Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang diperuntukan bagi
kenderaan bermotor ataupun tidak bermotor yang memenuhi syarat-syarat yang di
tentukan di atas permukaan tanah, di bawah permuykaan tanah, dan di atas
permukaan air terkecuali jalan kereta api, lori, dan jalan berkabel. Setiap
perjalanan, terkhusus untuk pergerakan di darat, selalu menggunakan system
jaringan transportasi yang ada sehingga fungsi jalan menjadi penting dalam
kebutuhan pergerakan yang terjadi. Oleh karenanya diperlukan perencanaan
konstruksi jalan yang optimal sesuai syarat teknis menurut fungsi, volume maupun
sifat lalu lintas sehingga pembangunan tersebut dapat berguna bagi perkembangan
daerah sekitarnya (Sumber: Peraturan Pemerintahan Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan H. Mistar Cokrokusumo saat ini mengalami kerusakan yang cukup berat.
Seiring berjalannya waktu jalan H. Mistar Cokrokusumo menjadi rusak akibat dari
kenderaan yang beroperasi didaerah tersebut pada saat jam-jam tertentu setiap
harinya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan
penilaian kondisi jalan , dimana dua diantaranya adalah metode Bina Marga dan
metode PCI

1.2 Rumusan Penelitian


Berdasarkan pemamparan latar belakang diatas, ada beberapa pembahasan
masalah yang akan di ambil untuk penulisan Tugas Akhir ini ialah sebagai berikut:
1. Berapa LHR pada ruas Jalan H. Mistar Cokrokusumo?
2. Berapa nilai prioritas Jalan H. Mistar Cokrokusumo berdasarkan metode Bina
Marga dan metode PCI (Pavement Condition Index)?
3. Apa saja kerusakan yang terdapat pada ruas Jalan H. Mistar Cokrokusumo?

1
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dari penulisan
Tugas Akhir ini ialah sebagai berikut:
1. Mengetahui nilai prioritas Jalan H. Mistra Cokrokusumo berdasarkan metode
Bina Marga dan Metode PCI (Pavement Condition Index).
2. Mengetahui jenis kerusakan pada Jalan H. Mistar Cokrokusumo

1.4 Batasan Penelitian


Batasan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi kerusakan pada ruas Jalan H. Mistar Cokrokusumo dengan jarak
kurang lebih 630 m.
2. Menggunakan metode Bina Marga dan PCI untuk mengetahui kerusakan
jalan.
3. Kendraan yang diteliti adalah semua kendaraan yang melintas dijalan tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dengan Tugas Akhir ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi
semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah evaluasi Bina Marga
ataupun PCI (Pavement Condition Index) dan untuk kerusakan permukaan
jalan.
2. Mengetahui jenis-jenis kerusakan jalan.
3. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
Metode Bina Marga dan Metode PCI (Pavement Condition Index).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Jalan
Jalan raya adalah jalur-jalur diatas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia
dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan
untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut
barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Sumber:
Clarkson H.Oglesby, 1999).

2.1.2 Klasifikasi Jalan


2.1.2.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Klasifikasi jalan memiliki 2 jenis beserta dengan fungsinya sebagai berikut:
1. Jalan Arteri
Melayani angkutan utama yaitu cirinya perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-
rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi efisien.
2. Jalan Kolektor
Melayani angkutan pengumpul atau pembagi, cirinya perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan yang masuk dibatasi.
Tabel 2.1. Klasifikasi Kelas Pada Jalan
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat
MST (ton)
I >10
Arteri II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B

3
2.1.2.2 Klasifikasi Kelas Jalan
Klasifikasi jalan memiliki 2 jenis kelas sebagai berikut:
1. Klasifikasi kelas jalan yang berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
mendapat beban lalu lintas. Dinyatakan berdasarkan muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton.
2. Klasifikasi dari kelas jalan dan ketentuannya berkaitan dengan klasifikasi
menurut fungsi jalan dapat dilihat pada table 2.1.

2.1.2.3 Klasifikasi Menurut Jaringannya


Klasifikasi jalan menurut jaringannya memiliki 2 jenis yang berbeda, yaitu:
1. Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan dengan peranan menjadi pelayanan distribusi barang dan
jasa demi pengembangan/kemajuan seluruh daerah ditingkat nasional, dengan
menghubungkan seluruh simpul jasa distribusi yang berwujud pusat sentra
kegiatan.
2. Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan dengan peranan menjadi pelayanan distribusi barang dan
jasa untuk warga/masyarakat didalam kawasan perkotaan.

2.1.3 Konstruksi Perkerasan


Menurut Silvia Sukirman (1999) bahwa bahan pengikat konstruksi jalan dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaiut:
1. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement) merupakan jenis lapis
perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat antara material.
2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigid Pavement) merupakan lapis perkerasan
yang menggunakan semen sebagai bahan ikat antar materialnya.
3. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement) merupakan lapis
perkerasan yang berupa kombinasi antara perkerasan lentur dengan perkerasan
kaku.

4
Gambar 2.1 Bahan Pengikat Konstruksi Jalan

2.1.4 Lapis Perkerasan


Konstruksi perkerasan lentur yang terdiri dari lapisan yang diletakan diatas
tanah dasar yang sudah dipadatkan. Lapisan tersebut berfungsi menerima beban
lalu lintas dan menyebarkan kelapisan dibawahnya. Menurut konstruksi jalan
terdiri tiga bagian penting, yaitu:
1. Lapisan penutup
2. Lapisan perkerasan
3. Tanah dasar
Sedangkan lapisan konstruksi perkerasan secara umum yang biasa digunakan
di Indonesia menurut (Sukirman,1999) terdiri atas:
1. Lapisan permukaan (Surface Course)
2. Lapisan pondasi atas (Base Course)
3. Lapisan pondasi bawah (Subbase Course)
4. Lapisan tanah dasar (Subgrade)

5
Gambar 2.2. Bagian Lapis Konstruksi Jalan
(Sumber: Sukirman, 1999)
2.1.4.1 Lapisan Permukaan (surface course)
Lapis Permukaan adalah lapis untuk memberikan keamanan dan [ermukaan
yang halus/rata. Lapis permukaan terletak paling atas yang memiliki sifat
stabilitas kelenturan, awet, tahan terhadap penggelinciran, kedap air dan tahan
terhadap kelelahan (Fatigue). Jenis lapisan bagian atas yang umum digunakan di
Indonesia merupakan lapisan bersifat nonstrukturan & structural.

2.1.4.2 Lapisan Pondasi Atas (base course)


Lapis pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan
pondasi bawah dan lapisan permukaan yang berfungsi sebagai resistor gaya
lintang berdasarkan beban roda, lapisan peresapan & bantalan terhadap lapisan
permukaan.

2.1.4.3 Lapisan Pondasi Bawah (subbase course)


Lapisan pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terdapat antara lapisan
pondasi atas & tanah dasar. Penggunaan lapis pondasi bawah berfungsi untuk
menciptakan lapisan perkarasan yang relatif cukup tebal, fungsi lapis pondasi
bawah sebagai berikut:
1. Sebagai bagian dari struktur perkerasan guna mendukung dan menyebarkan
beban kendaraan.

6
2. Untuk efisiensi pengguna material agar lapisan yang lain bisa dikurangi
sehingga menghemat biaya.
3. Untuk mencegah masuknya material tanah dasar masuk ke dalam lapisan
pondasi.
4. Sebagai lapisan pertama agar saat dilaksanakan pembangunan jalan berjalan
lancar.

2.1.4.4 Lapisan Tanah Dasar


Lapisan tanah dasar adalah tanah bagian atas semula, permukaan tanah galian
ataupun tanah timbunan yang dipadatkan & merupakan bagian atas dasar untuk
meletakkan bagian-bagian perkerasan yang lain. Meninjau dari muka tanah asli
maka tanah dasar dibedakan atas :
1. Lapisan tanah dasar terdiri atas tanah galian.
2. Lapisan tanah dasar terdiri atas tanah timbunan.
3. Lapisan tanah dasar terdiri atas tanah asli.

Gambar 2.3 Jenis Tanah Dasar Ditinjau Dari Tanah Asli


(Sumber: Jurnal Saintis, 2016)

2.2 Bina Marga (BM)


Menurut (Rondi,2016:17), metode Bina Marga merupakan metode yang
terdapat di Indonesia yang memiliki hasil akhir berupa urutan prioritas dan bentuk
program pemeliharaan sesuai nilai di dapat dari urutan prioritas, metode ini
menggabungkan nilai yang didapat berdasarkan survey visual yaitu jenis

7
kerusakan dan surver LHR (lalu lintas harian rata-rata) yang selanjutnya didapat
nilai kondisi jalan dan jenis pemeliharaan.
2.2.1 Jenis Kerusakan
Secara garis besarnya, kerusakan dibedakan menjadi dua (2) bagian, yaitu
kerusakan struktural yang meliput gagalnya perkerasan atau kerusakan dari satu
atau lebih bagian perkerasan mengakibatkan perkerasan tidak dapat lagi
menanggung beban lalu lintas, dan kerusakan fungsional yang menyebabkan
keamanan dan kenyamanan.ketenangan pengguna jalan menjadi terganggu
sehingga biaya operasi kendaraan semankin meninggkat. (Sulaksono, 2001)
Menurut manual pemeliharaan jalan No: 03/MN/B/1983 Direktorat Jenderal
Bina Marga, kerusakan jalan bisa dikategorikan atas:
1. Retak (cracking)
2. Distorsi (distortion)
3. Cacat permukaan (disintegration)
4. Pengausan (polished aggregate)
5. Kegemukan (bleeding of flushing)
6. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

1. Retak (craking) dan penyebabnya


Retak yang terjadi dalam lapisan permukaan jalan bisa dibedakan atas
a. Retak halus (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama dengan (3)tiga
mm, penyebab dikarenakan bahan perkerasan yang jelek/kurang baik, tanah
dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukan tidak/kurang stabil.
Retak halus mengakibatkan masuknya air kedalam lapis bagian atas. Untuk
pemeliharaan bisa digunakan dengan lapis latasir atau buras. Waktu tahap
perbaikan diusahakan ditambah pemugaran sistem drainase. Retak ini dapat
berkembang sebagai retak kulit buaya.

8
Gambar 2.4 Retak Halus (hair cracking)
(Sumber: Google)
b. Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan
tiga mm. Saling merangkai serangkaian kotak-kotak kecil menyerupai kulit
buaya. Retak ini disebabkan lantaran bahan perkerasan yang jelek/kurang
baik, pelapukan permukaan, tanah dasar dan bagian perkerasan pada bawah
lapis permukaan kurang stabil, atau bahan lapis pondasi pada keadaan jenuh
air (air tanah naik). Umumnya daerah terjadinya retak kulit buaya tidak luas.
Jika daerah terjadi retak kulit buaya luas, kemungkinan disebabkan oleh
repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dipikul oleh lapisan
bagian atas tersebut. Retak kulit buaya sementara dapat diperbaiki dengan
menggunakan lapis burda, burtu, ataupun lataston, bila celah ≤ tiga mm.
Sebaiknya bagian perkerasan yang sudah mengalami retak kulit buaya akibat
air merembes masuk ke lapis pondasi dan tanah dasar diperbaiki
menggunakan cara dibongkar & membuang bagian-bagian yang basah, lalu
dilapis kembali dengan bahan yang sesuai. Perbaikan dibarengi dengan
pemugaran drainase pada sekitarnya. Kerusakan yang disebabkan oleh beban
lalu lintas wajb diperbaiki dengan memberi lapis tambahan. Retak kulit buaya
mampu diresapi oleh air sehingga lama kelamaan bila dibiarkan akan
menyebabkan lubang-lubang dampak dari terlepasnya butir-butir.

9
Gambar 2.5 Retak Kulit Buaya (alligator cracking)
(Sumber: Google)
c. Retak pinggir (edge crack), dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu
& terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan karena kurangnya daya dukung
dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadi penyusutan tanah. Akar
tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan bisa sebagai karena terjadinya retak
pinggir tersebut. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin
merusak lapis permukaan. Retak ini dapat diperbaiki dengan cara mengisi
celah menggunakan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase , bahu
diperlebar dan dipadatkan. Apabila pinggir perkerasan mengalami penurunan,
elevasi diperbaiki dengan memakai hotmix. Retak apabila dibiarkan akan
bertambah besar & disertai dengan lubang.

Gambar 2.6 Retak pinggir (edge crack)


(Sumber: Google)

10
d. Retak sambungan bahu & perkerasan (edge joint crack). Retak ini biasanya
disebabkan oleh kondisi drainase pada bawah bahu jalan lebih buruk daripada
di bawah perkerasan, terjadi settlement pada bahu jalan, penyusutan material
bahu atau perkerasan jalan, dan dampak akibat lintasan truk/kendaraan berat
di bahu jalan.

Gambar 2.7 Retak sambungan bahu & perkerasan (edge joint crack)
(Sumber: Google)
e. Retak sambungan jalan (lane joint crack), retak memanjang, yang terjadi
dalam sambungan dua lajur lalu-lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya
ikatan sambungan ke 2 lajur. Perbaikan dilakukan dengan memasukan
campuran aspal cair dan pasir pada celah-celah yang terjadi. Jika tidak
diperbaiki, retak dapat mengakibatkan pelebaran lantaran terlepasnya
butirbutir pada tepi retak dan meresapnya air kedalam lapisan.

11
Gambar 2.8 Retak sambungan jalan (edge joint crack)
(Sumber: Google)
f. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang
yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan baru.
Disebabkan karena perbedaan daya dukung dibawah bagian pelebaran &
bagian jalan lama, dapat pula disebabkan ikatan antara sambungan tidak baik.
Perbaikan dilakukan dengan cara mengisi celah-celah yang timbul dengan
campuran aspal cair dan pasir. Jika dibiarakan, air bisa meresap masuk ke
dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-butir lepas & retak
bertambah besar.

Gambar 2.9 Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks)


(Sumber: Google)
g. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, atau
mebentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan yang menggambarkan pola
retakan pada bawahnya. Retak refleksi terjadi apabila retak perkerasan lama
tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan. Retak
refleksi terjadi apabila terjadi gerakan vertikal/horizontal pada bawah lapis
tambahan menjadi akibat perubahan kadar air dalam jenis tanah yang
ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang pemugaran dapat dilakukan

12
menggunakan dengan mengisi celah campuran aspal cair dan pasir. Untuk
retak berbentuk kotak, perbaikan dilakukan dengan membongkar dan melapisi
kembali dengan bahan yang sesuai.

Gambar 2.10 Retak refleksi (reflection cracks)


(Sumber: Google)
2. Distorsi (Distortion)
Distorsi/perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar, pemadatan
yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan akibat
beban lalu lintas. Distorsi (Distortion) dapat dibedakan atas :
a. Alur (Ruts), dapat merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di
atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat
timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan karena lapis perkerasan yang
kurang padat, dengan begitu terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban
lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat
pula menimbulkan deformasi plastis. Perbaikan dapat dilakukan dengan
memberi lapisan tambahan dari lapis permukaan yang sesuai dengan standar.

13
Gambar 2.11 Alur (Ruts)
(Sumber: Google)
b. Keriting (Corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Penyebabnya
adalah rendahnya stabilitas campuran yang berasal dari terlalu tingginya kadar
aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat dan
permukaan penetrasi yang tinggi. Keriting dapat terjadi jika lalu lintas dibuka
sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang mempergunakan aspal
cair). Kerusakan dapat diperbaiki dengan :
i. Apabila lapis permukaan yang keriting itu mempunyai lapis pondasi
agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengoyak kembali, lalu
dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis
permukaan baru.
ii. Apabila lapis permukaan bahan pengikat mempunyai ketebalan > 5 cm,
maka lapis tipis yang mengalami keriting diangkat dan diberi lapis
permukaan yang baru.

14
Gambar 2.12 Keriting (Corrugation)
(Sumber: Google)
c. Sungkur (Shoving), ditempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam dan
tikungan tajam. Kerusakan dapat terjadi dengan/tanpa retak. Penyebab
kerusakan sama dengan kerusakan keriting. Perbaikan dilakukan dengan cara
dibongkar dan dilapis kembali.

Gambar 2.13 Sungkur (Shoving)


(Sumber: Google)
d. Amblas (Grade Depressions), dengan atau tanpa retak. Amblas dapat
terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap
ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menyebabkan lubang. Penyebab
amblas adalah beban kendaraan yang melebihi batas apa yang direncanakan,
pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan
tanah dasar mengalami settlement. Perbaikan dapat dilakukan dengan:

15
i. Untuk amblas yang < 5 cm, bagian yang rendah diisi dengan bahan sesuai
seperti lapen, lataston, laston.
ii. Untuk amblas yang > 5 cm, bagian yang amblas dibongkar dan lapis
kembali dengan lapis yang sesuai.

Gambar 2.14 Amblas (Grade Depressions)


(Sumber: Google)
e. Jembul (Upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi
karena adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif.
Perbaikan dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisinya
kembali.

Gambar 2.15 Jembul (Upheaval),


(Sumber: Google)
3. Cacat Permukaan (Disintegration)

16
Cacat Permukaan (Disintegration) yang mengarah kepada kerusakan secara
kimiawi dan mekanis dari lapisan perkerasan. Yang termasuk dalam cacat
permukaan ini adalah:
a. Lubang (Potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai
besar. Lubang–lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis
permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan. Lubang
dapat terjadi akibat:
i. Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :
1) Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik dan
temperatur campuran tidak memenuhi persyaratan.
ii. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas
akibat pengaruh cuaca. 18
iii. Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul
dalam lapis perkerasan.
iv. Retak–retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap dan
mengakibatkan terjadinya lubang–lubang kecil.
Lubang–lubang tersebut diperbaiki dengan cara dibongkar dan dilapis kembali.
Perbaikan yang bersifat permanen disebut juga deep patch (tambalan dalam),
yang dilakukan sebagai berikut:
i. Bersihkan lubang dari air dan material–material yang lepas.
ii. Bongkar bagian lapis permukaan dan pondasi sedalam–dalamnya
sehingga mencapai lapisan yang kokoh (potong dalam bentuk yang
persegi panjang).
iii. Beri lapis tack coat sebagai lapis pengikat.
iv. Isikan campuran aspal dengan hati–hati sehingga tidak terjadi segregasi.
v. Padatkan lapis campuran dan bentuk permukaan sesuai dengan
lingkungannya.

17
b. Pelepasan butir (Ravelling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek
serta dikarenakan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan
memberikan lapisan tambahan di atas lapisan yang mengalami pelepasan butir
setelah lapisan tersebut dibersihkan dan dikeringkan.

Gambar 2.16 Pelepasan butir (Ravelling)


(Sumber: Google)
c. Pengelupasan lapisan permukaan (Stripping), dapat disebabkan oleh
kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya, atau terlalu
tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digaruk, diratakan dan
dipadatkan. Setelah itu dilapisi dengan buras.

Gambar 2.17 Pengelupasan lapisan permukaan (Stripping)


(Sumber: Google)
4. Pengausan (Polished Aggregate)
Permukaan jalan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan.
Pengausan terjadi dikarenakan agregat berasal dari material yang tidak tahan aus

18
terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan
licin. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan latasir, buras atau latasbun.

5. Kegemukan (Bledding or Flushing)


Permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan
terjadi jejak roda. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang
tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime
coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan menaburkan agregat panas dan
kemudian dipadatkan atau lapis aspal diangkat kemudian diberi lapisan penutup.
6. Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (Utility cut depression)
Hal ini terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena
pemadatan yang tidak sesuai atau tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki
dengan dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai
2.2.2 Faktor Penyebab Kerusakan
Menurut Silvia Sukirman (1999) Kerusakan-kerusakan pada konstruksi
perkerasan jalan dapat disebablan oleh:
1. Lalu lintas
2. Air
3. Material konstruksi perkerasan
4. Iklim
5. Kondisi tanah dasar berubah-ubah
6. Proses pemadatan lapisan diatas tanah yang kurang baik.
2.2.3 Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
Manuho (2016:5), berpendapat bahwa Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
merupakan jumlah rata-rata lalu lintas harian kendaraan bermotor dari yang
beroda 2 sampai dengan kendaraan berat beroda 4 yang dihitung pada awal umut
rencana.Pencatatan kendaraan ini dilakukan pada kedua arah tanpa median
maupun tiap - tiap arah jalan dengan median selama sehari 24 jam. Berikut adalah
rumus perhitungan lalulintas harian rata – rata (LHR).

19
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐿𝑎𝑙𝑢 𝐿𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐿𝐻𝑅 =
𝐿𝑎𝑚𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
Setelah nilai lalu lintas harian rata-rata (LHR) diketahui, baru kemudian
dikaitkan dengan label ketentuan LHR dan Nilai Kelas Jalan yaitu seperti pada
Tabel 2. Berikut
Tabel 2.2 Lalu Lintas harian Rata-Rata (LHR) dan nilai kelas jalan
LHR Nilai Kelas Jalan
<20 0
20 – 50 1
50 – 200 2
200 – 500 3
500 – 2000 4
2000 – 5000 5
5000 – 20000 6
20000 – 50000 7
➢ 50000 8
Sumber: Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota
Langkah di atas perlu dilakukan untuk mengetahui nilai kelas jalan yang
ditetapkan pada jalan ditinjau.
2.2.4 Kadar Kerusakan
Menurut Rondi (2016:8), kadar kerusakan adalah presentase luasan dari suatu
jenis kerusakan terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam meter
persegi. Nilai kadar suatu unit segmen yang diukur dalam meter persegi. Nilai
kadar suatu kerusakan dibedakan berdasarkan tingkat kerusakannya. Adapun
rumus untuk mencari kadar kerusakan adalah sebagai berikut:

𝐴𝑑
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 = 𝑥100%
𝐴𝑠

2.2.5 Penilaian Luasan dan Persentase Kerusakan

20
Data hasil survei penjajagan kondisi jalan berupa tipe dan ukuran kerusakan
dihitung untuk mendapatkan luasan setiap tipe kerusakan, dari setiap tipe
kerusakan dijumlahkan sehingga didapat skot toltal untuk masing-masing tipe
kerusakan. Presentase tipe kerusakan diperoleh dari hasl bagi antara tipe kerusakan
dengan luasan segmen 100 meter dikalikan 100% (Handoyo Hermawan Adi
(2016). Perhitungan persentase kerusakan segmen yaitu:
𝐿𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑇𝑖𝑝𝑒 𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
𝐾𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 = 𝑥100%
𝐿𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛
Dengan: Ad: Luas total kerusakan per segmen yang ditinjau (m²)
As: Luas total unit segmem (m²)
2.2.6 Penilaian Jenis Kerusakan Jalan
Menurut Saputro (2014:3), sebelum menentukan nilai kondisi jalan, terlebih
dahulu yang dilakukan adalah penilaian jenis kerusakan yang terdapat pada
segmen atau jalan yang ditinjau. Berikut adalah Tabel 2. Penentuan Angka Kondisi
Berdasarkan Jenis Kerusakan:
Tabel 2.3 Penentuan Angka Kondisi Berdasarkan Jenis Kerusakan
Retak-retak (Cracking) Tambalan dan Lubang
Tipe Angka Luas Angka
Buaya 5 ➢ 30% 3
Acak 4 20% - 30% 2
Melintang 3 10% - 20% 1
Memanjang 1 < 10% 0
Tidak ada 1
Lebar Angka Kekerasan Permukaan
➢ 2 mm 3 Jenis Angka
1 -2 mm 2 Disintegradation 4
< 1 mm 1 Pelepasan Butir 3
Tidak ada 0 Rough 2

21
Retak-retak (Cracking) Tambalan dan Lubang
Luas Kerusakan Angka Fatty 1
➢ 30% 3 Close Texture
10% - 30% 2
< 10% 1
Tidak ada 0
Alur (Ruts) Amblas
Kedalaman Angka Kedalaman Angka
➢ 20 mm 7 ➢ 5/100 m 4
11 – 20 mm 5 2 – 5/100 m 2
6 – 10 mm 3 0 – 2/100 m 1
0 – 5 mm 1 Tidak ada 0
Tidak ada 0
Sumber : Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota

Penentuan angka kondisi kerusakan seperti pada table di atas perlu dilakukan
supaya bisa menentukan nilai kondisi jalan setelah total angka kerusakan pada
segmen yang ditinjau dijumlahkan.
2.2.7 Penetapan Nilai Kondisi Jalan
Menurut Saputro (2014:3), penetapan nilai kondisi jalan adalah menentukan
kondisi jalan yang ditinjau dengan cara mengaitkan total angka kerusakan pada
segmen jalan dengan nilai kondisi jalan seperti pada table 2.3 berikut:
Tabel 2.4 Penetapan Nilai Kondisi Jalan berdasarkan Total Angka Kerusakan
Total Angka Kerusakan Nilai Kondisi Jalan
26 – 29 9
22 – 25 8
19 – 21 7
16 – 18 6

22
Total Angka Kerusakan Nilai Kondisi Jalan
13 – 15 5
10 -12 4
7-9 3
4–6 2
0-3 1
Sumber : Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota
Penetapan nilai kondisi jalan tersebut dilakukan adalah untuk mengetahui angka
kondisi segmen jalan yang kemudian dikaitkan ke dalam nilai urutan prioritas
(UP)
2.2.8 Urutan Prioritas (UP)
Menurut Rondi (2016:7). metode Bina Marga merupakan metode yang
mempunyai hasil akhir yaitu urutan prioritas serta bentuk progam pemeliharan
sesuai nilai yang didapat dari unutan priorttas pada metode ini menggabungikan
nilai yang didapat dari survei visual yaitu jenis kerusakan serta survei LHR
(lalulintas harian 25 nata-rata) yang selaniutnya didapat nilai kodisi jalan. Urutan
prioritas didapatkan dengan rumus sebagai berikut:
UP = 17 – (Kelas LHR + Nilai Kondisi Jalan)
1. Urutan prioritas 0 - 3 menandakan bahwa jalan dimasukkan ke dalam program
peningkatan jalan.
2. Urutan prioritas 4 - 6 menandakan bahwa jalan dimasukkan ke dalam program
pemeliharaan berkala.
3. Urutan prioritas > 7 menandakan bahwa jalan tersebut ke dimasukkan dalam
program pemeliharaan rutin.
2.2.9 Bentuk Pemeliharaan Jalan Metode Bina Marga
Menunut Saputro (2014:2) ada tiga (3) macam bentuk pemeliharaan jalan pada
metode Bina Marga (BM). Bentuk-bentuk pemelibaraan tersebut adalah:

23
1. Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin adalah penanganan pada lapis
permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (Riding
Quality). Tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang
tahun. Pemeliharaan rutin, bentuknya adalah:
a. Penanganan pada lapis pemukaan,
b. Meningikatkan kualitas perkerasan nanun tidak untuk meningkatkan
kekuatan struktural.
c. Dilakukan sepanjang tahun.
2. Pemeliharaan Berkala Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang
dilakukan pada jalan dan waktu - waktu tertentu (tidak menerus sepanjang
tahun) dan sifatnya untuk meningkatkan kemampuan sruktural. bentuknya
antara lain:
a. Dilakukan dalam jangka waktu tertenta,
b. Berfungsi untuk meningkatkan kemampuan struktural jalan.
3. Peningkatan Jalan Peningkatan adalah penanganan jalan guna memperbaiki
pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometrikcnya
agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan, biasanya dalam betulk
overlay.

2.3 PCI (Pavement Condition Indeks)


Menurut Shahin (1994) dalam Hardiyatmo (2007), bahwa indeks kondisi
perkerasan adalah tingkatan dari kondisi permukaan perkerasan dan ukuran yang
ditinjau mengacupada kondisi dan kerusakan di permukaan perkerasan yang
terjadi. PCI ini merupakan indeks numerik yang nilainya berkisar diantara 0
sampai 100. Nilai 0 menunjukkan perkerasan dalam kondisi sangat rusak, dan nilai
100 menunjukan perkerasan masih sempurna.
2.3.1 Jenis Kerusakan

24
Menurut Shanin (1994). M. Y, PCI (Pavement Condition Index) adalah
penilaian untuk kondisi perkerasan. Kerusakan pada jalan dapat dibedakan
menjadi 19 kerusakan, yaitu:
1. Retak (Crack)
a. Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking)
Retak Yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang persegi banyak
(polygon) kecil menyerupai kulit buaya, dengan lebar celah lebih besar
atau sama dengan 3 mm. Retak ini disebabkan oleh kelelahan akibat
beban lalu lintas kenderaan yang berulang-ulang. Tabel dan gambar
sebagai berikut:
Tabel 2.5 Tingkat Kerusakan perkerasan aspal, identifikasi kerusakan
Retak Buaya (alligator cracking)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Halus retak rembut/halus
memanjang sejajar dengan yang
L lain, dengan atau tanpa
berhubungan satu sama lain.
Retakan tidak mengalami gompal.
Retak kulit buaya ringan terus
berkembang ke dalam pola atau
M jaringan retakan yang diikuti
gompal ringan
Jaringan dan pola retak telah
berlanjut, sehingga pecahan-
pecahan dapat diketahui dengan
H mudah dan terjadi gompal di
pinggir. Beberapa pecahan

25
mengalami rocking akibat lalu
lintas
*Retak gompal adalah pecahan material di sepanjang sisi retakan
Sumber: Shanin,1994

Gambar 2.18 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking)


(Sumber: Shanin)
b. Retak Kotak-Kotak (Block Cracking)
Sesuai dengan namanya, retak ini bebentuk blok atau kotak pada
perkerasan jalan. Retak ini terjadi umumnya pada lapisan tambahan
(Overlay), yang menggambarkan pola retakan perkerasan di bawahnya.
Ukuran blok umumnya lebih dari 200mm x 200mm. contoh gambar
kerusakan sebagai berikut:

Gambar 2.19 Retak Kotak-Kotak (Block Cracking)


(Sumber: Google)

26
c. Retak Samping Jalan (Edge Cracking)
Retak pinggir adalah retak yang sejajar dengan jalur lalu lintas dan juga
biasanya berukuran 1 sampai 2 kaki (0,3 – 0,6cm) dari pinggir perkerasan.
Ini biasanya disebabkan oleh beban lalu lintas atau cuaca yang
memperbelah pondasi atas maupun pondasi bawah yang dekat dengan
pinggir perkerasan. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.6 Retak Samping Jalan (Edge Cracking)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Retak sedikit sampai sedang
L dengan tanpa pecahan atau butiran
lepas.
Retak sedang dengan beberapa
M pecahan dan butiran lepas
Banyak pecahan atau butiran lepas
H di sepanjang terpi perkerasan.
Sumber: Shanin, 1994

Gambar 2.20 Retak Samping Jalan (Edge Cracking)


(Sumber: Google)
d. Retak Sambungan (Joint Reflec Cracking)
Kerusakan ini terjadi pada perkersan aspal yang telah dihamparkan diatas
perkerasan beton semen Portland. Retak terjadi pada lapis tambahan

27
(Overlay) aspal yang mencerminkan pola retak dalam perkerasan beton
lama yang berbeda di bawahnya. Table dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.7 Retak Sambungan (Joint Reflec Cracking)
Jenis Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar <3/8in.
(10mm)
2. Retak terisi sembarangan lebar
(pengisi kondisi bagus).
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar <3/8 in.
(10-76 mm)
2. Retak tak terisi, sembarangan
M lebar sampai 3in. (76mm)
dikelilingi retak acak ringan.
3. Retak terisi, sembarang lebar
yang dikelilingi retak acak ringan
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Sembarang retak terisi atau tak
terisi dikelilingi oleh retak acak,
kerusakan sedang atau tinggi.
H 2. Retak tak berisi lebih dari 3in.
(76mm).
3. Retak sembarang lebar, dengan
beberapa inci di sekitar retakan,
pecah.
Sumber: Shanin, 1994

28
Gambar 2.21 Retak Sambung (Joint Reflec Cracking)
(Sumber: Google)
e. Retak Memanjang/Melintang (Longitudinal/Trasverse Cracking)
Jenis kerusakan ini terdiri dari macam kerusakan sesuai dengan Namanya
yaitu, retak memanjang dan melintang pada perkerasan jalan. Retak ini
terjadi berjajar yang terdiri dari beberapa celah. Tabel dan gambar sebagai
berikut:
Tabel 2.8 Retak Memanjang/melintang (Longitudinal/Traverse Cracking)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar <3/8in.
(10mm)
2. Retak terisi sembarangan
lebar (pengisi kondisi bagus).
M Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar <3/8 in.
(10-76 mm)
2. Retak tak terisi, sembarangan
lebar sampai 3in. (76mm)
dikelilingi retak acak ringan.

29
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
3. Retak terisi, sembarang lebar
yang dikelilingi retak acak
ringan
H Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Sembarang retak terisi atau
tak terisi dikelilingi oleh retak
acak, kerusakan sedang atau
tinggi.
2. Retak tak berisi lebih dari 3in.
(76mm).
3. Retak sembarang lebar,
dengan beberapa inci di
sekitar retakan, pecah.
Sumber: Shanin, 1994

Gambar 2.22 Retak Memanjang/Melintang (Longitudinal/Traverse


Cracking)
(Sumber: Google)
2. Distorsi (Distortion)
Distorsi/perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan
pemadatan akibat beban lalu lintas. Distorsi (Distortion) dapat dibedakan atas:

30
a. Alur (Ruts), dapat merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh
di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya
dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan karena lapis
perkerasan yang kurang padat, dengan begitu terjadi tambahan pemadatan
akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan
stabilitas rendah dapat pula menimbulkan deformasi plastis. Perbaikan
dapat dilakukan dengan memberi lapisan tambahan dari lapis permukaan
yang sesuai dengan standar. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.6 Alur (Ruts)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kedalaman rata-rata ¼ - ½in. (6-
13mm)
M Kedalaman alur rata-rata ½ - 1in.
(13-25,5mm)
H Kedalaman alur rata-rata 1in.
(25,55mm)

Gambar 2.23 Alur (Ruts)


(Sumber: Google)

31
b. Keriting (Corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Penyebabnya
adalah rendahnya stabilitas campuran yang berasal dari terlalu tingginya
kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk
bulat dan permukaan penetrasi yang tinggi. Keriting dapat terjadi jika lalu
lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang
mempergunakan aspal cair). Kerusakan dapat diperbaiki dengan :
i. Apabila lapis permukaan yang keriting itu mempunyai lapis pondasi
agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengoyak kembali, lalu
dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis
permukaan baru.
ii. Apabila lapis permukaan bahan pengikat mempunyai ketebalan > 5 cm,
maka lapis tipis yang mengalami keriting diangkat dan diberi lapis
permukaan yang baru.
Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.9 Keriting (Corrugation)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Keriting mengakibatkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
M Keriting mengakibatkan agak
banyak gangguan kenyamanan
kendaraan.
H Keriting mengakibatkan banyak
gangguan kenyamanan kendaraan
Sumber: Shanin, 1994.

32
Gambar 2.24 Keriting (Corrugation)
(Sumber: Google)

c. Sungkur (Shoving), ditempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam


dan tikungan tajam. Kerusakan dapat terjadi dengan/tanpa retak. Penyebab
kerusakan sama dengan kerusakan keriting. Perbaikan dilakukan dengan
cara dibongkar dan dilapis kembali. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.8 Sungkur (Shoving)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Sungkur menyebabkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
M Sungkur menyebabkan cukup
gangguan kenyamanan kendaraan.
H Sungkur menyebabkan gangguan
besar kenyamanan kendaraan.
Sumber: Shanin, 1994.

33
Gambar 2.25 Sungkur (Shoving)
(Sumber: Google)

d. Amblas (Grade Depressions), dengan atau tanpa retak. Amblas dapat


terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat
meresap ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menyebabkan lubang.
Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi batas apa yang
direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian
perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. Perbaikan dapat
dilakukan dengan:
i. Untuk amblas yang < 5 cm, bagian yang rendah diisi dengan bahan sesuai
seperti lapen, lataston, laston.
ii. Untuk amblas yang > 5 cm, bagian yang amblas dibongkar dan lapis
kembali dengan lapis yang sesuai.
Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.10 Amblas (Depression)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kedalaman maksimum amblas ½ -
1in. (13-25mm)
M Kedalaman maksimum amblas 1 –
2in. (25-51mm)

34
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
H Kedalaman maksimum amblas
>2in. (51mm)
Sumber: Shanin, 1994.

Gambar 2.26 Amblas (Grade Depressions)


(Sumber: Google)

e. Jembul (Upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini
terjadi karena adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar
ekspansif. Perbaikan dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak
dan melapisinya kembali. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Table 2.11 Jembul (Upheaval)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Pengembangan menyebabkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
L Kerusakan ini sulit dilihat, tapi dapat
dideteksi dengan berkendaraan
cepat. Gerakan ke atas terjadi bila
ada pengembangan.
M Pengembangan menyebabkan cukup
gangguan kenyamanan kendaraan.

35
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Pengembangan menyebabkan
H gangguan besar kenyamanan
kendaraan.

Gambar 2.27 Jembul (Upheaval),


(Sumber: Google)
3. Cacat Permukaan (Disintegration)
a. Lubang (Puthole)
Kerusakan ini berbentuk seperti mangkok yang dapat menampung dan
meresapkan air pada badan jalan. Kerusakan ini terkadang terjadi didekat
retakan, atau di daerah yang drainasenya kurang baik (sehingga
perkerasan tergenang oleh air). Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.12 Lubang (Puthole)
Diameter rata-rata luabng
4-8 in. 8-18 in. 18-30 in.
Kedalaman Maksimum
(102-203 203-457 (457-762
mm) mm) mm)
½ - 1 in. (12,7-25,5mm) L L M
>1-2 in. (25,5-50,8mm) L M H

36
Diameter rata-rata luabng
4-8 in. 8-18 in. 18-30 in.
Kedalaman Maksimum
(102-203 203-457 (457-762
mm) mm) mm)
>2 in. (>50,8 mm) M H H
L: Belum perlu diperbaiki; penambalan persial atau diseluruh
kedalaman
M: Penambalan parsial atai diseluruh kedalaman
H: Penambalan diseluruh kedalaman
Sumber: Shanin, 1994.

Gambar 2.28 Lubang (Puthole)


(Sumber: Google)
b. Pelepasan Butir (Weathering/Raveling)
Pelepasan butiran disebebkan oleh lapisan perkerasan yang kehilangan
aspal atau tar pengikat dan tercabutnya partikel agregat. Kerusakan ini
menunjukan salah satu pada aspal pengikat tidak kuat untuk menahan
gaya dorong roda kendaraan atau presentasi kualitas campuran jelek.
Tabel dan gambar sebagai berikut:
Table 2.13 Pelepasan Butir (Weathering/Raveling)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kersusakan
Agregat atau bahan pengikat mulai
lepas. Dibeberapa tempat,

37
permukaan mulai berlubang. Jika
L ada tumpahan oli, genangan dapat
terlihat, tapi permukaannya keras
tak dapat ditembus mata uang
logam.
Agregat atau pengikat telah lepas.
Tekstur permukaan agak kasar dan
M berlubang. Jika ada tumpahan oli
permukaannya lunak, dan dapat
ditembus mata uang logam.
Agregat atau pengikat telah lepas.
Tekstur permukaan sangat ½½kasar
dan mengakibatkan banynak
lubang. Diameter luasan lubang <4
in. (10 mm) dan kedalaman ½ in.
(13 mm). Luas lubang lebih besar
H dari ukuran ini. Dihitung sebagai
kerusakan lubang (Puthole). Jika
ada tumpahan oli permukaannya
luank, pengikat aspal telah hilang
ikatannya, sehingga agregat menajdi
longgar
Sumber: Shanin, 1994.

38
Gambar 2.29 Pelepasan Butir (Weathering/Raveling)
(Sumber: Google)
4. Kegemukan (Bleeding)
Cacat permukaan ini berupa terjadinya konsentrasi aspal titik tertentu di
permukaan aspal. Bentuk fisik dari kerusakan dapat dikenali dengan
terlihatnya lapisan tipis aspal pada permukaan perkerasan yang tinggi atau
pada lalu lintas yang berat. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.14 Kegemukan (Bleeding)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kegemukan terjadi hanya pada derajat
rendah, dan Nampak hanya beberapa hari
dalam setahun. Aspal tidak merekat pada
sol dan roda kendaraan
M Kegemukan telah mengakibatkan aspal
melekat pada sepatu atau roda kendaraan,
paling tidak beberapa minggu dalam
setahun.
H Kegemukan telah begitu nyata dan
banyak aspal melekat pada sol sepatu dan
roda kendaraan, apling tidak lebih dari
beberapa minggu dalam setahun
Sumber: Shanin, 1994.

39
Gambar 2.29 Kegemukan (Bleeding)
(Sumber: Google)
5. Cekungan (Bump and Sugs)
Cekungan merupakan kerusakan yang memiliki ciri bandul kecil yang
menonjol keatas, pemindahan pada lapisan perkerasan itu disebabkan
perkerasan tidak stabil. Tabell dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.15 Cekungan (Bump and Sags)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Benjol dan melengkung melengkung
L mengakibatkan sedikit gangguan
kenyamanan kendaraan.
Benjol dan melengkung
M mengakibatkan agak banyak
gangguan kenyamanan kendaraan.
Benjol dan melengkung
H mengakibatkan begitu besar
gangguan kenyamanan kendaraan.
Sumber: Shanin, 1994

40
Gambar 2.30 Cekungan (Bump and Sags)
(Sumber: Google)
6. Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Lane/Shoulder Drop Off)
Bentuk kerusakan ini terjadi akibat terdapatnya beda ketingiian antara
permukaan perkerasan dengan permukaan bahu atau tanah sekitarnya, dimana
permukaan bahu lebih rendah terhadap permukaan perkerasan. Tabel dan
gambar sebagai berikut.
Tabel 2.16 Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Lane/Shoulder Drop Off)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Beda elevasi antara pinggir
L perkerasan dan bahu jalan 1-2 in.
(25-51 mm)
M Beda elevasi >2-4 in. (51-103 mm)
H Beda elevasi >4 in. (102 mm)
Sumber: Shanin,1994.

41
Gambar 2.31 Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Lane/Shoulder Drop Off)
(Sumber: Google)
7. Tambalan (Patching end Utiliti Cut Patching)
Tambalan adalah suatu bidang pada perkerasan dengan tujuan untuk
mengembalikan perkerasan yang rusak dengan material baru untuk
memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan adalah pertimbangan kerusakan
digantin dengan bahan yang baru dan lebih bagus untuk perbaikan dari
perkerasan sebelumnya. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.17 Tambalan (Patching end Utiliti Cut Patching)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Tambalan dalam kondisi baik dan
L memuaskan. Kenyamanan kendaraan
dinilai terganggu sedikit atau lebih baik.
Tambala sedikit rusak dan kenyamanan
M kendaraan agak terganggu.
Tambalan sangat rusak dan
H kenyamanan kendaraan sangat
terganggu.
Sumber: Shanin. 1994.

42
Gambar 2.32 Tambalan (Patching end Utiliti Cut Patching)
(Sumber:Google)
8. Pengausan Agregat (Polished Agregat)
Kerusakan disebabkan oleh penerapan lalu lintas yang berulang-ulang dimana
agregat pada perkerasan menjadi licin dan perekatan dengan perekatan roda
pada tekstur perkerasan yang mendistribusikannya tidak sempurna. Tabel dan
gambar sebagai berikut:
Tabel 2.18 Pengausan Agregat (Polished Agregat)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Tidak ada definisi derajat kerusakan.
Tetapi, derajat kelicinan harus
Nampak signifikan, sebelum
dilibatkan dalam survey kondisi
dinilai sebagai kerusakan.
Sumber: Shanin, 1994.

43
Gambar 2. 33 Pengausan Agregat (Polished Agregat)
(Sumber: Google)
9. Rusak Perpotongan Rel (Railroad Crossing)
Jalan rel atau persilangan jalan raya, kerusakan pada perpotongan rel adalah
penurunan atau benjol sekeliling atau diantara rel yang disebabkan oleh
perbedaan karakteristik bahan. Tabel dan gambar sebagai berikut:

Tabel 2. 19 Rusak Perpotongan Rel (Railroad Crossing)


Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Persilangan jalan rel mengakibatkan
L sedikit gangguan kenyamnan
kendaran.
Persilangan jalan rel mengakibatkan
M cukup dengan gangguan kenyamnan
kendaraan.
Persilangan jalan rel mengakibatkan
H sangat terganggu kenyamanan
kendaraan.
Sumber: Shanin, 1994

44
Gambar 2. 34 Rusak Perpotongan Rel (Railroad Crossing)
(Sumber: Google)

10. Patah Slip (Slippage Cracking)


Patah slip adalah retak yang seperti bulan sabit atau setengah bulan yang
disebabkan lapisan perkerasan terdorong atau meluncur merusak bentuk lapisan
perkerasan. Tabel dan gambar sebagai berikut:
Tabel 2.20 Patah Slip (Slippage Cracking)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Retak rata-rata lebar <3/8 in. (10 mm)
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak rata-rata 3/8 – 1,5 in. (10-
M 38 mm).
2. Area disekitar retakan pecah, ke
dalam pecahan-pecahan terikat
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak rata-rata >½ in. (>38 mm)
H 2. Area di sekitar retakan, pecah ke
dalam pecahan-pecahan mudah
terbongkar
Sumber: Shanin, 1994.

45
Gambar 2.35 Patah Slip (Slippage Cracking)
(Sumber: Google)
2.4 Faktor Penyebab Kerusakan
Menurut Silvia Sukirman (1999) Kerusakan-kerusakan pada konstruksi
perkerasan jalan dapat disebablan oleh:
7. Lalu lintas
8. Air
9. Material konstruksi perkerasan
10. Iklim
11. Kondisi tanah dasar berubah-ubah
12. Proses pemadatan lapisan diatas tanah yang kurang baik.

2.5 Konsep Pemeliharaan Jalan


2.5.1 Klasifikasi Pemeliharaan Jalan
Klasifikasi pemeliharaan pada jalan memiliki 3 tipe, bergantung pada tipe-tipe
kerusakan yang terjadi diantaranya adalah:
1. Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan rutin adalah pemeliharaan yang dilakukan setiap saat sifatnya
dalah meproteksi kerusakan yang lebih parah.
2. Pemeliharaan Berkala

46
Pemeliharaan berkala dalah pemeliharaan yang dilakukan di waktu tertentu.
Penanganan tersebut dilakukan kepada kondisi lapis permukaan jalan yang
sudah menurun kualitas berkendaraannya.
3. Rehabilitasi
Penanganan rehabilitasi dilakukan diluar rencana dan juga tidak dilakukan
pemeliharaan rutin atau berkala dengan masksud mengembalikan ke keadaan
berfungsinya jalan.
2.5.2 Klasifikasi Kerusakan Jalan dan Penanganannya
Pada kerusakan perkerasan terdapat klasifikasi dan penangan dilakukan dengan
mengacu pada persentase kerusakan tersebut. Adapun klasifikasi jalan dan
penanganannya, yaitu:
1. Baik, dengan kerusakan pada jalan <11% terhadap luas ruas jalan. Jenis
penanganan pada keadaan tersebut adalah Pemeliharaan Rutin
2. Sedang, dengan kerusakan pada jalan 11<16% terhadap ruas jalan. Jenis
penanganan pada keadaan tersebut adalah Pemeliharaan Berkala.
3. Rusak Ringan, dengan kerusakan pada jalan 16-23% terhadap luas ruas jalan.
Jenis penanganan pada keadaan tersebut adalah Pemeliharaan Berkala
4. Rusak Berat, dengan kerusakan pada jalan >23% terhadap luas ruas jalan,
Jenis penanganan pada keadaan tersebut adalah Pembangunan
2.6 Metode Pavement Condition Index (PCI)
Pavement Condition Index (PCI) adalah perkiraan kondisi pada jalan dengan
penilaian ratin untuk menyatakan kondisi perkerasan sesungguhnya dengan data
yang diperoleh dipercaya dan juga objektif. Metode PCI dikembangkan di
Amerika Serikat untuk perkerasan bandara terbang, jalan, dan area parkir. Karena
metode ini mendapatkan data dan kondisi yang akurat dengan kondisi yang ada di
lapangan. Level PCI dituliskan dalam tingkat 0 – 100. Menurut Shanin (1994)
kondisi perkerasan pada jalan dibagi dalam beberapa tingkat seperti table berikut:

47
Tabel 2.21 Nilai PCI dan Kondisi Perkerasan (FFA, 1982; Shanin, 1994)
Nilai PCI Kondisi Perkerasan
0 – 10 Gagal (Failed)
10 -25 Sangat Jelek (Very Poor)
25 – 40 Jelek (Poor)
40 - 55 Cukup (Fair)
55 – 70 Baik (Good)
70 – 85 Sangat Baik (Very Good)
85 - 100 Sempurna (Excellent)
Sumber: Shanin, 1994

2.5.1 Density (Kadar Kerusakan)


Density adalah kadar kerusakan persentase luasan dari jenis kerusakan kepada
luasan suatu unit yang diukur dalam meter panjang atau meter persegi. Nilai
density dibedakan berdasarkan tingkat kerusakannya.
Rumus nilai density:
𝐴𝑑
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 = 𝑥 100%
𝐿𝑑
Ad = Luas total kerusakan untuk level kerusakan (m²)
Ld = Panjang total kerusakan untuk level kerusakan (m)
As = Luas total unit segmen (m²)

2.5.2 Menentukan Deduct Value


Setelah nilai density didapat, selanjutnya masing-masing jenis kerusakan di
input ke grafik sesuai dengan tingkatan.

2.5.3 Mencari Nilai q


Ketentuan untuk mendapatkan nilai q adalah nilai dari deduct value lebih besar
dari 2 dengan menggunakan interasi. Nilai deduct value dari besar hingga terkecil.

48
Sebelum itu, dilakukan pengecekan terlebih dahulu untuk nilai deduct value
dengan rumus :
9
𝑀𝑖 = 1 + ( ) 𝑥 (100 − 𝐻𝐷𝑉𝑖)
98
Mi = Nilai koreksi untuk deduct value
HDVi = Nilai tersebar untuk deduct value dalam satu unit sampel
Jika nilai deduct valuelebih besar dari nilai Mi maka akan dilakukan pengurangan
kepada nilai Mi, tapi jika nilai tersebut lebih kecil (deduct value) dari nilai Mi maka
tidak akan dilakukan pengurangan kepada nilai deduct value tersebut.

2.5.4 Mencari Nilai CDV


Nilai CDV didapatkan setelah nilai q diketahui dengan cara menjumlahkan
seluruh nilai Deduct value, selanjutnya mengeplotkanm jumlah deduct value pada
grafik CDV sesuai dengan nilai q. Grafik CDV bisa dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Grafik CDV (Shanin M. Y, Army Corp of Engineers USA 1994)


(Sumber: Shanin, 1994)

2.5.5 Menentukan Nilai PCI


Sesudah nilai CDV didapatkan maka dapat ditentukan nilai PCI dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

49
𝑃𝐶𝐼 = 100 − 𝐶𝐷𝑉
Setelah nilai PCI didapatkan, maka dapat ditentukan rating dari sampel unit
yang ditinjau dengan mengelotkan grafik. Sedangkan untuk menghitung nilai PCI
secara meneyeluruh dalam satu jalan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
(𝑁 − 𝐴) 𝑥 𝑃𝐶𝐼𝑦 + 𝑎 𝑥 𝑃𝐶𝐼𝑎
𝑃𝐶𝐼 =
𝑁
PCIS = Nilai PCI dalam satu ruas jalan
PCIr = Nilai PCI rata-rata sampel unit dalam satu ruas jalan
PCIa = Nilai PCI rata-rata dalam sampel unit tambahan
N = Jumlah sampel unit yang di survey
A = Jumlah sampel unit tambahan yang di survey

2.5.6 Penilaian kondisi PerkerasanB


Penelitian kondisi perkerasan jalan dilakukan dengan cara memantau
sepanjang jalan. Hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan survey sebagai
berikut:
1. Kekerasan Permukaan (Surface texture)
2. Lubang (Pot Holes)
3. Tambalan (Patching)
4. Retak (Cracking)
5. Alur (Ruts)
6. Amblas (Depression)

2.5.7 Urutan Prioritas Kerusakan


Urutan prioritas kerusakan berdasarkan dengan metode PCI (Pavement
Condition Index) adalah sebagai berikut:
1. Prioritas 0 – 3

50
Jalan yang terletak pada urutan prioritas ini masuk kedalam program
peningkatan.
2. Prioritas 4 – 6
Jalan yang berada pada urutan prioritas ini masuk kedalam program
Pemeliharaan Berkala.
3. Prioritas 7
Jalan yang berada pada urutan prioritas ini masuk kedalam program
Pemeliharaan Rutin.

51
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi Survey
Daerah penelitian ini dilaksanakan pada ruas jalan H. Mistar Cokrokusumo
pada Sta 0+000 sampai Sta 0+630. Adapun lokasi penelitian ini adalah sebagai
berikut:

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Melalui Peta


(Sumber: Google Maps)

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Melalui Satelit


(Sumber: Google Maps)

52
3.2 Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Form Survey
2. Alat Ukur Meteran
3. Alat Tulis
4. Penggaris
5. Kamera

3.3 Teknik Pengambilan Data


Adapun beberapa Teknik cara pengambilan data yang diambil dilapangan
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung jenis kerusakan dan dimensi kerusakan menggunakan rol meter,
penggaris, alat tulis, formulir survey dan kamera.
2. Menentukan jenis-jenis kerusakan.
3. Menentukan nilai/kondisi jalan
4. Menghitung volume lalu lintas harian rata-rata (LHR)

3.4 Analisis Data


Analisis data sendiri merupakan sebuah cara untuk mengolah data menjadi
informasi agar karakteristik data tersebut mudah dipahami dan bemanfaat untuk
solusi permasalahan, terutama hal yang berkaitan dengan penelitian analisa data
pada penelitian ini. Berikut analisa yang ada pada penelitian ini:
1. Menentukan nilai urutan prioritas (UP)
2. Menentukan jenis pemeliharaan
3. Mengukur kuantitas jenis kerusakan
4. Membuat ketentuan tingkat kerusakan yang terjadi
5. Menentukan kadar kerusakan
6. Merekapitulasi hasil penelitian

53
3.5 Diagram Alir
Dalam melakukan Langkah-langkah penelitian Tugas Akhir agar terlaksana
secara teratur dan berkala maka perlu dibuat diagram alir (Flow Chart) yang
tertera sebagai berikut:

Gambar 3.3 Diagram Alir

54

Anda mungkin juga menyukai