Anda di halaman 1dari 23

TINDAKAN PEMERINTAH BERDASARKAN DELEGASI,

REKOMENDASI DAN MANDAT


MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu:
Dr. H. Tatang Astarudin, S. Ag., S.H., M. Si
Nanang Koyim, S.H., M.H

Oleh:
Rifa Laila Syarifatul Munawwaroh 1203050147
Senna Rizky Jayadi 1203050157
Sifa Asri Annisa Fitriyani 1203050160
Tsakila Malahayati 1203050168
Wirdan Lutfi Insani 1203050179

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul

“Tindakan Pemerintah berdasarkan Delegasi, Rekomendasi, dan Mandat" ini, dan

dapat kami kumpulkan tepat pada waktunya

Adapun tujuan penyusunan dari makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas presentasi kelompok, mata kuliah Hukum Administrasi Negara dengan

dosen pengampu bapak Dr. H. Tatang Astarudin, S. Ag., S.H., M. Si dan bapak

Nanang Koyim, S.H., M.H. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana

tindakan pemerintah berdasarkan Delegasi, Rekomendasi, dan Mandat. Kami

mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan makalah ini.

                                                                                            Bandung, November 2021

                             
Penyusun                    
                                    
                                    
                             

ii
DAFTAR ISI

Hala
man
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3
A. Atribusi...............................................................................................4
B. Delegasi..............................................................................................7
C. Mandat................................................................................................10
BAB III PENUTUP............................................................................................... 17
A. Kesimpulan.........................................................................................17
B. Saran...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan
kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan
hukum administrasi. Pada dasarnya, wewenang merupakan pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik,1 kewenangan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan
kewajiban pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan
akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak
berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.2
Dalam menjalankan tugas dan wewenangya, sering kali Pejabat pada
Lembaga Pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada Pejabat di bawahnya.
Berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan dan pelimpahan kewenangan dari
Pejabat Lembaga Negara kepada Pejabat di bawahnya, terdapat hal-hal dalam
hubungannya dengan ilmu hukum administrasi negara dan Undang-undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang perlu dicermati, baik
kewenangan yang bersifat atribusi, yaitu kewenangan yang diperoleh/berasal dari
peraturan perundang-undangan, maupun tentang kaidah-kaidah atau bentuk
materil/formil dari pelimpahan wewenang yang bersifat mandat dan delegasi. Hal
ini penting karena Pejabat pada Lembaga Negara harus melakukan tindakan
1
Abdul Rokhim, Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan (Welfare
State), Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum FH Unisma Malang Edisi Pebruari-Mei 2013, Malang,
2013, hlm. 1.
2
Ibid.

1
sesuai kewenangan yang sah dan dilakukan melalui prosedur yang tepat.
Pengambilan segala keputusan dan/atau tindakan oleh Pejabat pada Lembaga
Negara yang tidak memiliki dasar kewenangan dapat menjadi permasalahan dan
menjadi objek gugatan di pengadilan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Atribusi (Rekomendasi)?
2. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Delegasi?
3. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Mandat?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Atribusi
(Rekomendasi)
2. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Delegasi
3. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Mandat

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah


“kewenangan” atau “wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum
publik maupun hukum privat. Secara umum istilah wewenang dalam konsep
hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid yang dalam Kamus istilah
hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia berarti “wewenang atau kekuasan”,
atau istilah authority yang dalam Black’s Law Dictionary berarti: “right to
exercise powers; to implement and enforce laws”. Oleh karena itu, menurut
Mochtar Kusumaatmadja, seseorang yang mempunyai wewenang formal (formal
authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu
tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang pemberian wewenang itu.3

Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu


berkaitan dengan kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara
memperolehnya maupun cara menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan
dipergunakan berdasarkan hukum yang demikian ini dalam kepustakaan lazim
disebut “legal power” atau “rechtsmacht”. Istilah “power” dalam hal ini berarti:
“an ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation
by doing or not doing a given act”. Oleh karena itu, seperti halnya istilah
“tanggung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas, dalam
kepustakaan maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan
“kekuasaan” juga seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna
yang sama.4 Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten).5

3
Ibid., hlm. 2.
4
Ibid.
5
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm, 99.

3
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 memberikan definisi wewenang
adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan,6 dan kewenangan pemerintahan atau
kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.7
Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan
diperoleh melalui tiga cara, yaitu:

A. Atribusi (Rekomendasi)
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder,
memberikan penjelasan:8
‘’With atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that
is not derived from a previously existing power. The legislative body creates
independent and previously non existent powers and assigns them to an
authority.’’
J.G. Brouwer berpendapat pada bahwa atribusi merupakan kewenangan
yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau “Lembaga
Negara” oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli,
yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif
menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya
dan memberikan kepada organ yang kompeten.9 Jadi kewenangan yang diperoleh
secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentuk undang-undang orisinil.
Pemberi dan penerima wewenang sudah ada. Tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang.10
6
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 5.
7
Ibid, Pasal 1 angka 6.
8
Rachmat Trijono, Penelitian Hak Menguasai Negara di Bidang Pertanahan, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, 2015, hlm. 20.
9
Ibid., hlm. 21.
10
W.M. Herry Susilowati, Laporan Penelitian Tata Kelola Lembaga Penegak Hukum Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2012, hlm, 14.

4
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 pada Pasal 1 angka 22 memberikan
pengertian atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 atau Undang-Undang. Kemudian pengaturan lebih lanjut mengenai atribusi
diatur dalam Pasal 12 yang menyatakan:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui
atribusi apabila:
1) diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan/atau undang-undang;
2) merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan
3) Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui
atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan.
c. Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
undang-undang.

H.D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt berpendapat bahwa Atribusi diartikan


sebagai berikut:11

“Cara organ pemerintah mendapatkan wewenang pemerintahan yang


ditentukan. Organ dengan kewenangan membuat peraturan itu
menciptakan wewenang pemerintahan baru dan memberikannya pada
organ pemerintah lain; organ pemerintah kadang-kadang secara khusus
menciptakan kesempatan – untuk munculnya suatu wewenang. Organ
dengan kewenangan mengatur itu dapat diketahui baik dari pembuat
undang-undang formal maupun pembuat peraturan daerah.”

Atribusi sebagai toekenning van een bestuurbevoegdheid door een


wetgever aan een bestuursorgaan, yakni pemberian wewenang pemerintahan oleh

11
Ridwan H.R, Diskresi & Tanggungjawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.
114-115.

5
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Pembuat undang-undang itu
ada yang bersifat asli (originaire wetgevers) ada pula yang bersifat delegasian
(gedelegeerde wetgevers).12 Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam
perundang-undangan baik diadakan oleh original legislator ataupun delegated
legislator yang dibedakan sebagai berikut:13

1. Original legislator; di negara kita tingkat pusat adalah MPR sebagai


pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama dengan pemerintah sebagai
yang melahirkan suatu undangundang, dan di tingkat daerah adalah DPRD
dan Pemerintah daerah yang melahirkan Peraturan Daerah.
2. Delegated legislator; seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan
undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah, dalam mana
diciptakan wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan
pemerintahan tertentu.

Pada atribusi, terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh


suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menciptakan suatu
wewenang baru.14

Pengertian atribusi dan delegasi berdasarkan apa yang termuat dalam


Algemene Bepalingen van Administratief Recht (ABAR) dinyatakan, bahwa
wewenang atribusi ialah bilamana dalam undang-undang (dalam arti materiel)
menyerahkan atau memberikan wewenang tertentu kepada organ tertentu (van
attributie van bevoegdheid kan warden gesproken wanner de wet (in materiele
zin) een bepaalde bevoegdheid aan een bepaald organ toekent).

Berdasarkan penjelasan original legislator dan delegated legislator, di


Indonesia pembuat undang-undang yang asli itu di tingkat Pusat adalah MPR
sebagai pembentuk UUD dan Ketetapan MPR, DPR bersama-sama dengan
12
Ibid., hlm. 115-116.
13
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar
Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 91.
14
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang, Yogyakarta, 2008,
hlm. 51.

6
Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, dan di tingkat daerah adalah
DPRD dan Kepala Daerah yang berwenang membentuk peraturan daerah. Adapun
pembuat peraturan yang bersifat delegasian adalah Presiden, para Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Desa, yang masing-masing pej abat ini
dapat membuat peraturan perundangundangan seperti Peraturan Pemerintah
Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, dan Peraturan Kepala
Desa. Dari peraturan perundangundangan itu diciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan untuk diberikan kepada organ pemerintahan tertentu.15

Adanya pengaruh perubahan pandangan dari wetmatigheid van bestuur


menjadi rechmatigheid van bestuur mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber
wewenang pemerintah tidak lagi mutlak semata-mata dari undang-undang sebagai
produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang oleh pemerintah.16

B. Delegasi
Delegasi berasal dari bahasa Latin delegare yang artinya melimpahkan.
Delegatie: het overdragen van regelgende of bestuurbevoegdheden en de daaraan
gekoppelde veantwoordelijkheiden. Degene aan wie gedelegeerd is, gaat deze
bevoegdheden op eigen naam en op eigen gezag uitoefen.(Delegasi: pelimpahan
membuat peraturan atau wewenang pemerintahan dan terkait dengan
pertanggungjawaban. Mereka yang mendapat delegasi, berwenang atas nama
sendiri dan melaksanakan kekuasaannya sendiri).17
Dalam Algemene Bepalingen van Administratief Recht, pengertian
delegasi yaitu “… Te verstaan de overdacht van die bevoegdheid door het
bestuurorgaan waaaraan deze is gegeven, aan een ander orgaan, dat de
overgedragen bevoegdheid als eigen bevoegdheid zal uitoefenen (pelimpahan
wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ
lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan itu sebagai
wewenangnya sendiri).18 Dengan demikian, pada delegasi terjadilah pelimpahan
15
Ridwan H.R, Op., Cit, hlm. 98.
16
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Setara Press, Malang, 2012,
hlm. 62.
17
Sadjijono, Op., Cit, hlm. 117.
18
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 103.

7
suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang
telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau
jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh
adanya suatu atribusi wewenang.19
Delegasi menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintahan kepada
badan atau pejabat yang lain (overdracht van een bevoegdheit van het ene
bestuursorgaan aan een ander). Setelah wewenang diserahkan maka pemberi
wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.20 Sedangkan, F.A.M. Stroink dan
J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa delegasi hanya dapat dilakukan apabila
badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui
atribusi. Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah
ada oleh organ yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada orang
lain.21
Dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) delegasi diartikan sebagai
pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk
mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri dalam arti, bahwa dalam
penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi (delegans) telah lepas dari
hukum atau dari tuntutan pihak ketiga, jika dalam penggunaan wewenang
pemerintahan itu menimbulkan pelanggaran atau kerugian pada pihak lain.22
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, menurut
Phlipus M. Hadjon, terdapat syarat-syarat sebagai berikut:23
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;

19
Abdul Rokhim, Op., Cit, hlm, 3.
20
Lukman Hakim, Op., Cit, hlm. 117.
21
Ibid., hlm. 63.
22
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 129.
23
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 104.

8
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Pengertian delegasi menurut Pasal 1 angka 23 Undang-undang No. 30


Tahun 2014, adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya
kepada penerima delegasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai delegasi diatur dalam
Pasal 13 Undang-undang No. 30 Tahun 2014, yaitu:

a. Kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi


apabila:

1) diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat


Pemerintahan lainnya;

2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau


Peraturan Daerah; dan

3) merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.

c. Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan


tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan.

d. Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain


sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh wewenang melalui delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

9
dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lain dengan ketentuan:

1) dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan;

2) dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan

3) paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1


(satu) tingkat dibawahnya

e. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat


menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan


ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik
kembali Wewenang yang telah didelegasikan.

g. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui


Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima Delegasi.

C. Mandat
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat
dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang
memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. J.B.J.M. ten Berge
dan kawan-kawan mengatakan tentang mandat sebagai berikut: “mandaat:
rechtsfiguur waarbij door een overheidsorgaan een machtiging wordt verleen aan
iemand om onder naam en verantwoordelijkheid van het overheidsorgaan dat de
machtiging heft varleend, bepalde beslissingen te nemen.” (mandat: bentuk
hukum dimana organ pemerintah memberikan tugas pada seseorang untuk
mengambil keputusan tertentu atas nama dan tanggungjawab organ pemerintah
yang telah memberikan tugas itu).24

24
Aminuddin Ilmar, Op., Cit, hlm. 120.

10
Dalam Algemene Wet Bestuursrecht, mandat berarti “het door een ander
verlenen van de bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen” (pemberian
wewenang oleh organ pemerintah kepada organ lainnya untuk mengambil
keputusan atas namanya). Mandat menurut H.D. van Wijk dan Willem
Konijnenbelt, yaitu mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (een bestuursorgaan laat
zijn bevoegdheid namen hem uitoefenen door een ander).25
Berbeda dengan ‘delegasi’, pada ‘mandat’, mandan atau pemberi mandat
tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan,
dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya.
Mandan tetap bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. 26
Adapun unsur-unsur mandat dapat diuraikan sebagai berikut:27
a. Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja antara atasan dan
bawahan.
b. Tidak terjadi pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan
dalam arti yang diberi mandat hanya bertindak untuk dan atas nama yang
memberi mandat.
c. Pemberi mandat masih dapat menggunakan wewenang bilamana mandat
telah berakhir.
d. Pemberi mandat wajib untuk memberi instruksi (penjelasan) kepada yang
diserahi wewenang dan berhak untuk meminta penjelasan mengenai
pelaksanaan wewenang tersebut.
e. Tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tidak beralih dan tetap
berada pihak yang memberi mandat.

Pengertian mandat menurut Pasal 1 angka Undang-undang No. 30 Tahun


2014 adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah

25
Abdul Rokhim, Op., Cit, hlm. 4.
26
Lukman Hakim, Op., Cit, hlm. 65.
27
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik RUU tentang Hubungan Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, hlm. 70.

11
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Pengaturan lebih lanjut mengenai mandat diatur dalam Pasal 14, yang mengatur:

a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:

1) ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan

2) merupakan pelaksanaan tugas rutin.

b. Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf b terdiri atas:

1) Pelaksana Harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif


yang berhalangan sementara; dan

2) pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif


yang berhalangan tetap.

c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus


menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat.

e. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat


menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan


ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang
yang telah dimandatkan.

g. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang


melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan

12
yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada
aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

h. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang


melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.

Berbeda dengan ‘delegasi’, pada ‘mandat’, mandan atau pemberi mandat


tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan,
dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya.
Mandan tetap bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.28

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wewenang yang


diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundangundangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan
perundangundangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan
perundangundangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan
wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan
tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak
ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat
yang satu kepada pejabat lainnya. Bersamaan dengan peralihan wewenang dari
pemberi delegasi kepada penerima delegasi, tanggungjawab yuridis juga beralih,
yakni tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada
penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandat, penerima mandat
(mandataris) secara hierarki kepegawaian adalah bawahan (ondergeschikt) dari
pemberi mandat dan karenanya hanya menjalankan tugas dan bertindak untuk dan
atas nama pemberi mandat (mandans). Mandataris tidak dilekati dengan
wewenang, sehingga konsekuensi yuridisnya mandatari tidak memikul
tanggungjawab hukum. Semua tindakan hukum yang dilakukan oleh mandataris
tanggungjawabnya ada pada pemberi mandat (mandans), kecuali jika mandataris
28
Lukman Hakim, Op., Cit, hlm. 65.

13
dalam melaksanakan tugas tersebut melakukan tindakan maladministasi.29
Selanjutnya, untuk memperjelas perbedaan antara delegasi dan mandat oleh
R.J.H.M. Huisman dalam bukunya Algemeen Bestuursrecht, sebagaimana dikutip
oleh Aminuddin Ilmar, perbedaannya adalah sebagai berikut:30

PERBEDAAN ANTARA DELEGASI DAN MANDAT


No. Delegasi Mandat
1. Overdracht van Opdracht tot uitvoering
bevoegdheid (pelimpahan (perintah untuk
wewenang) melaksanakan)
2. Bevoegdheid kan foor het Bevoegdheid kan door
oorspron-kelijk bevoegde mandaat gever nog
organ niet incindenteel incidenteel uitfgeofend
uftgoefend worden worden (kewenangan
(kewenangan tidak dapat dapat sewatu-waktu
dijalankan secara dilaksanakan oleh
incidental oleh organ mandans)
yang memiliki wewenang
asli).
3. Overgang Behooud van
van verantwoor-delijk-heid
verantwoofdelijk-heid (tidak terjadi suatu
(terjadi peralihan perlihan tanggung
tanggung jawab) jawab)
4. Wettelijke basis vereist Geen wettelijke basis
(harus berdasarkan UU) vereist (tidak harus
berdasarkan UU)
5. Moet schriftelijke (harus Kan schrifielijk mag ook
tertulis) mondeling (dapat
tertulis, atau dapat pula
secara lisan

29
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 122-123.
30
Aminuddin Ilmar, Op., Cit, hlm. 131.

14
Sebuah kewenangan yang berbasis pada peraturan untuk melaksanakan
kewenangan setidaknya memiliki empat karakteristik utama sebagai berikut:31

Pertama, hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkepastian


hukum. Hal ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang
dilahirkannya sebbagai bagian dari pelaksanaan kewenangannya. Potensi konflik
pelaksanaan kewenangan lembaga negara sangat mungkin lahir dari adanya
produk hukum yang dikeluarkan sebuah lembaga negara dan kemudian produk
tersebut mengikat kepada lembaga negara lainnya. Karakteristik tersebut akan
memetakan potensi konflik dari sudut pandang produk.

Kedua, perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dan kewenangan. Hal


tersebut berkaitan dengan beberapa lembaga negara yang secara legitimatif
kekuasaannya diberikan dalam landasan hukum yang berbeda dengan landasan
hukum kewenangannya. Hal itu dapat menimbulkan perbedaan tafsiran antara
kekuasaan, fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban maupun penjabaran terhadap
unsur-unsur tersebut. Sebuah lembaga negara seringkali memiliki perangkat
hukum yang berbeda baik dalam menentukan unsurunsur tersebut maupun
menjabarkan unsur-unsur tersebut. Akibatnya, yang terjadi adalah seringnya suatu
lembaga negara “merasa” lebih memiliki kekuasaan ataupun kewenanganterhadap
suatu hal daripada lembaga negara lainnya.
31
Harjono, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
di Indonesia”, makalah dan Seminar dan Lokakarya RUU Mahkamah Konstitusi yang
diselenggarakan Pusat pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
bekerjasama dengan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Batu-Jawa Timur, 18-19 Desember
2002. Dikutip kembali dalam Firmansyah Arifin Dkk., (Tim Peneliti), Lembaga Negara dan...,
Op.Cit., Hlm. 115-116.

15
Ketiga, aturan hierarkis yang jelas. Asas yang khusus mengesampingkan
yang umum (lex specialis derogate legi generale) ataupun asas kedudukan
peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah (lex
superiori derogate legi inferiori) memang merupakan asas yang perlu dalam
menjamin kepastian hukum, tetapi hierarki ini dapat membingungkan. Apalagi
ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut atau terhilangkan oleh aturan
hierarki yang baru.

Keempat, kewenangan yang terbagi. Beberapa jenis kewenangan dimiliki


lembaga negara tidak secara sendirian, tetapi berbagi dengan lembaga negara
lainnya. Patokan jenis atau wilayah yang tidak boleh saling langgar seringkali
menjadi rancu ketika mulai ditafsirkan. Wilayah mana yang merupakan
kewenangan suatu lembaga negara dan wilayah mana merupakan kewenangan
lembaga negara yang lain dan tidak boleh dilanggar.32

32
Ibid.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kewenagan atau wewenang dapat ditemukan dalam peraturan perundang-
undanga yaitu dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Pada dasarnya
secara yuridis konsep wewenang selalu berkaitan dengan kekuasaan yang
berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara menggunakanya.

Adapun secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-


undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu:

1. Atribusi, J.G. Brouwer berpendapat pada bahwa atribusi merupakan


kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan
atau “Lembaga Negara” oleh suatu badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada
sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan
perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
kompeten.
2. Delegasi, menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintahan
kepada badan atau pejabat yang lain (overdracht van een bevoegdheit van
het ene bestuursorgaan aan een ander). Setelah wewenang diserahkan
maka pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi
3. Mandat, Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi
dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat
yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri.
J.B.J.M. ten Berge dan kawan-kawan mengatakan tentang mandate, yaitu
bentuk hukum dimana organ pemerintah memberikan tugas pada

17
seseorang untuk mengambil keputusan tertentu atas nama dan
tanggungjawab organ pemerintah yang telah memberikan tugas itu.

B. Saran
Secara umum penyusun menyarankan bahwa tindakan pemerintah apapun
itu perlu dilaksanakan dengan maksimal dan dengan transparasi yang baik kepada
masyarakat. Secara Khusus penyusun menyarankan agar setiap Badan atau
Pejabat Administrasi Negara dalam melakukan tindakan pemerintahan
diwajibkan bersuaian dengan kewenangannya dan bertindak didasarkan pada
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rokhim, Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan


(Welfare State), Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum FH Unisma Malang Edisi
Pebruari-Mei 2013, Malang, 2013.
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia Group, Jakarta,
2014.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik RUU tentang Hubungan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Harjono, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia”, makalah dan Seminar dan Lokakarya RUU
Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan Pusat pengembangan
Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, bekerjasama
dengan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Batu-Jawa Timur, 18-19
Desember 2002. Dikutip kembali dalam Firmansyah Arifin Dkk., (Tim
Peneliti).
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Setara Press,
Malang, 2012.
Rachmat Trijono, Penelitian Hak Menguasai Negara di Bidang Pertanahan, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2015.
Ridwan H.R, Diskresi & Tanggungjawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta,
2014.
, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007.

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang,


Yogyakarta, 2008.

19
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
W.M. Herry Susilowati, Laporan Penelitian Tata Kelola Lembaga Penegak
Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, 2012.

20

Anda mungkin juga menyukai