32828-Article Text-125773-3-10-20210205
32828-Article Text-125773-3-10-20210205
1
p-ISSN : 1907 – 6037 e-ISSN : 2502 – 3594 DOI: http://dx.doi.org/10.24156/jikk.2021.14.1.76
1
Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran, Bandung 45363, Indonesia
*)
Email: mutiara13006@mail.unpad.ac.id
Abstrak
Mayoritas konsumen di Indonesia membeli produk mewah untuk meningkatkan kualitas diri dan status sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dimensi nilai finansial, fungsional, individual, dan sosial yang
muncul sebagai nilai dominan dalam mempersepsi nilai mewah. Penelitian ini menggunakan desain cross
sectional study dengan pendekatan kuantitatif. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 120
pengguna tas branded di Indonesia yang didapat menggunakan teknik snowball sampling. Hasil penelitian
disajikan secara deskriptif dan dikaji lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi produk mewah di
Indonesia berdasarkan nilai budaya. Hasil penelitian menunjukkan tiga budaya terbesar yang menggunakan tas
branded di Indonesia merupakan suku Jawa, Sunda, dan Minangkabau. Berdasarkan ketiga budaya tersebut,
nilai finansial merupakan nilai dominan dalam membentuk persepsi nilai mewah. Nilai dominan yang membentuk
persepsi nilai mewah memiliki pola serupa pada budaya Jawa dan Minangkabau. Budaya Jawa dan
Minangkabau menunjukkan nilai dominan pada nilai finansial yang diikuti dengan nilai fungsional, individual, dan
sosial secara berurutan. Perbedaan pola terlihat pada budaya Sunda dengan nilai dominan pada nilai finansial
yang diikuti dengan nilai sosial, fungsional, dan individual secara berurutan. Hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk membantu strategi pemasaran yang lebih spesifik dan sensitif terhadap kebutuhan konsumen.
Kata kunci: nilai budaya, perilaku konsumen, persepsi nilai mewah, psikologi konsumen, tas branded
Abstract
Majority of Indonesian consumers purchase luxury products to increase their self-quality and social status. This
study aimed to identify the financial, functional, individual, and social value dimension which emerge as dominant
value in perceiving luxury value. The participants involved in this study were 120 users of branded bags in
Indonesia obtained using the snowball sampling technique. Results were reported in descriptive manner and
further discussed regarding the consumption pattern of luxury goods in Indonesia based on cultural value. Result
showed that major ethnic groups in Indonesia that used branded bag were Javanese, Sundanese, and
Minangkabau. From these ethnic groups, financial dimension was the dominant consideration in forming luxury
value perception. Dominant value that shapes luxury value perception has similar pattern ini Javanese and
Minangkabau culture. Javanese and Minangkabau culture showed dominant value in financial value, followed by
functional, individual, and social value respectively. Difference in pattern were shown in Sundanese culture with
dominant value in financial value, followed by social, functional, and individual value respectively. Information
from results can be used to achieve a more specific and sensitive marketing strategy towards consumer’s needs.
Keywords: branded bag, consumer behavior, consumer psychology, cultural value, luxury value perception
USD dan berada pada tingkat ke-19 di antara menyatakan setuju bahwa produk-produk
merek dunia lainnya dari semua sektor mewah memengaruhi gaya hidup mereka
(Kapferer, 2016). Sebagai merek mewah paling secara keseluruhan.
bernilai di dunia, Louis Vuitton juga merupakan
salah satu merek mode mewah yang paling Dibalik kebersediaan konsumen untuk
digemari di Indonesia, sebagaimana dinyatakan membayar harga yang mahal saat membeli
oleh penelitian pasar barang mewah bahwa produk mewah, terdapat persepsi mengenai
perusahaan Moët Hennessy Louis Vuitton nilai mewah yang melatarbelakanginya. Merek
(LVMH) mendominasi sebesar 30 persen dari mewah bukan hanya menjual produk, namun
keseluruhan penjualan produk mewah (SRD, juga citra mewah yang menempel sebagai
2020). kepribadian dari nama merek tersebut
(Kapferer, 2016). Foushee, Remy, dan Schmidt
Indonesia telah menjadi prioritas bagi banyak (2015) menemukan bahwa pembentukan nilai
merek mewah dikarenakan perkembangan mewah pada perusahaan-perusahaan merek
pesat konsumen yang mampu membeli produk mewah separuhnya didapat dari pencapaian
mewah. Merujuk pada data BPS (2020), performa yang superior dan separuh lainnya
terdapat peningkatan pesat jumlah penduduk didapat dari membentuk persepsi konsumen.
dengan pendapatan kelas menengah. Selain Selain melalui strategi pemasaran tradisional,
itu, data pendapatan dari penjualan produk saat ini pemasaran dilakukan secara digital.
mewah di Indonesia mencapai 2.035.000.000 Aktivitas ini khususnya memengaruhi banyak
USD (SRD, 2020). Perkembangan ekonomi populasi muda yang memiliki presensi daring
kapitalis yang cepat di Indonesia menjadikan kuat (Buchanan et al., 2018). Populasi muda di
gengsi dan status suatu nilai yang bergantung Indonesia dapat sangat mudah terpengaruh
sepenuhnya pada gaya hidup seseorang oleh mimpi-mimpi yang diciptakan oleh media
berikut pola konsumsinya. Seseorang membeli sehingga mereka rela mengerahkan energi dan
dan mengonsumsi yang dipercayai bernilai uang untuk menggunakan merek ternama.
tinggi sehingga ini menjadi salah satu Persepsi merupakan hal yang berperan penting
pendorong keputusan membeli. Dalam dalam munculnya perilaku seseorang.
mengonsumsi produk yang digunakan sehari- Kebutuhan seseorang akan produk mewah
hari, umumnya harga yang bersedia dibayar tercipta dari persepsi mengenai nilai suatu
disesuaikan dengan yang diperoleh. Namun, produk mewah atau disebut juga Luxury Value
hal ini sedikit berbeda dengan produk mewah. Perception (LVP). LVP terbentuk dari empat
Saat membeli produk mewah dengan harga dimensi nilai yaitu dimensi nilai finansial,
yang tinggi, konsumen tidak hanya fungsional, individual, dan sosial (Wiedmann,
mendapatkan kegunaannya namun juga Hennigs, & Siebels, 2009). Dimensi nilai
kepuasan pribadi dan status sosial (Heine, finansial ditunjukkan dengan hal-hal yang
2012). Selain fungsi, merek mewah juga berkaitan dengan moneter dari suatu produk
menjual hedonisme, gaya, pengakuan, dan seni seperti harga. Dimensi nilai fungsional
(Hagtvedt & Patrick, 2009) dari barang yang berkaitan dengan kegunaan dari produk itu
diproduksinya. Penelitian yang dilakukan oleh sendiri. Dimensi nilai individual ditunjukkan
Shukla (2015) terhadap 900 konsumen produk dengan kesesuaian produk dengan diri
mewah menunjukkan bahwa mayoritas konsumen. Dimensi sosial ditunjukkan dengan
konsumen di Indonesia membeli produk mewah kebutuhan untuk menyesuaikan diri dan
untuk meningkatkan kualitas diri melalui memperoleh posisi di lingkungan.
perilaku konsumsi.
Penggunaan sumber daya material dengan
Selain itu, konsumen produk mewah di persepsi akan suatu tingkatan tertentu dapat
Indonesia juga menikmati pengalaman membeli membentuk kelas sosial (Kraus et al., &
produk tersebut karena terkadang dianggap Keltner, 2012). Penggunaan produk mewah
mampu menjadi distraksi dari permasalahan dalam hal ini dapat membantu seseorang untuk
hidup mereka. Penelitian Asprilia (2017) masuk ke dalam kelas sosial tertentu. Lebih
terhadap 225 orang pengguna produk mode lanjut, membentuk suatu kelas dan gaya hidup
mewah di wilayah Jakarta dan Bandung bukan hanya bergantung pada pribadi namun
mengungkapkan, alasan utama konsumen juga pada lingkungan sehingga tercipta
membeli dan menggunakan barang mewah di identitas yang kolektif. Masyarakat Indonesia
antaranya adalah karena produk nyaman menunjukkan kesadaran berkelas, terutama
digunakan, terdapat perasaan berbeda saat yang ditentukan oleh keanggotaan pada suatu
menggunakan produk, dan terdapat perasaan kelompok dengan gaya hidup tertentu (Ansori,
superior ketika menggunakan produk mewah. 2009). Adanya kesadaran sosial pada
Selain itu, para konsumen tersebut juga masyarakat Indonesia terkait esensi suatu
78 ASPRILIA & HAMI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
merek mewah, informasi demografi, dan keputusan untuk membeli (Mentari & Armia,
psikografik berperan penting dalam 2016). Pada penelitian Ghoni dan Bodroastuti
menentukan perilaku mengonsumsi suatu (2012), Mayasari dan Viadi (2017), serta
barang (Mullen & Johnson, 2013). Sebagai Santoso dan Purwanti (2013) ditemukan bahwa
contoh, konsumen di India yang perilaku faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis
konsumsinya sangat dipengaruhi oleh pendapat secara signifikan memiliki pengaruh terhadap
lingkungan memiliki perbedaan nilai dengan perilaku konsumen. Pentingnya pengaruh faktor
konsumen di Indonesia yang meskipun demografi yang meliputi budaya, terutama di
menganut nilai kolektivis, perilaku konsumsinya Indonesia dengan keberagaman budaya yang
tetap lebih banyak didasarkan pada kepuasan luas, menjadikan pembahasan kontribusi
diri sendiri dibandingkan dengan pendapat keragaman budaya terhadap pembentukan
lingkungan (Shukla, 2015). LVP atau pola konsumsi produk mewah di
Indonesia suatu topik yang penting dalam
Yakup, Mucahit, dan Reyhan (2011) upaha memperoleh gambaran LVP konsumen
menjelaskan bahwa dalam membuat keputusan di Indonesia secara mendalam. Penelitian ini
konsumsi, faktor budaya yang meliputi menjadi menarik dan berbeda dibandingkan
kepercayaan dan tradisi memiliki posisi penelitian mengenai LVP lainnya karena belum
signifikan, kemudian diikuti dengan faktor ada yang secara spesifik menekankan
lingkungan meliputi teman dan kelompok sosial. pembahasan akan nilai yang dianut oleh suatu
Dalam menentukan perilaku konsumsi, budaya tertentu di Indonesia terkait pola
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan persepsi terhadap produk mewah yang
faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal ditemukan, khususnya dalam penelitian ini akan
yang menentukan keinginan dan perilaku dibahas dalam konteks budaya Jawa, Sunda,
konsumen yang paling mendasar adalah dan Minangkabau.
budaya (Budiman, 1997). Budaya dapat
memengaruhi penilaian konsumen terhadap Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
suatu produk sehingga penting untuk dimensi nilai finansial, fungsional, individual,
memperhatikan faktor demografi tersebut dan sosial yang muncul sebagai nilai dominan
dalam pembentukan persepsi nilai mewah. dalam pembentukan LVP. Data tersebut
Budaya memiliki pengaruh terhadap cara kemudian akan dikaji berdasarkan nilai budaya
berpikir karena sifatnya yang menyeluruh, dari penggunanya. Melalui penelitian ini,
misalnya suku tertentu menyukai cita rasa diharapkan dapat diperoleh perbedaan pola
manis atau pedas sehingga menentukan dasar dan alasan individual dalam konsumsi
keputusan memilih makanan dan batasan produk mewah pada konsumen dengan budaya
norma yang dibuatnya (Budiman, 1997). yang berbeda di Indonesia.
Secara tidak disadari, budaya yang tidak
secara langsung mengintervensi perilaku METODE
konsumsi seseorang merupakan faktor paling
dasar yang menentukan keinginan dan Penelitian ini menggunakan metode non-
pemuasan kebutuhan konsumen. eksperimental dengan desain cross-sectional
study. Pengambilan data dilakukan secara
Asprilia (2017) serta Candra dan Abadi (2018) daring pada akhir tahun 2017. Populasi pada
menemukan hasil serupa terkait pembentukan penelitian ini adalah pengguna tas branded
LVP. Persepsi nilai finansial dan fungsional dengan karakteristik pernah menggunakan dan
merupakan persepsi nilai dominan pada memiliki tas branded asli. Sampel diperoleh
pengguna produk mewah di Indonesia, dengan menggunakan teknik snowball
sedangkan persepsi nilai individual dan sosial sampling. Teknik tersebut dipilih dengan
tidak memiliki pengaruh yang signifikan mempertimbangkan jangkauan unit populasi
terhadap intensi membeli produk mode mewah. yang sulit diidentifikasi dan tidak tersedia data
Berdasarkan penelitian tersebut, telah diperoleh lengkap mengenai anggota populasi. Melalui
peranan masing-masing dimensi nilai terhadap teknik sampling tersebut, sampel dijaring
LVP pada pengguna produk mewah secara melalui koneksi dan komunitas pengguna tas
umum. Meski demikian, hasil penelitian masih branded.
perlu dikaitkan lebih lanjut dengan faktor
demografi ataupun psikografi yang dinyatakan Penelitian dilakukan pada 120 orang pengguna
memiliki kontribusi signifikan terhadap perilaku tas branded. Sebelum pengisian kuesioner,
konsumen. Beberapa penelitian menunjukkan partisipan telah menyatakan kesediaannya
bahwa faktor demografi memiliki pengaruh untuk berpartisipasi. Sumber data dalam
yang signifikan terhadap pembentukan LVP, penelitian ini merupakan sumber data primer
yang mana hal ini juga memengaruhi yang diperoleh melalui metode survei
Vol. 14, 2021 PERSEPSI NILAI MEWAH PADA KONSUMEN TAS BRANDED 79
30% 26%
23%
25%
18%
20%
12% 10%
15%
6% 6%
10%
5%
0%
Jawa Sunda Batak Betawi Minangkabau Lain-lain Tidak
menyebutkan
Gambar 1 Sebaran partisipan berdasarkan suku bangsa
Suku Bangsa. Berdasarkan data yang Dimensi Nilai Finansial. Dimensi nilai finansial
diperoleh, sebaran suku partisipan pada menggambarkan persepsi konsumen terhadap
penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Apabila nilai moneter dari produk seperti harga.
mengabaikan partisipan yang tidak Konsumen mempertimbangkan nilai yang
menyebutkan suku bangsanya, mayoritas mereka korbankan untuk memperoleh suatu
pengguna tas branded dalam penelitian ini produk memberikan imbalan yang sesuai.
berasal dari suku Jawa, Sunda, dan Seseorang dengan nilai dominan pada aspek
Minangkabau. Berdasarkan ketiga budaya finansial dapat mempersepsikan pembelian
mayoritas ini, data LVP selanjutnya dikaji produk mewah sebagai bentuk investasi yang
berdasarkan nilai budaya dari ketiga suku menjamin kualitas dengan harga tinggi. Jika
tersebut. melihat kelas sosial dari partisipan dengan nilai
dominan finansial, partisipan dengan
Luxury Value Perception (LVP) pendapatan sebesar delapan hingga dua puluh
juta rupiah per bulan menempati posisi tertinggi
Data yang diperoleh melalui kuesioner LVP (30%), sementara partisipan dengan
dianalisis dengan melakukan konversi data pendapatan di atas seratus juta rupiah per
mentah ke dalam weighted score pada setiap bulan menduduki posisi terendah (11,43%). Hal
dimensi sehingga skor pada masing-masing ini menunjukkan bahwa faktor finansial lebih
dimensi memiliki nilai yang setara satu dengan banyak membentuk LVP konsumen dengan
yang lain. Secara umum, kebanyakan pendapatan yang lebih terbatas. Jika melihat
partisipan pengguna tas merek branded di pada butir pengukuran dimensi nilai finansial,
Indonesia (61,10%) mempersepsikan dimensi partisipan memberikan nilai yang tinggi pada
nilai finansial sebagai nilai dominan yang butir pernyataan yang menyebutkan bahwa
membentuk LVP mereka terhadap suatu harga dari tas branded merupakan indikator
produk mewah (Gambar 2) yang mengacu dari kualitas tas tersebut.
pada aspek moneter dari produk tersebut.
Dimensi Nilai Fungsional. Dimensi nilai
fungsional menggambarkan persepsi
konsumen terhadap kebergunaan dasar dari
61,10% produk dan keuntungan menggunakan produk
80% tersebut, seperti kualitas yang didapatkan,
keunikan dari produk, kebergunaan, serta
ketahanan dari produk itu sendiri. Seseorang
60% dengan nilai dominan pada aspek fungsional
21,63% 8,19% 9,83% dapat mempersepsikan pembelian produk
mewah sebagai bentuk memenuhi
40% kebutuhannya, dalam hal ini bisa dalam aspek
mode ataupun fungsi tas. Jika melihat kelas
sosial dari partisipan dengan nilai dominan
20% fungsional, partisipan dengan pendapatan
sebesar dua puluh hingga lima puluh juta
0% rupiah per bulan menempati posisi tertinggi
(34,78%), dengan partisipan yang memiliki
Finansial Fungsional Individual Sosial pendapatan di atas seratus juta rupiah dan di
bawah delapan juta rupiah per bulan
Gambar 2 Persentase dimensi LVP menduduki posisi terendah (8,7%). Hal ini
Vol. 14, 2021 PERSEPSI NILAI MEWAH PADA KONSUMEN TAS BRANDED 81
dapat menunjukkan bahwa faktor fungsional Dimensi Nilai Sosial. Dimensi nilai sosial
lebih banyak membentuk LVP konsumen menggambarkan persepsi konsumen terhadap
dengan pendapatan menengah ke atas dan kesesuaian penggunaan produk mewah
bukan merupakan pembentuk nilai dominan dengan lingkungan sosialnya. Konsumen
pada konsumen dengan pendapatan lebih menggunakan produk mewah sebagai fungsi
rendah ataupun sangat tinggi. Jika melihat sosial yang membuat mereka mendapatkan
pada butir pengukuran dimensi nilai fungsional, keuntungan dari kelompok sosialnya saat
butir- butir yang diberikan nilai lebih tinggi oleh mengonsumsi produk. Seseorang dengan nilai
partisipan menyebutkan bahwa kualitas dan dominan pada aspek sosial mempersepsikan
ketahanan dari tas branded merupakan hal pembelian produk mewah sebagai bentuk
yang membuat konsumen tertarik untuk pemenuhan kebutuhan sosial melalui
menggunakan tas tersebut. pembelian produk mewah yang memberikan
mereka nilai bergengsi. Jika melihat kelas
Dimensi Nilai Individual. Dimensi ini sosial dari partisipan dengan nilai dominan
menggambarkan persepsi konsumen terhadap sosial, partisipan dengan pendapatan sebesar
kesesuaian produk mewah dengan diri mereka delapan hingga dua puluh juta rupiah per bulan
sebagai individu. Konsumen menempati posisi tertinggi (33,33%), sementara
mempertimbangkan orientasi personal dari partisipan yang memiliki pendapatan di atas
konsumsi barang mewah dan lebih mengarah seratus juta rupiah per bulan sama sekali tidak
pada pandangan personal seperti materialisme. menunjukkan dimensi nilai sosial sebagai nilai
Seseorang dengan nilai dominan pada aspek dominan dalam membentuk LVP. Hal ini dapat
individual dapat mempersepsikan pembelian menunjukkan bahwa faktor sosial lebih banyak
produk mewah sebagai bentuk pemenuhan membentuk LVP konsumen dengan
kebutuhan personal yang disesuaikan dengan pendapatan terbatas dan bukan merupakan
nilai-nilai pribadi yang dipegang. pembentuk nilai dominan pada konsumen
dengan pendapatan sangat tinggi. Jika melihat
Jika melihat kelas sosial dari partisipan dengan pada butir pengukuran dimensi nilai sosial,
nilai dominan individual, partisipan dengan partisipan memberikan nilai yang tinggi pada
pendapatan sebesar delapan juta hingga dua butir yang menyebutkan bahwa menggunakan
puluh juta rupiah per bulan menduduki posisi tas branded memberikan gengsi dan nilai lebih
tertinggi (57,14%). Data pada dimensi nilai di lingkungan tempat partisipan berada.
individual ini menunjukkan bahwa faktor
individual dominan tersebar di berbagai kelas Luxury Value Perception pada Suku Jawa,
sosial dalam membentuk LVP pada konsumen. Sunda, dan Minangkabau
Jika melihat pada butir pengukuran dimensi
nilai fungsional, butir- butir yang diberikan nilai Penelitian ini melihat pola dimensi nilai yang
lebih tinggi oleh partisipan menyebutkan bahwa dominan dalam pembentukan LVP berdasarkan
muncul perasaan bahagia ketika partisipan nilai budaya pada tiga suku bangsa paling
menggunakan tas branded. dominan dari pengguna tas branded yaitu suku
Jawa, Sunda, dan Minangkabau.
Gambar 3 Persentase dimensi nilai dominan LVP partisipan berdasarkan suku bangsa
82 ASPRILIA & HAMI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Cara memperoleh dimensi nilai dominan sama Faktor ekonomi dapat menentukan kelas sosial
dengan cara memperoleh dimensi nilai seseorang, yang mana melibatkan gaya hidup
dominan pada data secara umum, yaitu dengan dalam hierarki sosial yang berbeda. Dalam hal
memberikan ranking dimensi dari weighted ini, pendapatan memiliki kaitan yang erat
score yang memiliki nilai tertinggi pada setiap dengan pengeluaran seseorang (Am &
partisipan. Dimensi nilai dengan nilai tertinggi Simanjuntak, 2020). Bagi kalangan menengah
dianggap sebagai nilai dominan. Pada Gambar ke atas, keputusan membeli dipengaruhi oleh
3 ditunjukkan dimensi nilai dominan yang nilai pribadi dan sosial (Kautish, Khare, &
membentuk LVP pada suku Jawa, Sunda, dan Sharma, 2020). Selain dilihat dari pendapatan,
Minangkabau. Pola dimensi nilai dominan kelas sosial seseorang juga dapat dicerminkan
hampir mirip antar budaya, terutama budaya oleh tingkat pendidikannya. Konsumen dengan
Jawa dan Minangkabau. Pada budaya Jawa tingkat pendidikan semakin tinggi umumnya
dan Minangkabau, nilai finansial merupakan semakin terdorong untuk bertindak dengan
dimensi nilai dominan tertinggi dan sosial kesadaran yang lebih baik saat membuat
merupakan dimensi nilai dominan terendah. keputusan konsumsi (Akpinar, Aykin, Sayin, &
Sementara itu, pola dimensi nilai dominan Ozkan, 2009) agar dapat memenuhi apa yang
terlihat agak berbeda pada budaya Sunda dirasa menjadi kebutuhannya. Pada konsumen
dimana nilai finansial sangat menonjol dan nilai dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
individual berada pada posisi terendah. keputusan membeli lebih didasari oleh
kesesuaian harga dan kegunaan dari barang
PEMBAHASAN (Asprilia, 2017).
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa Pola nilai dominan pada pengguna tas branded
dimensi nilai dominan yang membentuk LVP di Indonesia secara umum juga hampir serupa
pada pengguna tas branded di Indonesia ketika data dilihat secara lebih spesifik
merupakan dimensi nilai finansial, sementara berdasarkan beberapa suku bangsa di
dimensi nilai pada urutan terendah merupakan Indonesia, yaitu Jawa, Sunda, dan
dimensi nilai individual. Secara umum, data ini Minangkabau. Ketiga suku bangsa tersebut
menunjukkan bahwa pola konsumsi produk dirasa cukup representatif untuk
mewah di Indonesia kebanyakan didasari oleh menggambarkan penduduk di Indonesia
seberapa besar keuntungan yang didapatkan apabila melihat data sensus pada tahun 2010.
dari mengonsumsi produk dengan harga yang Suku Jawa merupakan suku dengan jumlah
dibayarkan. Sebaliknya, kesesuaian nilai terbesar di Indonesia, diikuti dengan suku
barang dengan nilai-nilai personal dari Sunda (BPS, 2012). Suku Jawa dan
penggunanya di Indonesia kurang menjadi Minangkabau menunjukkan pola nilai dominan
dasar seseorang mempersepsikan LVP dari yang hampir sama dan sedikit perbedaan pada
suatu produk. Nilai di Indonesia ini sesuai suku Sunda.
dengan nilai yang mendasari pembelian produk
mewah di Asia dimana konsumen produk Lebih lanjut, pola yang muncul pada suku
mewah di Asia lebih sadar merek dalam Sunda dapat diinterpretasikan serupa dengan
membeli produk mewah apabila dibandingkan karakteristik konsumen produk mewah di Asia
dengan konsumen Australia yang lebih yang utamanya menentukan keputusan
mengacu pada nilai individual (Nayeem, 2012). pembelian selain berdasarkan kesadaran akan
merek yang dapat direpresentasikan oleh
Konsumen yang sadar merek seperti konsumen dimensi nilai finansial, namun juga dipengaruhi
di Indonesia lebih cenderung membeli produk oleh pendapat bersama dari lingkungan sosial
mewah dari merek-merek yang sudah seperti keluarga atau teman (Forsythe, 1991)
terpercaya dan memiliki harga yang umumnya yang dalam LVP dapat direpresentasikan oleh
lebih mahal. Hal ini dikarenakan produk yang dimensi nilai sosial. Hasil ini didukung dengan
sudah terkenal dapat dijadikan acuan atau penemuan Auf, Meddour, Saoula, dan Majid
indikator dari kualitas produk yang ditawarkan (2018) bahwa keputusan konsumen untuk
oleh merek tersebut (Forsythe, 1991). Status membeli berhubungan langsung dengan
yang dimiliki suatu merek telah terbukti persepsi nilai budayanya.
menjembatani konsumen yang sadar merek
dengan kesediaan mereka untuk membayar Pada suku Jawa, nilai-nilai luhur dalam
harga premium untuk suatu produk (O’Cass & budayanya bersumber pada Serat Piwulang
Siahtiri, 2014). Di antara faktor yang (Mumfangati, 2014) yang berisi (1) hidup
memengaruhi perilaku membeli konsumen, sederhana dan melakukan apa yang disenangi;
salah satu faktor pentingnya adalah faktor (2) kerja keras, hemat, dan mampu mengatur
ekonomi (Ramya & Ali, 2016). uang; dan (3) meningkatkan ilmu pengetahuan
Vol. 14, 2021 PERSEPSI NILAI MEWAH PADA KONSUMEN TAS BRANDED 83
dan keterampilan. Nilai-nilai tersebut meliputi konsumen bersuku Sunda dengan nilai-nilai
faktor psikologis, faktor ekonomi, dan faktor suku Sunda, mayoritas masyarakatnya
personal (Ramya & Ali, 2016) dalam mencerminkan nilai-nilai tanggung jawab dan
memengaruhi perilaku membeli konsumen. hemat ketika membeli barang yang dirasa
Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, sesuai dengan harga yang dibayarkan.
nilai dominan finansial sesuai dengan nilai Kekhasan yang ditemukan pada suku Sunda
mengatur uang. Nilai fungsional mencerminkan apabila dibandingkan dengan hasil pada suku
masyarakat Jawa yang lebih Jawa dan suku Minangkabau adalah pada nilai
mempertimbangkan kegunaan dari produk yang dominan sosial yang lebih tinggi.
dikonsumsi daripada faktor pemenuhan
kebutuhan psikologis dari suatu produk. Nilai Nilai dominan sosial mencerminkan bahwa
individual mencerminkan ekspresi individu suatu produk dipersepsikan mewah apabila
masyarakat Jawa untuk melakukan apa yang produk tersebut diakui di dalam kelompok
disenangi. Kekhasan dari data suku Jawa sosial mereka sebagai mencolok dan bergengsi
adalah nilai dominan sosial yang rendah. (Wiedmann et al., 2009). Peran dari status
Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai serat sendiri adalah untuk mengomunikasikan
piwulang, hal ini sesuai karena nilai-nilai informasi mengenai pemilik dari produk
tersebut tidak terlalu menekankan pentingnya tersebut dan hubungan sosialnya (O’Cass &
nilai sosial sebagaimana pada suku Sunda dan Siahtiri, 2014). Hal ini sesuai dengan
Minangkabau sehingga pada suku Jawa penekanan dalam suku Sunda mengenai
pengaruh sosial dan budaya dalam keputusan hubungan sosial yang dianggap penting,
membeli tidak memiliki peran yang terlalu namun tidak melupakan jati diri masing-masing
besar. Data pola komposisi dimensi nilai LVP anggotanya. Dengan nilai suku Sunda yang
pada konsumen suku Jawa mencerminkan cukup menekankan pada lingkungan sosial,
nilai-nilai yang dianut oleh budaya Jawa, yaitu penerimaan dan pengakuan sosial juga menjadi
dapat mengatur pendapatan dan pengeluaran penting sehingga hal ini menjadi suatu
yang seimbang (Budiyono & Feriandi, 2017). kebutuhan tersendiri ketika seorang anggota
menempatkan dirinya di lingkungan tersebut.
Apabila melihat pada suku Sunda, selain Kebutuhan ini kemudian tercermin dalam cara
didasari oleh nilai-nilai dari agama Islam, suku mereka mempersepsikan LVP yang sesuai
Sunda didasari oleh suatu pandangan utama dengan data dimensi nilai pembentuk LVP pada
(Suryani, 2011) yang berbunyi, “silih asah, silih suku Sunda, yaitu dimensi nilai sosial sebagai
asuh, silih asih.” Istilah ini menggarisbawahi nilai dominan setelah dimensi nilai finansial.
hubungan antar sesama manusia untuk saling Nilai ini digunakan sebagai dasar untuk
mengajari, saling membimbing, dan saling membangun dan menjaga hubungan sesama
mengasihi. Budaya Sunda menekankan masyarakat di dalam budaya Sunda (Hidayat &
pentingnya keharmonisan hubungan Hafiar, 2019).
bermasyarakat tanpa melupakan jati diri
masing-masing. Pandangan tersebut sangat Pada suku Minangkabau, kebudayaannya
terkait dengan faktor sosial dan budaya yang didasari oleh adat dan agama Islam. Dalam
memengaruhi perilaku membeli konsumen hubungan individu dengan kelompoknya,
sebagaimana dijelaskan Ramya dan Ali (2016). masyarakat Minang memiliki sifat dasar
Selain dua pandangan falsafah yang kepemilikan (Rahmat, 2016), yaitu individu
merupakan kearifan lokal suku Sunda di atas, merupakan milik bersama kelompoknya dan
suku Sunda juga memiliki nilai-nilai dasar yang kelompok adalah milik semua anggotanya.
banyak ditemui dalam peribahasa Sunda yang Suku Minangkabau menganut sifat-sifat yang
meliputi: (1) berhubungan dengan Tuhan; (2) dianggap ideal dalam menjalani hidup.
tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian;
(3) kejujuran; (4) hemat dan sopan santun; (5) Sifat yang pertama merupakan “Hiduik Baraka,
kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) Baukua jo Bajangko (Sola, 2020).” Istilah ini
percaya diri, kerja keras, kreatif, dan pantang memiliki arti “hidup berpikir, berukur, dan
menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) berjangka.” Maksud dari pernyataan ini adalah
baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai, untuk selalu memakai akal dalam bertindak,
dan persatuan (Kodariah & Gunardi, 2015). mempunyai rencana, dan perkiraan yang tepat.
Dengan menggunakan akal, seseorang akan
Nilai-nilai ini selain terkait dengan faktor sosial lebih waspada dan terencana serta terpikirkan
dan budaya sebagaimana dua pandangan di dengan matang dalam perilakunya ke depan.
atas, juga meliputi faktor personal dalam Nilai ini sesuai dengan faktor personal dan
memengaruhi keputusan membeli (Ramya & ekonomi yang memengaruhi perilaku membeli
Ali, 2016). Apabila mengaitkan data LVP konsumen (Ramya & Ali, 2016).
84 ASPRILIA & HAMI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Sifat yang kedua adalah “Baso basi, malu jo (Desyandri, 2015). Secara umum, baik suku
sopan” yang artinya “sopan santun dan etika Jawa, Sunda, maupun Minangkabau
dalam pergaulan.” Dalam adat Minang, budi menunjukkan kesesuaian cerminan pola
pekerti yang baik menjadi ukuran martabat dimensi nilai dominan LVP dengan nilai yang
seseorang. Sifat yang penuh sopan santun dan dianut masing-masing budaya.
beretika dalam pergaulan sehari-hari dianggap
dapat menjauhkan seseorang dari Perbedaan pola nilai dominan antar budaya
permasalahan. Sifat ini terkait dengan faktor yang ditemukan dari penelitian ini menguatkan
budaya yang memengaruhi perilaku membeli teori yang telah ada bahwa budaya merupakan
konsumen (Ramya & Ali, 2016). salah satu faktor dasar yang menentukan
keinginan dan perilaku konsumsi seseorang
Sifat-sifat lainnya yang menjadi watak orang (Ramya & Ali, 2016). Meski demikian, penelitian
Minangkabau adalah tenggang rasa, setia, adil, lebih lanjut dengan karakteristik sampel dan
hemat dan cermat, waspada, berani karena jenis produk mewah yang berbeda dibutuhkan
benar, arif-bijaksana-tanggap-sabar, rajin, dan untuk memastikan bahwa hasil penelitian ini
rendah hati (Amir, 2001). Apabila mengaitkan dapat digeneralisasikan terhadap seluruh
data LVP pada suku Minangkabau dengan konsumen produk mewah di Indonesia. Selain
beberapa watak ideal pada suku ini itu, penelitian lanjutan juga dapat
(menggunakan akal, hemat, dan cermat), dapat diselenggarakan dengan melakukan uji
dilihat keterkaitan tingginya dimensi finansial hubungan serta lebih lanjut membahas aspek
dan fungsional yang melatarbelakangi LVP demografi dan psikografik lainnya yang
pada suku Minangkabau. Nilai finansial mungkin memengaruhi persepsi konsumen
mengacu pada aspek moneter yang harus akan nilai mewah sehingga pembahasan dapat
ditukarkan dengan produk atau jasa, atau lebih elaboratif.
dengan kata lain seseorang harus menerima
sesuai dengan apa yang dibayarkannya SIMPULAN DAN SARAN
(Wiedmann et al., 2009), baik dalam bentuk
kualitas barang maupun kepuasan psikologis Dari penelitian ini ditemukan bahwa dimensi
lainnya. Nilai finansial yang menjadi nilai nilai yang mendominasi dalam pembentukan
dominan pada suku Minangkabau ini sesuai LVP pada suku Jawa, Sunda, dan
dengan dasar nilai budaya Minangkabau yang Minangkabau adalah nilai finansial, fungsional,
menekankan hemat dan cermat serta sosial, dan individual secara berurutan. Dalam
perencanaan matang (Suseno, 2016). nilai finansial sebagai nilai dominan, konsumen
tas branded di Indonesia menganggap bahwa
Nilai dominan individual juga cukup banyak harga merupakan indikator dari kualitas suatu
muncul sebagai pembentuk LVP suku barang dan hal ini menjadi faktor kuat dalam
Minangkabau. Nilai individual yang seseorang mempersepsikan LVP. Apabila
menyimbolkan ekspresi individu dapat terkait mengaitkan dengan nilai dari masing-masing
dengan watak orang Minang, yaitu berani budaya, perbedaan pola nilai dominan yang
karena benar. Berdasarkan nilai ini, suku muncul sesuai dengan nilai yang dipegang oleh
Minangkabau tidak takut untuk menunjukkan setiap suku.
dirinya selama tidak melanggar moral yang
berlaku. Dengan kuatnya dasar-dasar yang Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh
menjunjung tinggi rasa kepemilikan, praktisi serta pembuat kebijakan yang berkaitan
masyarakat Minang tidak terlalu menjunjung dengan kegiatan jual-beli atau pemasaran dan
tinggi pentingnya mendapatkan pengakuan bersinggungan dengan konsumen sebagai
secara sosial dengan cara menjadi menonjol strategi pemasaran yang spesifik dan sensitif
dalam komunitasnya. terhadap budaya tertentu. Dengan menerapkan
strategi pemasaran yang spesifik di setiap area
Nilai tenggang rasa juga melatarbelakangi sifat yang berbeda, konsumen dapat merasa lebih
orang Minang yang lebih memikirkan perasaan puas dengan pembelian produk dan penjualan
orang lain daripada berusaha mencapai suatu dapat ditingkatkan. Informasi ini utamanya
standar sosial tertentu untuk merasa lebih baik. dapat dimanfaatkan oleh pengusaha produk
Meski demikian, apabila dibandingkan dengan mode lokal yang ingin memasarkan produknya
suku Jawa, nilai dominan sosial pada suku di dalam negeri. Hasil penelitian juga dapat
Minangkabau masih lebih tinggi. Data ini sesuai berguna sebagai sumbangan teoritis dalam
dengan nilai-nilai pada suku Minangkabau yang bidang perilaku konsumen terkait hal-hal yang
masih lebih menekankan pada aspek sosial melatarbelakangi perilaku konsumen. Penelitian
serta mencerminkan keintiminan juga lebih lanjut dapat dilakukan terkait konsumsi
kedekatan dalam budaya Minangkabau atau persepsi terhadap barang mewah dengan
Vol. 14, 2021 PERSEPSI NILAI MEWAH PADA KONSUMEN TAS BRANDED 85
ruang lingkup yang lebih luas seperti poduk Kariippanon, K. (2018). The effects of
selain produk mode atau pada merek mewah digital marketing of unhealthy commodities
lain. Selain dalam aspek pemasaran, hasil on young people: A systematic review.
kajian terkait nilai budaya dapat menjadi Nutrients, 10(2), 148.
tambahan pengetahuan bagi konsumen agar doi:10.3390/nu10020148.
melakukan pembelian secara bijak dengan
menyadari faktor apa saja yang Budiman, S. (1997). Pengaruh faktor
melatarbelakangi keputusan mereka membeli. kebudayaan terhadap keputusan
Konsumen juga dapat lebih mempertimbangkan pembelian oleh konsumen. Bina Ekonomi,
nilai-nilai budaya yang mungkin memengaruhi 1(1), 36-42.
pola konsumsinya, terutama terhadap konsumsi doi:10.26593/be.v1i1.474.%25p.
produk mewah. Budiyono, & Feriandi, Y. A. (2017). Menggali
nilai nilai kearifan lokal Budaya Jawa
DAFTAR PUSTAKA sebagai sumber pendidikan karakter.
Madiun, ID: Universitas PGRI Madiun.
Akpinar, M. G., Aykin, S., Sayin, C., & Ozkan,
B. (2009). The role of demographic Candra, M., & Abadi, F. (2018). The influence
variables in purchasing decisions on fresh of value perceptions on purchase intention
fruit and vegetables. Journal of Food towards luxury fashion products in Jakarta.
Agriculture and Environment, 7(4), 106– Jurnal Bina Manajemen, 6(2), 157–176.
110.
Desyandri. (2015). Nilai-nilai edukatif lagu-lagu
Am, M. R., & Simanjuntak, M. (2020). Nilai dan Minang untuk membangun karakter
kontrol diri sebagai faktor pembentuk sikap peserta didik. Jurnal Pembangunan
dalam perilaku pembelian impulsif Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 3(2),
antargenerasi. Jurnal Ilmu Keluarga & 126-141. doi:10.21831/jppfa .v3i2.7566.
Konsumen, 13(3), 262–276.
doi:10.24156/jikk.2020.13.3.262. Forsythe, S. M. (1991). Effect of private,
designer, and national brand names on
Amir, M. S. (2001). Adat Minangkabau: Pola shoppers’ perception of apparel quality
dan tujuan hidup orang Minang. Jakarta, and price. Clothing and Textiles Research
ID: PT Mutiara Sumber Widya. Journal, 9(2), 1-6.
doi:10.1177/0887302X9100900201.
Ansori, M. (2009). Consumerism and the
emergence of a new middle class in Foushee, S. N., Remy, N., & Schmidt, J.
globalizing Indonesia. Explorations: A (2015). Creating value in fashion: How to
Graduate Student Journal of Southeast make the dream come true. Retrieved from
Asian Studies, 9(1), 87–97. https://www.mckinsey.com/business-
functions/marketing-and-sales/our-
Asprilia, M. T. (2017). Studi deskriptif mengenai insights/creating-value-in-fashion-how-to-
gambaran luxury value perception pada make-the-dream-come-true#.
pengguna tas merek Louis Vuitton
(Thesis). Bandung, ID: Universitas Ghoni, A., & Bodroastuti, T. (2012). Pengaruh
Padjadjaran. faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologi
terhadap perilaku konsumen: Studi pada
Auf, M. A. A., Meddour, H., Saoula, O., & Majid, pembelian rumah di perumahan Griya
A. H. (2018). Consumer buying behaviour: Utama Banjardowo Semarang. Jurnal
The roles of price, motivation, perceived Kajian Akuntansi dan Bisnis, 1(1). 1-23.
culture importance, and religious
orientation. Journal of Business and Retail Hagtvedt, H., & Patrick, V. (2009). The broad
Management Research, 12(4). embrace of luxury: Hedonic potential as a
doi:10.24052/JBRMR/V12IS04/ART-18. driver of brand extendibility. Journal of
Consumer Psychology, 19(4), 608–618.
[BPS] Badan Pusat Statistik. (2012). doi:10.1016/j.jcps.2009.05.007.
Kewarganegaraan Suku Bangsa Agama
dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Heine, K. (2012). Concept of luxury brands.
Indonesia. Jakarta, ID: BPS. Retrieved from
http://www.conceptofluxurybrands.com/con
[BPS] Badan Pusat Statistik. (2020). Laporan cept-of-luxury-%0Abrands/definition-of-
Bulanan Data Sosial Ekonomi Januari luxury-brands.
2020. Jakarta, ID: BPS.
Hidayat, D., & Hafiar, H. (2019). Nilai-nilai
Buchanan, L., Kelly, B., Yeatman, H., &
86 ASPRILIA & HAMI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Measuring perceptions of brand luxury. Yakup, D., Mucahit, C., & Reyhan, O. (2011).
Journal of Brand Management, 11(6), The impact of cultural factors on the
484–506. consumer buying behaviors examined
doi:10.1057/PALGRAVE.BM.2540194. through an impirical study. International
Journal of Business and Social Science,
Wiedmann, K.-P., Hennigs, N., & Siebels, A. 2(5), 109–114. doi:10.24297/
(2009). Value-based segmentation of jssr.v2i2.3108.
luxury consumption behavior. Psychology
& Marketing, 26(7), 625–651.
doi:10.1002/mar.20292.