Makalah HAN Kelompok 8
Makalah HAN Kelompok 8
Oleh:
Rifa Laila Syarifatul Munawwaroh 1203050147
Senna Rizky Jayadi 1203050157
Sifa Asri Annisa Fitriyani 1203050160
Tsakila Malahayati 1203050168
Wirdan Lutfi Insani 1203050179
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
dosen pengampu bapak Dr. H. Tatang Astarudin, S. Ag., S.H., M. Si dan bapak
Nanang Koyim, S.H., M.H. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Hala
man
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3
A. Atribusi...............................................................................................4
B. Delegasi..............................................................................................7
C. Mandat................................................................................................10
BAB III PENUTUP............................................................................................... 17
A. Kesimpulan.........................................................................................17
B. Saran...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan
kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan
hukum administrasi. Pada dasarnya, wewenang merupakan pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik,1 kewenangan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan
kewajiban pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan
akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak
berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.2
Dalam menjalankan tugas dan wewenangya, sering kali Pejabat pada
Lembaga Pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada Pejabat di bawahnya.
Berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan dan pelimpahan kewenangan dari
Pejabat Lembaga Negara kepada Pejabat di bawahnya, terdapat hal-hal dalam
hubungannya dengan ilmu hukum administrasi negara dan Undang-undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang perlu dicermati, baik
kewenangan yang bersifat atribusi, yaitu kewenangan yang diperoleh/berasal dari
peraturan perundang-undangan, maupun tentang kaidah-kaidah atau bentuk
materil/formil dari pelimpahan wewenang yang bersifat mandat dan delegasi. Hal
ini penting karena Pejabat pada Lembaga Negara harus melakukan tindakan
1
Abdul Rokhim, Kewenangan Pemerintahan Dalam Konteks Negara Kesejahteraan (Welfare
State), Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum FH Unisma Malang Edisi Pebruari-Mei 2013, Malang,
2013, hlm. 1.
2
Ibid.
1
sesuai kewenangan yang sah dan dilakukan melalui prosedur yang tepat.
Pengambilan segala keputusan dan/atau tindakan oleh Pejabat pada Lembaga
Negara yang tidak memiliki dasar kewenangan dapat menjadi permasalahan dan
menjadi objek gugatan di pengadilan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Atribusi (Rekomendasi)?
2. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Delegasi?
3. Bagaimana tindakan Pemerintah berdasarkan Mandat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Atribusi
(Rekomendasi)
2. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Delegasi
3. Untuk mengetahui tindakan Pemerintah berdasarkan Mandat
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ibid., hlm. 2.
4
Ibid.
5
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm, 99.
3
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 memberikan definisi wewenang
adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan,6 dan kewenangan pemerintahan atau
kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.7
Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan
diperoleh melalui tiga cara, yaitu:
A. Atribusi (Rekomendasi)
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder,
memberikan penjelasan:8
‘’With atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that
is not derived from a previously existing power. The legislative body creates
independent and previously non existent powers and assigns them to an
authority.’’
J.G. Brouwer berpendapat pada bahwa atribusi merupakan kewenangan
yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau “Lembaga
Negara” oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli,
yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif
menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya
dan memberikan kepada organ yang kompeten.9 Jadi kewenangan yang diperoleh
secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentuk undang-undang orisinil.
Pemberi dan penerima wewenang sudah ada. Tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang.10
6
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 5.
7
Ibid, Pasal 1 angka 6.
8
Rachmat Trijono, Penelitian Hak Menguasai Negara di Bidang Pertanahan, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, 2015, hlm. 20.
9
Ibid., hlm. 21.
10
W.M. Herry Susilowati, Laporan Penelitian Tata Kelola Lembaga Penegak Hukum Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2012, hlm, 14.
4
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 pada Pasal 1 angka 22 memberikan
pengertian atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 atau Undang-Undang. Kemudian pengaturan lebih lanjut mengenai atribusi
diatur dalam Pasal 12 yang menyatakan:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui
atribusi apabila:
1) diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan/atau undang-undang;
2) merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan
3) Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui
atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan.
c. Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
undang-undang.
11
Ridwan H.R, Diskresi & Tanggungjawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.
114-115.
5
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Pembuat undang-undang itu
ada yang bersifat asli (originaire wetgevers) ada pula yang bersifat delegasian
(gedelegeerde wetgevers).12 Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam
perundang-undangan baik diadakan oleh original legislator ataupun delegated
legislator yang dibedakan sebagai berikut:13
6
Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, dan di tingkat daerah adalah
DPRD dan Kepala Daerah yang berwenang membentuk peraturan daerah. Adapun
pembuat peraturan yang bersifat delegasian adalah Presiden, para Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Desa, yang masing-masing pej abat ini
dapat membuat peraturan perundangundangan seperti Peraturan Pemerintah
Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, dan Peraturan Kepala
Desa. Dari peraturan perundangundangan itu diciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan untuk diberikan kepada organ pemerintahan tertentu.15
B. Delegasi
Delegasi berasal dari bahasa Latin delegare yang artinya melimpahkan.
Delegatie: het overdragen van regelgende of bestuurbevoegdheden en de daaraan
gekoppelde veantwoordelijkheiden. Degene aan wie gedelegeerd is, gaat deze
bevoegdheden op eigen naam en op eigen gezag uitoefen.(Delegasi: pelimpahan
membuat peraturan atau wewenang pemerintahan dan terkait dengan
pertanggungjawaban. Mereka yang mendapat delegasi, berwenang atas nama
sendiri dan melaksanakan kekuasaannya sendiri).17
Dalam Algemene Bepalingen van Administratief Recht, pengertian
delegasi yaitu “… Te verstaan de overdacht van die bevoegdheid door het
bestuurorgaan waaaraan deze is gegeven, aan een ander orgaan, dat de
overgedragen bevoegdheid als eigen bevoegdheid zal uitoefenen (pelimpahan
wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ
lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan itu sebagai
wewenangnya sendiri).18 Dengan demikian, pada delegasi terjadilah pelimpahan
15
Ridwan H.R, Op., Cit, hlm. 98.
16
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Setara Press, Malang, 2012,
hlm. 62.
17
Sadjijono, Op., Cit, hlm. 117.
18
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 103.
7
suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang
telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau
jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh
adanya suatu atribusi wewenang.19
Delegasi menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintahan kepada
badan atau pejabat yang lain (overdracht van een bevoegdheit van het ene
bestuursorgaan aan een ander). Setelah wewenang diserahkan maka pemberi
wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.20 Sedangkan, F.A.M. Stroink dan
J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa delegasi hanya dapat dilakukan apabila
badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui
atribusi. Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah
ada oleh organ yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada orang
lain.21
Dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) delegasi diartikan sebagai
pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk
mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri dalam arti, bahwa dalam
penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi (delegans) telah lepas dari
hukum atau dari tuntutan pihak ketiga, jika dalam penggunaan wewenang
pemerintahan itu menimbulkan pelanggaran atau kerugian pada pihak lain.22
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, menurut
Phlipus M. Hadjon, terdapat syarat-syarat sebagai berikut:23
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
19
Abdul Rokhim, Op., Cit, hlm, 3.
20
Lukman Hakim, Op., Cit, hlm. 117.
21
Ibid., hlm. 63.
22
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 129.
23
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 104.
8
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
9
dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lain dengan ketentuan:
C. Mandat
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat
dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang
memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. J.B.J.M. ten Berge
dan kawan-kawan mengatakan tentang mandat sebagai berikut: “mandaat:
rechtsfiguur waarbij door een overheidsorgaan een machtiging wordt verleen aan
iemand om onder naam en verantwoordelijkheid van het overheidsorgaan dat de
machtiging heft varleend, bepalde beslissingen te nemen.” (mandat: bentuk
hukum dimana organ pemerintah memberikan tugas pada seseorang untuk
mengambil keputusan tertentu atas nama dan tanggungjawab organ pemerintah
yang telah memberikan tugas itu).24
24
Aminuddin Ilmar, Op., Cit, hlm. 120.
10
Dalam Algemene Wet Bestuursrecht, mandat berarti “het door een ander
verlenen van de bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen” (pemberian
wewenang oleh organ pemerintah kepada organ lainnya untuk mengambil
keputusan atas namanya). Mandat menurut H.D. van Wijk dan Willem
Konijnenbelt, yaitu mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (een bestuursorgaan laat
zijn bevoegdheid namen hem uitoefenen door een ander).25
Berbeda dengan ‘delegasi’, pada ‘mandat’, mandan atau pemberi mandat
tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan,
dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya.
Mandan tetap bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. 26
Adapun unsur-unsur mandat dapat diuraikan sebagai berikut:27
a. Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja antara atasan dan
bawahan.
b. Tidak terjadi pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan
dalam arti yang diberi mandat hanya bertindak untuk dan atas nama yang
memberi mandat.
c. Pemberi mandat masih dapat menggunakan wewenang bilamana mandat
telah berakhir.
d. Pemberi mandat wajib untuk memberi instruksi (penjelasan) kepada yang
diserahi wewenang dan berhak untuk meminta penjelasan mengenai
pelaksanaan wewenang tersebut.
e. Tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tidak beralih dan tetap
berada pihak yang memberi mandat.
25
Abdul Rokhim, Op., Cit, hlm. 4.
26
Lukman Hakim, Op., Cit, hlm. 65.
27
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik RUU tentang Hubungan Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, hlm. 70.
11
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Pengaturan lebih lanjut mengenai mandat diatur dalam Pasal 14, yang mengatur:
12
yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada
aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
13
dalam melaksanakan tugas tersebut melakukan tindakan maladministasi.29
Selanjutnya, untuk memperjelas perbedaan antara delegasi dan mandat oleh
R.J.H.M. Huisman dalam bukunya Algemeen Bestuursrecht, sebagaimana dikutip
oleh Aminuddin Ilmar, perbedaannya adalah sebagai berikut:30
29
Ridwan HR, Op., Cit, hlm. 122-123.
30
Aminuddin Ilmar, Op., Cit, hlm. 131.
14
Sebuah kewenangan yang berbasis pada peraturan untuk melaksanakan
kewenangan setidaknya memiliki empat karakteristik utama sebagai berikut:31
15
Ketiga, aturan hierarkis yang jelas. Asas yang khusus mengesampingkan
yang umum (lex specialis derogate legi generale) ataupun asas kedudukan
peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah (lex
superiori derogate legi inferiori) memang merupakan asas yang perlu dalam
menjamin kepastian hukum, tetapi hierarki ini dapat membingungkan. Apalagi
ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut atau terhilangkan oleh aturan
hierarki yang baru.
32
Ibid.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kewenagan atau wewenang dapat ditemukan dalam peraturan perundang-
undanga yaitu dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Pada dasarnya
secara yuridis konsep wewenang selalu berkaitan dengan kekuasaan yang
berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara menggunakanya.
17
seseorang untuk mengambil keputusan tertentu atas nama dan
tanggungjawab organ pemerintah yang telah memberikan tugas itu.
B. Saran
Secara umum penyusun menyarankan bahwa tindakan pemerintah apapun
itu perlu dilaksanakan dengan maksimal dan dengan transparasi yang baik kepada
masyarakat. Secara Khusus penyusun menyarankan agar setiap Badan atau
Pejabat Administrasi Negara dalam melakukan tindakan pemerintahan
diwajibkan bersuaian dengan kewenangannya dan bertindak didasarkan pada
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
W.M. Herry Susilowati, Laporan Penelitian Tata Kelola Lembaga Penegak
Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, 2012.
20