Anda di halaman 1dari 33

RINGKASAN EKSEKUTIF

Omnibus Law merupakan sebuah metode dan konsep hukum yang lazim diadaptasi
oleh negara-negara maju. Peraturan Perundangan ini memiliki fungsi khusus yaitu merangkum
semua hukum dalam satu Undang-Undang tertentu. Pertama kali diperkenalkan di Indonesia
oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan
Oktober lalu. Landasan awal dibentuknya Undang-Undang ini adalah untuk memotong alur
investasi dan menciptakan iklim bisnis yang lebih stabil. Hal ini disinyalir oleh rumitnya
birokrasi yang disebabkan oleh tumpang-tindih peraturan yang diduga menghambat laju
investasi baik yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman
Modal Asing (PDA). Sebuah rilis yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) mencatat bahwa selama 4 tahun terakhir, pada rentang tahun 2014 sampai
2018 telah terbit 8.945 regulasi baru. Isinya terdiri dari 107 Undang-Undang, 452 Peraturan
Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Peraturan Menteri. Akibatnya, berbagai target
keberhasilan Pemerintah sering tidak tercapai akibat gemuknya birokrasi serta regulasi yang
semrawut.

Omnibus Law, secara epistimologi berasal dari Bahasa latin yang berarti “for
everything”, bertujuan untuk menyederhanakan berbagai produk hukum antara Pemerintah
Pusat dan daerah. Dalam perjalanannya, terobosan hukum ini telah digunakan luas oleh negara-
negara anglo saxon yang menganut system common law seperti Amerika Serikat, Kanada,
Irlandia, Selandia Baru, Filipina dll. Namun, hal tersebut akan sangat berbahaya apabila
diterapkan di Indonesia yang menganut system civil law yang justru akan memperpanjang
sistem hukum yang sudah saling tumpang-tindih. Terdapat 4 Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang sedang dikerjakan dalam pemerintah antara lain; RUU Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja, RUU Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan
Ekonomi, RUU Omnibus Law Ibukota Negara, dan RUU Omnibus Law Kefarmasian. Selain
itu, Omnibus Law sangat bertentangan dengan konsep desentralisasi yang selama ini dijalankan
di Indonesia. Pemerintah daerah akan kehilangan hak dalam mengeksekusi kebijakan daerah
di wilayah administrasinya.

Diantara RUU Omnibus Law tersebut, salah satu RUU yang menimbulkan reaksi
penolakan keras adalah Cipta Lapangan Kerja. Para pekerja akan kehilangan hak-hak yang
sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 seperti
dihilangkannya upah minimum dan pesangon, kontrak kerja yang fleksibel, system
pengupahan berbasis jam kerja, dihapuskannya jaminan sosial, pengaturan sanksi pidana bagi
pengusaha, dan mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA) bekerja di Indonesia. Pencabutan
hak-hak pekerja di atas akan memperburuk kesejahteraan pekerja yang hanya memberikan
privilege kepada pengusaha. Alih-alih mendukung iklim investasi dan mempermudah bisnis,
Undang-Undang Cipta Kerja telah menyampingkan aspek sosial dan keadilan bagi pekerja
yang sesungguhnya merupakan motorik utama dari perusahaan. Pekerja dipacu untuk
memperbesar hasil produksi tanpa diikuti dengan hak timbal-balik yang manusiawi.

Aspek ekologi turut disoroti sebagai elemen yang dirugikan oleh ditetapkannya
Omnibus Law. Krisis lingkungan yang disebabkan oleh praktek bisnis yang melakukan
perusakan alam secara masif dan acuh atas konsep reboisasi serta manajemen limbah kian akan
semakin parah apabila Omnibus Law diterapkan. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang mengatur Amdal dan UKL-UPL, apabila Omnibus Law dijalankan maka izin lingkungan
dihilangkan dan tidak menjadi syarat penerbitan izin usaha. Lalu, akan dilakukan peninjauan
ulang terhadap pemberian Amdal dengan Komisi yang diusulkan pihak ketiga yang ditunjuk
oleh pelaku usaha. Tentu potret semacam ini kelak menimbulkan konflik horizontal dan
memperburuk aspek lingkungan.

Ketika kajian ini dipublikasian, draft RUU Omnibus Law sudah selesai 95% dan
memasuki tahap finalisasi sebelum ditinjau oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Negara
lebih memilih untuk menyejahterakan dunia usaha dan pelaku bisnis daripada hak-hak pekerja
dan kelestarian lingkungan. Maka dari itu, kami merekomendasikan Omnibus Law yang terdiri
dari 4 RUU hanya dapat diterima apabila mengedepankan kesejahteraan (prosperity) dan
kesamaan (equality) khususnya bagi para pekerja serta menjunjung keseimbangan alam.
SITUASI SAAT INI

A. Sekilas Pandang Regulasi Ketenagakerjaan

Naskah akademik ini fokus kepada isu ketenagakerjaan dan ekologi yang masuk dalam
salah satu Undang-Undang Omnibus Law yaitu Cipta Lapangan Kerja. Ketengakerjaan
merupakan suatu persoalan yang menjadi momok bagi negara berkembang. Permasalahan ini
menyangkut asas kependudukan dan keseimbangan ekonomi. Begitu halnya Indonesia, dengan
kepadatan penduduk tinggi, problematika makro kependudukan selalu berkutat dengan
ketenagakerjaan. Sensus penduduk pada tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah penduduk
Indonesia telah menyentuh angka 238.518.000 jiwa, dan telah diproyeksikan pada tahun 2020
jumlah penduduk akan jauh meningkat hingga 271.066.000 jiwa1. Berdasarkan kondisi
tersebut, akan sangat mengkhawatirkan dengan kesediaan lapangan kerja yang menyebabkan
tingginya tingkat pengangguran. Menurut survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik,
tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat bahwa pada Februari 2017 hingga Februari 2019
tingkat pengangguran terbuka tertinggi jatuh pada jenjang Diploma I/II/III yaitu berkisar 9,00
persen. Kemudian pada tahun 2018, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan tahun
sebelumnya yakni pada jenjang Diploma I/II/III mencapai angka 8,33 persen. Pada tahun 2019
masih pada jenjang yang sama yakni Diploma I/II/III, namun mengalami sedikit peningkatan
dari tahun 2018 mencapai 0,08 persen.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut


Tingkat Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan
(persen)
10 9
8,07 8,33 8,41
7,48 7,94
8 6,51 6,8 6,93
5,71 5,39 5,84
6 4,51 4,86
4
2,1 2,13 2,03 2,24
2
0
SD SMP SMA SMK Diploma I/II/III Universitas

Februari 2017 Februari 2018 Februari 2019

Sumber: Data diolah dari Sakernas Februari 2017 - 2019

1
Badan Pusat Statistika. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia
“Pada Februari 2017 terdiagnosa sedang mengalami krisis lapangan kerja.
- Februari 2019 Berbagai Undang-Undang yang mengatur khusus terkait
tingkat ketenagakerjaan kian hari mendapat kecaman dari
pengangguran pekerja sendiri. Memberikan perlindungan para pekerja
terbuka tertinggi terhadap kekonsistenan perusahaan ialah suatu upaya
jatuh pada jenjang untuk mengendalikan perusahaan dalam hal pemutusan
Diploma I/II/III yaitu hubungan kerja tak beraturan. Sehingga, pemutusan
berkisar 9%” hubungan kerja wajib melalui perundingan oleh kedua
belah pihak. Hal ini mengusahakan agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pemerintah wajib memberikan pembinaan, pengawasan,
penyidikan, memberikan ketentuan pidana dan sanksi administratif pada setiap perusahaan
baik instansi pemerintah maupun swasta yang melanggar ketentuan pada pasal Undang –
Undang Tentang Ketenagakerjaan2. Oleh karena itu, ketenagakerjaan merupakan suatu
pembahasan yang melekat antara lapangan kerja dan perusahaan.

Terlepas dari kebijakan yang tertera dalam Undang – Undang di atas berkenaan dengan
Ketenagakerjaan dan Pendirian Usaha, Pemerintah berkehendak untuk memotong alur
birokrasi yang peraturan yang tumbang-tindih. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi
guna menciptakan banyak lapangan kerja. Gagasan tersebut merupakan dibentuknya dua
undang – undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan UU Pemberdayaan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penataan ulang atau peringkasan peraturan ini
diperkenalkan oleh Joko Widodo dalam pidato yang ia berikan saat pelantikan dengan istilah
omnibus law.

B. Kilas Balik Omnibus Law


Omnibus law merupakan Undang-Undang ‘sapu jagat’ yang dapat digunakan untuk
mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Terdengar asing ditelinga masyarakat,
hal ini disebabkan ownimbus law kerap diadopsi oleh negara dengan sistem common law
sedangkan Indonesia menganut sistem civil law. Ownimbus law ialah sebuah konsep hukum
baru bagi Indonesia yang diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai upaya peningkatan
laju investasi. Beberapa negara di dunia telah mempraktikkan kebijakan hukum ownimbus law

2
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
seperti Kanada, Irlandia, dan Amerika Serikat. Irlandia merupakan salah satu negara yang
mencapai rekor dunia dalam hal ini karena ia mampu menghapus 3.225 Undang-Undang
melalui omnibus law. Apabila diterapkan, Indonesia akan terkendala karena sistem peraturan
Perundang-undangan yang berbeda. Sistem ownimbus law yang meringkas beberapa Undang-
Undang menjadi satu paket perundang tentunya memerlukan perubahan perumusan di DPR.
Padahal, DPR memiliki fokus utama pada satu bidang pembahasan UU di setiap komisinya
sehingga perlu kesiapan DPR untuk berkolaborasi dalam tahap penyusunan sampai
pembahasan melibatkan lembaga – lembaga lain terkait dengan perubahan yang akan diadakan
seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Kementerian Perindustrian.3

Terdapat empat Rancangan Undang – Undang (RUU) yang sedang dikerjakan oleh
pemerintah antara lain: RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU Omnibus Law
Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi, RUU Omnibus Law Ibukota
Negara, dan RUU Omnibus Law Kefarmasian. Perumusan RUU tersebut telah menuai banyak
pro dan kontra antara pemerintah yang lebih mengedepankan peningkatan masuknya investasi
tanpa melibatkan unsur masyarakat terutama elemen pekerja yang merasakan dampak
langsung. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya pelibatan partisipasi serikat pekerja seperti
KASBI, KPBI, SGBN, KSN, PPI dsb dalam perumusan Omnibus Law ini. Sorotan utama yang
banyak tuai konflik dari keempat RUU Omnibus Law ialah RUU Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja (Cilaka) yang dinilai tidak mengaspirasikan suara dan kepentingan masyarakat
kecil. Hal ini terdapat dalam poin – poin singkat draft perumusan RUU Omnibus Law antara
lain: penghapusan AMDAL dan IMB, Penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal,
menerapkan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengambil, kemudahan memutus bagi
pekerja/buruh), mengatur fleksibilitas jam kerja, mengatur soal pesangon dan pengupahan,
mempermudah visa izin tinggal bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), dan Penguatan kewenangan
pusat terkait seluruh perizinan.

Apabila kita tinjau kembali RUU omnibus law dengan UU Ketenagakerjaan, UU


Perpajakan, dan UU yang mengatur mengenai pendirian usaha maka cukup banyak hal yang
merugikan masyarakat kecil terutama pekerja/buruh. Suatu perubahan yang dapat dikatakan
begitu signifikan karena jauh berbeda dari Undang – Undang mngenai PPh dan jens pajak yang
lain. Diketahui terdapat lima keringanan pajak bagi para pengusaha dalam omnibus law
diantaranya Tarif PPh Badan Diturunkan dari 25% menjadi 20%, Insentif perpajakan bagi

3
Rongiyati, Sulasi. (2019). Menata Regulasi Pemberdayaan UMKM Melalui Omnibus Law. Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI. Vol XI, No.23
perusahaan yang listing di bursa semula 22% turun menjadi 19%, adanya penghapusan pajak
deviden, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk mengurangi pajak daerah dan
pemerintah pusat dapat berikan sanksi dan batalkan peraturan daerah yang menghambat
investasi.4

Dalam tahapan pembentukan peraturan perundang – undangan pemerintah mengacu


pada peraturan yang terdapat dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 tentang
Perubahan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (UU
P3), terdapat lima tahapan yang harus dilalui satu persatu yakni tahap perencanaan, tahap
penyusunan, tahap pengesahan atau penetapan, dan tahap perundangan. Hingga saat ini
pemerintah telah sampai pada tahap pengesahan atau penetapan.

Berdasarkan hal tersebut RUU Omnibus Law tidak sejalan dengan karakter bangsa
Indonesia yang merupakan negara hukum seperti yang telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats) bukan
negara kekuasaan (Machtsstaat). Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa dalam setiap negara
yang menjunjung tinggi hukum memiliki tujuan antara lain ketertiban, ketentraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam bernegara dan bermasyarakat.5 Apabila
suatu negara telah memutuskan untuk menganut sistem hukum (Rechtstaats) maka negara
memiliki sebuah konsekuensi bahwa perundang – undangan ialah satu – satunya tolak ukur
dalam keberjalanan negara atau dapat dikatakan rule of the game dalam masyarakat. Sebab itu
dalam perencanaan, perumusan hingga pemberlakuan hukum, undang – undang merupakan
sesuatu yang berisi norma perlindungan kepentingan rakyat baik dalam keadilan, kebebasan,
kesejahteraan, perlakuan yang manusiawi dan lain sebagainya.6

“ownimbus law kerap diadopsi oleh negara dengan sistem


common law sedangkan Indonesia menganut sistem
civil law.”

4
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi
Pertanahan. Jurnal Arena Hukum. Vol. 10, No.2
5
idem
6
Pond, Roscoe. (1996). An Introduction to the Philosophy of Law. Terjemahan Jakarta: Bhatara Niaga Media.
Berdasarkan pemaparan di atas maka timbul sebuah keresahan mengenai omnibus law
yang memiliki tujuan baik yakni meningkatkan investasi di dalam negeri yang berujung pada
terbuka lebarnya lapangan kerja. Namun, memiliki banyak dampak negatif serta ketidak
beraturan mengenai kebijakan – kebijakan di dalamnya yang dapat mematikan rakyat sendiri.
KEBIJAKAN SAAT INI
A. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Seperti halnya peraturan yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan baik dalam skala mikro maupun
makro yang sering mendapatkan kritik dari buruh. Substansi dari UU tersebut meliputi
perencanaan tenaga kerja yang di dalamnya mengharuskan diselenggarakannya pelatihan kerja,
peningkatan produktivitas tenaga kerja, optimalisasi kondisi lingkungan kerja, pengupahan dan
kesejahteraan tenaga kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja. Segala ketentuan tersebut
diperoleh dari pihak – pihak terkait baik pemerintah maupun swasta. Sesuai dengan ketentuan
sebelumnya, pelatihan kerja dimaksudkan untuk menjadi jembatan penghubung tenaga kerja
dengan lapangan pekerjaan serta peningkatan standar mutu kompetensi kerja. Setiap
perusahaan wajib mengadakan pelatihan bagi para pekerja begitupun semua pekerja memiliki
hak yang sama untuk memperoleh pelatihan tersebut. Demi menjamin kualitas pelatihan yang
memiliki target untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) setiap perusahaan
baik instansi pemerintah ataupun swasta wajib mendaftarkan kegiatan tersebut dengan syarat
telah memenuhi persyaratan seperti tersedianya tenaga kepelatihan, tersedianya sarana dan
prasarana pelatihan kerja, tersedianya dana bagi pelatihan tersebut, dan kesesuaian kurikulum
tingkat pelatihan.

Selanjutnya, penempatan tenaga kerja dituntut untuk berasaskan terbuka, inklusif,


bebas, obyektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi. Oleh karenanya, setiap pekerja
memperoleh hak dan kesempatan untuk memilih pekerjaan juga mendapatkan upah yang layak
baik di dalam atau di luar negeri. Pekerja memiliki kejelasan hubungan dengan pemberi kerja
dapat disebut dengan hubungan kerja. Kebijakan hubungan kerja disini bermaksud untuk
menghindari adanya praktik eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja
dengan cara diadakannya perjanjian kerja yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.

“Penempatan tenaga kerja dituntut untuk berasaskan


terbuka, inklusif, bebas, obyektif, serta adil dan setara tanpa
diskriminasi. Oleh karenanya, setiap pekerja memperoleh
hak dan kesempatan untuk memilih pekerjaan juga
mendapatkan upah yang layak baik di dalam atau di luar
negeri.”
Berkesinambungan dengan kebijakan sebelum – sebelumnya, kebijakan perlindungan,
pengupahan, dan kesejahteraan yang tercantum dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun
2003 memberikan perlindungan terhadap para pekerja baik dari segi umur, nominal upah yang
didapatkan, kesehatan dan keselamatan bagi setiap pekerja, serta kesejahteraan sosial lain
meliputi lama waktu bekerja seperti pelarangan bekerja pada pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00. Kemudian UU tersebut juga mengatur hubungan industrial di mana pekerja bekerja
dengan baik dan perusahaan memberikan kesejahteraan secara terbuka, demokratis, dan
berkeadilan. Hal tersebut meliputi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Organisasi Pengusaha,
Lembaga Kerja Sama Biparit, Lembaga Kerja Sama Triparit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian
Kerja Sama, Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial, Mogok Kerja, Penutupan
Perusahaan (lock-out) terjadi ketika perusahaan menolak pekerja akibat dari gagalnya
kesepatakan.

B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa dalam pendirian suatu
usaha baik dari instansi pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban dalam pemenuhan
syarat dan ketentuan pada UU di atas demi menjaga lingkungan tetap sehat. Terdapat cukup
banyak proses yang hendak dipenuhi seperti halnya perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Lalu, perlu adanya Penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Hal ini dimaksudkan agar dalam
keberjalanan suatu usaha tidak membahayakan baik pekerja, lingkungan, serta masyarakat
sekitar.

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Dengan Perubahan


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Selain memperhatikan segi ekologi atau lingkungan dalam pendirian usaha atau
penciptaan lapangan kerja juga harus memperhatikan pajak yang dibayarkan pada negara.
Mengingat pajak merupakan salah satu cara dan pertimbangan bagi negara untuk
mengamankan pemasukan semakin meningkat. Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia
sendiri memiliki klasifikasi pajak yang tidak sedikit. Dalam pembahasan kali ini ialah pajak
berkenaan dengan badan usaha. Berikut ialah daftar pajak yang wajib dibayarkan bagi badan
usaha seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yaitu mengenai pemotongan pajak atas
penghasilan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima oleh
wajib pajak. PPh Pasal 22 ialah pemungutan pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan
dibidang impor atau dari pembeli atas pnjualan barang yang tergolong mewah. PPh Pasal 23
merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari wajib pajak saat transaksi yang
meliputi transaksi dividen (pembagian keuntungan saham), dan sejenisnya. PPh Pasal 25 yakni
angsuran pajak yang berasal dari jumlah PPh terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) Tahunan PPh dikurangi PPh yang telah dipotong. PPh 26 adalah PPh yang dikenakan
atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh
wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Serta PPh 29 yang merupakan pajak yang harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh
Badan dilaporkan. PPh Pasal 4 ayat (2) PPh Pasal 4 ayat (2) yakni mengatur tentang a.)
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi, b.) penghasilan berupa hadiah undian, c.) penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura, d.) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan, e.) penghasilan tertentu lainnya. Adapun PPh Pasal 15 mengatur mengenai laporan
pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus untk golongan Wajib Pajak
tertentu, seperti wajib pajak badan yang bergerak dibidang pelayaan atau penerbangan dan lain
sebagainya.7

7
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
ANALISIS
A. Omnibus Law: Petaka Bagi Pekerja

Dalam dunia kerja terdapat hubungan antara pekerja, perusahan dan juga Pemerintah.
pekerja dan juga perusahaan memiliki hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pekerja akan mengolah modal yang dimiliki oleh perusahaan menjadi barang atau jasa yang
dibutuhkan untuk mendapatkan upah yang sepadan dari perusahaan.8 Dalam pola hubungan
tersebut, tidak bisa dilepaskan peran Pemerintah dalam membuat regulasi yang akan
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat serta keuntungan dari perusahaan tersebut. Peraturan
yang ada seharusnya bersifat menguntungkan kedua belah pihak khusunya bagi tenaga kerja.
Namun, pemberlakuan Omnibus Law pada sektor cipta lapangan kerja menuai polemik dalam
masyarakat. Regulasi ini nantinya akan mengapus kurang lebih 79 undang – undang dan 1.244
pasal.9 Adanya UU ini dinilai berdampak negatif bagi pekerja tetapi akan sangat
menguntungkan bagi investor atau pengusaha. Ada berbagai macam permasalahan yang
nantinya akan muncul apabila UU ini benar diterapkan antara lain:

1. Mempermudah lalu lintas tenaga kerja


Ketika peraturan ini diterapkan akan berdampak terhadap fleksibilitas tenaga
kerja. Pekerja akan mudah untuk berpindah dari satu perusahaan keperusahaan lain.
Sementera perusahaan akan mencari kemudahan dengan cara menerapkan sistem
kontrak atau outcoursing agar pekerja dapat di kontrak dan diberhentikan dengan
mudah sehingga tidak adanya kepastian dan pengangkatan karyawan tetap. Menurut
UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 Pasal 59 sistem kontrak atau yang bisa
disebut PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu:
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara.
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak lama, dengan kisaran 3 tahun.
c) Pekerjaan yang bersigat musiman.
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan.

8
Oki Wahju Budianto. (2017). Upah Layak Bagi Pekerja/Buruh Dalam Perspektif Hukum Dan Ham. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17, Nomor 3, Hal 379
9
Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Jakarta 15 Januari 2020
PWKT tidak dapat diterapkan untuk
“Dalam
pekerja dalam masa yang lama atau terus
keberjalanannya
menerus. Apabila kontrak dari pekerja
apabila karyawan
habis maka kewajiban pekerja otomatis
resign maka
akan berakhir. Namun dalam perusahaan tidak wajib
keberjalanannya apabila karyawan resign untuk memberikan
maka perusahaan tidak wajib untuk uang pesangon”
memberikan uang pesangon. Di lain hal,
sesuai dengan UU Ketenagakerjaan pasal 162 perusahaan berkewajiban untuk
memberikan uang pengganti hak yang diatur dalam pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Para pekerja tetap pun tak luput dari kekhawatiran berlakunya UU ini.
Dengan semakin mudahnya regulasi yang ada maka akan semakin mudah pula
perusahaan untuk memberhentikan pekerjanya apabila tidak memenuhi target atau
di paksa untuk mengajukan pengunduran diri sukarela dengan alasan laba
perusahaan yang menurun. Di Indonesia sendiri antara tahun 2017 sampai dengan
2019 telah terjadi ratusan ribu kasus PHK cotohnya kasus PHK masal yang terjadi
di PT Arnott’s yang memaksa 300 orang pekerjanya untuk mengundurkan diri
secara sukarela, PT Freeport (PHK 8.300 buruh), PT PDK (PHK 1.300 buruh),
Awak Mobil tangka Pertamina (PHK 1.950 buruh) serta sektor perbankan yakni
Bank Danamon yang mem-PHK 2.322 pegawainya tahun 2017 silam.10

2. Mempermudah izin Tenaga Kerja Asing

Dalam upaya pemerintah untuk menarik investor untuk masuk maka


persyaratan untuk memperkerjakan Tenaga Kerja Asing akan dihapus. Dengan
demikian TKA Unskill akan lebih mudah untuk masuk dengan asumsi menekan
akan produksi dan menigkatkan laba yang akan diperoleh. Keberadaan TKA sendiri
telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres No,20/2018). Untuk mengawal proses
pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(Permenaker No.10/2018).

10
Admin. Waspada PHK, Kenali Hakmu Jangan Mau Di Tipu Daya. https://www.turc.or.id/waspada-phk-kenali-
hakmu-jangan-mau-di-tipu-daya/ diakses pada 15 Januari 2020 Pukul 18.30
Dalam melakukan perlingungan terhadap para pekerjanya pemerintah
sebenarnya telah melakukan berbagai macam syarat sehingga pekerja asing yang
masuk benar – benar pekerja yang ahli atau professional dalam bidangnya. Namun
ternyata Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 ini banyak menimbulkan
permasalahan baik dalam tataran Normatif maupun implementatif. Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut ada yang tidak sesuai dengan Undang-
UndangNomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Misalnya di Pasal 9
Peraturan PresidenNomor 20 Tahun 2018 menyatakan bahwa Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan izin bekerja bagi TKA. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-UndangNomor 13 tahun 2003. "Pasal
43 ayat 1 menyatakan bahwa pemberi kerja TKA harus memiliki RPTKA yang
disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk, dalam penjelasannya RPTKA
merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja TKA. Hal lainnya yang
berlawanan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (1a) yang menyatakan bahwa pemberi
kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang
merupakan pemegang saham, menjabat direksi, dan anggota dewan komisaris,
sementara di Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003 tidak pengecualian, semuanya
harus punya izin. Data dari Kemenakertrans mencatat jumlah tenaga kerja asing.11

Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Asing di


Indonesia dengan Negara Lainnya (2018)
9 8,4 8,1
8
7
6
5
4 3,3
3 2
2 1,1 1 1
1
0
Uni Emirat Saudi Arabia Malaysia Qatar Singapura Indonesia Brunei
Arab Darussalam

Sumber: Kementerian Ketenagakerjaan, 2019

11
BPHN Kementrian Hukum dan HAM. Laporan Aakhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait
Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Tahun 2018. Hal 3
Tabel di atas menjelaskan bagaimana jumlah TKA terus mengalami
peningkatan. Hingga akhir tahun 2018 mencapai 95.335 pekerja. Jumlah
tersebut hanya 0,04% dari total penduduk 268,829 juta jiwa. Total TKA
Indonesia tersebut lebih rendah dibanding dengan beberapa negera seperti
Malaysia dengan 3,2 juta pekerja atau sekitar 10,04% dari total penduduk.
Kemudian TKA di Singapura mencapai 1,13 juta pekerja atau 19,36 dari total
penduduk. Bahkan TKA di Uni Emirat Arab mencapai 8,4 juta pekerja atau
87% dari total penduduk. Namun ketika hal itu dianggap remeh maka akan
menjadi boomerang yang siap berbalik kapan saja. Lihat saja kedepannya
Indonesia akan menerima bonus demografi yakni usia produktif akan lebih
banyak dari usia non produktif. Apabila ini tidak segera diperhatikan oleh
pemerintah maka yang tadinya bonus malah akan menjadi beban demografi
yang akan meningkatkan jumlah pengangguran yang ada. Ketika UU ini
ditetapkan dan mempermudah bahkan menghapuskan persyaratan tenaga kerja
asing untuk masuk. Maka masyarakat Indonesia haus bersaing untuk
mendaptkan pekerjaan yang layak.

3. Sistem Upah Berbasis Jam Kerja


Pada saat ini sistem pengupahan yang berlaku adalah Upah Minimum
(UMP) Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan Upah Minimum Kabupaten
ditetapkan (UMK) oleh Gubernur dengan rekomendasi dewan pengupahan
Provinsi dan Bupati. Dalam RUU Omnibus Law diwacanakan sistem
pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas serta produktivitas yakni dengan
sistem upah perjam. Penghapusan upah minimum yang dibayar setiap satu
bulan tentunya akan sangat meresahkan bagi para pekerja. Sistem penghitungan
jam kerja Indonesia pada umumnya adalah 6 hari kerja dengan lama waktu total
40 jam. Kedepannya apabila peraturan ini ditetapkan maka para pekerja yang

“Apabila peraturan ini ditetapkan maka para pekerja yang


bekerja dibawah 40 jam semiggu akan menerimah upah
yang akan dihitung per jam dimana upah itu nantinya akan di
bawah dari upah minimum dan dibayarkan tetap dalam kurun
waktu satu bulan.”
bekerja dibawah 40 jam semiggu akan menerimah upah yang akan dihitung per
jam dimana upah itu nantinya akan di bawah dari upah minimum dan
dibayarkan tetap dalam kurun waktu satu bulan. Belum lagi ketika pekerja sakit,
menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka
upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.
Para buruh yang tergabung di dalam aliansi bersikap bahwa dengan
diberlakukannya sistem tersebut merupakan bentuk diskriminasi bagi para
pekerja yang tidak manusiawi.12 Dampak positifnya buruh akan bekerja keras
sehingga barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan akan menigkat pesat.
Tetapi perusahaan tidak memperhatikan kepentingan dari buruh dimana hal ini
bertentangan dengan UU yang telah berlaku pada saat ini yani UU No 13 Tahun
2003. Disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Dalam penerapannya sistem yang baru ini akan rentan untuk
dimanipulasi oleh perusahaan sebagai langkah untuk menekan angka
pengeluaran dengan cara menurunkan jam kerja atau bahkan tidak
mempekerjakan buruh diwaktu – waktu terentu sehingga akan menyebabkan
rendahnya upah yang akan diterima oleh pekerja yang berakibat pada
kesejahteraan kaum buruh kian tidak menentu.

4. Jaminan hak-hak pekerja dihapuskan

Dampak dari fleksibilitas sistem kerja adalah perusahan akan


memberlakukan sistem kontrak yang kedepannya mempengaruhi hak – hak
serta jaminan yang akan diperoleh oleh pekerja. Serta ketentuan
pesangon/tunjangan PHK. Para pekerja yang tergolong rentan atau bekerja
tanpa job security seperti pekerja dalam sistem kontrak dan alih daya

12
Safitri, Kiki. Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law.
https://money.kompas.com/read/2020/01/07/112743426/ini-6-alasan-buruh-tolak-ruu-omnibus-law?page=all
Diakses pada 16 Januari pukul 09.12
(outsourcing), juga pekerja yang kontraknya tidak jelas seperti pemagang,
pekerja paruh waktu (part timer), serta pekerja lepas (freelancer). Kekhawatiran

muncul bagi mereka akan lebih sulit untuk menuntu hak – haknya.

Permasalahan semakin rumit karena dalam rekomendasi perubahan


yang terapat dalam Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait
Ketenagakerjaan ada beberapa hal yang dianggap merugikan kaum buruh
Laporan ini merekomendasikan agar cuti haid untuk perempuan dicabut,
perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) dapat diperpanjang hingga 5 tahun,
fasilitas kesejahteraan dihapus, hingga jumlah pesangon perlu dikurangi.

Regulasi perihal jaminan serta fasilitas kesejahteraan bagi para buruh sendiri sudah
diatu dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 100 yaitu:

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,


pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menurut penjelasan Pasal 100 UU No 13 Tahun 2003 tersendiri adalah:


Ayat (1) “Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan
keluarga berencana, tempat penutupan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas
ibadah, fasilitas olahraga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan dan fasilitas rekreasi.”

Kedepannya apabila jaminan, hak dan berbagai macam tunjangan dihapus akan
memperparah kondisi kesejahteraan dari para buruh dan Indonesi akan menjadi negara
yang tidak memperhatikan kepentingan buruh

“Cuti haid untuk perempuan dicabut, perjanjian kerja waktu


tertentu (kontrak) dapat diperpanjang hingga 5 tahun,
fasilitas kesejahteraan dihapus, hingga jumlah pesangon
perlu dikurangi”
Global Right Index di ASEAN

Negara 2014 2015 2016 2017

Singapura 3 3 3 3
Thailand 4 4 4 4
Myanmar 4 4 3 5
Malaysia 5 5 4 4
Indonesia 4 4 5 5
Filipina 5 5 5 5
Kamboja 5 5 5 5
Laos 5 5 5 5
Vietnam 5 5 5 5
Sumber: International Trade Union Confederation

Keterangan

1 : Irregular Violations of rights


2 : Repeated violations of rights
3 : Regular violations of rights
4 : Systematic violations of rights
5 : No guarantee of rights
5+ : No guarantee of rights due to the breakdown of the rule law

ITUC Global Rights Index yang dilansir International Trade Union


Confederation menggambarkan negara-negara terburuk di dunia bagi pekerja dengan
memberi peringkat 139 negara dalam skala mulai 1-5 berdasarkan tingkat
penghormatan terhadap hak-hak pekerja. Dari data tersebut nilai indeks Indonesia pada
tahun 2017 mencapai 5 yang berarti negara ini tidak memperhatikan jaminan serta hak
– hak untuk para pekerja. Ketika regulasi penghapusan berbagai macam hak dan
jaminan dengan dalih untuk mempermudah investasi tapi malah akan semakin
memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat. Indonesia akan menjadi tempat yang buruk
untuk bekerja.

B. Omnibus Law Perparah Krisis Ekologi

Selanjutnya yang dikhawatirkan terkait disahkannya Omnibus Law Cipta


Lapangan Kerja ini adalah terjadinya suatu ketidakseimbangan antara tujuan
meningkatkan investasi dalam negeri namun disisi lain mengakibatkan suatu dampak
yang serius terhadap lingkungan hidup. Sebelum membahas Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja terkait lingkungan hidup, perlu menjelaskan definisi krisis ekologis
dan akibat krisis ekologis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa, Krisis adalah
keadaan yang berbahaya atau keadaan genting sedangkan definisi ekologi menurut
Miller adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme satu
sama lain dan dengan lingkungan.13 Dapat kita simpulkan kisis ekologi adalah keadaan
yang berbahaya terhadap lingkungan.

Krisis ekologi ini mulai disuarakan sejak tahun 1960-an, dimana sebagian besar
orang mulai memikirkan kembali relasi mereka terhadap alam ketika perbuatan
manusia mulai mengancam keseimbangan alam dan mengalienasikan manusia dengan
kehidupan selain dirinya. Puncaknya, pada 1980-an hampir bisa dipastikan kesadaran
tiap orang tersedot dengan permasalahan tersebut, bahkan artikel ilmiah yang
membahas persoalan ini meningkat tajam. Pada 1960-an, Lynn White, Jr. berpendapat
dalam papernya yang mengundang perdebatan hingga kini yang dipublikasikan pada
jurnal Science, yaitu The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa krisis
ekologis akibat dari eksploisitas sains dan teknologi berakar pada pandangan
antroposentris tradisi Yudeo-Kristiani yang menganggap bahwa manusia dan alam
adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi
dari alam dan oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi
White kemudian menekankan bahwa penyebab makin massif, dramatis, serta
kompleksnya kerusakan lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu
kemudian didukung oleh berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi
modern yang terbukti lebih banyak bersifat destruktif terhadap alam. 14

Krisis ekologi sudah bukan merupakan kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang namun telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas tolerasni dan
kemampuan adaptasi lingkungan.15 Salah satu faktor yang berpengaruh pada krisis
ekologi saat ini ialah sektor penanaman modal/investasi. Meningkatknya investasi di
berbagai bidang baik dalam skala kecil maupun besar telah menimbulkan dampak, baik

13
Miller, P.C. (1975). Ecology of World Vegetation. New York: Springer-Verlag
14
Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Jurnal Science, New York: Harvard University
Center, Vol.155 No.3767, 1967. 1205
15
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, cet. 1, Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal.1
terhadap lingkungan maupun terhadap masyarakat itu sendiri.16 Sebagai contoh,
perkembangan industri dalam beberapa dekade terakhir telah memberikan sumbangan
besar bagi perekonomian Indonesia. Namun di sisi lain hal tersebut juga memberi
dampak pada lingkungan akibat limbah yang dihasilkan maupun eksploitasi sumber
daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Kondisi ini seharusnya
memerlukan adanya transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan industri,
yakni keyakinan bahwa operasi suatu industri secara utuh harus tetap menjamin sistem
lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal
hingga biosfer. Efisiensi bahan baku dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan
daur ulang akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi.17

16
Arahan Deputi Bidang Penataan Lingkungan tentan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup (LPJP2SLH), dalam “Seminar Pos Pengaduan Sengketa Lingkungan Hidup”, 9 Juni 2008.
17
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta Agroindo
Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Gambaran Penggunaan Ruang untuk Investasi dan Konflik terkait
Lingkungan Hidup

Sumber: Walhi
Berdasarkan data tersebut, proporsi luas wilayah Indonesia yang dialokasikan kepada
korporasi sebagai bentuk investasi cukup besar. Hal tersebut diperparah dengan data konflik
lingkungan hidup – agraria didominasi oleh kasus pencemaran lingkungan oleh korporasi serta
data terkait tingginya bencana ekologis yang terjadi.

Data-data tersebut keseluruhan menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan yang


meningkat disertai resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak yang mana pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakant
dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Tujuan pengelolaan lingkungan
dilakukan untuk mencegah dampak negatif, menanggulangi dan mengendalikan dampak
negatif yang timbul dan maningkatkan dampak positif sehingga dampak tersebut memberikan
manfaat yang besar.

Lingkungan hidup di Indonesia semakin rawan terjadi kerusakan seiring dengan


wacana Pemerintah untuk menghapuskan Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam daftar syarat perizinan investasi demi
mempermudah masuknya investasi di negara ini. Sebagaimana diketahui AMDAL adalah
kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan18. Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengeloalaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan terdapat setiap
usaha dan kegitan yang menimbulkan Dampak besar penting terdapat lingkungan hidup wajib
memiliki AMDAL untuk memperoleh ijin melakukan usaha dan kegiatan.

AMDAL inilah yang merupakan suatu alat atau cara yang digunakan dalam
mengendalikan perubahan lingkungan sebelum suatu tindakan kegiatan pembangunan
dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap kegiatan pembangunan selalu menggunakan

“Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengeloalaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan
terdapat setiap usaha dan kegitan yang menimbulkan
Dampak besar penting terdapat lingkungan hidup wajib
memiliki AMDAL untuk memperoleh ijin melakukan usaha
dan kegiatan.”

18
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sehingga secara langsung (otomatis)
akan terjadi perubahan lingkungan. Dengan demikian perlu pengaturan pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta cara mengeliminer dampak, supaya
pembangunan-pembangunan yang lainnya dan berikutnya dapat tetap dilakukan. Amdal
merupakan instrumen untuk melengkapi aspek ekologi dan sosial dalam suatu pembangunan.
Tanpa Amdal, izin pembangunan akan menjadi tidak spesifik detailnya. Oleh karena itu,
rencana pemerintah tersebut hanya berorientasi kepada peningkatan ekonomi dan investasi.
Sementara, dampak terhadap lingkungan tidak menjadi pertimbangan pemerintah.

Adapun mengenau bentuk hasil kajian AMDAL yaitu berupa dokumen AMDAL terdiri
dari lima dokumen, yaitu:

a. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAANDAL).


KA-ANDAL adalah suatu dokumen yang berisi tentang ruang lingkup serta
kedalaman kajian ANDAL. Ruang lingkup kajian ANDAL meliputi penentuan
dampak-dampak penting yang akan dikaji secara lebih mendalam dalam ANDAL dan
batas-batas studi ANDAL, sedangkan kedalaman studi berkaitan dengan penentuan
metodologi yang akan digunakan untuk mengkaji dampak. Penentuan ruang lingkup
dan kedalaman kajian ini merupakan kesepakatan antara Pemrakarsa Kegiatan dan
Komisi Penilai AMDAL melalui proses yang disebut dengan proses pelingkupan.

b. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL).


ANDAL adalah dokumen yang berisi telaahan secara cermat terhadap dampak
penting dari suatu rencana kegiatan. Dampak-dampak penting yang telah diidentifikasi
di dalam dokumen KAANDAL kemudian ditelaah secara lebih cermat dengan
menggunakan metodologi yang telah disepakati. Telaah ini bertujuan untuk
menentukan besaran dampak. Setelah besaran dampak diketahui, selanjutnya dilakukan
penentuan sifat penting dampak dengan cara membandingkan besaran dampak terhadap
kriteria dampak penting yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tahap kajian
selanjutnya adalah evaluasi terhadap keterkaitan antara dampak yang satu dengan yang
lainnya. Evaluasi dampak ini bertujuan untuk menentukan dasardasar pengelolaan
dampak yang akan dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positif.
c. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL).
Mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang
bersifat negatif serta memaksimalkan dampak positif yang terjadi akibat rencana suatu
kegiatan. Upaya-upaya tersebut dirumuskan berdasarkan hasil arahan dasardasar
pengelolaan dampak yang dihasilkan dari kajian ANDAL.
d. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
RPL adalah dokumen yang memuat program-program pemantauan untuk
melihat perubahan lingkungan yang disebabkan oleh dampak-dampak yang berasal dari
rencana kegiatan. Hasil pemantauan ini digunakan untuk mengevaluasi efektifitas
upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan, ketaatan pemrakarsa
terhadap peraturan lingkungan hidup dan dapat digunakan untuk mengevaluasi akurasi
prediksi dampak yang digunakan dalam kajian ANDAL.
e. Dokumen Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif adalah dokumen yang meringkas secara singkat dan jelas
hasil kajian ANDAL. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam ringkasan eksekutif
biasanya adalah uraian secara singkat tentang besaran dampak dan sifat penting dampak
yang dikaji di dalam ANDAL dan upaya-upaya pengelolaan dan pemantuan lingkungan
hidup yang akan dilakukan untuk mengelola dampak-dampak tersebut.
Hal–hal yang dikaji dalam proses AMDAL adalah aspek fisik-kimia, ekologi,
sosial-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain
“AMDAL merupakan merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
salah satu instrument mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
yang sangat penting Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas
dalam memastikan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
suatu proses baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
kegiatan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat
usaha/pembangunan dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak
tidak melakukan negatif dan mengembangkan dampak positif.
perusakan serius Sehingga dari pemaparan tersebut, AMDAL
terhadap lingkungan merupakan salah satu instrument yang sangat penting
maupun alam.” dalam memastikan suatu proses kegiatan
usaha/pembangunan tidak melakukan perusakan serius
terhadap lingkungan maupun alam. Hal inilah yang mendasari perlunya dikritisi terkait
wacana pemerintah menghapus izin AMDAL demi peningkatan investasi.

Terkait dengan instrument Izin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB adalah


sebuah ijin untuk mendirikan, memperbaiki, menambah, mengubah atau meronovasi
suatu bangunan, termasuk ijin kelayakan membangun bangunan yang dikeluarkan
pemerintah daerah. 19 IMB merupakan salah satu kebijakan yang bertujuan melakukan
pengendalian dan pengawasan mendirikan bangunan, yaitu terciptanya tata bangunan
yang tertib dan memenuhi standar teknik bangunan serta estetika, sehingga aman,
nyaman, sehat dan memiliki nilai ekonomi untuk dijadikan hunian atau melakukan
aktivitas ekonomi dan social budaya bagi penghuni ataupenggunanya. Wacana
pemerintah yang ingin mengganti IMB dengan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah
(RDTR) dinilai oleh banyak kalangan, hal tersebut dikarenakan RDTR hanya
mengurusi perencanaan dan tata ruang secara
umum atau makro. Dengan demikian, aspek “Melalui AMDAL,
keselamatan gedung sampai dampak lingkungan
dampak-dampak
bisa luput meskipun menurut peta RDTR wilayah
penting yang
itu boleh dibangun gedung hingga pabrik. Selain
diperkirakan akan
timbul dapat
itu, hnya baru terdapat 53 kabupaten/kota yang
diidentifikasi, dievalasi
memiliki RDTR dari total sekitar 500
dan diupayakan
kabupaten/kota dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
langkah-langkah
Dilihat dari aspek yuridisnya, IMB menjadi penangananya.”
kunci kepastian hukum bagi masyarakat. RDTR
dapat sewaktu-waktu berubah namun IMB dapat menjadi legalitas yang kuat bagi
pemilik untuk menghindari penggusuran yang terjadi. merupakan alat kontrol
pemerintah atas tata ruang serta acuan penentuan pajak dan retribusi daerah.
Penghapusan IMB bisa membuat tata ruang tidak berguna. Selain itu, potensi
penyalahgunaan bangunan tanpa pajak berpotensi meningkat.
Secara keseluruhan, pendirian suatu usaha tanpa dokumen penting terkait
lingkungan hidup seperti AMDAL dan IMB dapat menimbulkan permasalahan yang
serius terhadap kualitas lingkungan maupun kehidupan masyarakat di sekitar lokasi.
Tingginya potensi kerusakan lingkungan maupun bencana yang disebabkan oleh
kurangnya kajian terhadap dampak lingkungan yang dapat terjadi juga turut

19
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2001 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
meningkatkan resiko keuangan negara/fiskal yang harus digunakan untuk upaya-upaya
mengatasi kerusakan maupun bencana tersebut. Dengan adanya AMDAL dan IMB,
juga turut dapat menciptakan suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) atau disebut juga pembangunan yang berwawasan lingkungan. Melalui
AMDAL, dampak-dampak penting yang diperkirakan akan timbul dapat diidentifikasi,
dievalasi dan diupayakan langkah-langkah penangananya, sehingga AMDAL dapat
menjadi pedoman bagi pemrakanrsa dan instansi/ lembaga yang terlibat dan terkait
dengan rencana trersebut, terutama dalam menentukan kebijaksanaan pengeloalaan
lingkungan hidup baik pada skala tapak proyek maupun skala regional.

Pemerintah Indonesia secara tidak langsung akan “menggerogoti” tubuhnya


sendiri dan berimplikasi pada hilangnya kewenangan kementerian terkait (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan), hingga di tingkat daerah melalui Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi, maupun Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota,
mengingat lingkungan hidup masih menjadi kewenangan daerah berdasarkan UU No.
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam jangka panjang, omnibus law akan
melahirkan sengketa kewenangan antar lembaga, di antaranya adalah pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dalam kewenangan untuk melakukan dan menerbitkan
perizinan lingkungan.

Di negara manapun, pembangunan dalam bentuk apapun apabila tidak


menyertakan instrument keamanan lingkungan, akan terjadi paradoks semangat
pembangunan berkelanjutan dan bergeser menjadi pembangunan yang tidak
berkelanjutan atau pembangunan yang merusak ekologi.20

Contoh bukti kasus pelaggaran hukum yang dilakukan korporasi terkait


kerusakan dan pencemaran lingkungan antara lain,

1. PT. Expravet Nasuba, membuang limbah cair ke Sungai Deli pada tahun
2018.
2. PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, membuang
limbah industri ke aliran sungai yang mengakibatkan tingkat keasaaman air
sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan

20
Nugroho, Wahyu. (2020). Bencana Lingkungan & Urgensi Omnibus Law Lingkungan
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1edc4e585a1/bencana-lingkungan-urgensi-omnibus-law-
lingkungan-oleh-wahyu-nugroho?utm_source=dable. Diakses pada 17 Januari 2020
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu
tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph.
3. Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan
yang menyeret belasan hingga puluhan korporasi dan ratusan individu pada
menjelang akhir tahun 2019.
4. Bau limbah PT Rayon Utama Makmur di Wonogiri dan Sukoharjo sejak
tahun 2017.
5. Dll

C. Apa Kabar Paket Kebijakan Ekonomi?

Pemerintah sejak 2014 telah mengeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi


sebagai usaha mendorong iklim bisnis yang stabil serta upaya pemerataan distribusi
hasil produksi. Kebijakan tersebut adalah respon terhadap melambatnya laju ekonomi
dunia dan krisis ekonomi global yang meluas hingga di Asia Tenggara, Pemerintah
selama kurun 5 tahun 2014 – 2019, sudah dikeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi
sebagaimana berikut:

Paket Kebijakan Jilid I yaitu memiliki tiga fokus. Pertama, mendorong daya
saing industry nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan
kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan
berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis
nasional. Ketiga, meningkatkan investasi di sektor proporti.

Paket Kebijakan Jilid 2 yang mengusahakan deregulasi dan debirokratisasi


peraturan untuk mempermudah investasi, baik Penanaman Modal Dalam Negri
(PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Hal tersebut mencakup layanan
investasi 3 jam, tax allowance dan tax holiday lebih cepat, pembebasan PPN untuk alat
transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan
pajak bunga deposito, perampingan izin sektor kehutanan.

Paket Kebijakan Jilid 3 isinya melengkapi paket kebijakan 1 dan 2. Pada paket
ini mencakup penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kemudian perluasan
penerima KUR, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.
Sedangkan Paket Kebijakan isinya mengatur penetapan formulasi penetapan Upah
Minimum Regional (UMP) yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-
luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Dilanjutkan dengan Paket Kebijakan Jilid 5 yang berisi mengenai revaluasi


asset untuk perusahaan BUMN serta individu. Selain itu juga menghilangkan pajak
berganda untuk Real Estate Investment Trust (REIT). Kemudian terbit Paket Kebijakan
Jilid 6 yang memuat soal insentif untuk kawasan ekonomi khusus (KEK), pengelolaan
sumber daya air dan penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan makanan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Paket Kebijakan Jilid 7 mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi,


keringanan pajak untuk pegawai industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan
sertifikat tanah. Lalu, Paket Kebijakan Jilid 8 yang mencakup 3 paket berupa one map
policy, mempercepat pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksi
kilang nasional, dan pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat.

Paket Kebijakan Jilid 9 yang mengatur soal percepatan pembangunan


infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik
desa-kota. Paket Kebijakan Jilid 10 poin penting yang diharapkan mampu memperbaiki
peringkat kemudahan berbisnis Indonesia (EODB). Pertama kemudahan dalam
memulai usaha, kemudahan pendirian bangunan, ketiga pendaftaran properti, keempat
pembayaran pajak, kelima akses perkreditan, keenam penegakan kontrak dengan
mengatur penyelesaian gugatan sederhana, ketujuh penyambungan listrik, kedelapan
perdagangan lintas negara, kesembilan penyelesaian permasalahan kepailitan, dan 10
perlindungan terhadap investor minoritas.

Paket Kebijakan 11 mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana
investasi real estate, prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling
time) dan pengembangan industry farmasi serta alat kesehatan. Paket Kebijakan 12
turut mendorong pertumbuhan UKM dengan memberikan kemudahan memulai usaha.
Paket Kebijakan 13 Menitikberatkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan
menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk
membangun rumah.

Paket Kebijakan 14 Mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan


berbasis elektronik (e-commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan
sebagai negara digital ekonomi terbesardi Asia Tenggara di 2020. Ada delapan aspek
pengaturan mengenai roadmap e-commerce meliputi pendanaan, perpajakan,
perlindungan konsumen, pendidikandan SDM, logistik, infrastruktur komunikasi,
kemanansi berdan pembentukan manajemen pelaksana.

Paket Kebijakan 15 Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala


Usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi
nasional dalam mengangkut barang ekspor-impor, serta meningkatkan usaha galangan
kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri. Kemudahan Berusaha dan Pengurangan
Beban Biaya bagi Usaha Penyedia Jasa Logistik Nasional, dengan kebijakan antaralain
mengurangi biaya operasional jasa transportasi, menghilangkan persyaratan perizinan
angkutan barang, meringankan biaya investasi usaha ke pelabuhanan, standarisasi
dokumen arus barang dalam negeri, mengembangkan pusat distribusi regional,
kemudahan pengadaan kapal tertentu dan mekanisme pengembalian biaya jaminan peti
kemas. Paket Kebijakan 16 Ada tiga poin
“Dibutuhkan
dalam paket terbaru ini, yakni memperluas
optimalisasi serta
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan
penyegaran dari Paket
Badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif
Kebijakan Ekonomi
investasi, dan memperkuat pengendalian
yang sudah
devisa dengan pemberian insentif perpajakan.
dikeluarkan berjilid-jilid
oleh Pemerintah Pusat Berdasarkan ke 16 Paket Kebijakan
sebagai ganti dari Ekonomi tersebut, seluruhnya memacu hasil
omnibus law yang produksi serta mendorong dunia bisnis untuk
tidak berpihak kepada mendistribusikan ke seluruh segmen
masyarakat kecil.” masyarakat. Akan tetapi, hingga saat ini masih
diperlukan kebijakan-kebijakan lain seperti
omnibus law untuk menggenjot perekonomian. Apabila demikian, efisiensi Paket
Kebijakan Ekonomi pada tingkat substansialnya sangat dipertanyakan. Dengan
diterbitkannya omnibus law, sebagaimana yang telah dijelaskan pada ringkasan
eksekutif, justru menunjukan kesemrawutan sistem Pemerintahan Indonesia.
Dibutuhkan optimalisasi serta penyegaran dari Paket Kebijakan Ekonomi yang sudah
dikeluarkan berjilid-jilid oleh Pemerintah Pusat sebagai ganti dari omnibus law yang
tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
TUNTUTAN
Berdasarkan tinjauan di atas, terdapat banyak poin yang merugikan pekerja di
sektor formal dan informal atas diberlakukannya Undang-Undang Omnibus Law. Oleh
karena itu, kami memberikan tuntutan sebagaimana berikut:

1. Menolak disahkannya Undang Undang Cipta Lapangan Kerja yang


terkandung di dalam Omnibus Law
2. Perkuat perlindungan terhadap pekerja di sektor informal
3. Meninjau kembali aturan fleksibilitas tenaga kerja yang terkandung dalam
UU Cilaka
4. Perketat izin terhadap pekerja asing
5. Menolak pemberian upah berdasarkan jam kerja
6. Mengembalikan seluruh hak pekerja meliputi jaminan kesehatan, jaminan
social, pesangon/tunjangan dll sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003
7. Menolak dihapuskannya IMB dan pengalihdayaan AMDAL
8. Optimalkan paket kebijakan ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
Admin. Waspada PHK, Kenali Hakmu Jangan Mau Di Tipu Daya.
https://www.turc.or.id/waspada-phk-kenali-hakmu-jangan-mau-di-tipu-daya/ diakses
pada 15 Januari 2020 Pukul 18.30
Badan Pusat Statistika. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
BPHN Kementrian Hukum dan HAM. Laporan Aakhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi
Hukum Terkait Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Tahun 2018. Hal 3
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan
Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum. Vol. 10, No.2
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna
Duta Agroindo Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi
Magister Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Jurnal Science, New York:
Harvard University Center, Vol.155 No.3767, 1967. 1205
Miller, P.C. (1975). Ecology of World Vegetation. New York: Springer-Verlag
Nugroho, Wahyu. (2020). Bencana Lingkungan & Urgensi Omnibus Law Lingkungan
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1edc4e585a1/bencana-lingkungan-
urgensi-omnibus-law-lingkungan-oleh-wahyu-nugroho?utm_source=dable. Diakses
pada 17 Januari 2020
Oki Wahju Budianto. (2017). Upah Layak Bagi Pekerja/Buruh Dalam Perspektif Hukum Dan
Ham. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17, Nomor 3, Hal 379
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Jakarta 15 Januari 2020
Pond, Roscoe. (1996). An Introduction to the Philosophy of Law. Terjemahan Jakarta: Bhatara
Niaga Media.
Rongiyati, Sulasi. (2019). Menata Regulasi Pemberdayaan UMKM Melalui Omnibus Law.
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Vol XI, No.23
Safitri, Kiki. Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law.
https://money.kompas.com/read/2020/01/07/112743426/ini-6-alasan-buruh-tolak-ruu-
omnibus-law?page=all Diakses pada 16 Januari pukul 09.12
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, cet. 1, Surabaya: Airlangga University
Press, 1999), hal.1
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2001 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah

Anda mungkin juga menyukai