Omnibus Law merupakan sebuah metode dan konsep hukum yang lazim diadaptasi
oleh negara-negara maju. Peraturan Perundangan ini memiliki fungsi khusus yaitu merangkum
semua hukum dalam satu Undang-Undang tertentu. Pertama kali diperkenalkan di Indonesia
oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan
Oktober lalu. Landasan awal dibentuknya Undang-Undang ini adalah untuk memotong alur
investasi dan menciptakan iklim bisnis yang lebih stabil. Hal ini disinyalir oleh rumitnya
birokrasi yang disebabkan oleh tumpang-tindih peraturan yang diduga menghambat laju
investasi baik yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman
Modal Asing (PDA). Sebuah rilis yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) mencatat bahwa selama 4 tahun terakhir, pada rentang tahun 2014 sampai
2018 telah terbit 8.945 regulasi baru. Isinya terdiri dari 107 Undang-Undang, 452 Peraturan
Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Peraturan Menteri. Akibatnya, berbagai target
keberhasilan Pemerintah sering tidak tercapai akibat gemuknya birokrasi serta regulasi yang
semrawut.
Omnibus Law, secara epistimologi berasal dari Bahasa latin yang berarti “for
everything”, bertujuan untuk menyederhanakan berbagai produk hukum antara Pemerintah
Pusat dan daerah. Dalam perjalanannya, terobosan hukum ini telah digunakan luas oleh negara-
negara anglo saxon yang menganut system common law seperti Amerika Serikat, Kanada,
Irlandia, Selandia Baru, Filipina dll. Namun, hal tersebut akan sangat berbahaya apabila
diterapkan di Indonesia yang menganut system civil law yang justru akan memperpanjang
sistem hukum yang sudah saling tumpang-tindih. Terdapat 4 Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang sedang dikerjakan dalam pemerintah antara lain; RUU Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja, RUU Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan
Ekonomi, RUU Omnibus Law Ibukota Negara, dan RUU Omnibus Law Kefarmasian. Selain
itu, Omnibus Law sangat bertentangan dengan konsep desentralisasi yang selama ini dijalankan
di Indonesia. Pemerintah daerah akan kehilangan hak dalam mengeksekusi kebijakan daerah
di wilayah administrasinya.
Diantara RUU Omnibus Law tersebut, salah satu RUU yang menimbulkan reaksi
penolakan keras adalah Cipta Lapangan Kerja. Para pekerja akan kehilangan hak-hak yang
sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 seperti
dihilangkannya upah minimum dan pesangon, kontrak kerja yang fleksibel, system
pengupahan berbasis jam kerja, dihapuskannya jaminan sosial, pengaturan sanksi pidana bagi
pengusaha, dan mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA) bekerja di Indonesia. Pencabutan
hak-hak pekerja di atas akan memperburuk kesejahteraan pekerja yang hanya memberikan
privilege kepada pengusaha. Alih-alih mendukung iklim investasi dan mempermudah bisnis,
Undang-Undang Cipta Kerja telah menyampingkan aspek sosial dan keadilan bagi pekerja
yang sesungguhnya merupakan motorik utama dari perusahaan. Pekerja dipacu untuk
memperbesar hasil produksi tanpa diikuti dengan hak timbal-balik yang manusiawi.
Aspek ekologi turut disoroti sebagai elemen yang dirugikan oleh ditetapkannya
Omnibus Law. Krisis lingkungan yang disebabkan oleh praktek bisnis yang melakukan
perusakan alam secara masif dan acuh atas konsep reboisasi serta manajemen limbah kian akan
semakin parah apabila Omnibus Law diterapkan. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang mengatur Amdal dan UKL-UPL, apabila Omnibus Law dijalankan maka izin lingkungan
dihilangkan dan tidak menjadi syarat penerbitan izin usaha. Lalu, akan dilakukan peninjauan
ulang terhadap pemberian Amdal dengan Komisi yang diusulkan pihak ketiga yang ditunjuk
oleh pelaku usaha. Tentu potret semacam ini kelak menimbulkan konflik horizontal dan
memperburuk aspek lingkungan.
Ketika kajian ini dipublikasian, draft RUU Omnibus Law sudah selesai 95% dan
memasuki tahap finalisasi sebelum ditinjau oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Negara
lebih memilih untuk menyejahterakan dunia usaha dan pelaku bisnis daripada hak-hak pekerja
dan kelestarian lingkungan. Maka dari itu, kami merekomendasikan Omnibus Law yang terdiri
dari 4 RUU hanya dapat diterima apabila mengedepankan kesejahteraan (prosperity) dan
kesamaan (equality) khususnya bagi para pekerja serta menjunjung keseimbangan alam.
SITUASI SAAT INI
Naskah akademik ini fokus kepada isu ketenagakerjaan dan ekologi yang masuk dalam
salah satu Undang-Undang Omnibus Law yaitu Cipta Lapangan Kerja. Ketengakerjaan
merupakan suatu persoalan yang menjadi momok bagi negara berkembang. Permasalahan ini
menyangkut asas kependudukan dan keseimbangan ekonomi. Begitu halnya Indonesia, dengan
kepadatan penduduk tinggi, problematika makro kependudukan selalu berkutat dengan
ketenagakerjaan. Sensus penduduk pada tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah penduduk
Indonesia telah menyentuh angka 238.518.000 jiwa, dan telah diproyeksikan pada tahun 2020
jumlah penduduk akan jauh meningkat hingga 271.066.000 jiwa1. Berdasarkan kondisi
tersebut, akan sangat mengkhawatirkan dengan kesediaan lapangan kerja yang menyebabkan
tingginya tingkat pengangguran. Menurut survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik,
tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat bahwa pada Februari 2017 hingga Februari 2019
tingkat pengangguran terbuka tertinggi jatuh pada jenjang Diploma I/II/III yaitu berkisar 9,00
persen. Kemudian pada tahun 2018, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan tahun
sebelumnya yakni pada jenjang Diploma I/II/III mencapai angka 8,33 persen. Pada tahun 2019
masih pada jenjang yang sama yakni Diploma I/II/III, namun mengalami sedikit peningkatan
dari tahun 2018 mencapai 0,08 persen.
1
Badan Pusat Statistika. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia
“Pada Februari 2017 terdiagnosa sedang mengalami krisis lapangan kerja.
- Februari 2019 Berbagai Undang-Undang yang mengatur khusus terkait
tingkat ketenagakerjaan kian hari mendapat kecaman dari
pengangguran pekerja sendiri. Memberikan perlindungan para pekerja
terbuka tertinggi terhadap kekonsistenan perusahaan ialah suatu upaya
jatuh pada jenjang untuk mengendalikan perusahaan dalam hal pemutusan
Diploma I/II/III yaitu hubungan kerja tak beraturan. Sehingga, pemutusan
berkisar 9%” hubungan kerja wajib melalui perundingan oleh kedua
belah pihak. Hal ini mengusahakan agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pemerintah wajib memberikan pembinaan, pengawasan,
penyidikan, memberikan ketentuan pidana dan sanksi administratif pada setiap perusahaan
baik instansi pemerintah maupun swasta yang melanggar ketentuan pada pasal Undang –
Undang Tentang Ketenagakerjaan2. Oleh karena itu, ketenagakerjaan merupakan suatu
pembahasan yang melekat antara lapangan kerja dan perusahaan.
Terlepas dari kebijakan yang tertera dalam Undang – Undang di atas berkenaan dengan
Ketenagakerjaan dan Pendirian Usaha, Pemerintah berkehendak untuk memotong alur
birokrasi yang peraturan yang tumbang-tindih. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi
guna menciptakan banyak lapangan kerja. Gagasan tersebut merupakan dibentuknya dua
undang – undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan UU Pemberdayaan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penataan ulang atau peringkasan peraturan ini
diperkenalkan oleh Joko Widodo dalam pidato yang ia berikan saat pelantikan dengan istilah
omnibus law.
2
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
seperti Kanada, Irlandia, dan Amerika Serikat. Irlandia merupakan salah satu negara yang
mencapai rekor dunia dalam hal ini karena ia mampu menghapus 3.225 Undang-Undang
melalui omnibus law. Apabila diterapkan, Indonesia akan terkendala karena sistem peraturan
Perundang-undangan yang berbeda. Sistem ownimbus law yang meringkas beberapa Undang-
Undang menjadi satu paket perundang tentunya memerlukan perubahan perumusan di DPR.
Padahal, DPR memiliki fokus utama pada satu bidang pembahasan UU di setiap komisinya
sehingga perlu kesiapan DPR untuk berkolaborasi dalam tahap penyusunan sampai
pembahasan melibatkan lembaga – lembaga lain terkait dengan perubahan yang akan diadakan
seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Kementerian Perindustrian.3
Terdapat empat Rancangan Undang – Undang (RUU) yang sedang dikerjakan oleh
pemerintah antara lain: RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU Omnibus Law
Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi, RUU Omnibus Law Ibukota
Negara, dan RUU Omnibus Law Kefarmasian. Perumusan RUU tersebut telah menuai banyak
pro dan kontra antara pemerintah yang lebih mengedepankan peningkatan masuknya investasi
tanpa melibatkan unsur masyarakat terutama elemen pekerja yang merasakan dampak
langsung. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya pelibatan partisipasi serikat pekerja seperti
KASBI, KPBI, SGBN, KSN, PPI dsb dalam perumusan Omnibus Law ini. Sorotan utama yang
banyak tuai konflik dari keempat RUU Omnibus Law ialah RUU Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja (Cilaka) yang dinilai tidak mengaspirasikan suara dan kepentingan masyarakat
kecil. Hal ini terdapat dalam poin – poin singkat draft perumusan RUU Omnibus Law antara
lain: penghapusan AMDAL dan IMB, Penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal,
menerapkan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengambil, kemudahan memutus bagi
pekerja/buruh), mengatur fleksibilitas jam kerja, mengatur soal pesangon dan pengupahan,
mempermudah visa izin tinggal bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), dan Penguatan kewenangan
pusat terkait seluruh perizinan.
3
Rongiyati, Sulasi. (2019). Menata Regulasi Pemberdayaan UMKM Melalui Omnibus Law. Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI. Vol XI, No.23
perusahaan yang listing di bursa semula 22% turun menjadi 19%, adanya penghapusan pajak
deviden, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk mengurangi pajak daerah dan
pemerintah pusat dapat berikan sanksi dan batalkan peraturan daerah yang menghambat
investasi.4
Berdasarkan hal tersebut RUU Omnibus Law tidak sejalan dengan karakter bangsa
Indonesia yang merupakan negara hukum seperti yang telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats) bukan
negara kekuasaan (Machtsstaat). Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa dalam setiap negara
yang menjunjung tinggi hukum memiliki tujuan antara lain ketertiban, ketentraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam bernegara dan bermasyarakat.5 Apabila
suatu negara telah memutuskan untuk menganut sistem hukum (Rechtstaats) maka negara
memiliki sebuah konsekuensi bahwa perundang – undangan ialah satu – satunya tolak ukur
dalam keberjalanan negara atau dapat dikatakan rule of the game dalam masyarakat. Sebab itu
dalam perencanaan, perumusan hingga pemberlakuan hukum, undang – undang merupakan
sesuatu yang berisi norma perlindungan kepentingan rakyat baik dalam keadilan, kebebasan,
kesejahteraan, perlakuan yang manusiawi dan lain sebagainya.6
4
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi
Pertanahan. Jurnal Arena Hukum. Vol. 10, No.2
5
idem
6
Pond, Roscoe. (1996). An Introduction to the Philosophy of Law. Terjemahan Jakarta: Bhatara Niaga Media.
Berdasarkan pemaparan di atas maka timbul sebuah keresahan mengenai omnibus law
yang memiliki tujuan baik yakni meningkatkan investasi di dalam negeri yang berujung pada
terbuka lebarnya lapangan kerja. Namun, memiliki banyak dampak negatif serta ketidak
beraturan mengenai kebijakan – kebijakan di dalamnya yang dapat mematikan rakyat sendiri.
KEBIJAKAN SAAT INI
A. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Seperti halnya peraturan yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan baik dalam skala mikro maupun
makro yang sering mendapatkan kritik dari buruh. Substansi dari UU tersebut meliputi
perencanaan tenaga kerja yang di dalamnya mengharuskan diselenggarakannya pelatihan kerja,
peningkatan produktivitas tenaga kerja, optimalisasi kondisi lingkungan kerja, pengupahan dan
kesejahteraan tenaga kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja. Segala ketentuan tersebut
diperoleh dari pihak – pihak terkait baik pemerintah maupun swasta. Sesuai dengan ketentuan
sebelumnya, pelatihan kerja dimaksudkan untuk menjadi jembatan penghubung tenaga kerja
dengan lapangan pekerjaan serta peningkatan standar mutu kompetensi kerja. Setiap
perusahaan wajib mengadakan pelatihan bagi para pekerja begitupun semua pekerja memiliki
hak yang sama untuk memperoleh pelatihan tersebut. Demi menjamin kualitas pelatihan yang
memiliki target untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) setiap perusahaan
baik instansi pemerintah ataupun swasta wajib mendaftarkan kegiatan tersebut dengan syarat
telah memenuhi persyaratan seperti tersedianya tenaga kepelatihan, tersedianya sarana dan
prasarana pelatihan kerja, tersedianya dana bagi pelatihan tersebut, dan kesesuaian kurikulum
tingkat pelatihan.
Selain memperhatikan segi ekologi atau lingkungan dalam pendirian usaha atau
penciptaan lapangan kerja juga harus memperhatikan pajak yang dibayarkan pada negara.
Mengingat pajak merupakan salah satu cara dan pertimbangan bagi negara untuk
mengamankan pemasukan semakin meningkat. Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia
sendiri memiliki klasifikasi pajak yang tidak sedikit. Dalam pembahasan kali ini ialah pajak
berkenaan dengan badan usaha. Berikut ialah daftar pajak yang wajib dibayarkan bagi badan
usaha seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yaitu mengenai pemotongan pajak atas
penghasilan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima oleh
wajib pajak. PPh Pasal 22 ialah pemungutan pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan
dibidang impor atau dari pembeli atas pnjualan barang yang tergolong mewah. PPh Pasal 23
merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari wajib pajak saat transaksi yang
meliputi transaksi dividen (pembagian keuntungan saham), dan sejenisnya. PPh Pasal 25 yakni
angsuran pajak yang berasal dari jumlah PPh terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) Tahunan PPh dikurangi PPh yang telah dipotong. PPh 26 adalah PPh yang dikenakan
atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh
wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Serta PPh 29 yang merupakan pajak yang harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh
Badan dilaporkan. PPh Pasal 4 ayat (2) PPh Pasal 4 ayat (2) yakni mengatur tentang a.)
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi, b.) penghasilan berupa hadiah undian, c.) penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura, d.) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan, e.) penghasilan tertentu lainnya. Adapun PPh Pasal 15 mengatur mengenai laporan
pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus untk golongan Wajib Pajak
tertentu, seperti wajib pajak badan yang bergerak dibidang pelayaan atau penerbangan dan lain
sebagainya.7
7
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
ANALISIS
A. Omnibus Law: Petaka Bagi Pekerja
Dalam dunia kerja terdapat hubungan antara pekerja, perusahan dan juga Pemerintah.
pekerja dan juga perusahaan memiliki hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pekerja akan mengolah modal yang dimiliki oleh perusahaan menjadi barang atau jasa yang
dibutuhkan untuk mendapatkan upah yang sepadan dari perusahaan.8 Dalam pola hubungan
tersebut, tidak bisa dilepaskan peran Pemerintah dalam membuat regulasi yang akan
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat serta keuntungan dari perusahaan tersebut. Peraturan
yang ada seharusnya bersifat menguntungkan kedua belah pihak khusunya bagi tenaga kerja.
Namun, pemberlakuan Omnibus Law pada sektor cipta lapangan kerja menuai polemik dalam
masyarakat. Regulasi ini nantinya akan mengapus kurang lebih 79 undang – undang dan 1.244
pasal.9 Adanya UU ini dinilai berdampak negatif bagi pekerja tetapi akan sangat
menguntungkan bagi investor atau pengusaha. Ada berbagai macam permasalahan yang
nantinya akan muncul apabila UU ini benar diterapkan antara lain:
8
Oki Wahju Budianto. (2017). Upah Layak Bagi Pekerja/Buruh Dalam Perspektif Hukum Dan Ham. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17, Nomor 3, Hal 379
9
Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Jakarta 15 Januari 2020
PWKT tidak dapat diterapkan untuk
“Dalam
pekerja dalam masa yang lama atau terus
keberjalanannya
menerus. Apabila kontrak dari pekerja
apabila karyawan
habis maka kewajiban pekerja otomatis
resign maka
akan berakhir. Namun dalam perusahaan tidak wajib
keberjalanannya apabila karyawan resign untuk memberikan
maka perusahaan tidak wajib untuk uang pesangon”
memberikan uang pesangon. Di lain hal,
sesuai dengan UU Ketenagakerjaan pasal 162 perusahaan berkewajiban untuk
memberikan uang pengganti hak yang diatur dalam pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Para pekerja tetap pun tak luput dari kekhawatiran berlakunya UU ini.
Dengan semakin mudahnya regulasi yang ada maka akan semakin mudah pula
perusahaan untuk memberhentikan pekerjanya apabila tidak memenuhi target atau
di paksa untuk mengajukan pengunduran diri sukarela dengan alasan laba
perusahaan yang menurun. Di Indonesia sendiri antara tahun 2017 sampai dengan
2019 telah terjadi ratusan ribu kasus PHK cotohnya kasus PHK masal yang terjadi
di PT Arnott’s yang memaksa 300 orang pekerjanya untuk mengundurkan diri
secara sukarela, PT Freeport (PHK 8.300 buruh), PT PDK (PHK 1.300 buruh),
Awak Mobil tangka Pertamina (PHK 1.950 buruh) serta sektor perbankan yakni
Bank Danamon yang mem-PHK 2.322 pegawainya tahun 2017 silam.10
10
Admin. Waspada PHK, Kenali Hakmu Jangan Mau Di Tipu Daya. https://www.turc.or.id/waspada-phk-kenali-
hakmu-jangan-mau-di-tipu-daya/ diakses pada 15 Januari 2020 Pukul 18.30
Dalam melakukan perlingungan terhadap para pekerjanya pemerintah
sebenarnya telah melakukan berbagai macam syarat sehingga pekerja asing yang
masuk benar – benar pekerja yang ahli atau professional dalam bidangnya. Namun
ternyata Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 ini banyak menimbulkan
permasalahan baik dalam tataran Normatif maupun implementatif. Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut ada yang tidak sesuai dengan Undang-
UndangNomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Misalnya di Pasal 9
Peraturan PresidenNomor 20 Tahun 2018 menyatakan bahwa Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan izin bekerja bagi TKA. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-UndangNomor 13 tahun 2003. "Pasal
43 ayat 1 menyatakan bahwa pemberi kerja TKA harus memiliki RPTKA yang
disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk, dalam penjelasannya RPTKA
merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja TKA. Hal lainnya yang
berlawanan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (1a) yang menyatakan bahwa pemberi
kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang
merupakan pemegang saham, menjabat direksi, dan anggota dewan komisaris,
sementara di Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003 tidak pengecualian, semuanya
harus punya izin. Data dari Kemenakertrans mencatat jumlah tenaga kerja asing.11
11
BPHN Kementrian Hukum dan HAM. Laporan Aakhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait
Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Tahun 2018. Hal 3
Tabel di atas menjelaskan bagaimana jumlah TKA terus mengalami
peningkatan. Hingga akhir tahun 2018 mencapai 95.335 pekerja. Jumlah
tersebut hanya 0,04% dari total penduduk 268,829 juta jiwa. Total TKA
Indonesia tersebut lebih rendah dibanding dengan beberapa negera seperti
Malaysia dengan 3,2 juta pekerja atau sekitar 10,04% dari total penduduk.
Kemudian TKA di Singapura mencapai 1,13 juta pekerja atau 19,36 dari total
penduduk. Bahkan TKA di Uni Emirat Arab mencapai 8,4 juta pekerja atau
87% dari total penduduk. Namun ketika hal itu dianggap remeh maka akan
menjadi boomerang yang siap berbalik kapan saja. Lihat saja kedepannya
Indonesia akan menerima bonus demografi yakni usia produktif akan lebih
banyak dari usia non produktif. Apabila ini tidak segera diperhatikan oleh
pemerintah maka yang tadinya bonus malah akan menjadi beban demografi
yang akan meningkatkan jumlah pengangguran yang ada. Ketika UU ini
ditetapkan dan mempermudah bahkan menghapuskan persyaratan tenaga kerja
asing untuk masuk. Maka masyarakat Indonesia haus bersaing untuk
mendaptkan pekerjaan yang layak.
12
Safitri, Kiki. Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law.
https://money.kompas.com/read/2020/01/07/112743426/ini-6-alasan-buruh-tolak-ruu-omnibus-law?page=all
Diakses pada 16 Januari pukul 09.12
(outsourcing), juga pekerja yang kontraknya tidak jelas seperti pemagang,
pekerja paruh waktu (part timer), serta pekerja lepas (freelancer). Kekhawatiran
muncul bagi mereka akan lebih sulit untuk menuntu hak – haknya.
Regulasi perihal jaminan serta fasilitas kesejahteraan bagi para buruh sendiri sudah
diatu dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 100 yaitu:
Kedepannya apabila jaminan, hak dan berbagai macam tunjangan dihapus akan
memperparah kondisi kesejahteraan dari para buruh dan Indonesi akan menjadi negara
yang tidak memperhatikan kepentingan buruh
Singapura 3 3 3 3
Thailand 4 4 4 4
Myanmar 4 4 3 5
Malaysia 5 5 4 4
Indonesia 4 4 5 5
Filipina 5 5 5 5
Kamboja 5 5 5 5
Laos 5 5 5 5
Vietnam 5 5 5 5
Sumber: International Trade Union Confederation
Keterangan
Krisis ekologi ini mulai disuarakan sejak tahun 1960-an, dimana sebagian besar
orang mulai memikirkan kembali relasi mereka terhadap alam ketika perbuatan
manusia mulai mengancam keseimbangan alam dan mengalienasikan manusia dengan
kehidupan selain dirinya. Puncaknya, pada 1980-an hampir bisa dipastikan kesadaran
tiap orang tersedot dengan permasalahan tersebut, bahkan artikel ilmiah yang
membahas persoalan ini meningkat tajam. Pada 1960-an, Lynn White, Jr. berpendapat
dalam papernya yang mengundang perdebatan hingga kini yang dipublikasikan pada
jurnal Science, yaitu The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa krisis
ekologis akibat dari eksploisitas sains dan teknologi berakar pada pandangan
antroposentris tradisi Yudeo-Kristiani yang menganggap bahwa manusia dan alam
adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi
dari alam dan oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi
White kemudian menekankan bahwa penyebab makin massif, dramatis, serta
kompleksnya kerusakan lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu
kemudian didukung oleh berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi
modern yang terbukti lebih banyak bersifat destruktif terhadap alam. 14
Krisis ekologi sudah bukan merupakan kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang namun telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas tolerasni dan
kemampuan adaptasi lingkungan.15 Salah satu faktor yang berpengaruh pada krisis
ekologi saat ini ialah sektor penanaman modal/investasi. Meningkatknya investasi di
berbagai bidang baik dalam skala kecil maupun besar telah menimbulkan dampak, baik
13
Miller, P.C. (1975). Ecology of World Vegetation. New York: Springer-Verlag
14
Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Jurnal Science, New York: Harvard University
Center, Vol.155 No.3767, 1967. 1205
15
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, cet. 1, Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal.1
terhadap lingkungan maupun terhadap masyarakat itu sendiri.16 Sebagai contoh,
perkembangan industri dalam beberapa dekade terakhir telah memberikan sumbangan
besar bagi perekonomian Indonesia. Namun di sisi lain hal tersebut juga memberi
dampak pada lingkungan akibat limbah yang dihasilkan maupun eksploitasi sumber
daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Kondisi ini seharusnya
memerlukan adanya transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan industri,
yakni keyakinan bahwa operasi suatu industri secara utuh harus tetap menjamin sistem
lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal
hingga biosfer. Efisiensi bahan baku dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan
daur ulang akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi.17
16
Arahan Deputi Bidang Penataan Lingkungan tentan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup (LPJP2SLH), dalam “Seminar Pos Pengaduan Sengketa Lingkungan Hidup”, 9 Juni 2008.
17
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta Agroindo
Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Gambaran Penggunaan Ruang untuk Investasi dan Konflik terkait
Lingkungan Hidup
Sumber: Walhi
Berdasarkan data tersebut, proporsi luas wilayah Indonesia yang dialokasikan kepada
korporasi sebagai bentuk investasi cukup besar. Hal tersebut diperparah dengan data konflik
lingkungan hidup – agraria didominasi oleh kasus pencemaran lingkungan oleh korporasi serta
data terkait tingginya bencana ekologis yang terjadi.
AMDAL inilah yang merupakan suatu alat atau cara yang digunakan dalam
mengendalikan perubahan lingkungan sebelum suatu tindakan kegiatan pembangunan
dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap kegiatan pembangunan selalu menggunakan
18
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sehingga secara langsung (otomatis)
akan terjadi perubahan lingkungan. Dengan demikian perlu pengaturan pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta cara mengeliminer dampak, supaya
pembangunan-pembangunan yang lainnya dan berikutnya dapat tetap dilakukan. Amdal
merupakan instrumen untuk melengkapi aspek ekologi dan sosial dalam suatu pembangunan.
Tanpa Amdal, izin pembangunan akan menjadi tidak spesifik detailnya. Oleh karena itu,
rencana pemerintah tersebut hanya berorientasi kepada peningkatan ekonomi dan investasi.
Sementara, dampak terhadap lingkungan tidak menjadi pertimbangan pemerintah.
Adapun mengenau bentuk hasil kajian AMDAL yaitu berupa dokumen AMDAL terdiri
dari lima dokumen, yaitu:
19
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2001 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
meningkatkan resiko keuangan negara/fiskal yang harus digunakan untuk upaya-upaya
mengatasi kerusakan maupun bencana tersebut. Dengan adanya AMDAL dan IMB,
juga turut dapat menciptakan suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) atau disebut juga pembangunan yang berwawasan lingkungan. Melalui
AMDAL, dampak-dampak penting yang diperkirakan akan timbul dapat diidentifikasi,
dievalasi dan diupayakan langkah-langkah penangananya, sehingga AMDAL dapat
menjadi pedoman bagi pemrakanrsa dan instansi/ lembaga yang terlibat dan terkait
dengan rencana trersebut, terutama dalam menentukan kebijaksanaan pengeloalaan
lingkungan hidup baik pada skala tapak proyek maupun skala regional.
1. PT. Expravet Nasuba, membuang limbah cair ke Sungai Deli pada tahun
2018.
2. PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, membuang
limbah industri ke aliran sungai yang mengakibatkan tingkat keasaaman air
sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan
20
Nugroho, Wahyu. (2020). Bencana Lingkungan & Urgensi Omnibus Law Lingkungan
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1edc4e585a1/bencana-lingkungan-urgensi-omnibus-law-
lingkungan-oleh-wahyu-nugroho?utm_source=dable. Diakses pada 17 Januari 2020
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu
tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph.
3. Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan
yang menyeret belasan hingga puluhan korporasi dan ratusan individu pada
menjelang akhir tahun 2019.
4. Bau limbah PT Rayon Utama Makmur di Wonogiri dan Sukoharjo sejak
tahun 2017.
5. Dll
Paket Kebijakan Jilid I yaitu memiliki tiga fokus. Pertama, mendorong daya
saing industry nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan
kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan
berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis
nasional. Ketiga, meningkatkan investasi di sektor proporti.
Paket Kebijakan Jilid 3 isinya melengkapi paket kebijakan 1 dan 2. Pada paket
ini mencakup penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kemudian perluasan
penerima KUR, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.
Sedangkan Paket Kebijakan isinya mengatur penetapan formulasi penetapan Upah
Minimum Regional (UMP) yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-
luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Paket Kebijakan 11 mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana
investasi real estate, prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling
time) dan pengembangan industry farmasi serta alat kesehatan. Paket Kebijakan 12
turut mendorong pertumbuhan UKM dengan memberikan kemudahan memulai usaha.
Paket Kebijakan 13 Menitikberatkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan
menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk
membangun rumah.