Anda di halaman 1dari 4

KONSEP DASAR STILISTIKA

Redyanto Noor
Program Studi Magister Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro

1. Konsep Dasar

Etimologi stilistika adalah kata style yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara

khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara pengungkapan

tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan

kalimat, nada, dan sebagainya). Pengertian gaya (style) dapat diperluas sehingga

mencakup sekelompok pengarang, bangsa-bangsa atau suatu periode tertentu

(Hartoko, 1986:137). Dalam bukunya Pemandu di Dunia Sastra Hartoko

menyatakan bahwa stilistika adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari gaya

(style). Gaya (style) dibedakan antara stilistika deskriptif dan stilistika genetis

(1986:138).

 Stilistika deskriptif memandang gaya (style) sebagai keseluruhan daya

ungkapan psikis yang terkandung dalam suatu bahasa dan meneliti nilai-nilai

ekspresif khusus yang terkandung dalam suatu bahasa (langue), yaitu secara

morfologis, sintaktis, dan semantis. Dalam pandangan ini pengarang

membangkitkan beberapa kemungkinan yang terkandung dalam sistem bahasa

yang bersangkutan.

 Stilistika genetis (stilistika individual) memandang gaya (style) sebagai suatu

ungkapan yang khas (pribadi). Melalui analisis yang terperinci (motif, diksi)
terhadap sebuah karya sastra dapat dilacak visi batin seorang pengarang, cara

ia mengungkapkan sesuatu. Analisis ini agak mirip dengan analisis ala Freud.

Lebih lanjut Hartoko mengatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat

empat pendapat mengenai gaya (style) sebagai suatu gejala dalam bahasa dan

sastra (1986:138).

 Gaya (style) hanya suatu perhiasan tambahan (pandangan dualistis).

 Gaya (style) merupakan bagian integral dari sebuah karya yang merupakan

manunggalnya isi dan bentuk (pandangan monistis).

 Secara linguistis gaya (style) dapat dilacak sebagai suatu penyimpangan

terhadap suatu bentuk penggunaan bahasa tertentu dan justru karena

penyimpangan itu perhatian pembaca dibangkitkan (dualistis).

 Gaya (style) sebagai variasi, tanpa adanya suatu norma tertentu. Variasi dapat

terjadi dalam bentuk maupun isi (ministis) atau hanya dalam ungkapan saja

(dualistis).

2. Prinsip Ekuivalensi dan Deviasi

Menurut Teeuw, untuk menafsirkan teks sastra sekurang-kurangnya dibutuhkan

tiga sistem kode berkaitan dengan eksistensi teks sastra yang bersangkutan. Tiga

sistem kode itu adalah sistem kode bahasa teks sastra, sistem kode budaya teks

sastra, dan sistem kode khas teks sastra (1983:15). Berkenaan dengan stilistika

tentu saja yang bergayutan adalah pembicaraan tentang sistem kode bahasa. Orang

tidak mungkin dapat menafsirkan makna sebuah teks sastra tanpa menguasai

sistem kode bahasa yang dipakai teks sastra itu. Orang yang tidak menguasai
bahasa Jawa dengan baik tentu tidak mungkin ia dapat menafsirkan makna sesuah

geguritan, cerita cekak, cerita landhung, dan sebagainya. Itulah sebabnya

menurut Teeuw, penggunaan bahasa dalam sastra menjadi persoalan penting yang

harus didayagunakan oleh pengarang, sekaligus harus dihadapi secara kritis dan

kreatif oleh pembaca teks sastra (1983:18).

Dalam konteks pembicaraan stilistika, salah satu persoalan bahasa yang

menjadi pusat perhatian adalah diksi (pilihan kata). Teeuw berpendapat bahwa ada

dua (2) prinsip universal utama yang berfungsi dalam sistem kode bahasa sastra

berkaitan dengan diksi, yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip

deviasi atau penyimpangan (1983:19). Prinsip ekuivalensi atau kesepadanan

adalah pendayagunaan bahasa dengan memanfaatkan proses gejala bahasa dan

gaya bahasa, yang mengandung kesamaan unsur-unsur semantis, seperti sinonim

homonim, arkais, pleonasme, hiperbol, dan sebagainya. Prinsip deviasi atau

penyimpangan adalah pendayagunaan bahasa dengan memanfaatkan perubahan,

pergeseran, penyelewengan unsur-unsur semantis, seperti neologisme, metafor,

personifikasi, anomali, dan lain-lain.

Dalam teks sastra pemanfaatan prinsip ekuivalensi bertujuan untuk

mencapai efek-efek tertentu berkaitan dengan makna dan nilai estetika. Misalnya,

pemakaian gejala bahasa kesinoniman mampu menimbulkan efek realistik pada

gambaran setting dan peristiwa. Pemakaian gaya bahasa pleonasme mampu

menimbulkan efek sugestif pada perasaan pembaca, juga efek asosiatif pada

angan-angan pembaca. Begitu pula pemakaian prinsip deviasi, juga untuk

mencapai efek-efek tertentu pada teks sastra. Bahasa sehari-hari sesungguhnya


adalah bahasa denotatif yang bersifat eksplanasi, menjelaskan konsep sebuah kata,

kalimat, atau wacana dalam konteks arti denotatif. Bahasa sastra sesungguhnya

adalah bahasa sehari-hari yang telah dimanipulasi melalui bermacam-macam

rekayasa sehingga bahasa sehari-hari itu tidak lagi sekadar mengungkap makna

objektif, tetapi membawa penjelajahan makna. Makna konotatif, sugestif,

asosiatif, poliinterpretabel, dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk

penjelajahan bahasa sastra yang dilakukan pengarang.

Bahan Bacaan

Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:


Kanisius.

Sudjiman, Panuti. 1990. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai