pasal 35:
”(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menetukan lain.”
Pasal 36:
“(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.”
Begitupun dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI
mengatur hal ini secara lebih detail. Faktanya banyak suami yang
menguasai harta benda dalam keluarga baik yang dihasilkan
selama perkawinan ataupun hasil hibah dan warisan masing-
masing. Perempuan kesulitan untuk mendapatkan haknya
kembali, perempuan posisinya menjadi terpojok dan kemudian
mendorongnya melakukan tindakan yang melanggar hukum

138
untuk mendapatkan haknya seperti yang dilakukan oleh “D” di
atas, memalsu tanda tangan suami. Apabila hal semacam ini tidak
dianalisis mendalam, maka serta merta kita akan menempatkan
“D” sebagai pelaku kriminal semata, tanpa mema-hami konteks
permasalahan KDRT sebenarnya yang tengah terjadi.
Suami yang dalam konstruksi partiarkhis secara sosial dianggap
sebagai kepala keluarga tidak jarang memaknai perolehan harta
selama perkawinan adalah hasil jerih payahnya atau haknya
sebagai kepala rumah tangga. Karena itu dia merasa berhak untuk
memperlakukan apa saja atas hartanya dan melarang istrinya
mengelola tanpa kehendak suami. Seorang korban KDRT, “L”, 35,
menuturkan:
“Suami saya sakit, lumpuh, tidak bisa bekerja. Dia suruh saya bekerja keras
untuk menghidupi keluarga dan berobat dia. Tapi dia tidak tahu terima kasih.
Saya harus setor uang hasil jerih payah saya kepadanya dan dia yang atur uang
itu untuk apa. Saya setiap hari dijatah dalam menggunakan uang hasil kerja
saya sendiri. Kalau tidak cukup saya dimaki-maki dan dilempari apa saja yang
bisa diraih. Saya tidak berani melawan karena takut dianggap durhaka pada
suami” (Catatan konseling Savy Amira, 1998).
4. Hak yang sama untuk menentukan tempat tinggal
Pasal 32 UU Perkawinan menegaskan bahwa suami istri harus
mempunyai tempat tinggal yang tetap dan penentuan tempat
tinggal tersebut atas sepersetujuan kedua belah pihak, sebagai-
mana bunyi ketentuan pasal sebagai berikut:
Pasal 32:
“(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.”
Banyak kasus KDRT dapat terjadi dalam lingkungan keluarga
besar yang terdiri dari beberapa keluarga yang tinggal dalam satu
rumah (Somah) atau pada keluarga mandiri (batih). Kondisi ini

139
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

memunculkan kemungkinan terjadinya kekerasan yang dilaku-


kan dan dialami oleh seluruh anggota keluarga. Semestinya hal
semacam ini dapat diminimalisasi jika masing-masing keluarga
mempunyai tempat tinggal masing-masing. Kasus “E” yang
menumpang di keluarga kakak suami, menunjukkan bahwa
pelaku kekerasan tidak saja sang suami namun juga kakak ipar
yang tinggal serumah dengannya. Saran “E” untuk keluar rumah
dan tinggal di rumah sendiri sekalipun kontrakan justru memicu
amarah suami karena dianggap membuat jurang dan memusuhi
kakaknya. Perempuan ditempatkan pada posisi tawar yang rendah
termasuk dalam hal penentuan tempat tinggal. UU Perkawinan
pada dasarnya telah mengantisipasi hal ini untuk mencegah
terjadinya keruwetan dalam rumah tangga.
Pasal 81 KHI mengatur kewajiban pemberian tempat tinggal
yang dibebankan kepada suami, termasuk untuk tempat tinggal
bagi mantan istri selama masa iddah, sebagaimana bunyi pasal
berikut ini:
Pasal 81:
“(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.”
Tempat kediaman ini merupakan tempat untuk melindungi
istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa nyaman dan tenteram. Konteks terjadinya KDRT maka
tujuan disediakannya tempat tinggal menjadi kabur, karena di
dalam tempat yang harusnya untuk melindungi istri dan anak
justru dipergunakan untuk tempat berlindung yang aman bagi
suami melakukan kekerasan. Oleh karena itu rumah tinggal yang
seharusnya menjadi tempat yang “aman” bagi perempuan dan
anak-anak berlindung, bisa menjadi “ancaman” ketakutan
berulangnya kekerasan. Kondisi ini juga perlu dipahami penegak

140
hukum ketika memutuskan “rumah aman” bagi korban. Feno-
mena terjadinya putusan Pengadilan yang menetapkan agar istri
kembali ke rumah, padahal di rumah itulah istri mengalami
kekerasan adalah penetapan yang tidak cermat dan jeli melihat
kerentanan perempuan dalam rumah tangga yang dibangun tidak
dalam relasi setara.
5. Hak untuk melakukan perceraian
Kondisi rumah tangga yang dibangun di atas relasi yang tidak
setara sehingga memicu kehidupan penuh kekerasan menun-
jukkan bahwa rumah tangga tersebut tidak berjalan rukun, dan
oleh karenanya dapat diajukan perceraian dari kedua belah pihak
sesuai dengan Pasal 114 KHI yang mengatur bahwa perceraian
dapat diajukan baik oleh istri (khuluk) maupun suami (talak).
Perceraian karena KDRT dapat dilakukan dan diatur dalam Pasal
116 KHI apabila terjadi hal-hal berikut:
• Perbuatan zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
penyakit masyarakat lain.
• Salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut
tampa persetujuan pihak lain.
• Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
• Adanya unsur pertengkaran, percekcokan, kekerasan,
kekejaman, penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
• Suami melanggar taklik-talak.
Perceraian pada umumnya menjadi jalan terakhir yang
ditempuh korban KDRT (istri) setelah semua upaya yang
dilakukan tidak mampu menyelesaikan masalah. Pada situasi
demikian harus dipahami bagaimana dinamika korban untuk
menuju keputusan terberat ini dalam kehidupan rumah
tangganya. Perceraian tidak selalu melahirkan kebahagiaan bagi
korbannya karena meskipun di satu sisi dia akan terbebas dari

141
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

KDRT yang menimpanya, di sisi lain dia harus menanggung


stigma masyarakat yang masih menempatkannya secara negatif
sebagai janda di dalam masyarakat. Predikat janda cerai
merupakan momok bagi para perempuan di dalam masyarakat.
Sehingga jika keputusan untuk bercerai dilakukan maka artinya
dia telah memulai menempuh jalan terjal berikutnya dalam
kehidupan sosial yang tidak selalu berpihak padanya. Tidak
mudah bagi perempuan untuk memutuskan rantai perkawinan
dengan bercerai.
Fenomena tingginya kasus gugat cerai (khuluk) adalah karena
situasi “pembiaran” atas permasalahan dalam rumah tangga
termasuk kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Status
perempuan menjadi “menggantung”, disebut punya suami tetapi
tidak bertanggung jawab, disebut tidak punya suami, nyatanya
negara dan masyarakat mengetahui bahwa relasi pasangan ini
adalah suami dan istri. Sehingga, keputusan permpuan untuk
segera dapat “berpisah” dari suaminya adalah pilihan prioritas
dari pembiaran, meskipun perempuan menyadari bahwa akibat
dari proses itu banyak hak-hak dia sebagai istri yang tidak lagi
bisa didapatkan dan ditambah stigma yang menyakitkan dari
masyarakat.
6. Hak untuk mendapatkan nafkah
Pasal 34 UU Perkawinan menetapkan kewajiban suami untuk
memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya, sebagaimana
bunyi pasal berikut ini:
Pasal 34 ayat (1):
“Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.”
Bahkan UU Perkawinan Pasal 41 menyebutkan bahwa setelah
terjadinya perceraian suami juga masih bertanggung jawab
terhadap nafkah mantan istri dan anak sekalipun yang di bawah
pengasuhan istri, sebagaimana bunyi pasal berikut ini:

142
Pasal 41:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”
Karena itu tidak ada alasan bagi suami untuk tidak
mengindahkan pasal ini dalam lingkup rumah tangganya. Kendati
demikian, KDRT masih memungkinkan terjadi dalam bentuk
penahanan nafkah dari suami untuk keluarga dan penelantaran
terhadap keluarga. Hal ini dilakukan baik secara langsung
maupun sebagai upaya untuk mengendalikan roda kuasanya agar
siklus kekerasan tidak terputus dan suami tetap memiliki
dominasi atas keluarga.
Perceraian juga bukan keputusan mudah bagi perempuan, jika
sejak awal tidak memiliki pendapatan ekonomi, maka perempuan
tentu sangat berat akan menanggung beban ekonomi bagi diri
dan anak-anaknya, karena seringkali mantan suami melepaskan
tanggung jawabnya, meski Pengadilan sudah memutuskan bahwa
atas perceraian yang terjadi, mantan suami tetap punya tanggung
jawab pada keluarganya.
7. Hak untuk membuat perjanjian perkawinan
Sebagai sebuah tindakan antisipasi atas kemungkinan
terjadinya perselisihan terhadap harta benda di dalam rumah
tangga, Pasal 29 UU Perkawinan memperkenankan suami istri

143
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

membuat perjanjian nikah sebelum maupun saat di-


langsungkannya pernikahan. Sebagaimana bunyi pasal berikut
ini:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
tersangkut.”
Sebagian perempuan membuat perjanjian pernikahan tidak
sekedar dalam ruang lingkup harta kekayaan rumah tangga,
tetapi mengikatkan diri bentuk-bentuk baru yang disepakati
sebagai bagian dari perjanjian nikah, misalnya bahwa pasangan
ini berjanji untuk tidak berselingkuh dan poligami, bahwa
pasangan suami-istri untuk saling menghormati satu sama lain
sebagai relasi yang setara dan lain sebagainya yang bertujuan
sebagai dasar untuk mengingatkan satu sama lain sebagai
pasangan untuk saling mematuhi.
8. Pengasuhan anak
Pengasuhan anak sering menjadi rebutan dalam kasus
perceraian di pengadilan agama dan pengadilan negeri.
Pengasuhan anak menjadi simbol kekuasaan yang harus
diperjuangkan. Namun kebijakan yang ada melihatnya dari sisi
lain yang lebih mengedepankan the best interest of child yang
secara psikis lebih membutuhkan pengasuhan ibu. Maka Pasal
105 KHI menetapkan hak pengasuhan bagi anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,
sebagaimana bunyi pasal sebagai berikut:
“Bahwa dalam hal terjadinya perceraian:
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;”
Meskipun telah terdapat banyak jaminan hak-hak perempuan dalam
UU Perkawinan maupun KHI, kedua produk hukum tersebut ternyata
masih menyimpan beberapa titik kelemahan yang bisa dianalisis dari
perspektif gender. Kelemahan muncul akibat beroperasinya asumsi

144
gender dalam pembuatan undang-undang beserta peraturan pemerintah
pelaksanaannya. Ratna Batara Munti mencatat sejumlah kelemahan
dari aturan-aturan hukum ini yang ditulis ulang dalam Modul Pelatihan
Perspektif Gender Bagi Pendamping, Pengacara, Jaksa dan Hakim, Savy
Amira, sebagai berikut:
1. Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan menetapkan peran berbeda
antara laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai
pengurus rumah tangga. Pembedaan ini mengadopsi peran
gender yang menempatkan perempuan pada peran reproduksi
dan laki-laki dalam peran produksi. Perempuan sekalipun
mempunyai penghasilan lebih besar dari suami akan tetap
berada pada peringkat kedua di dalam struktur rumah tangga
yang ditetapkan pasal ini. Oleh karenanya multiple burdens atau
peran ganda pada perempuan yang bekerja banyak dijumpai
dalam rumah tangga.
2. Pasal 80 KHI menetapkan suami sebagai pembimbing, pelindung
dan pengajar (agama) istri. Pasal ini juga melegitimasi peran
gender laki-laki dan perempuan dan tidak melihat perkembangan
sosial bahwa perempuan juga mempunyai kemampuan yang
sama untuk menjadi pembimbing, pelindung dan pengajar
(agama) pada suami.
3. Pasal 7 UU Perkawinan mengatur usia yang berbeda bagi laki-
laki (minimal 19 tahun) dan perempuan (16 tahun) untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pembedaan ini sekali lagi
didasarkan asumsi gender yang memandang peran laki-laki
sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai pengatur
rumah tangga. Ketentuan ini tertuang di dalam Pasal 31, 34 dan
80 UU Perkawinan.
4. Pasal 4 mengesahkan poligami yang dalam praktiknya meru-
pakan salah satu bentuk kekerasan terhadap istri karena
persyaratan yang sering dilanggar. Dalam peraturan pemerintah
yang menyertai juga ada diskriminasi pada PNS laki-laki yang
boleh melakukan poligami sementara PNS perempuan tidak
diperbolehkan menjadi istri kedua, ketiga.

145
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

5. P
asal 2 ayat (1) UU Perkawinan tentang pencatatan perkawinan
dan Pasal 6 KHI menyebutkan perkawinan yang tidak dicatatkan
tidak mempunyai kekuatan hukum. Ketentuan ini tidak
mengakomodiri KDRT yang terjadi pada pasangan yang tidak
mencatatkan pernikahannya pada hukum nasional atas dasar
apapun. Realitas sosial dan kesadaran hukum yang masih rendah
di beberapa kalangan untuk melakukan pencatatan tidak
diakomodir sebagai persoalan sosial yang harus direspon oleh
undang-undang ini.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut:
“(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Bunyi Pasal 6 KHI sebagai berikut:
“(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.”
6. Pasal 7 KHI mengatur tentang itsbat nikah yang dapat diajukan
ke Pengadilan Agama hanya sebatas pada :1) kalau perkawinan
tersebut dalam rangka perceraian, 2) hilangnya akta nikah, 3)
adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan, 4) adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 5)
perkawinan dilakukan oleh mereka yang tidak ada halangan
menurut UU Perkawinan.
Bunyi lengkap Pasal 7 KHI sebagai berikut:
“(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan
Agama.

146
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian;
b. hilangnya akta nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974; dan
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974.
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak
yang berkepentingan dengan perkawinan itu.”
Penting untuk diperhatikan bahwa terkait proses itsbat nikah,
hakim tidak hanya memastikan terpenuhinya prosedur hukum
tetapi juga memastikan keadilan secara material hukum. Guna
memenuhi kebutuhan keadilan bagi perempuan dan keluarga
maka hakim ketika akan memutuskan sidang itsbat nikah penting
menghadirkan para pihak mempelai, dan keluarganya untuk
memberikan kesaksian pentingnya dikabulkan itsbat nikah yang
diajukan pihak. Misalnya, jika itsbat diajukan suami untuk
kebutuhan pengesahan perkawinan kedua dan seterusnya
(poligami) maka hakim harus menghadirkan istri, anak dan
keluarga untuk dimintai pendapatnya. Contoh: Machica Mochtar
yang ditolak itsbat nikahnya oleh hakim dengan pertimbangan
bahwa Moerdiono masih terikat dalam perkawinan. Oleh karena
itu harus dipastikan bahwa itsbat nikah adalah sebuah proses
hukum yang tidak mudah diberikan, harusnya menjadi putusan
untuk kejadian overmacht dan untuk perlindungan anak dan
perempuan.
7. Pasal 84 KHI menyebutkan bahwa nusyuz hanya berlaku pada
istri dengan akibat bahwa istri tidak akan mendapatkan nafkah,
kiswah dan maskan, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri.

147
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasal 84 KHI:
“(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 Ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap
istrinya yang tersebut pada Pasal 80 Ayat (4) Huruf a
dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada Ayat (2) di atas berlaku
kembali sesudah istri tidak nusyuz”
Pasal ini melegitimasi pelimpahan kesalahan pada istri jika
terjadi KDRT. Istri dianggap sebagai pemicu terjadinya KDRT
karena telah nusyuz dan memperbolehkan suami menghukum
dengan kekerasan bahkan dengan pencabutan hak atas nafkah,
kiswah, maskan, biaya rumah tangga dan lain-lain. Pemaknaan
nusyuz pada kenyataannya hanya didasarkan atas ketetapan
suami, sehingga tolok ukurnya juga tergantung pada suami.
Misalnya kasus yang dialami seorang Perempuan korban KDRT
yang keluar dari rumah dan tinggal sementara di lembaga pengada
layanan. Suaminya meminta istri untuk pulang. Hakim yang
menangani perkara ini menganggap dalam kejadian ini istri telah
melakukan nusyuz. Padahal perginya istri dari rumah adalah
dalam rangka untuk melindungi dirinya dari tindakan KDRT yang
dilakukan oleh suami.
8. Pasal 149 KHI hanya menentukan kewajiban suami bila perceraian
terjadi karena talak, sementara untuk perceraian yang diajukan
istri (khuluk) disamakan dengan talak ba’in yang diatur dalam
Pasal 119 KHI.
Pasal 149:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib:
a. memberi mut‘ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla
ad-dukhul;

148
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri
selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba‘in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan
separo apabila qabla ad-dukhul.”
Pasal 119:
“(1) Talak ba‘in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.
(2) Talak ba‘in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat (1)
adalah:
a. talak yang terjadi qabla ad-dukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.”
Demikian pula dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian jo PP No.45
tahun 1990 yang menyatakan bahwa jika perceraian diajukan istri
maka istri tidak berhak atas bagian penghasilan suami, tetapi bila
atas kehendak laki-laki maka istri dan anak-anaknya berhak
masing-masing 1/3 dari penghasilannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian:
Pasal 8:
“(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri
Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya
untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang
bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan
sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka
bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil
pria kepada bekas istrinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak
berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak

149
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu.


(6) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas
suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.”
Ketentuan ini menjadi titik lemah dan menyulitkan perempuan
untuk mengajukan perceraian utamanya bagi perempuan yang
tidak mempunyai penghasilan sendiri. Hal yang harus dipahami
bahwa banyak suami yang melarang istrinya untuk bekerja.
Pelarangan ini membuat posisi istri sangat tergantung pada suami
dan ini merupakan salah satu relasi kuasa yang sengaja diciptakan
suami dalam perkawinan. Maka ketika harus terjadi perceraian
istri akan mengalami dilema antara keinginan untuk meng-
hentikan kekerasan dengan perceraian dengan kenyataan bahwa
dia harus menanggung konsekuensi hilangnya hak atas nafkah.
9. Pasal 94 KHI tentang harta bersama yang tidak mensyaratkan
perhitungan riil kontribusi masing-masing pihak, akan merugikan
perempuan karena menanggung beban berlebihan baik untuk
kerja reproduksi dan produksi, sementara kontribusi untuk kerja
reproduksi seringkali tidak dinilai sebagai kontribusi ekonomi
padahal peran ini selalu dibebankan kepada perempuan dengan
mengorbankan peran di sektor produksi.
Pasal 94:
“(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.”
10. Pasal 43 UU Perkawinan dan Pasal 100 KHI menyatakan anak yang
lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab/
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

150
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Pasal 100 KHI:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Mahkamah Konstitusi pada bulan Februari 2012 menetapkan
melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 bahwa Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan konstitusional jika dibaca “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.”
Putusan ini adalah terobosan hukum untuk meneguhkan
pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU Perlindungan
Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanya
mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan
dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan
bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan
keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubu-
ngan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh
orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk
itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut
hukum negara.
Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung
pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12
kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2
kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam

151
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat


perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri.
Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/
laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum
dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak
tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan
menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak
baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung
seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada
perempuan/ibu.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan urgensi negara
mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan
negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula
disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban
pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari
kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan
kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang
dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti
praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin
siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri.
Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai
normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi
tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap
perempuan.
11. Pasal 44 UU Perkawinan dan Pasal 102 KHI tentang hak
pengingakaran anak yang dikandung istri oleh laki-laki.
Pasal 44 UU Perkawinan:
“(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan
bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya
anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.”

152
Pasal 102 KHI:
“(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari
istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau
360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami
itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan
berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu
tersebut tidak dapat diterima.”
Pada dasarnya hanya perempuanlah yang mengetahui benih
siapa yang dikandung. Namun ketentuan ini berpotensi
mendiskriminasi dan memojokkan perempuan karena
memberikan privilese pada laki-laki untuk mengingkari.
Pembuktian bahwa anak yang dikandung adalah anak suami
memerlukan usaha yang tidak mudah bagi perempuan yang dapat
menempatkan dia pada keputusasaan.
Aspek KDRT dalam UU PTPPO
“Saya nikah siri dengan suami. Pada waktu saya habis melahirkan dan
masih di rumah sakit, suami datang dan menggendong anak saya. Dia bilang
sambil menunggu saya sembuh anaknya dibawa pulang dulu dan diasuh oleh
kakak ipar saya. Saya setuju saja demi kebaikan bayi. Tapi sampai saya pulang
dari rumah sakit anak saya tidak ada. Suami bilang sudah dikasih ke orang
dengan imbalan 600 ribu. Saya marah kok tega dia menjual anaknya sendiri.
Saya nuntut anak saya dikembalikan, tapi suami malah menghilang” (Catatan
konseling Rifka Annisa, 1995)
Catatan di atas adalah penuturan “I”, 25, kepada Ummu A.
Mukarnawati sebagai konselor di kantor polisi untuk melaporkan kasus
penjualan anak oleh suaminya. Kasus ini semula dilaporkan Alm. Prof.
Dr. Masri Sngarimbun ke Rifka Annisa dan ditindaklanjuti oleh Rifka
Annisa WCC di Jogjakarta. Kasus-kasus trafficking atau perdagangan
orang seperti dituturkan “I” di atas merupakan kasus KDRT yang
pelakunya adalah keluarga dekat sendiri bahkan orang tuanya sendiri.

153
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kasus semacam inilah yang menyulitkan proses hukum karena akan


menghadapi kondisi dilematis jika korban harus melaporkan
keluarganya sendiri ke pihak berwenang. Suami, orang tua dan keluarga
dapat menjadi pelaku perdagangan jika memenuhi unsur-unsur
perdagangan orang seperti diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU PTPPO:
“Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Perdagangan orang dapat dianalisis dari kacamata KDRT apabila
dilakukan dan melibatkan keluarga dengan penggunaan cara-cara
sebagaimana tersebut di atas. Pasal 1 Angka 4 UU PTPPO tidak
membedakan pelaku dari dalam rumah tangga atau dari kalangan di
luar rumah tangga, namun menunjuk semua orang baik perseorangan
(individu) atau korporasi yang melakukan tindak pidana orang, dalam
hal ini tanpa terkecuali orang di dalam rumah tangga.
“Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang.”
Pada seluruh unsur perdagangan orang sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 di atas, dapat melibatkan orang tua dan keluarga baik
ketika dalam proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyerahan
ke pihak lain dengan cara-cara initimidatif, ancaman, kekerasan dan
penyalahgunaan wewenang untuk tujuan eksploitasi. Mereka dapat
diancam pidana sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan
Pasal 12 dan Bab III Pasal 19 sampai dengan 25 UU PTPPO.
Memaksa anak untuk diserahkan kepada pihak lain untuk
dipekerjakan yang disertai ancaman terhadap anak dalam Undang-
Undang PKDRT sudah dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Jika
pemaksaan dilakukan dengan pemukulan maka pelaku sudah

154
menggunakan kekerasan fisik di dalam rumah tangga untuk memaksa
anggota keluarga (anak) untuk diperdagangkan. “F”, (16) mengisahkan
bagaimana dia dipaksa ibunya untuk bekerja sejak umur 10 tahun,
“Saya diantar ibu ke temannya dan menyerahkan saya kepada temannya itu.
Ibu minta agar saya dapat dicarikan pekerjaan. Saya kerja sebagai pembantu
rumah tangga selama 3 tahun, terus pulang. Dua bulan di rumah, saya sudah
disuruh kerja lagi sama ibu. Saya mau sekolah tapi tidak boleh, malah dimarahi
dianggap berani sama ibu. Setiap bulan uang saya diambil ibu untuk bayar
listrik, belanja dan macam-macam. Terakhir saya dikirim ibu ke temannya lagi
dan saya dikirim ke Kalimantan. Saya dipaksa jadi pelacur. Saya lari dan kembali
ke rumah. Tapi malah dimarahi ibu karena tidak bawa uang. Setiap hari diomeli
dan dimarahi, dianggap anak tidak tahu diri. Saya sekarang dijodohkan sama
pak lurah oleh ibu” (Catatan konseling IOM, 2005).
Mitos bahwa anak adalah hak milik (aset) orang tua seringkali
digunakan sebagai dalih orang tua mempekerjakan dan
memperdagangkan anak-anaknya. Anak dianggap sebagai hak milik
yang dapat diperlakukan sekehendak orang tua, tanpa meminta
pendapat dan persetujuan anak. Perdagangan anak dalam UU PTPPO
diancam dengan tambahan pidana 1/3 dari vonis yang dijatuhkan. Pasal
12 juga dapat diterapkan dalam kasus seperti yang dialami “F” di mana
orang tua mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan
dan meneruskan praktik eksploitasi.
Anak-anak dengan kondisi rentan dan lemah memang menjadi
objek yang paling mudah dalam tindak perdagangan orang.
Pengangkatan anak, pemenuhan hak pendidikan anak, dan sebagainya
seringkali digunakan sebagai modus operandi perdagangan anak.
Pidana terhadap hal ini diatur dalam Pasal 5 UU PTPPO:
“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud
untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000, 00 (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam
ratus juta rupiah).”

155
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

UU PTPPPO menyebutkan bahwa pelaku pengangkatan anak


diancam pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun atau
denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 600 juta, jika ditemukan
bahwa pengangkatan anak tersebut ternyata untuk tujuan eksploitasi
dengan pemberian janji-janji dan pemberian sesuatu sebagai iming-
iming atau bujuk rayu.
Hal yang menarik dalam UU PTPPO ini adalah diterapkannya
pidana minimal untuk seluruh bentuk perdagangan orang yang
dilakukan, baik yang melibatkan eksploitasi secara fisik, psikis, seksual
dan ekonomi. Penetapan pidana minimal ini memberikan rasa keadilan
korban menajdi terjamin karena selama ini kasus perdagangan orang
sangat ringan hukumannya di bawah satu tahun. Pengaturan pidana
minimal diharapkan ada efek jera dari pelaku untuk tidak melakukan
tindak pidana serupa. Pemidanaan ini diharapkan tidak hanya bagi pelaku
langsung, tetapi juga mampu menjerat mafia perdagangan orang.
Pengaturan restitusi sebagai upaya menjawab kompleksitas masalah
tindak pidana perdagangan orang diakomodir oleh UU PTPPO dengan
menerapkan restitusi sebagai bentuk pengembalian kerugian bagi
korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU PTPPO:
“(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli
warisnya berhak memperoleh restitusi.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
ganti kerugian atas:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis; dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus
dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak
pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat
pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat

156
dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara
diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas)
hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat
banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan
dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan
dikembalikan kepada yang bersangkutan.”
Ketentuan ini diharapkan dapat memberi efek jera pada pelaku di
satu sisi, dan rasa keadilan bagi korban di sisi lain. Sayang sekali dalam
implementasinya, ketika terpidananya adalah bukan pelaku yang
langsung tetapi hanya kaki tangan, para calo, maka ujung-ujungnya
terdakwa tidak mampu membayar restitusi dan memilih menjadi
hukuman pidananya.
UU PTPPO juga mengamanatkan adanya Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) dan Gugus Tugas. PPT dipergunakan sebagai pusat perlindungan
dan pemulihan baik fisik, psikis dan penguatan untuk pemulangan
serta reintegrasi. Sedangkan Gugus Tugas dibentuk untuk dapat
melaksanakan program pemerintah dalam mencegah dan menangani
korban perdagangan orang sebagaimana diamanatkan Pasal 58 UU
PTPPO:
“(1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang.
(2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan
langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan
wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
profesi, dan peneliti/akademisi.
(3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang
beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah,
penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.

157
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

(4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas:
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan
kerja sama;
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan
korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan
reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan
hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
(5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau
pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan
Peraturan Presiden.
(6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang diperlukan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan
organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja
gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan
Presiden.”
Korban perdagangan orang mempunyai kompleksitas masalah yang
lebih rumit karena di dalamnya masuk unsur KDRT, kekerasan terhadap
anak, pemalsuan dokumen, keimigrasian, dan sebagainya. Sehingga
penanganannya memang membutuhkan perhatian khusus dan
terintegrasi dengan menggunakan layanan terpadu (PPT) dan Gugus
Tugas tersebut.
Pasal 57 UU PTPPO mengamanatkan keluarga sebagai pihak yang
mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya perdagangan orang.
Keluarga seharusnya menjadi tempat para anggota keluarga untuk
berlindung, menguatkan dan membekali diri dengan life skill untuk
menghadapi kehidupan bukan sebagai tempat cikal bakal terjadinya
perdagangan orang. Memahami amanat undang-undang ini, maka
KDRT di dalam konteks perdagangan orang dapat diantisipasi oleh

158
seluruh anggota keluarga secara aktif, sehingga dapat memberikan
perlindungan kepada anggotanya dari ancaman menjadi korban
perdagangan orang sekaligus korban KDRT.
Berbagai pengaturan yang termuat dalam perundang-undangan di
atas, merupakan ketentuan yang dapat diterapkan dalam melakukan
pemeriksaan atas KDRT, sehingga diperoleh gambaran holistik tentang
peristwa yang terjadi dalam memutuskan sebuah perkara KDRT. Tidak
saja dipandang secara sempit terhadap kekerasan yang dilaporkan,
namun para penegak hukum dapat menelaah dan mengembangkannya
sekaya aturan hukum yang telah dipaparkan untuk melimpahkan
keadilan bagi korban.
Ketentuan-ketentuan hukum (substansi hukum) sesungguhnya
merupakan salah satu bagian instrumen penting untuk menggapai
keadilan. Unsur struktur hukum (aparat hukum) dan kultur hukum
juga sama pentingnya untuk menunjukkan keberpihakan pada
perempuan korban KDRT. Masyarakat yang berkeadilan akan
menentukan bangunan sistem hukum —substansi hukum, struktur
hukum dan kultur hukum— yang sangat berpengaruh dalam proses
penegakan hukum. Menuju masyarakat yang demikian diperlukan
proses penyadaran yang terus menerus baik dalam tingkatan individu,
keluarga, masyarakat dan lingkup negara. Proses penegakan hukum
merupakan proses dinamika masyarakat yang tidak bisa lepas dari
upaya penyadaran ini. Hukum sebagai produk sosial dan politik haruslah
mengikuti dinamika perkembangan masyarakat dan tetap membuka
ruang bagi perbaikan-perbaikan sebagai sebuah ijtihad baru untuk
mendapatkan keadilan hakiki.

159
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bab V

Penanganan KDRT di
Peradilan Agama

D
inamika sosial baru yang terus didorong oleh berbagai kala-
ngan untuk melakukan pembaruan hukum yang adil gender
telah melahirkan sejumlah terobosan-terobosan di bidang
pembentukan perundang-undangan yang konstruktif bagi pemenuhan
hak-hak perempuan. Sejumlah perundang-undangan yang telah dikupas
pada bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun konstruksi
sosial belum sepenuhnya berubah dari konstruksi patriarkhis menuju
konstruksi yang berkeadilan, ikhtiar dan ijtihad yang dipelopori oleh
banyak kalangan telah mampu memberikan jaminan konstitusional
dan legal dalam rangka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Berbagai pembaruan itu sekaligus menunjukkan bahwa hukum
bukanlah norma yang tidak bisa diubah dan berlaku sama di setiap
kurun. Hukum adalah produk politik yang dikonstruksi dari situasi dan
kondisi sosial yang melatari.
UU No. 7 tahun 1984, UU Perlindungan Anak, UUPKDRT, UU PTPPO
adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan kekerasan
terhadap perempuan dan KDRT. Penghapusan KDRT dan penghapusan
kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya menuntut
jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih kongkrit sehingga
deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak
menjadi pasal bisu yang tidak mampu mendekatkan akses keadilan
bagi perempuan. Tugas aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim,
Lembaga Pemasyarakatan dan penegak hukum advokat, serta
pendamping, adalah memastikan bahwa perundang-undangan itu bisa
dijalankan dan perempuan korban mendapatkan kebenaran kasusnya,
keadilan dan pemulihannya.

160
Pengadilan Agama adalah salah satu institusi peradilan yang sangat
berhubungan dengan penegakan berbagai perundang-undangan di
atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap
menjadi kewenangan pengadilan umum, tetapi laporan Komnas
Perempuan yang salah satunya dihimpun dari pengadilan agama,
menunjukkan bahwa Pengadilan Agama adalah pintu pertama
terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya
tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak
langsung mengadili tindak pidananya, Pengadilan Agama memiliki
peranan strategis dalam menguak bentuk-bentuk peristiwa kekerasan
yang terjadi, bahkan hal-hal yang melatarbelakangi kekerasan terjadi.
Pengadilan Agama juga menjadi pintu utama pengadilan bisa mendengar
suara korban, keinginan dan harapan-harapannya dalam perkawinan
dan keluarganya ke depan terkait anak, harta dan kesejahteraan
hidupnya baik secara individu, bersama dengan anak, keluarga dan
komunitasnya, tanpa amarah dan stigma menyalahkan dirinya terus-
menerus yang sesungguhnya adalah korban dari relasi dalam keluarga
yang masih bias gender.
Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat
legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak
bisa semata-mata mengacu secara rigid aturan-aturan pasal dalam
perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap
setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut
untuk melakukan terobosan, menelaah, dan terampil membangun
argumen yang holistik (menyeluruh dan luas) dari berbagai perundang-
undangan nasional yang tersedia. Meskipun kasus yang disidangkannya
merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi
keadilan korban, hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan
tindak pidana yang terjadi di balik peristiwa perceraian itu. Jika
kemudian ditemukan indikasi tindak pidana, selanjutnya proses pidana
dapat dimulai dari sini. Melalui otoritasnya, kualitas putusan hakim
tidak hanya memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga
mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban
KDRT. Kasus-kasus yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya

161
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

menunjukkan betapa hakim-hakim di pengadilan agama memiliki


peran strategis dalam penghapusan KDRT.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 28 ayat (1) disebutkan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Kutipan pasal ini, jelas menunjukkan bahwa
hakim tidak saja hanya patuh pada perundang-undangan tertulis, tapi
dia bisa melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam memutus
suatu perkara dengan menggali setiap dinamika yang berkembang di
masyarakat, termasuk yang utama adalah peristiwa sesungguhnya yang
melatari sebuah perkara.
Peradilan Agama
Kata “peradilan” merujuk pada suatu proses mengadili atau upaya
mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan-
badan peradilan menurut perundangan yang berlaku. (Sulaikin Lubis,
et al., 2005). Sedangkan pengadilan merujuk pada badan atau lembaga
yang memfasilitasi proses pencarian keadilan. Mengacu pada pemaknaan
di atas, peradilan agama secara umum dapat dipahami sebagai upaya
mencari keadilan dan upaya mengadili dalam wilayah yang lebih khusus,
yakni perkara perdata keluarga dan ekonomi syariah bagi orang-orang
Islam. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang diperbaharui dengan Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun
2006 dikatakan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini”.
Pengadilan Agama merupakan badan Peradilan Agama Tingkat
Pertama sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota dengan
wilayah hukum kabupaten/kota. Pengadilan Tingkat Tinggi Agama
merupakan pengadilan Agama Tingkat Banding yang berkedudukan di
ibukota propinsi dan mempunyai wilayah hukum propinsi (Pasal I
angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Pada lembaga peradilan

162
agama ini terdapat susunan yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yakni:
Pasal 9:
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, panitera, sekretaris dan juru sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Hakim dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 istilah hakim ditambah menjadi
“hakim pengadilan”, yaitu pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman. (Sulaikin Lubis, et. al, 2005). Selama menjalankan tugasnya,
selain ditentukan oleh undang-undang hakim juga dibatasi dengan
Pedoman Perilaku Hakim yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah
Agung tanggal 22 Desember 2006, sebagai semacam kode etik yang
harus dijunjung tinggi oleh para hakim.
Kewenangan Peradilan Agama dalam Penyelesaian KDRT
Struktur hukum nasional mengalami perubahan signifikan terkait
kedudukan peradilan agama. Jika sebelumnya Peradilan Agama berada
di bawah Departemen Agama sebagai Departemen Teknis, setelah
adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, seluruh peradilan ditempatkan pada satu atap di bawah
Mahkamah Agung termasuk Peradilan Agama.
Peralihan dalam struktur Departemen Agama menjadi bagian dari
Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung ini juga menyangkut seluruh
organisasi, administrasi dan finansial masing-masing lembaga peradilan
kepada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung seperti
disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang; dan;
c. Kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang.

163
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Akibat adanya perubahan tersebut, maka semua perkara di Peradilan


Agama dapat diproses dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding
hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung dalam satu kesatuan sistem
hukum nasional.
Kewenangan Peradilan Agama juga mengalami perubahan dalam
hal perkara yang ditanganinya. Kewenangan Peradilan Agama terdiri
atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Kewenangan relatif atau
kewenangan nisbi hakim, mengatur tentang kewenangan pengadilan
jenis tertentu yang dapat memeriksa sebuah perceraian yang me-
nyangkut tentang pembagian kekuasaan utuk mengadili perkara
perceraian, antara pengadilan yang semacam, dan tergantung pada
tempat domisili Tergugat. (Budi Susilo, S.H., 2007). Hal ini tersurat
dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Sedangkan kewenangan absolut merupakan kewenangan untuk
mengadili bidang perdata tertentu yang sudah ditetapkan dalam
undang-undang. Wilayah kewenangan peradilan agama berbeda dengan
wilayah peradilan umum. Peradilan Agama merupakan peradilan yang
menyangkut hukum keluarga ( family court) dan hukum ekonomi
(ekonomi syariah). Kewenangan absolut Peradilan Agama ini secara
detail disebutkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yakni pada bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
dan shadaqah. Pasal ini diubah melalui Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, yang memperluas kewenangan Peradilan
Agama yakni meliputi penyelesaian perkara: perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Peradilan agama, sebagai sebuah instrumen pencarian keadilan,
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa keluarga yang dapat men-
cegah timbulnya perpecahan lebih jauh dalam keluarga. Pelaksanaan
peradilan agama juga berbeda dengan peradilan umum karena para
hakim agama juga mempunyai tugas untuk mendamaikan dan mencari
jalan penyelesaian di luar sidang sebelum memutuskan secara prose-
dural. Karenanya suasana yang lebih empati dan kekeluargaan menjadi
faktor penting untuk dipertimbangkan di dalam menyelesaikan perkara
di lembaga Peradilan Agama, karena menyangkut sengketa keluarga.

164
Empati dari para hakim sangat mungkin muncul apabila para hakim
memahami akar persoalan konflik perkawinan dan keluarga yang
seringkali tidak bisa dilihat dari kondisi yang terjadi pada saat itu.
Penelusuran rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi seseorang
untuk datang ke Pengadilan Agama membutuhkan penguasaan dan
kemampuan analisis holistik yang di dalamnya memperdalam analisis
sosial dan analisis gender. Berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku secara nasional juga dapat membantu para hakim untuk
memperkuat keputusan ini. Misalnya Undang-Undang PKDRT yang
menyebutkan berbagai bentuk kekerasan, pemahaman tentang rumah
tangga, dampak dari KDRT yang diancam hukuman pidana, dan lain
sebagainya akan menguatkan pertimbangan hakim dalam memutus
sebuah perkara yang berempati terhadap penderitaan korban tanpa
meninggalkan asas equality dalam memproses perkara. Undang-
Undang Perlindungan Anak dapat membantu pula untuk menjelaskan
konsepsi anak, serangkaian hak-hak anak, kewajiban orang tua atas
anak, pengasuhan anak, bentuk kekerasan terhadap anak yang harus
mendapatkan perlindungan, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan
Undang-Undang PTPPO.
Pemahaman bidang keilmuan yang lain dapat memandu para hakim
untuk berpegang teguh pada asas aktif memberi bantuan sebagaimana
disebut dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yakni “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan untuk
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Memahami konteks psikososial korban yang dililit siklus kekerasan,
siklus isolasi dan terkurung dalam pola relasi kuasa pelaku, sangat
berguna bagi para hakim dalam menjalankan kewenangannya
menyelesaikan perkara keluarga ini.
Pada umumnya, perempuan korban KDRT datang ke Pengadilan
Agama guna menyelesaikan kemelut rumah tangga merupakan pilihan
akhir setelah menempuh berbagai cara penyelesaian secara keke-

165
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

luargaan. Hal ini tampak pada hampir semua kasus di Pengadilan


Agama yang selalu menyebutkan telah dilakukannya upaya perdamaian
kedua belah pihak, namun mengalami kegagalan. Sama seperti ketika
seseorang hendak melangkah ke jenjang perkawinan yang penuh
konsekuensi jika tidak boleh dikatakan sebagai risiko, maka jalan
perceraian pun mempunyai konsekuensi yang tidak kalah berat yang
harus ditempuh, jika pilihan untuk hidup rukun tanpa kekerasan tidak
dapat diwujudkan. Para hakim mempunyai kewenangan untuk meng-
usahakan penyelesaian kekeluargaan sebelum memutuskan untuk
memutuskan tali perkawinan.
Situasi yang demikian dapat digunakan hakim untuk memaknai
inti persoalan yang akan dihadapi peradilan agama untuk mendekatkan
akses keadilan bagi perempuan korban. Penting kiranya untuk dapat
mengkaji persoalan yang dialami perempuan (baik statusnya sebagai
korban atau tersangka dalam konteks KDRT-nya), untuk secara lebih
mendalam dan berempati terhadap korban, dengan memberi waktu
dan ruang lebih banyak pada korban menyampaikan kondisinya. Hakim
dalam Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia dituntut untuk dapat bersikap adil. Artinya
memang hakim harus menempatkan para pihak secara sama di hadapan
hukum. Akan tetapi hakim juga dituntut untuk bersikap arif dan
bijaksana dalam arti hakim harus memperhatikan norma-norma yang
adil gender yang hidup dalam masyarakat baik itu norma hukum,
agama, kesusilaan, dan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada
serta mampu memperhitungkan akibat dari putusannya, dan memahami
bahwa ada diskriminasi gender dalam relasi perempuan dalam
perkawinan dan keluarga.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan
bahwa, hakim dituntut untuk memahami nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Pada ayat (2) dikatakan hakim juga
dituntut untuk mampu mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat dari terdakwa
(atau para pihak dalam kasus perdata). Pedoman perilaku ini tentu
tidak dimaksudkan untuk memihak salah satu pihak tanpa reserve,

166
akan tetapi mengajak para hakim untuk mampu memberikan empati
dan pemahaman mengenai hal-hal yang melingkupi sebuah perkara.
Empati dan pemahaman inilah yang dapat mengantarkan para
hakim untuk juga membuka dan mempergunakan sumber perundangan
dan peraturan lainnya selain kelaziman Undang-Undang Perkawinan
dan KHI yang berbasis pada hukum Islam. Pasal-pasal dalam UU
PKDRT dan perundang-undangan lainnya dapat dipergunakan untuk
menguatkan analisis hukum para hakim agama di dalam memeriksa
kasus yang berada di dalam kewenangannya. Tentu saja penggunaan
pasal-pasal yang berkaitan dengan KDRT ini –sebagaimana kewenangan
PA— tidak untuk menindak secara pidana pelakunya, akan tetapi
dipakai sebagai landasan hukum dalam menjelaskan apa yang terjadi di
dalam rumah tangga yang berkaitan dengan KDRT dan upaya mencari
keadilan, serta landasan bagi hakim dalam memutus perkara dan akibat-
akibat hukum atas harta dan anak dalam perkawinan.
Sebagai contoh, pada saat melakukan proses perkara cerai gugat
karena adanya kekerasan, hakim agama dapat menjelaskan dari kaca
mata hukum yang berlaku, seperti dalam Pasal 5 Undang-Undang
PKDRT. Pasal ini tidak menyebutkan bentuk pidana bagi pelaku, tapi
menjelaskan tentang bentuk kekerasan yang dilakukan pelaku sesuai
dengan kasus yang diajukan ke meja sidang. Pasal tersebut membenarkan
bahwa yang dilakukan pelaku adalah benar-benar kekerasan
sebagaimana diatur oleh UU PKDRT sekaligus dapat menjadi alasan
diperbolehkannya gugatan cerai diajukan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 116 KHI. Pasal inilah yang harus diuji dengan fakta-fakta
yang dipaparkan dari penggugat dan saksi-saksi serta barang bukti yang
diajukan yang dapat membuktikan bahwa pelaku telah melakukan
pelanggaran dan kejahatan dalam perkawinan.
Berangkat dari pembuktian ini maka sebuah kasus dapat diputus
dengan memahami keseluruhan konteks peristiwanya. Sebuah
perceraian, karenanya diputus dengan mempertimbangkan berbagai
kompleksitas KDRT sesuai dengan Pasal 7 UU PKDRT. Sementara Pasal
9 UU PKDRT yang tidak mengatur masalah pidana —yang merupakan
kewenangan peradilan umum— juga dapat dijadikan pertimbangan

167
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

hakim dalam memberikan penekanan bahwa kasus yang diperiksa


merupakan kasus yang serius dan memang dipayungi undang-undang.
Pasal-pasal ini dapat memperjelas tentang dampak yang terjadi dalam
KDRT yang sangat patut menjadi pertimbangan hukum para hakim
serta rekomendasi perlindungan bagi perempuan korban.
Persoalan KDRT yang menjadi dasar para penggugat mengajukan
kasus yang dialaminya sering pula melibatkan anak-anak. Peradilan
Agama mempunyai kewenangan dalam menetapkan perwalian dalam
kasus perkawinan dan perceraian. Hal ini sejalan pula dengan undang-
undang Perlindungan Anak yang sangat relevan untuk digunakan para
hakim agama dalam memeriksa materi gugatan penggugat.
KDRT pada umumnya tidak saja menimpa korban perempuan (istri)
namun juga pada anak-anak. Padahal anak-anak seharusnya
mendapatkan tempat perlindungan yang nyaman dan aman di dalam
rumah tangga yang menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Pasal 13
Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak-anak
harus mendapatkan perlindungan dari bentuk diskriminasi, eksploitasi,
penelantaran, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan
salah lainnya. Situasi keluarga yang dililit KDRT jelas bahwa persoalan
perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 13 tersebut akan sulit untuk
diwujudkan. Para hakim dapat melakukan pertimbangan hukum
dengan menerapkan pasal ini di dalam memeriksa materi gugatan
penggugat. Pada Pasal 20 ditegaskan bahwa keluarga (orang tua)
mempunyai tanggung jawab untuk menyelenggarakan perlindungan
bagi anak. Jika kondisi orang tua tidak mampu melakukannya, maka
Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Anak membenarkan untuk
dicabutnya hak asuh oleh orang tua. Pasal ini dapat dipakai untuk
menetapkan persoalan perwalian anak. Pasal 14 juga menjelaskan
bahwa hak asuh dapat dialihkan kepada pihak lain jika ditemukan
alasan kuat untuk itu, antara lain karena alasan penganiayaan dan
kekerasan yang marak dalam KDRT. Alasan-alasan yang dbenarkan
oleh hukum ini akan menjadi petunjuk penting bagi hakim dalam
membuat keputusan yang menyangkut sengketa perwalian anak. Tidak

168
saja mengukur akurasi kelayakan perwalian dari sisi kemampuan
ekonomi, namun juga mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi
anak.
Penerapan pasal-pasal hukum nasional di atas tidak membuat hakim
harus keluar dari kewenangannya seperti diatur dalam Undang-Undang
Peradilan Agama. Hakim agama tetap berada pada kewenangannya,
namun juga memperkaya pemahaman dan pertimbangan hukum yang
akan semakin menguatkan posisinya dalam menjalankan kewenangan
yang dimiliki tersebut. Hakim agama tetap pada koridor untuk
menyelesaikan kasus KDRT secara perdata keluarga sesuai dengan
prosedur di peradilan agama. Jika praktik seperti ini mampu dilewati,
para hakim Peradilan Agama tidak saja dapat memutus perkara secara
akurat, adil, dan berpihak pada korban, tapi juga karena mampu
menguak kekerasan yang dialami korban, para hakim telah turut
membuka pintu baru keadilan bagi korban dalam proses hukum
selanjutnya.
Mencari Solusi melalui Peradilan Agama
Masalah keluarga yang bernuansa KDRT sering muncul dalam
proses persidangan di Pengadilan Agama antara lain:
1. Putusnya perkawinan/perceraian (poligami, penelantaran, ada-
nya pihak ketiga/perempuan lain selain istri, zina, dan perse-
lingkuhan);
2. Pembatalan perkawinan;
3. Pemeliharaan Anak (Hadhonah) dan Perwalian anak;
4. Penguasaan harta bersama.
1. Putusnya perkawinan/Perceraian
Kasus perceraian di Pengadilan Agama, merupakan proses hukum di
lembaga peradilan tingkat pertama, faktanya jumlah kasus-kasus
perceraian ini adalah kasus yang paling dominan. Data yang diperoleh
dari Mahkamah Agung angka perceraian dalam bentuk gugat cerai yang
diterima pada Pengadilan Tingkat Pertama di Lingkungan Yurisdiksi
Mahkamah Syariah Aceh/ Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia,
di tahun 2011 berjumlah 215.353, dan per Agustus 2012 berjumlah 143.983

169
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

jumlah ini terus mengikuti pada tingkat kasasi. Banyaknya tunggakan


penyelesaian kasus kasasi di MA yang didominasi kasus perceraian,
menginisiasi MA membuat rancangan perubahan atas Rancangan
Undang-Undang MA, bahwa kasus-kasus perceraian hanya diputus
sampai tingkat pertama dan sekaligus sebagai putusan akhir. Tentu ini
bukan sistem yang dibangun secara bijak dalam menyikapi tingginya
kasus-kasus perceraian -----termasuk di dalamnya kasus-kasus
KDRT------- Perceraian pada umumnya merupakan tindakan terakhir
yang dilakukan apabila sudah tidak dapat dilakukan upaya lain.
Perceraian merupakan pilihan sulit yang kemungkinan akan me-
nyisakan dampak berat bagi para pihak, sekalipun di sisi lain dapat
menjadi sebuah keputusan tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.
Kasus perceraian dalam konteks KDRT, menjadi gunting tajam untuk
memotong rantai siklus kekerasan yang selama ini melilit kehidupan
rumah tangga perempuan dan anak-anak korban KDRT.
Pada umumnya keputusan perceraian ini diambil setelah berbelas
tahun bahkan berpuluh tahun bertahan dalam kondisi yang abusive.
KDRT yang berujung pada perceraian mewujud dalam berbagai bentuk,
misalnya perselingkuhan, pemukulan, penelantaran, kekerasan seksual
di dalam keluarga (incest dan marital rape), penipuan, dan bentuk
kekerasan lainnya. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 38 menjelaskan perkawinan dapat putus karena: kematian,
perceraian, dan keputusan pengadilan. Sedangkan alasan terjadinya
perceraian diuraikan lebih rinci pada Pasal 116 KHI sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

170
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Adapun dalam konteks KDRT putusnya ikatan perkawinan/
perceraian pada umumnya disebabkan oleh perbuatan seperti zina,
pemabuk, pemadat, penjudi yang dilakukan salah satu pihak;
penelantaran keluarga, kekerasan atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain, perselisihan dan pertengkaran. Hal-hal di
atas seringkali juga terjadi secara kontinum atau saling berkaitan dan
tidak muncul sendiri-sendiri. Oleh karenanya upaya mendamaikan
seringkali tidak berjalan dengan mudah dan perceraian tetap menjadi
satu satunya alternatif bagi korban KDRT.
Pasal 39 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak
dapat mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian juga harus
didasarkan dengan alasan yang jelas karena perceraian membawa
konsekuensi hukum dan sosiologis yang berat. Hal ini juga sesuai
dengan salah satu asas dari Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 65 dan
82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo
UU No. 50 Tahun 2009 bahwa hakim dalam peradilan agama wajib
untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum proses per-
sidangan maupun selama proses persidangan. Namun demikian,
perdamaian harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama kedua
belah pihak dan tidak menimbukan korban dari salah satu pihak,
karena tujuannya adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan
keluarga (anak-anak) dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya dalam
upaya mendamaikan tidak boleh terjadi salah satu pihak dikalahkan
oleh pihak lain. Keputusan perdamaian dapat ditetapkan dalam bentuk
putusan perdamaian oleh pengadilan. Namun apabila upaya ini gagal,
maka langkah selanjutnya di pengadilan agama adalah meneruskan
permohonan atau gugatan cerai dengan melakukan jawab menjawab

171
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

dan pemeriksaan pembuktian.


Apakah pasangan suami istri pada akhirnya memilih untuk berdamai
atau berpisah dalam “proses perdamaian”, hakim penting untuk
menghadirkan keluarga dan anak-anak yang sudah memungkinkan dari
sisi usia dan kematangan berfikir untuk memberikan kesaksian atas
peristiwa rumah tangga yang terjadi, sehingga hakim tidak hanya
berpedoman pada pihak, karena begitu pentingnya makna keputusan
ini bukan hanya bagi pihak, tapi juga akan berimplikasi pada anak dan
keluarga.
Hakim juga penting menanyakan kepada pihak sejak awal, jika
pihak memilih untuk bercerai, tentang penyelesaian harta bersama,
pengesahan status anak, nafkah anak dan nafkah istri. Hal ini supaya
penyelesaian kasus perceraian dan hak-hak yang mengikuti setelah
perceraian bisa diselesaikan dalam satu waktu secara cepat dan biaya
murah, sehingga lebih mendekatkan akses keadilan bagi perempuan
korban. Harapan ini sesuai dengan hasil putusan Rakernas Badilag MA
di Menado pada tanggal 31 Oktober 2012, yang pada prinsipnya bahwa
gugatan pengesahan status anak, nafkah anak, gono gini, nafkah istri
dan lainnya dapat dikomulasikan dalam cerai gugat maupun cerai talak
baik dari awal prosesnya maupun dalam rekonvensi.
Fakta juga menggambarkan bahwa perceraian melalui proses gugat
cerai juga disebabkan pembiaran dalam rumah tangga setelah peristiwa-
peristiwa sebagai penyebab terjadi. Suami ketika sudah diketahui fakta
perselingkuhannya lalu memilih untuk meninggalkan rumah dengan
sekehendak hatinya, sehingga penelantaran yang semula hanya
tergambar secara samar sekian terang, dan suami memilih untuk
menggantungkan statusnya sampai akhirnya istri memilih untuk
menggugat status perkawinannya. Hal ini mengharapkan peran hakim
yang aktif memfasilitasi untuk membongkar situasi dan kondisi yang
tersembunyi itu sejak awal persidangan berlangsung, sebab faktanya
suami atau tergugat menghindar dari persidangan atau bahkan memilih
tidak menghadiri sama sekali.
Kasus-kasus yang bernuansa KDRT dalam Peradilan Agama pada
kenyataannya adalah kasus yang sulit untuk didamaikan. Pada umumnya
korban (biasanya istri) telah menempuh berbagai upaya untuk

172
menempuh perdamaian sebelum membawa kasusnya ke pengadilan,
bahkan berkorban atas dirinya sendiri. Kasus yang digelar oleh
Pengadilan Agama di Semarang misalnya, menunjukkan bahwa seorang
istri yang mengalami KDRT dan melakukan gugat cerai atas suaminya
telah melakukan upaya damai dengan keluarga dan penasihat dari luar
keluarga. “V” dalam perkara ini pada akhirnya memilih untuk menggugat
cerai suaminya di Semarang setelah berbagai upaya damai untuk
menyelamatkan keluarganya kandas. “V” mengalami kekerasan psikis
sejak awal pernikahan bahkan ketika mengandung anak pertama. Sejak
awal pernikahan mereka, suami “V”, “R” sudah berselingkuh dengan
perempuan lain. Hal ini makin berlanjut dengan tindakan kekerasan
lain yang bersifat fisik pada “V”. “V” sudah menempuh cara dengan
meminta nasihat orang tua, saudara-saudara dan teman-temannya.
Demikian juga kasus yang dialami “Y” di Bekasi (9 Oktober 2007).
Penyebab konflik dan atau perceraian yang bernuansa KDRT kerap
ditemui penyebabnya adanya pihak ketiga dalam kehidupan rumah
tangga yang memunculkan adanya wanita idaman lain, perselingkuhan,
perbuatan zina, perkawinan siri dan poligami di luar pengetahuan istri
yang sah. Hal ini seperti dikeluhkan beberapa pembaca di sebuah surat
kabar yang dihimpun dalam buku “Hukum Islam dan Solusi
Permasalahan Keluarga”. “S” mengadukan suaminya yang melakukan
perselingkuhan dan perbuatan zina dengan perempuan lain hingga
hamil. Diam-diam suami menikahi perempuan tersebut dengan
identitas yang dipalsukan dengan menyebutkan bahwa dirinya masih
perjaka. “E” juga mengalami nasib serupa. Perempuan asal Sragen ini
juga mengadukan suaminya yang berselingkuh dan berbuat zina dengan
perempuan lain, namun tidak sampai dinikahi.
Fenomena perkawinan poligami sembunyi dari istri sah, yang juga
bisa disebut sebagai “kejahatan dalam perkawinan” adalah ketika
poligami ini dilakukan justru atas pengetahuan dan persetujuan dari
orang tua keluarga barunya, meski keluarga dan komunitas mengetahui
bahwa laki-laki yang akan dinikahkan dengan anak dan kerabatnya
tersebut adalah sudah berumah tangga dan memiliki anak. Jadi poligami
bisa terjadi bukan karena pelaku memalsukan dokumen, tetapi
penerimaan keluarga dan komunitas atas poligami tanpa

173
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

mempertimbangkan bahwa poligami adalah pemicu kekerasan terhadap


perempuan dan anak dalam keluarga inti dan keluarga barunya kelak.
Penelantaran ekonomi dalam kasus KDRT merupakan sebab lain
yang mendasari para korban mencari keadilan di Pengadilan Agama.
Sebuah kasus yang ditangani Pengadilan Agama Klaten atas gugatan
cerai “F” terhadap “H” pada 1990 bisa menjadi ilustrasi tentang fenomena
ini:
• Bahwa sejak satu tahun yang lalu rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai goyah karena sering terjadi pertengkaran-pertengkaran secara
terus menerus, bahkan apabila terjadi pertengkaran-pertengkaran
tersebut tergugat sering menyakiti badan jasmani Penggugat, cekcok
tersebut karena masalah ekonomi;
• Bahwa antara Tergugat dan Penggugat telah terjadi percekcokan yang
memuncak, Tergugat menyakiti badan jasmani Penggugat, bahkan
Tergugat telah mengusir (menendang) Penggugat untuk pergi dari
kediaman bersama (rumah Tergugat) maka Penggugat pulang ke rumah
asal;
• Bahwa Tergugat selama 6 bulan berturut-turut sampai sekarang ini tidak
pernah memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan Penggugat tidak rela
atas perbuatan Tergugat tersebut;” (Salinan Putusan Nomor 614/1990)

Salah satu kasus yang menimpa “F” sebagaimana dikutip pada bagian
sebelumnya, dikabulkan pada tingkat pertama. Kemudian dibatalkan
demi hukum pada tingkat pengadilan tinggi karena Pengadilan Agama
Klaten dinilai telah melampaui kewenangan wilayah kekuasaan
(kompetensi relatif ). Atas putusan ini “F” menempuh kasasi ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan
permohonan Pemohon Kasasi (Penggugat Asal) dengan
mempertimbangkan situasi kekerasan yang menimpa Pemohon Kasasi.
Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah:
“3. Bahwa Pemohon Kasasi/penggugat Asal merasa sangat sakit
hati dan tidak rela karena barang-barang yang direncanakan
buat anak-anak dihabiskan oleh Termohon Kasasi/ Tergugat
Asal sehingga Pemohon Kasasi/Penggugat Asal sudah tidak
sanggup lagi untuk meneruskan rumah tangga dengan
Termohon Kasasi/ Tergugat Asal”(Salinan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 124 K/A/1991).

174
Cerai sepihak dari suami juga banyak dialami perempuan, salah
satunya pengalaman “As”, ibu rumah tangga di Surabaya. “As” tiba-tiba
telah diceraikan tanpa sepengetahuan dirinya. “As” tidak mengerti hal
ini bisa dilakukan sang suami sementara dia telah membantu bekerja
keras secara serabutan untuk bisa turut membantu ekonomi keluarga
mereka. Perceraian sepihak ini terjadi karena surat-surat panggilan
dialamatkan di rumah kontrakan mereka yang terdahulu yang sudah
tidak ditempati, sehingga “As” tidak pernah mengetahui bahwa sudah
dilayangkan surat panggilan sidang. Karena tidak mengetahui adanya
panggilan ini, maka “As” tidak pernah hadir di persidangan hingga
persidangan memutuskan secara verstek perkara ini. Masalahnya
kemudian, hak pengasuhan diberikan pada “As” yang tidak mempunyai
penghasilan tetap dan tidak diberi nafkah. Atas putusan ini “As”
menyatakan banding dan mendapatkan hak nafkah baginya dan
anaknya. Akan tetapi eksekusi mengenai hal ini tidak pernah terwujud
lantaran suami menyatakan tidak mampu membayar putusan hakim
tentang nafkah ini.
Mendapatkan Rasa Adil ketika korban mulai mau bersuara, dan
hakim mendengar suara korban dalam proses persidangan.
“Kehidupan rukun, hampir tidak pernah ada pertengkaran tidak menjamin
bahwa tidak ada persoalan bagi perempuan ketika dalam perkawinan. Betapa
terkejutnya perempuan ini ketika suami yang dicintainya tiba-tiba berkata
“Ma, kamu adalah wanita yang paling aku cintai, tapi, saat ini aku mengaku
khilaf, dan minta maaf karena aku telah berbuat salah telah berhubungan
dengan perempuan lain. Perempuan ini sekarang minta dinikahi karena dia
sudah hamil”. Ku minta kerelaan mama mengijinkan aku untuk menikah
dengannya, meski cintaku hanya untuk mamam. Ma, karena aku PNS, tentu
sulit bagiku berpoligami, apalagi mama lah yang selama ini mati-matian
mendukung karier papa. Oleh karena itu, bagaimana kalau kita cerai saja,
ini cerai pura-pura karena hati kita masih saling mencintai. Tidak akan ada
satupun yang berubah dari perkawinan kita setelah kita bercerai. Ini hanya
rahasia kita berdua, anak-anakpun tidak boleh tahu. Lalu lanjutnya suaminya
berkata, “Ma, supaya mudah prosesnya di Pengadilan Agama, mama saja yang
gugat cerai ya?” Perempuan ini mengiyakan semua perkataan dan permintaan
suaminya, karena begitu percaya bahwa suaminya memang mencintainya.
Dua bulan setelah bercerai. Suaminya menikahi perempuan itu. Tapi laki-laki

175
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

ini masih pulang ke rumah istri yang dicerainya setiap harinya, dan terkadang
meminta “jatah” pula. Ketika istrinya menolak,”Pa, kita kan sudah cerai? gak
boleh kan kita berhubungan? kita harus menikah dulu”. Mantan suaminya
menjawab: “Ma, seperti aku bilang dulu, kita kan saling mencintai, perceraian
di KUA itu kan hanya administratif saja, Jadi kita masih sah suami istri” (halal
berhubungan). Lagi-lagi perempuan ini mengiyakan saja permintaan dan
saran suaminya.
Perempuan ini baru menyadari bahwa, suaminya tidak sungguh-sungguh
mencintainya adalah ketika sedikit demi sedikit harta kekayaan yang mereka
kumpulkan dipindahkan suaminya ke istri keduanya, mobil, uang dan
perhiasan.
Awalnya Perempuan ini sama sekali tidak punya keberanian untuk bertanya
pada suaminya mengapa mobil dan lain-lain dipindahkan, apalagi mengadu
pada keluarganya, karena semua tahu, bahwa mereka keluarga baik-baik saja
dan sukses.
Tetapi tekanan yang luar biasa yang dia rasakan, akhirnya dia memberanikan
diri bersuara. Dia mulai menanyakan status perkawinanya, mulai menanyakan
mobil dan harta lainnya. Suaminya mulai marah, dan mengatakan bahwa
memang selama ini tidak bahagia secara sungguh-sungguh, makanya dia
berpaling. Di depan keluarga Perempuan ini, laki-laki ini justru mengatakan
“bagaimana saya tidak menikah lagi, saya kan laki-laki, tiba-tiba istri saya
gugat cerai saya, padahal kami selama ini bahagia-bahagia saja, makanya saya
tunjukkan bahwa saya juga bisa membentuk keluarga baru yang bahagia lagi,
dia perempuan yang sudah durhaka sama suami,karena berani gugat cerai.
Tidak ada lagi perasaan cinta, apalagi ingin kembali pada mantan suaminya
dengan seluruh peristiwa itu. Tetapi dia merasa lega dan telah berbuat adil
pada dirinya, karena dia berani bertanya dan meminta hak-nya. Kini dia hanya
berjuang untuk meminta agar anak-anak yang pernah dilahirkannya bisa tetap
bersamanya, dan sebagian harta yang memang selama ini mereka peroleh
berdua yang bisa dia gunakan modal untuk melanjutkan hidup.”
Berdasarkan kisah tersebut maka, perempuan dalam perkawinan
bukan berarti tidak dihadapkan pada persoalan. Oleh karena itu penting
bagi perempuan untuk “tetap bersuara dan jangan diam”, dan ketika
perempuan bersuara, maka harapannya hakim dalam memutus perkara
mampu terus menggali suara korban demi mendekatkan akses keadilan
bagi perempuan korban.

176
2. Pembatalan Perkawinan
Apa yang dialami oleh “S” di atas yang ditinggal oleh suaminya
dengan menikahi perempuan lain tanpa ada izin darinya adalah hal-hal
yang sangat umum terjadi pada masyarakat kita. “S” dalam hal ini
sebenarnya dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
kepada Pengadilan Agama sesuai kompetensi relatifnya jika memang
terdapat unsur penipuan atas perkawinan kedua suaminya. Pasal 24
Undang-Undang Perkawinan menjelaskan sebagai berikut “Barangsiapa
karena pekawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini” (UU Perkawinan).
Selain itu suami juga harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama
untuk mempunyai istri lebih dari satu orang sesuai dengan ketetapan
Pasal 56 ayat (1 dan 2) KHI dan memenuhi prosedur sesuai dengan Bab
VII PP No. 9 Tahun 1975.
Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia menganut asas
monogami sesuai Pasal 2 UU Perkawinan. Namun demikian poligami
dapat diizinkan manakala ditemui salah satu kondisi dari yang telah
ditetapkan pada Pasal 4 UU Perkawinan, yakni:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kondisi-kondisi di atas juga tidak secara mudah untuk ditetapkan
sebagaimana maksud dari Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan tersebut
karena kita harus benar-benar melihat situasi istri secara jeli dalam
relasinya di tengah keluarga. Misalnya, ketetapan bahwa istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Pasal 31 ayat (2) UU
Perkawinan menyebutkan bahwa kewajiban istri adalah sebagai ibu
rumah tangga. Hal yang umum terjadi dalam KDRT adalah bahwa
penilaian istri telah tidak menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah
tangga atau dianggap membangkang adalah berdasarkan penilaian atau
standar dari pelaku kekerasan (suami) itu sendiri. Tidak jarang para

177
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

istri yang mengalami kekerasan pada kenyataannya adalah para istri


yang sangat penurut, penyabar, dan mengikuti kemauan suami. Karena
itu pemahaman terhadap akar persoalan dan pemaknaan secara
sosiologis relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan
(suami-istri) adalah hal yang mutlak diperlukan untuk menetapkan
putusan yang benar-benar berkeadilan bagi yang berhak.
Pembatalan perkawinan akibat dari kawin paksa juga menjadi
kompetensi lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa dan
memutuskannya. Kasus-kasus pemaksaan perkawinan masih saja
terjadi di dalam rumah tangga. Pemaksaan perkawinan setelah
dikeluarkannya UU PKDRT merupakan salah satu wujud dari kekerasan
psikis dan seksual. Lembaga peradilan Agama merupakan lembaga yang
mempunyai kewenangan di dalam masalah ini apabila terjadi
ketidakadilan bagi korbannya.
Sesuai dengan bunyi Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan “Seorang suami
atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum”. Begitu pula dalam Pasal 71 (huruf f ) KHI dinyatakan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila dilaksanakan dengan ancaman.
Penggunaan hak untuk membatalkan perkawinan tersebut menurut,
Undang-Undang Perkawinan memberikan tenggang waktu 6 bulan
untuk mengajukan permohonan pembatalan di Pengadilan Agama
terhitung sejak disadarinya pemaksaan perkawinan dan setelah
berhentinya ancaman.
Hal yang menjadi persoalan adalah pemahaman tentang ancaman
yang melanggar hukum. Beberapa pihak menafsirkan ancaman ini
secara sempit yakni ancaman fisik yang membahayakan jiwa. Sedang-
kan ancaman psikis tidak dianggap sebagai suatu bentuk ancaman
serius dan membahayakan jiwa, karenanya tidak dapat dijadikan alasan.
Terlebih alasan untuk berbakti pada orang tua sekalipun dilakukan di
bawah ancaman orang tua. Apabila merujuk Pasal 7 UU PKDRT an-
caman dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan psikis.
“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

178
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang” (UU PKDRT, 2004).
Munculnya UU PKDRT ini maka ancaman dapat dianggap sebagai
perbuatan yang melanggar hukum, karenanya perkawinan yang
dilakukan atas dasar ancaman pemaksaan dapat dibatalkan dengan
berdasar pada pasal ini.
3. Pemeliharaan Anak dan Perwalian anak
Kasus KDRT tidak saja dapat menimpa perempuan (istri) namun
juga dapat menimpa pada anak-anak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penguasaan anak secara sepihak sering pula ditemui
dalam kasus KDRT baik yang masih dalam taraf proses peradilan
maupun yang telah mempunyai putusan tetap tentang perwalian anak.
Kisah salah seorang artis berinsial TB yang sangat kesulitan untuk
menemui putranya karena dihalangi oleh mantan suaminya adalah
gambaran soal ini. Pasal 41 (huruf a) UU Perkawinan menyebutkan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak..........”
Pasal 105 KHI mengatur, bahwa dalam hal terjadinya perceraian,
maka pemeliharaan anak diatur sebagai berikut:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pengadilan Agama dapat menetapkan pihak mana yang berhak atas
pemeliharaan anak berdasarkan hal-hal di atas. Hakim juga dapat
mempertimbangkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang
mempunyai prinsip the best interest of child, kepentingan terbaik bagi

179
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

anak. Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 14 menyatakan bahwa


setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan tertentu dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Konteks KDRT selama ini korban (istri) senantiasa berusaha untuk
mempertahankan hak pemeliharaan anak dengan mempertimbangkan
tumbuh kembang anak. Karena anak yang dibesarkan dalam lingkungan
yang penuh dengan kekerasan akan menjadikan anak tumbuh secara
tidak sehat baik jasmani dan rohaninya. Anak membutuhkan
pemeliharaan dan pengasuhan yang baik dan bertanggung jawab. Pada
kasus perceraian, hak pemeliharaan anak dapat disertakan pada saat
mengajukan gugatan perceraian ataupun dilakukan secara terpisah.
Demikian pula untuk menetapkan hak perwalian anak. Pasal 53 UU
Perkawinan, hakim diberikan kewenangan untuk mencabut hak
perwalian orang tua berdasarkan hal-hal yang diatur pada Pasal 49 UU
Perkawinan yakni apabila salah seorang atau kedua orang tua telah
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan/atau berkelakuan
buruk sekali. Hal ini juga senada dengan ketentuan dalam Pasal 30 UU
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa dalam hal orang tua
melalaikan kewajibannya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau
kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
Begitu pula kasus-kasus KDRT, pada umumnya pelaku kekerasan
sudah barang tentu adalah orang yang mempunyai perangai dan
kelakuan yang buruk karena melakukan berbagai bentuk kekerasan
yang melanggar UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Oleh
karenanya, ia jelas masuk dalam kategori berkelakuan buruk seba-
gaimana dimaksud Pasal 49 UU Perkawinan tersebut dan dapat dicabut
hak perwaliannya. Oleh karenanya terkait pengasuhan anak, maka
hakim harus memastikan bahwa kondisi anak harus dalam pengasuhan
pihak yang memiliki “kemampuan yang utuh”, bukan hanya kemampuan
dalam konteks pemeliharaan secara fisik, tetapi juga memiliki
kemampuan pengasuhan yang akan menjadikan anak yang baik,

180
sehingga masa depan anak juga bisa diwujudkan.
Ke depan pihak yang dipilih dan diputuskan hakim menjadi
pemelihara dan pengasuh anak dan memastikan kesejahteraan dan
masa depan anaknya
4. Penguasaan Harta Bersama
Seorang istri yang diceraikan suaminya karena adanya perempuan
lain menuturkan dalam rubrik hukum sebuah koran di Jawa Tengah,
bahwa suaminya telah menguasai harta baik yang merupakan harta
bawaannya sebelum menikah dan harta yang diperoleh bersama ketika
dalam masa pernikahan. Perceraian yang dilakukan suaminya ini juga
merupakan puncak dari relasi kuasa yang timpang dari suami terhadap
dia (istri) yang menjadi penyebab munculnya KDRT. Perkawinan
mereka yang telah berlangsung hampir sepuluh (10) tahun senantiasa
diwarnai dengan kekerasan baik fisik, psikis, penelantaran dan dengan
tingkah suami yang sering tinggal di rumah perempuan lain. Apa yang
terjadi ini merupakan tipologi yang juga sangat marak terjadi dalam
berbagai kasus perceraian di Pengadilan Agama.
Istri yang dalam hal ini sebagai termohon dapat mengajukan hak
atas penguasaan harta kepada Pengadilan Agama karena Pengadilan
Agama mempunyai kewenangan atas hal ini sesuai dengan amanat
Pasal 88 UU Perkawinan. Dalil hukum yang dapat diajukan adalah Pasal
35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Oleh karenanya ketika
terjadi perceraian dapat dimohonkan untuk dilakukan pembagian
bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Pasal 85 , 86, 87 KHI juga menjelaskan bahwa harta
bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami atau istri. Dijelaskan pula bahwa tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
pula sebaliknya. Suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing.

181
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Berkaitan dengan harta yang diperoleh bersama (gono gini) tergugat


(istri) juga dapat mengajukan permohonan untuk pembagiannya
berdasarkan Pasal 97 KHI yang menyebutkan “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Perlu dipahami
bahwa istri yang diceraikan juga mempunyai hak atas mut’ah, nafkah,
maskan (tempat tinggal) serta kiswah selama masa iddah (sekitar 90
hari) yang dapat diajukan. Istri juga dapat menuntut kompensasi nafkah
yang tidak diberikan suami (tidak ditunaikan/nafkah madliyah) sesuai
Pasal 149 KHI. Suami mempunyai kewajban untuk memenuhi hal-hal
di atas apabila Pengadilan Agama memutuskan sesuai dengan tuntutan
istri. Sesuai dengan Pasal 9 UU PKDRT:
“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.”
Oleh karenanya, peran hakim menjadi sangat penting untuk
memastikan bahwa atas pembagian harta bersama juga memper-
timbangkan kebutuhan pemeliharaan dan pengasuhan anak. Hakim
perlu mendapatkan keterangan yang utuh tentang kondisi ini, maka
hakim dalam memutuskan terkait dengan harta gono gini, hadhonah
(nafkah istri dan nafkah anak) setelah putusnya perkawinan perlu
menghadirkan istri, anak dan keluarga untuk didengarkan kebutuhan
dan kepentingannya terhadap harta bersama. Mempertimbangkan
untuk mendapat bagian lebih satu pihak dari pihak lainnya demi
mewujudkan kesejahteraan dan masa depan anak.
Keadilan Gender dalam Prosedur Peradilan Agama
Penanganan kasus KDRT di lingkungan Peradilan Agama dibatasi
oleh kewenangan lembaga peradilan ini sebagai lembaga peradilan
perdata keluarga. Hukum acara yang digunakan adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang. Demikian ditegaskan dalam Pasal 54 UU
No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 50 tahun 2009.

182
Ketentuan dalam hukum Islam kegiatan peradilan merupakan
kegiatan muamalah, yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan
bersama (manusia dengan manusia/ manusia dengan masyarakat).
Melaksanakan peradilan menurut T.M. Hasbi Ash Shieddeiqy yang
dikutip oleh Sulaikin Lubis, merupakan tugas suci karena lembaga
peradilan mengemban tugas mulia untuk memerintahkan kebaikan
(ma’ruf ) dan mencegah kejahatan (munkar). Guna melaksanakan itu
harus ada pedoman berupa undang-undang dan aturan-aturan lainnya
bagi para hakim.
Sebagai sebuah lembaga peradilan yang mengemban tugas berat
tersebut, maka UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 mengatur
asas-asas yang harus dipergunakan di dalam Peradilan Agama. Sulaikin
Lubis mengelompokkannya sebagai berikut:
1. Asas personalitas keislaman
Asas ini dimaksudkan dalam Pasal 1, Pasal 2 UU No. 7 Tahun
1989 yang diubah dengan Pasal 2 angka 1 UU No. 3 Tahun 2006
jo UU No. 50 Tahun 2009 dan Pasal 49 bahwa Peradilan Agama
diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama Islam dan untuk
mengadili perkara-perkara tertentu.
2. Asas kebebasan
Asas ini tersurat dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga
peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara
dan Mahkamah Konstitusi. Makna kebebasan kehakiman dalam
menjalankan fungsi kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah:
a. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara yang lain.
Bebas di sini berarti murni berdiri sendiri, tidak berada di
bawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau
badan kekuasan lainnya.

183
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

b. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang datang


dari pihak extra yudicial, artinya hakim tidak boleh dipaksa
diarahkan atau direkomendasikan dari luar lingkungan
kekuasaan peradilan.
c. Kebebasan melaksanakan wewenang peradilan. Sifat kebebasan
hukum tidak mutlak, tapi terbatas pada: 1) menerapkan hukum
yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan yang
benar dan tepat dalam menyelesaikan perkara yang sedang
diperiksanya, 2) menafsirkan hukum yang tepat melalui
metode penafsiran yang dibenarkan.
d. Bebas mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar dan
asas-asas hukum melalui doktrin Ilmu Hukum, Hukum Adat,
yurisprudensi dan melalui pendekatan realisme (yaitu mencari
dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi,
kesusilaan, kepatutan agama, dan kelaziman).
3. Asas wajib mendamaikan
Asas ini termaktub dalam Pasal 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989
jo UU No. 50 Tahun 2009 bahwa pengadilan berusaha untuk
mendamaikan terlebih dahulu sebelum sidang dan pada saat
persidangan pertama sampai dengan sebelum perkara diputuskan.
Pada prinsipnya hal ini dikembalikan kepada prinsip dalam
Islam untuk menyelesaikan segala persengketaan dengan islah,
musyawarah yang disepakati bersama demi kebaikan bersama.
4. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
Asas ini tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) bahwa peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas ini
tidak dimaksudkan agar hakim menyelesaikan perkara secara
terburu-buru, yang penting cepat selesai. Namun pada prinsipnya
agar hakim dapat menyegerakan pemeriksaan atas perkara yang
diajukan agar segera terdapat penyelesaian dengan pemeriksaan
yang cermat dan tepat namun tidak berlarut-larut, yang dapat
mengakibatkan banyak kerugian baik secara materiil dan non
materiil. Asas ini tidak lantas memperbolehkan hakim untuk tidak

184
menggali lebih jauh duduk perkara untuk mendapatkan kejelasan
atas perkara yang diperiksa dan memahami secara keseluruhan
kompleksitas dan keterkaitan dengan berbagai aspek dari para
pihak yang bersengketa.
5. Asas persidangan terbuka untuk umum
Asas ini ditegaskan pada Pasal 59 ayat (1) bahwa pemeriksaan
pengadilan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
mengatur lain atau hakim karena mempertimbangkan alasan
tertentu memutuskan persidangan tertutup untuk umum. Makna
dari asas ini adalah agar hakim dapat menyidangkan perkara secara
transparan dan menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan
serta melakukan pemeriksaan yang sewenang-wenang. Asas ini
tidak berlaku untuk pekara perceraian.
6. Asas legalistis
Asas ini menganut prinsip bahwa pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang sebagaimana
diatur dalam Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. Asas persamaan
Asas persamaan atau equality serupa dengan hak legalistis bahwa
kedudukan orang adalah sama di hadapan hukum. Sulaikin
menjelaskan lebih lanjut tentang tiga patokan fundamental asas
ini, yakni:
1) persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan atau
“equality before the law”
2) hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal
protection on the law”
3) mendapatkan hak perlakuan di bawah hukum atau “equal
justice under the law”
8. Asas aktif memberi bantuan
Asas ini tercatum dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989
dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 bahwa pengadilan
membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya

185
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya


peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Berlakunya asas aktif memberi bantuan ini selaras dengan hak
korban atas kebenaran dan juga selaras dengan asas kebebasan
kewenangan kehakiman dalam menjalankan peradilan, yaitu hakim
didorong untuk aktif memberitahukan tentang hak-hak korban
sebagai istri yang sedang menjalani proses hukum di peradilan
agama dan akibat hukumnya apabila sudah terjadi perdamaian
atau perceraian, termasuk terkait kewajibannya. Informasi yang
utuh soal proses hukum ini sejak awal penting diketahui pihak
istri, mengingat berdasarkan fakta yang diketemukan, begitu
banyak perempuan korban tidak memahami secara utuh peristiwa
hukum yang sedang dijalaninya, baik terkait perceraian dan
atau perdamaian, pengasuhan anak maupun soal harta, karena
keterbatasan pengetahuan hukum mereka dan keterbatasan
kemampuan untuk mendapatkan pendamping hukum. Kondisi
ini berbeda dengan suaminya, padahal dalam proses persidangan
penting bahwa para pihak berada posisi memiliki pengetahuan
yang sama sehingga tidak terjadi diskriminasi satu dengan lainnya.
Oleh karena itu peran aktif hakim menjadi sangat penting dengan
tetap mempertimbangkan asas hak perlindungan yang sama oleh
hukum atau “equal protection on the law”
Peradilan yang Berpihak pada Korban KDRT
Sistem hukum di Indonesia mulai bergerak untuk dapat
mempertimbangkan berbagai aspek yang menyangkut diri korban
KDRT. Proses peradilan agama mulai diterapkan pasal-pasal dari
peraturan perundangan umum yang mempunyai relevansi dengan
persoalan yang dialami korban. Hal demikian merupakan suatu ikhtiar
hukum yang sangat positif dan merupakan suatu perubahan yang
mendasar dalam dinamika pertumbuhan sistem hukum Indonesia.
Jika dilihat dari sisi content atau subtansi hukum telah banyak
produk hukum yang memberikan pembelaan dan perlindungan kepada
pihak yang selama ini mempunyai posisi rentan terhadap segala bentuk

186
diskriminasi dan kekerasan. Karena penciptaan produk hukum yang
memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak yang rentan
terhadap tindakan diskriminasi dan kekerasan telah diamanatkan
dalam berbagai instrumen internasional. Misalnya Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(CEDAW) dan Konvensi Hak Anak (CRC). Meskipun kita semua tetap
melakukan kewaspadaan, bahwa bukan hanya hukum yang berbentuk
undang-undang yang harus dipastikan tidak mengandung subtansi
yang tidak adil gender, tetapi juga kebijakan dalam bentuk perundang-
undangan yang lain, misalnya Surat Keputusan/Peraturan Presiden
sampai Surat Keputusan dan Peraturan di tingkat Propinsi dan
Kabupaten serta Desa yang juga harus mematuhi prinsip-prinsip
penyusunan kebijakan, prinsip non diskriminasi, prinsip tanggung
jawab negara dan lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari sisi kultur hukum, sudah tampak adanya perubahan cara
pandang di masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan,
termasuk terhadap masalah KDRT, korban KDRT, hak-hak korbannya.
Sekalipun, hal yang paling mendasar yang masih memerlukan bangunan
pengetahuan dan pemahaman bersama adalah tentang patriakhi,
diskriminasi gender dan bagaimana membangun relasi yang setara
antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam perkawinan dan
keluarga, ini masih mutlak membutuhkan perubahan terus menerus,
namun pergerakan ke arah perubahan yang lebih berkeadilan terhadap
perempuan telah dimulai di masyarakat.
Pada tataran struktur hukum ini, pilihan yang tepat dan prioritas
adalah memberikan pendidikan HAM dan gender baik di semua level
pendidikan, baik institusi pendidikan formal dan tidak formal.
Pendidikan ini juga membutuhkan peran penting para tokoh agama
dan tokoh masyarakat, termasuk melakukan redifinisi atas
penerjemahan-penerjemahan teks-teks yang lebih berorientasi pada
kondisi faktual ketidakadilan pada perempuan dan keadilan.
Pada tataran struktur hukum, perubahan ke arah sistem hukum yang
lebih berkeadilan terhadap korban KDRT juga dapat kita tangkap dari
berbagai putusan pengadilan yang “berpihak” pada korban. Berpihak

187
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

dalam konteks ini bukan untuk menafikan asas equality bagi para pihak
yang berperkara, akan tetapi harus dimaknai sebagai pemahaman dan
penerimaan bahwa korban memang mengalami kasus sebagaimana
diungkapkannya. Artinya memahami sepenuhnya situasi dan kondisi
korban sehingga harus menempuh jalan berat perceraian. Hal ini tidak
dapat disamakan dengan pemihakan yang buta terhadap salah satu
pihak.
Cara pandang para hakim tentang KDRT, korban dan pelakunya
mengalami perkembangan ke arah yang diharapkan. Perlakuan empati
dalam persidangan, penerapan pasal-pasal dari peraturan perundangan
umum yang relevan, penguasaan kemampuan analisa psikososial, dan
kesediaan para hakim untuk menangkap setiap dinamika masyarakat
merupakan hal yang sangat konstruktif bagi upaya penghapusan
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karenanya produk hukum yang
ditelorkan dengan putusan-putusan yang berkeadilan gender patut
untuk dijadikan teladan dan pijakan bagi para hakim lainnya untuk
melakukan hal yang serupa.
Sedikit berbeda dengan fenomena KDRT yang diproses melalui
peradilan umum khususnya pada tahap pelaporan ke Kepolisian,
seringkali diketemukan bahwa “Perempuan Korban” tidak sungguh-
sungguh ingin berpisah dari suaminya, tetapi hanya ingin memberi efek
jera pada suami dan agar terbebas dari kekerasan supaya tidak berulang.
Itulah sebabnya banyak sekali laporan-laporan di Kepolisian tiba-tiba
dalam perjalananya “dicabut” kembali oleh korban. Pencabutan ini
seringkali oleh pihak Kepolisian ditindaklanjuti dengan proses
“perdamaian” antara pelaku, korban, keluarga dan tokoh masyarakat.
Terkait upaya-upaya perdamaian yang difasilitasi pihak Kepolisian
ini, tentu tetap harus diletakkan sebagai proses yang harus di “evaluasi
terus menerus” untuk memastikan ketidakberulangan kekerasan dalam
rumah tangga paska perdamaian berlangsung, yang kedua, juga harus
terus dipastikan bahwa proses perdamaian itu, poisisi korban tidak
dalam posisi terintimidasi oleh pelaku, keluarga dan komunitas.

188
Sesungguhnya hal penting yang selama ini luput dilakukan adalah
pentingnya memberikan intervensi “konseling” pada pelaku, keluarga
pelaku dan komunitas. Konseling ini diharapkan mampu membantu
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pelaku, misalnya
tentang mengapa kekerasan tidak boleh dilakukan dalam perkawinan,
apa akibat hukumnya jika pelaku melakukan kekerasan, dan apakah
dengan pemberian efek jera pada pelaku dan memastikan
ketidakberulangan pelaku melakukan kekerasan dalam rumah tangga,
tetap memberikan kesempatan bagi pelaku dan korban untuk dapat
membina rumah tangga yang sejahtera.
Jika hal-hal tersebut dilakukan, maka diharapkan penegakan hukum
Undang-undang PKDRT tetap bisa dilaksanakan disatu sisi, disisi lain
para pihak yang sedang berkonflik rumah tangganya dapat tetap
mengusahakan terwujudnya keluarga sejahtera, setelah mampu
mengurai kekerasan, memberi efek jera, dan menyadari kesalahan serta
kesediaan untuk berkomitmen menjalankan sebuah rumah tangga yang
sejahtera sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Gambaran perkembangan hukum yang berkeadilan ini dapat dilihat
pada beberapa putusan peradilan dari tingkat pertama, tingkat banding
dan tingkat kasasi. Tulisan ini akan dikutip salah satu contoh kasus
KDRT yang diajukan secara perdata melalui peradilan agama.
Putusan Pengadilan Agama pada perkara gugat cerai yang diajukan
“S” pada Juni 2007 di Bogor. Gugatan cerai ini dilakukan sebagai puncak
dari kekerasan yang dilakukan suami (laki-laki) terhadap korban
(penggugat/perempuan) selama hampir 15 tahun kehidupan rumah
tangga mereka. Kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik, psikis,
dan penelantaran ekonomi. “S” menjelaskan dalam materi gugatannya:
- Tergugat tidak pernah melibatkan Penggugat dalam
mengelola keuangan keluarga, tidak pernah diminta
pendapat jika ingin membeli atau menjual sesuatu
barang;——
- Tergugat berusaha mengisolir, memutuskan tali
silaturrahmi antara Penggugat dengan keluarga bahkan
dengan orang tua Penggugat sekalipun. Tergugat juga
tidak segan untuk berkata kasar, memaki-maki orang tua
Penggugat;————————————

189
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

- Tergugat tidak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga


dalam hal memberikan nafkah kepada istri dan anaknya.
Tergugat selalu memberikan nafkah semau hati, padahal
Tergugat secara finansial mempunyai kemampuan yang
cukup;———————
- Tergugat seringkali melakukan kekerasan psikis terhadap
Penggugat, antara lain: merendahkan Penggugat di depan
teman Penggugat, memfitnah Penggugat telah berzina,
kepada anak-anak, memaki-maki Penggugat dengan kata-
kata kasar, dan lain-lain ;-
- Tergugat seringkali mengakhiri permasalahan, perselisihan
yang terjadi dengan melakukan kekerasan fisik, antara
lain: Penggugat pernah akan disiram bensin, Penggugat
pernah disekap dengan bantal, Penggugat pernah ditonjok,
Penggugat pernah dipukuli, dan lain-lain;——————
————————————————————(Salinan
Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr)
Guna menuntaskan kasus ini Penggugat mempergunakan dalil-dalil
hukum dan posita untuk menjelaskan KDRT yang menimpanya secara
detail. Dalil-dalil hukum yang digunakan adalah:
1. UU Perkawinan yang menjelaskan tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Namun hal
ini tidak terwujud karena kebahagiaan dalam perkawinan “S”
tidaklah berlangsung lama dan berubah menjadi keluarga yang
penuh derita dan tekanan.
2. Pasal 33 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa dalam
perkawinan antara suami istri harus saling menghormati dan
menghargai dan menjalankan kewajibannya. Namun yang terjadi
pada “S” justru sebaliknya.
3. Pasal 19 huruf (d) dan (f ) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menjelaskan bahwa perceraian dapat dilakukan karena
adanya penganiayaan, ketidakrukunan, dan perselisihan yang
mempertegas kedua hal di atas.

190
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak-Hak Anak), pada Mukadimahnya,
disebutkan bahwa anak memerlukan lingkungan keluarga yang
bahagia dan penuh kasih sayang untuk dapat tumbuh kembang
dengan baik.
5. Pasal 16 ayat (1) huruf (f ) UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi ter-
hadap Wanita yang menyatakan adanya hak dan tanggung jawab
yang sama dalam perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak.
6. Pasal 156 huruf (a) KHI menyatakan bila terjadi perceraian, maka
anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak
pemeliharaan ibunya. Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bila terjadi perceraian maka bapak
mempunyai tanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak, dan bila bapak tidak mampu memenuhinya,
maka ibu dapat turut memikul biaya tersebut.
Gugatan penggugat atas kondisi di atas adalah memohon hakim
dapat memutuskan hal-hal berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus
karena perceraian;
3. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak pemeliharaan dan
pengasuhan atas anak;
4. Memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan biaya
pemeliharaan anak-anak Penggugat dengan Tergugat tiap bulan
di luar biaya pendidikan dan kesehatan; dan
5. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Sesuai dengan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Agama,
pada sidang-sidang selanjutnya dilakukan proses jawab-menjawab
hingga hakim merasa telah mendapatkan gambaran cukup tentang

191
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

duduk perkaranya dan menjadi landasan pembuatan keputusan. Hakim


mempergunakan landasan hukum dalam memeriksa dan membuat
putusan, yakni:
1. Pasal 7 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa Penggugat dan
Tergugat secara sah terikat dalam perkawinan.
2. Pasal 1 UU Perkawinan jo Pasal 3 KHI tentang keluarga yang
sakinah mawadah wa rahmah yang ternyata tidak terwujud akibat
rentetan kasus yang terjadi dalam rumah tangga penggugat dan
Tergugat.
3. Pasal 2 KHI yang menjelaskan bahwa perkawinan bukan sekadar
perjanjian biasa untuk hidup bersama sebagai suami istri akan
tetapi suatu mitsaqan ghalidzan yang bernilai sakral, dengan
demikian ikatan batiniah yang melahirkan rasa cinta dan sayang
(mawaddah warahmah) adalah hal yang sangat penting dalam
membina suatu rumah tangga dan bahwasannya hal itu tidak
terwujud dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
“…dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu suatu mitsaqan
ghalidza (perjanjian yang sangat kokoh).” (QS. An Nisa:21).
Pernikahan adalah akad untuk “beribadah” kepada Allah dan
membangun “relasi yang saling membahagiakan” antar anak
manusia. Akad untuk menegakan syariat Allah, yang harus
maujut dalam kehidupan yang saling menjaga manusia dalam
martabat kemanusiaannya. Akad untuk membangun rumah
tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Maknanya adalah sebuah pernikahan adalah akad untuk saling
meninggalkan kemaksiatan, akad untuk saling mencintai karena
Allah, akad untuk saling menghormati dan menghargai bukan
hanya kepada para pihak yang sedang berpasangan, tetapi juga
keluarga dan komunitas. Akad juga dimaknai untuk saling
menerima dan berkomitmen menjaga “penerimaan” apa adanya
antara keduanya, akad untuk saling menguatkan keilmuan, ke-
imanan dan kehidupan beragama dan bersosial kemasyarakatan.
Akad untuk saling membantu dan meringankan beban tanpa
melihat peran dan posisi yang sudah melekat erat di masyarakat

192
yang cenderung melakukan pembedaan. Akad untuk saling
menasihati dan menerima nasihat tanpa paksaan dan rasa takut,
serta akad untuk setia kepada pasangannya baik dalam suka dan
duka, dalam kefakiran dan kekayaan, juga dalam sakit dan sehat
sampai sakaratul maut menjemput, bahkan akad tetap setia
dalam do’a untuk yang terkasih yang terlebih dahulu pergi.
Perkawinan artinya akad menjalankan kehidupan dalam
kebersamaan kesenangan dan kebahagiaan, akad untuk saling
melindungi dan terlindungi tanpa pengekangan kehidupan satu
dengan lainnya, akad untuk saling memberikan kedamaian dan
rasa aman, akad untuk saling percaya dan mempercayai. Akad
untuk saling menghargai dan menghormati jika salah satu pihak
ingin “bersuara” tanpa merendahkan satu dengan lainnya. Akad
untuk terus belajar mendapatkan pengetahuan dan pemahaman
baru dalam kehidupan dan menunaikan kewajiban tanpa
merendahkan satu dengan lainnya, akad untuk saling memaafkan
kesalahan, akad untuk tidak menyimpan dendam dan kemarahan,
serta akad untuk tidak mengungkit-ungkit kelemahan, keku-
rangan dan kesalahan.
Pernikahan adalah akad untuk tidak melakukan pelanggaran,
akad untuk tidak saling menyakiti hati dan perasaan, akad untuk
tidak saling menyakiti badan, akad untuk lembut dalam per-
kataan, akad untuk santun dalam pergaulan, akad untuk indah
dalam penampilan, akad untuk mesra dalam mengungkapkan
keinginan, akad untuk saling mengembangkan potensi diri, akad
untuk adanya saling keterbukaan yang melegakan, akad untuk
saling menumpahkan kasih sayang, akad untuk saling merin-
dukan, akad untuk tidak adanya pemaksaan kehendak, akad
untuk tidak saling membiarkan, dan akad untuk tidak saling
meninggalkan.
Pernikahan juga bermakna akad untuk menebarkan kebajikan
dan membangun generasi berkualitas, akad untuk selalu siap
menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu bukan hanya bagi anak-anak
kandungnya, tapi juga generasi muda pada umumnya untuk terus
berkembang dan maju demi membangun peradaban masa depan.

193
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pernikahan adalah akad untuk segala hal yang bernama


kebaikan, karena perkawinan adalah perjanjian yang kokoh
Mitsaqan Ghalidza. Seperti ketika Allah SWT membuat perjanjian
dengan para Nabi: Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, dan Isa AS
(Al Ahzab 33:7). Seperti ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur
di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia
pada Allah (An Nissa 4:154).
4. Pasal 30 ayat (2) UU Perkawinan, Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo
Pasal 116 KHI yang menegaskan tentang alasan diperbolehkannya
perceraian, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun lagi
dalam rumah tangga oleh karena penganiayaan dan hal lainnya.
Hal-hal tersebut terjadi di dalam rumah tangga penggugat dan
tergugat.
5. Pasal 5 huruf (b) UU PKDRT menjelaskan tentang bentuk-ben-
tuk KDRT sebagaimana telah dilakukan Tergugat terhadap
Penggugat.
6. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 38 K/AG/1990
tanggal 22 Agustus 1991 menyatakan bahwa alasan perceraian
sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf (f ) PP No. 9 Tahun 1975
adalah semata-mata ditujukan pada pecahnya perkawinan itu
sendiri, tanpa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang
benar dalam hal terjadinya perselisihan dan pertengkaran
tersebut, sehingga dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat
bahwa karena perkawinan Penggugat dan Tergugat telah “pecah”,
dengan demikian gugatan Penggugat telah terbukti memenuhi
alasan perceraian sebagaimana dimaksudkan Pasal 19 huruf (f )
PP Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f ) KHI, oleh karena itu
gugatan Penggugat harus dikabulkan dengan menjatuhkan talak
satu Bain Sughra Tergugat atas Penggugat.
7. Pasal 105 huruf (a) KHI, tentang pemeliharaan anak yang
merupakan hak ibunya.
8. Pasal 89 (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU
No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, tentang biaya yang
dibebankan kepada Penggugat.

194
Selain memeriksa perundang-undangan yang mengatur hal di atas,
hakim mempunyai pertimbangan berdasarkan kasus posisi yang
dijelaskan penggugat dan proses jawab-menjawab yang terjadi selama
persidangan, sebagai berikut:
“———Menimbang, bahwa mempertahankan rumah tangga
yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan
kemadharatan bagi kedua belah pihak, maka untuk
menghindari kemadharatan yang lebih besar lagi, perceraian
merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat, hal mana sejalan dengan
maksud kaidah Fiqhiyyah :———————————————
———————————————————————

Artinya: Menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada menarik


kemaslahatan; -Demikian pula ungkapan kitab Ghayatul Murom Lis Syaehil
Majdi yang menyatakan :

Artinya : Apabila istri sudah sangat tidak senang (cinta) kepada suaminya,
maka Hakim harus menjatuhkan thalaknya.
Serta pendapat ahli hukum Islam yang tersebut dalam kitab
Madariyah Al-zaujain Juz I halaman 83, yaitu:

Artinya : “Islam memilih lembaga thalaq/cerai ketika rumah tangga sudah


dianggap goncang serta sudah dianggap tidak bermanfaat lagi nasehat/
perdamaian dan hubungan suami istri telah hampa, sebab meneruskan
perkawinan berarti menghukum salah satu suami/istri dengan penjara yang
berkepanjangan. Ini adalah aniaya yang bertentangan dengan keadilan.

195
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

———Menimbang, bahwa mempertahankan rumah


tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan
menimbulkan kemadharatan bagi kedua belah pihak,
maka untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar
lagi, perceraian merupakan jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan rumah tangga Penggugat dan Tergugat,
hal mana sejalan dengan maksud kaidah Fiqhiyyah
:—————————————————————————
(Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr)
Berdasarkan hal-hal di atas, maka hakim menetapkan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat atas Penggugat
3. Menetapkan anak yang bernama — hak asuh anak kepada ibu
(penggugat)
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 406.000
Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bagaimana kearifan hakim
dalam memutus perkara dengan tidak cenderung menempatkan korban
sebagai pihak yang turut andil dalam terjadinya KDRT. Empati dan
pemahaman hakim benar-benar nampak atas situasi yang terjadi
melalui kasus posisi yang dipaparkan. Hal ini semakin diperkuat dengan
peraturan perundangan dan fiqh yang mempunyai legitimasi ke-
agamaan.
Pada kasus di atas penggunaan dalil gugatan dan pemeriksaan
materi gugatan sudah dikombinasikan antara hukum yang lazim
digunakan pada peradilan agama dengan hukum atau peraturan
perundangan yang bersifat umum. Misalnya penerapan Pasal 5 UU
PKDRT tentang kekerasan, memberikan gambaran yang sangat jelas
bahwa pelaku (Tergugat) benar-benar melakukan berbagai tindak
kekerasan sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut. Hal ini sesuai
dengan Pasal 116 KHI yang menyebutkan bahwa salah satu alasan
perceraian adalah karena adanya penganiayaan suami.

196
Penggunaan UU tersebut menghasilkan putusan yang lebih memihak
kepada yang berhak, lemah, rentan, dalam hal ini korban yang berjuang
keras untuk mendapatkan hak-haknya. Penerapan pasal-pasal Undang-
Undang Perlindungan Anak juga membawa dampak positif terhadap
perkembangan anak, walaupun sebuah perceraian tetap akan me-
nyisakan dampak kurang baik pada mereka. Akan tetapi dampak po-
sitif ke depan jauh lebih menjanjikan dengan penghentian situasi pe-
nuh kekerasan dengan putusan perceraian tersebut. Perceraian memang
merupakan perbuatan halal yang tidak disukai Allah SWT, akan tetapi
diperkenankan dalam upaya untuk mencari keadilan. Maka, asas
memberikan bantuan yang selama ini dipedomani hakim dapat
dijalankan dengan niatan untuk memberikan bantuan bagi para pencari
keadilan, dalam hal ini korban KDRT.
Apa yang dilakukan oleh majelis hakim dalam kasus di atas tidaklah
melanggar pedoman perilaku hakim dan asas equality karena
memenangkan gugatan penggugat yang menempatkan tergugat sebagai
pihak yang dikalahkan. Akan tetapi para hakim telah memberlakukan
hukum yang berkeadilan sesuai dengan prosedur hukum yang ada dan
dengan mempertimbangkan berbagai asas yang menyangkut peradilan
agama. Kekhawatiran bahwa telah terjadi pemihakan yang serta merta
terhadap salah satu pihak saja dapat dihindari dengan penggunaan
dalil-dalil hukum yang berkaitan dengan peradilan agama maupun
yang bersifat umum. Proses yang demikian ini dapat dijadikan landasan
dan pegangan bagi hakim lainnya untuk melakukan hal yang sama demi
keadilan bagi yang berhak. Dan tidak berlebihan di sini jika dikatakan
bahwa para hakim akan berdiri pada barisan terdepan di dalam upaya
untuk memutus rantai kekerasan di dalam rumah tangga. Peradilan
Agama akan menjadi salah satu lembaga hukum yang berperan secara
positif dalam menghentikan KDRT dan tidak sekadar sebagai lembaga
pemutus tali perkawinan.
Proses peradilan yang berpihak -----dengan menemukenali diskri-
minasi gender pada kasus perceraian------ pada perempuan korban
KDRT pada dasarnya merupakan bentuk aplikasi pemahaman holistik
para hakim terhadap berbagai produk perundang-undangan nasional
yang telah tersedia, dan memberikan jaminan hukum pada pemenuhan

197
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan dan diskriminasi


terhadap perempuan. Pemahaman holistik ini dipadu dengan empati
simpatik para hakim kepada perempuan korban sehingga mampu
menghasilkan putusan atau penetapan yang adil gender.
Memulai membangun prosedur yang adil gender dalam proses
peradilan dilakukan dengan pertama-tama mengakui adanya ketim-
pangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Berikutnya adalah pe-
ngakuan adanya pembedaan dan ketidakadilan gender. Mulai dari dua
pengakuan inilah kemudian segenap kewenangan dan terobosan hakim
didesain dalam rangka memahami secara holistik peristiwa yang dialami
korban, mempermudah akses korban pada peradilan dan keadilan, dan
menghimpun semua produk hukum yang kondusif bagi penghapusan
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai basis argu-
mentasi, kemudian diakhiri dengan mengetuk palu sebagai penanda
putusan atau penetapan dengan adil dan berpihak pada korban.

198
BAB VI

Rekomendasi
- Mendorong buku referensi ini menjadi salah satu buku pegangan
wajib dalam proses pendidikan Calon Hakim maupun dalam
proses pelatihan profesionalitas Hakim. Harapan ini sesuai dengan
Kesepakatan Bersama Nomor: 147/KNKTP/MoU/XI/2011, Nomor:
184B/KMA/SKB/XI/2011, Nomor: KEP-244A/A/JA/11/2011, Nomor:
B/27/XI/2011, Nomor: 34/MoU/MPP-PA/2011, Nomor: 011/PERADI-
DPN/MoU/XI/2011 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan
Korban Kekerasan yang ditandatangai pada tanggal 23 November
2011, antara lain memandatkan pentingnya pengintegrasian
perspektif HAM dan Gender di dalam kurikulum pendidikan dan
pelatihan penegak hukum.
- Mendorong buku referensi ini dijadikan sebagai salah satu bahan
pijakan untuk mendiskusikan kasus-kasus yang terus berkembang
di meja pengadilan agama dalam menyelesaian kasus perkawinan,
cerai, gugat talak dan rujuk sehingga dapat terus diupayakan
pembaharuan dan terobosan hukum melalui putusan-putusan
hakim yang mampu menghadirkan dukungan bagi terwujudnya
akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan.

199
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Lampiran

Mengharap Terobosan Hukum


Lebih Lanjut di Pengadilan Agama?*

Oleh : Husein Muhammad**

D
alam sebuah acara pelatihan Islam dan Gender untuk para
hakim pada Mahkamah Syar’iyyah di Nanggroe Aceh
Darussalam beberapa waktu yang lalu, kepada saya diajukan
pertanyaan : “Apakah ada ketentuan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang
menyebutkan pembagian waris semacam gono-gini ?”. Saya menjawab
bahwa saya tidak pernah membaca ketentuan ini dalam kitab-kitab fiqh
klasik. Fiqh klasik adalah produk pemikiran hukum Islam abad
pertengahan. Saya kira kasus gono-gini ini adalah khas bangsa Indonesia.
Akan tetapi saya mendapat informasi dari Kiyai Abdurrahman Wahid
bahwa kasus ini memperoleh keabsahannya dari seorang ulama
Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh Muhammad Arsyad al
Banjari (w. 1812), penulis kitab “Sabilal Muhtadin”. Di Banjar, menurutnya,
pembagian waris seperti ini telah berjalan lama dan disebut “adat
perpantangan”. Dalam masyarakat Aceh tradisi ini juga telah berlangsung
lama yang disebut harta “seuharkat”. Yaitu, harta waris ini dibagi dua
lebih dahulu antara suami dan isteri dan barulah hasil parohan itu yang
dibagikan kepada ahli waris. Menurut Abdurrahman Wahid pula kepu-

* Disampaikan dalam Launching Buku Referensi bagi para Hakim Pengadilan


Agama, 02 Juli 2008, di Hotel Nikko, Jakarta.
** Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), 2007-2009.

200
tusan ini merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula
yang ada menurut Alquran, yaitu bahwa seluruh harta peninggalan
seseorang yang meninggal dunia dibagi antara para ahli waris. Harta
gono-gini tidak pernah ada dalam sejarah Islam sebelumnya. Memasuk-
kan adat perpantangan di dalam kitab standar fiqh (mu’tabar) adalah
nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran kontekstual yang
memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja di
atas sungai, baik berdagang maupun mengail atau menjala ikan. Peker-
jaan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus
dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan
membagi peran atas pekerjaan itu. (Majalah Pesantren,2/vol. II/1985).
Dalam pandangan saya walaupun keputusan tersebut tidak
ditemukan bunyi tekstualnya dalam fiqh namun ia dapat dicarikan
dasarnya dalam teori-teori fiqh. Dari sejarah hukum Islam kita
mengetahui bahwa pembagian waris 2:1 sebagaimana disebutkan secara
jelas dalam Alquran itu sesungguhnya merupakan transformasi yang
dilancarkan Islam atas konteks tradisi Arabia ketika itu. Harta waris
dalam tradisi Arab pra Islam hanya diberikan kepada golongan laki-laki.
Perempuan sama sekali tidak memperoleh bagian apa-apa dari harta
yang ditinggal mati keluarganya. Karena perempuan dalam tradisi
Arabia saat itu memang sama sekali tidak dihargai. Bahkan dalam
beberapa peristiwa perempuan dapat diwarisi keluarganya, sebagaimana
diinformasikan Alquran. Argumen mereka adalah bahwa laki-lakilah
yang menunggang kuda, menanggung beban dan berperang. Sebuah
jargon yang selalu disampai mereka adalah ; Nahnu la nuritsu man la
yarkabu farasan wa la yahmilu kallan wa la yanka-u ‘adwan (kami tidak
akan memberikan waris kepada mereka yang tidak menunggang kuda,
tidak memikul beban ekonomi dan tidak berperang melawan musuh).
Ada riwayat lain yang menyebutkan : “Kana Ahl al-Jahiliyyah La Yuritusn
al-Jawari wa La al-Dhu’afa min al-Ghilman wa La Yuritsuna Illa Man
Athaqa al-Qital” (Masyarakat pra Islam tidak membagi waris untuk
kaum perempuan, tidak juga untuk anak-anak muda yang lemah
(ghilman) dan tidak juga membagi waris kecuali untuk orang-orang
yang mampu berperang). Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas

201
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

bahwa harta waris dalam tradisi masyarakat Arab waktu itu hanya
diberikan kepada orang-orang yang memiliki fungsi kerja-kerja produksi
yang mengandalkan otot atau keperkasaan tubuh. Perempuan pada
saat itu tidak memiliki atau tidak dianggap memiliki fungsi kerja-kerja
produktif ini. Ruang kerja perempuan adalah di ruang domestik dan
untuk kerja reproduksi. Terhadap cara pandang masyarakat Arab seperti
itu, Alquran melancarkan koreksinya dengan mengajukan pandangan
baru bahwa perempuan juga memiliki hak waris, karena mereka juga
memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bersama mereka.
Sebuah informasi menyatakan bahwa janda Sa’ad bin Rabi’ mengadukan
kegelisahan hatinya kepada Nabi. Dua anak perempuan yang
dihasilkannya bersama Sa’ad tidak mendapatkan warisan begitu ayahnya
meninggal. Semua harta Sa’ad diambil oleh saudara laki-lakinya,
padahal dua anak perempuan Sa’ad sangat membutuhkannya. Nabi Saw
mendengar keluhan itu. Tidak lama kemudian ayat 11 dan 12 surah al
Nisa diturunkan Tuhan.
Saya menduga kuat bahwa ijtihad Syeikh Arsyad al Banjari tersebut
didasarkan atas pertimbangan pemikiran di atas. Yakni bahwa perubahan
hukum tersebut terjadi karena perubahan sosial. Ibnu al Qayyim al
Jauziyyah dalam bukunya “Ilam al Muwaqqi’in” mengemukakan :
“Taghayyur al Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azman wa al Amkinah
wa al ‘Awaid wa al Niyyat” (perubahan hukum terjadi karena perubahan
keadaan, waktu, tempat, adat-kebiasaan dan motivasi). Penetapan
hukum berdasarkan alasan adat juga mendapatkan landasan teori fiqh
yang cukup banyak. Antara lain kaedah fiqh :“al ‘Adah Muhakkamah,
Ya’ni anna al ‘adah ‘ammah kanat aw khasshah tuj’al hukman li Itsbat
hukm syari’y” (adat atau tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum syara’/agama) atau kaedah Al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al
Syar’ (ketetapan yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan
yang didasarkan atas syara’) atau isti’mal an-nâs hujjatun yajibu al-‘amal
bihâ (Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus
diikuti). Kaedah ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau
maqashid al syari’ah.

202
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI,
telah mengadopsi pembagian waris gono-gini tersebut yang disebut
“harta bersama”. Ini adalah sebuah terobosan hukum yang jarang kita
temukan dalam perundang-undangan hukum keluarga di sejumlah
negara Islam yang lain. Masyarakat muslim Indonesia telah menerima
ketentuan ini, karena dipandang sejalan dengan nilai-nilai keadilan
yang dirasakan masyarakatnya. Kenyataan penerimaan ketentuan ini
menunjukkan bahwa perubahan hukum seperti ini terbukti tidak
menjadi masalah dan tidak ada yang menyatakan sebagai pelanggaran
terhadap hukum Allah, bahkan justru mencerminkan upaya sungguh-
sungguh bagi penegakan tujuan hukum, yakni keadilan substantif.
Hal lain yang juga sering ditanyakan kepada saya dalam banyak
forum diskusi bertema Islam dan Gender adalah tentang perceraian di
pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah dalam kitab-kitab fiqh klasik
yang mu’tabar terdapat ketentuan hukum yang menyatakan bahwa
sahnya perceraian hanya berdasarkan keputusan di pengadilan? Saya
juga tidak menemukan bunyi hukum seperti ini dalam kitab-kitab
kuning yang diajarkan di pesantren. Mayoritas ulama fiqh terutama
mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hak menceraikan hanya pada suami
dan hal itu dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sewaktu-
waktu suami mengatakan “aku ceraikan kamu”, maka jatuhlah talak
kepadanya, bahkan walaupun dengan cara yang tidak disengaja atau
dengan main-main. Argumennya lagi-lagi karena suamilah yang
memegang kendali atas keluarganya dan laki-lakilah yang mampu
berpikir rasional dan lebih banyak mempertimbangkan segala
sesuatunya, sementara perempuan berkarakter emosional dan tidak
mampu berpikir mendalam dan luas. Hal ini jelas menunjukkan
pandangan yang bias gender, produk masyarakat patriakhis. Karena
tidak semua perempuan berkarakter seperti tersebut. Fakta-fakta
dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dan dalam
praktik di pengadilan, banyak perempuan yang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual yang setara atau bahkan mengungguli laki-
laki.

203
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Saya selanjutnya mengatakan bahwa keputusan bahwa perceraian


hanya sah di depan pengadilan adalah keputusan yang didasarkan pada
pertimbangan perubahan sosial dan lebih khusus lagi dalam rangka
menyantuni aspek lokalitas masyarakat Indonesia. Ketentuan seperti
ini belakangan juga diadopsi dalam undang-undang keluarga di Tunisia.
Sejumlah ulama menyatakan bahwa perubahan hukum perceraian
tersebut harus dilakukan karena telah terjadi “fasad al zaman”. Yakni
bahwa telah berkembang sebuah keadaan di mana banyak suami yang
tidak lagi memegang teguh komitmen moralitas dalam perkawinannya
yang sebenarnya sangat ditekankan oleh Islam. Yakni mu’asyarah bil
ma’ruf (berelasi dengan cara yang baik). Jika perceraian diberikan begitu
saja kepada laki-laki (suami), maka mereka dapat menggunakannya
sesuka hati tanpa mempertimbangkan lagi alasan-alasan isterinya. Lalu
bagaimana perempuan dapat membela diri dan bagaimana hak-haknya
dapat dilindungi? Maka prosedur perceraian di pengadilan, menurut
saya, adalah merupakan cara menyelesaikan perkara suami-isteri secara
lebih baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum
sekaligus dalam rangka melindungi hak-hak kaum perempuan untuk
memperoleh keadilannya yang seringkali diabaikan suami atau
masyarakat.
UU Perkawinan Indonesia maupun KHI juga telah mengadopsi
ketentuan ini, sebagaimana disebutkan pada Pasal 39 UU Perkawinan,
meskipun tidak ada dasar yurisprudensinya dalam kitab-kitab fiqh
Islam klasik. Menurut UU ini seorang suami yang menikah menurut
hukum Islam harus mengajukan surat resmi kepada pengadilan jika
ingin bercerai dari isterinya, berikut alasan-alasannya. Saya kira ini
merupakan ijtihad baru dari para ulama dan masyarakat Indonesia
dalam merespon perkembangan sosial di negeri ini. Sejumlah negara
Islam juga menentukan prosedur yang sama. Beberapa di antaranya
adalah Tunisia, al Jazair, Maroko, Yaman dan lain-lain. UU Yaman
menegaskan bahwa perceraian sepihak dilarang dan semua perceraian
harus melalui pengadilan. Pelanggaran atas ketentuan ini dikenakan
denda sampai 100 dinar atau penjara maksimal 1 tahun atau kedua-
duanya.(Baca: WEMC, “Mengenali Hak-Hak Kita”, cet. I/2007).

204
Lebih dari segalanya, bangsa Indonesia telah lama memberikan
legalitas atas kedudukan perempuan untuk menjadi hakim pada
institusi-institusi peradilan yang ada di Indonesia. Padahal posisi
perempuan seperti ini dipandang oleh mayoritas ahli hukum Islam
klasik, antara lain mazhab al-Syafi’I, Maliki dan Hanbali, tidak
dibolehkan.
Beberapa contoh kasus di atas sebetulnya hanya ingin menggam-
barkan bahwa masyarakat muslim Indonesia tampak lebih maju
daripada masyarakat muslim di sejumlah negara yang lain. Masyarakat
muslim Indonesia sudah lama menyadari perlunya perubahan hukum
karena perubahan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Mereka dengan
begitu sungguh telah melakukan proses kontekstualisasi hukum fiqh
Islam. Keberanian para pembuat UU Perkawinan dan KHI melakukan
kontekstualisasi seperti itu sudah tentu dilakukan karena meyakini
bahwa hukum seperti itu adalah adil, sesuatu yang menjadi tujuan
setiap hukum dan perundang-undangan.
Jika kita melihat kondisi sosial kita saat ini, maka perubahan sosial
masyarakat kita menunjukkan perkembangan yang jauh lebih maju
lagi. Konteks masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat berbeda lagi
dengan konteks pada saat UU Perkawinan maupun KHI tersebut dibuat.
Kaum perempuan pada saat ini sudah dan terus memperlihatkan
peningkatan kapasitas mereka baik dari sisi intelektual maupun
ekonomi dan politik. Kini Sudah banyak perempuan yang memimpin
institusi-institusi keilmuan, ekonomi, politik dan sebagainya. Kaum
perempuan Indonesia sudah ikutserta dalam kerja-kerja profesional
dan produktif. Tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi tulang
punggung ekonomi keluarga. Mereka mampu melakukan kerja apa saja,
baik dalam ruang domestik maupun ruang publik. Pertanyaan kita
adalah apakah UU Perkawinan dan KHI masih cukup relevan untuk
menyelesaikan kasus-kasus dalam relasi keluarga konteks Indonesia
hari ini? Dan Mungkinkah para hakim Pengadilan Agama melakukan
terobosan hukum lebih lanjut dalam rangka penegakan keadilan bagi
perempuan?

205
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Saya yakin bahwa jawaban atas pertanyaan ini akan berbeda-beda.


Akan tetapi saya kira kenyataan-kenyataan baru sudah seharusnya
menjadi dasar perumusan hukum. Seorang pemikir Islam modern
terkemuka Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan:
“Realitas adalah dasar. Tak ada jalan mengingkarinya. Dari realitas
terbentuklah teks. Dari kosakata dan tradisi bahasa terbentuklah makna-
makna yang dikehendaki. Dalam perkembangannya seiring dengan dinamika
sosial, pemahaman atasnya selalu terbarukan. Maka realitas adalah yang
pertama, yang kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas hanya demi
mempertimbangkan teks yang statis dengan pemaknaan yang tak berubah,
dapat menciptakan teks tersebut sebagai dongeng (catatan sejarah), karena ia
telah mengabaikan dimensi kemanusiaannya”. (Lihat : Burhani Zuraiq: Baina
al-Fikr wa al-Takfir, Dar al-Nashir, Kairo, 1997, hlm. 255-259).

Lebih dari semuanya adalah kesepakatan seluruh masyarakat


manusia bahwa hukum dibuat dalam rangka menciptakan keadilan.
Dalam konteks Islam, keadilan adalah pilar utama hukum. Ahli hukum
Islam klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350 M) mengatakan bahwa
adalah tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan
(kezaliman), meskipun dengan menyebutkan teks-teks ketuhanan. Jika
ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan) atasnya dan
rumusan-rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan. Ia
bukanlah bagian dari hukum Islam.( I’lam al Muwaqqi’in, Mathabi’ al
Islam, Cairo, 1980, III, h. 3). Di tempat lain dia mengatakan bahwa
keadilan manusia harus diusahakan dari manapun ia ditemukan, karena
ia juga adalah keadilan Tuhan dan hanya untuk tujuan itulah Tuhan
menurunkan hukum-hukumnya. (Al Thuruq al Hukmiyyah fi al Siyasah
al Syar’iyyah, Dar al Arqam bin Abi al Arqam, Beirut, cet. I, 1999, h.
39).
Saya kira para hakim agama adalah orang-orang yang paling
didambakan masyarakat untuk bisa melahirkan keputusan-keputusan
hukum yang adil. Kepada merekalah masyarakat berharap bisa
menemukan keputusan yang memenuhi rasa keadilan. Keadilan adalah
menempatkan segala hal pada tempatnya atau memberikan hak-hak
kepada pemiliknya. Keadilan dengan demikian tidak akan melihat

206
seseorang karena dia beragama apa, jenis kelamin apa, warga suku mana
dan seterusnya. Untuk ini para hakim Pengadilan Agama amat
diharapkan dapat memainkan peranannya untuk mengekplorasi,
menganalisis dan merenungkan kembali sedalam-dalamnya dengan
melihat kenyataan-kenyataan sosial hari ini dan nanti, bukan hanya
instrumen hukum yang menjadi acuan kerjanya, yakni UU Perkawinan
dan KHI, melainkan juga berbagai instrumen hukum nasional yang
relevan, seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan lain-
lain. Dan yang paling mendasar dari segala peraturan perundang-
undangan tersebut adalah Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Akhirnya, buku terbitan Komisi Nasional Perempuan yang kita
launching hari ini menurut hemat saya sangat penting untuk menjadi
salah satu bahan bacaan bagi para hakim Pengadilan Agama di mana
saja di bumi Indonesia. Tidak ada maksud lain dari penyusunan buku
ini kecuali keinginan menyumbang bagi upaya-upaya kita bersama
untuk menegakkan hukum yang berkeadilan sebagaimana yang
diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Semoga.

207
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Daftar Pustaka

Abu Syuqqah, Mahmud, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr ar-Risalah, (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1991).
Al-Andalusi, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali, al-Bahr al-Muhîth,
(Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâth al-’Arabi, tt).
ad-Dasuqi, Muhammad dan al-Jabir, Aminah, Muqaddimah fi Dirasat al-Fiqh
al-Islami, 14 11H/1990M, Dauhah, Qatar.
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Alih bahasa oleh Farid
Wajidi dan Ciciek Farha Assegaf. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1994).
Mansour Fakih, Analisis Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar dari
Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999).
Ibn al-Atsîr, Abû as-Sa’âdât Mubârak bin Muhammad, Jâmi’ al-Ushûl min Ahâdîts
ar-Rasûl, (Beirut: Dar Ihya at-Turats, 1984).
Ibn Asyur, Muhammad Thahir, Maqâshid asy-Syari’ah, (Kairo: Dar as-Salâm,
2006).
Ibn Manzhûr, Abû al-Fadhl Jamâl ad-Dîn Muhammad bin Mukarram, Lisân al-
’Arab, (Beirut: Dar Shâdir, tt.).
Sulistyowati Irianto, (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2006).
Isma’il Hasani, Nadhariyat al-Maqâshid ‘ind Muhammad Thâhir bin ‘Asyur,
(Virginia Amerika: IIIT, 1999).
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk, Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus
Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Cirebon:
Fahmina Institute, 2006).
Kristi Poerwandari, et. al, Eni Maryani (editor), Peta Kekerasan: Pengalaman
Perempuan Indonesia, Publikasi Komnas Perempuan diterbitkan di Indonesia,
Oktober 2002.

208
Lies Marcoes, Jender dan Pembangunan, (Jakarta: Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan RI dan Women Support Project, 2001).
Margiyani, Lusi dan Alimi, Moh. Yasir (ed.), Sosialisasi Gender: Menjinakkan
“Takdir” Mendidik Anak secara Adil, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), 1999).
Mosse, Julia Claves, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Rifka An-Nisa, 2003).
Muhammad al-Habasy, al-Mar’ah bayna asy-Syari’ah wa al-Hayat: Qira’ah fi
Waqi’ al-Mar’ah al-Mulimah, (tt: tp: 2005).
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, (Yogyakarta: Rifka Annisa
Women’s Crisis Centre, 1995).
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Kekerasan terhadap Perempuan
Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre, (Surabaya: Savy Amira Surabaya
Women’s Crisis Centre, 1998).
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Kekerasan terhadap Perempuan
Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre, (Surabaya: Savy Amira Surabaya
Women’s Crisis Centre, 2001).
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Kekerasan terhadap Perempuan
Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre, (Surabaya: Savy Amira Surabaya
Women’s Crisis Centre, 2002)
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Kekerasan terhadap Perempuan
Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre, (Surabaya: Savy Amira Surabaya
Women’s Crisis Centre, 2004)
Ummu Azizah Mukarnawati, Catatan Konseling Victim of Trafficking, (Surabaya:
International Organization for Migration, 2005).
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan dalam Tanya Jawab, Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2007
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Kompilasi instrumen
Internasional Hak Asasi Manusia Berikut Ratifikasinya dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Surabaya, 2003).
Muhammad Saifullah, et.al, (ed.), Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga,
(Yogyakarta: UII Press, 2005).

209
Referensi bagi Hakim Peradilan Agama
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre, Modul Pelatihan penguatan


Perspektif Gender bagi Pendamping dalam Penanganan Kasus-kasus kekerasan
terhadap Perempuan, di Batu Malang, 17-19 September 2003, (Surabaya: Savy
Amira-Ausaid, 2003).
Asy-Syahrastâni, Abû al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim, al-Milal wa an-
Nihal, ed. Ahmad Fahmi Muhammad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992).
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2007)
az-Zayla’i, Jamaluddin Abdullah bin Yusuf, Nashb ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-
Hidâyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002).
az-Zuahilî, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr al-
Islami, 1999).
az-Zuhaily, Muhammad, An-Nazariyyât al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam,
tt).
Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender: Aksi-Interaksi Kelompok Buruh
Perempuan dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Kompas, 2005).
Budiman, Leila Ch, Gonjang-Ganjing Perkawinan, (Jakarta: Kompas, 2000).

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

210
ISBN: 978-979-26-7531-3

Komnas Perempuan
Jl. Latuharhary 4B
Jakarta 10310
Telp. : (62-21) 3903963
Fax : (62-21) 3903922
Website : www.komnasperempuan.or.id
Email : mail@komnasperempuan.or.id

Anda mungkin juga menyukai