Anda di halaman 1dari 4

MUSTIKA NORMA GUPITA

J0314201139
AKN A P1

Kasus PT KAI TM 3
Kasus PT KAI adalah kasus pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diduga terjadi
manipulasi data keuangan pada tahun 2005, perusahaan BUMN tercatat meraih laba sebesar Rp
6,9 Miliar padahal apabila diteliti lebih rinci perusahaan BUMN ini mencatat kerugian sebesar Rp
63 Miliar.
Pembahasan Kasus
Kasus berawal dari perbedaan pendapata antara Manajemen dan komisaris, khususnya Ketua
Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang
telah diaudit oleh Auditor eksternal, dan komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar
laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Perbedaan tersebut adalah :
1. Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak
tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah diberikan kepada pelanggan pada saat jasa
angkutannya diberikan pada tahun 1998-2005
2. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya sebesar RP 674,5 Milyar dan
Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 70 miliar oleh manajemen PT KAI dalam neraca
per 31 Desember 2005 merupakan bagian dari hutang. Akan tetapi pendapat berbeda
dikemukakan Komisaris PT KAI Hekinus Manao bahwa bantuan penyertaan modal harus
disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
3. Terjadi penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang
diketahui pada saat melakukan investarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai
kerugian bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan
nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya
dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4. Masalah piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai RP 95,2 Miliar, menurut komite audit
harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya
tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.
5. Masalah uang muka gaji yang dibayar sebesar Rp 28 Milyar merupakan gaji bulan Januari
2006 dan seharusnya yang dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31
Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji menurut Komite Audit harus
dibebankan pada tahun 2005
6. Masalah persediaan dalam perjalanan berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang
sebesar Rp 1,4 Milyar. Kemudian dialihkan kepada ke unit kerja lainnya di lingkungan PT
KAI, akan tetapi belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, Komite Audit
menyatakan hal ini telah bebas pada tahun 2005.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan
keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang
seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan
masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem
akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen,
namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi
dengan baik. Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah
yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong
terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan
keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense
of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam
masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor
Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam
proses audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan
Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun,sehingga
ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian
hari adalah :
Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya
belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure
Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges)
Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status
perusahaan) Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan
keikutsertaan swasta
Solusi dan Rekomendasi
Dari kasus tersebut dapat dipetik pelajaran berharga, antara lain :
Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris
mempunyai satu orang juru bicara yang mengatsanamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga
Dewan komisaris memiliki satu suara Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya
perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam
dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat.
Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-
milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private
domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi
bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat
sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan factor
yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan
cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat
diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya dipicu
oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit.Auditor eksternal
mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit
yang baru diangkat.
Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik
merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan
tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai
ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite
Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi
antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006.
Standar Umum :
Auditor dalam menyusun laporan keuangan tidak menunjukkan sikap profesionalisme,
cermat dan seksama. Sebagaimana diketahui bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal
Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam
operasional perusahaan. Selain itu, kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor
Internal, menyebabkan kesalahan dalam mengaudit Laporan keuangan.
Standar Pelaporan :
1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum. KAP telah melanggar standar pelaporan yang pertama dimana
Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan kerugian. Selain itu penurunan nilai suku
cadang belum dibebankan di dalam laporan keuangan.
2. Laporan audit harus menunjukan keadaan yang didalamnya prinsip akuntansi tidak secara
konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam
hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali
dinyatakan lain dalam laporan audit.
Kode etik :
SA 260 : Komunikasi dengan Pihak yang Bertanggung Jawab atas Tata Kelola.
SA 265 : Pengomunikasian Defisiensi dalam Pengendalian Internal Kepada Pihak yang
Bertanggung Jawab atas Tata Kelola dan Manajemen.

Anda mungkin juga menyukai