1. JENIS PAJAK
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. warisan, harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit);
5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa.
6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
1
bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau Pajak
Penghasilan kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
2
b. Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah(PPNBM)
Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenai PPN Pada dasarnya semua barang dan jasa
merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga dikenai Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
1. Jenis Barang Yang Tidak Dikenai PPN.
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
meliputi :
minyak mentah (crude oil);
gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
panas bumi;
asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit,
gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir
dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit;
batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara; dan Pajak Pertambahan
Nilai
bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi :
beras
gabah;
jagung;
sagu;
kedelai;
garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
3
daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,
digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan,
atau dikemas; i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas;
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau
tidak dikemas; dan
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar .
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
2. Jenis Jasa Yang Tidak Dikenai Ppn
1). Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi :
4
jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;
dan
jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
3) Jasa pengiriman surat dengan perangko.
meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan
menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
4) Jasa keuangan,
meliputi:
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,
atau sarana lainnya;
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: • sewa
guna usaha dengan hak opsi; • anjak piutang; • usaha kartu kredit; dan/atau •
pembiayaan konsumen; d. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai,
termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
jasa penjaminan.
5) Jasa asuransi, merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi
jiwa, dan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.
6) Pajak Pertambahan Nilai kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang
asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
7) Jasa keagamaan,
meliputi:
a. Jasa pelayanan rumah ibadah;
b. Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
d. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
5
8. Jasa pendidikan,
meliputi :
6
c. Pajak Bumi Dan Bangunan(PBB)
Objek PBB Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”: Bumi: Permukaan bumi
(tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia
Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang, dll. Bangunan: Konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh: rumah
tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen,
pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam
renang, anjungan minyak lepas pantai, dll.
Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB Objek pajak yang tidak dikenakan PBB
adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti
asuhan, candi, dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal Ketentuan
Umum Yang Perlu Diketahui 01 seri PBB 2 2 3 balik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
d. Bea Materai (BM)
Objek Bea Meterai adalah Surat perjanjian Akta Notaris termasuk salinannya Akta PPAT
termasuk rangkap-rangkapnya Surat yang memuat jumlah Uang Surat berharga Dokumen alat
pembuktian di pengadilan Cek, Bilyet, Giro, Efek.
Bukan Objek Bea Meterai adalah Ijazah, Pembayaran dengan hubungan kerja, Bukti
penerimaan uang Negara Kuitansi untuk semua jenis pajak Dokumen tabungan Surat gadai
Tanda keuntungan atau bunga dari efek
e. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan
mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan lain-
lain. Namun demikian, pengaturan dalam peraturan daerah harus disesuaikan dengan
7
kebijakan yang termuat dalam UU atau Peraturan Pemerintah. Kebijakan pokok mengenai
BPHTB yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan Pendahuluan 05
(seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan),
baik pemindahan hak (seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, dan waris) maupun
pemberian hak baru.
b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB, seperti objek pajak yang diperoleh
perwakilan diplomatik dan konsulat, negara, badan atau perwakilan lembaga internasional,
konversi hak yang tidak merubah nama, wakaf, dan kepentingan ibadah. Khusus mengenai
badan atau perwakilan lembaga internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus
2010.
Keadilan merupakan asas yang menjadi substansi utama dalam pemungutan pajak di
samping anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya asas (keadilan)
tersebut dipegang teguh agar tercapainya sistem perpajakan yang baik. Akan tetapi prinsip
keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif. Meskipun demikian di dalam
hukum pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut : “Asas keadilan mengatakan bahwa
pajak itu harus adil dan merata”
8
negara berdasarkan pula kepada asas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan,
apakah dasar hukumnya maka ada kewajiban membayar pajak atau dengan kata lain atas
dasar apakah maka negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani
rakyatnya dengan apa yang disebut pajak. Karena itu sejak abad ke-18 timbul berbagai teori
guna memberi dasar penentuan keadilan (justification) kepada negara untuk memungut pajak
dari rakyatnya.
1) Teori Asuransi.
Menurut teori ini negara mempunyai tugas melindungi orang dan segala kepentingannya,
keselamatan dan keamanan jiwa serta harta bendanya. Maka untuk perlindungan tersebut
diperlukan pembayaran premi seperti asuransi, dan dalam hal ini adalah pembayaran pajak.
Atau pajak dianggap sebagai premi asuransi yang harus dibayar oleh masyarakat suatu
bangsa karena telah mendapat perlindungan dari negara.
2) Teori Kepentingan.
Teori ini menitikberatkan kepada pembagian beban pajak yang harus dipungut dari
masyarakat seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan kepada kepentingan orang
masing-maisng dalam tugas-tugas pemerintah, termasuk juga perlindungan atas harta benda
dan jiwa dari masing-masing orang tersebut. Orang yang banyak kepentingannya yang harus
dipenuhi oleh negara harus membayar pajak lebih besar, demikian pula sebaliknya apabila
9
kepentingan orang tersebut yang harus dipenuhi oleh negara sedikit akan membayar pajak
yang lebih kecil.
Menurut teori ini bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang
diberikan oleh negara kepada wargamya.untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang
harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati jasa-jasa pemerintah tersebut. Biaya-biaya
tersebut adalah dalam bentuk pajak yang harus dibayar oleh setiap orang penikmat jasa yang
diberikan oleh pemerintah. Tekanan pajak harus sama atas setiap orang dalam arti bahwa
pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang dan ukuran gaya pikul adalah selain
besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.
Berlawanan dengan ketiga teori diatas, teori ini tidak mengutamakan kepentingan negara di
atas kepentingan warganya. Teori ini berdasarkan atas paham bahwa karena sifat negara
maka timbullah hak-hak mutlak untuk memungut pajak (asas Organische Staatsleer). Hak
semacam ini telah diakui semenjak beberapa abad dan orang-orang selalu menginsyafnya
sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk
pembayaran pajak.
Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari masing-masing rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah
tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud
memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini megajarkan
bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan dalam pemungutan pajak, bukankepentingan individu bukan pula kepentingan
negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Sebagai pedoman untuk
menentukan terpenuhinya prinsip keadilan dalam perundang-undangan, menurut Adam Smith
harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut :
10
d) Economics Of Collection
Keempat pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith” atau sering juga
disebut “the four maxim”. Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang
berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dalam asas equality
ini tidak diperbolehkan suatu negaramelakukan diskriminasi di antra sesama wajib pajak.
Dalam keadaanyang sama, para wajib pajak harus diberlakukan pajak yang sama juga.
Sementara itu, asas equity/kepatutan, merupakan keadilan yang bersifa tkhusus yang
diterapkan pada suatu kasus tertentu.Keadilan mensyaratkan bahwa setiap sumbangan
Wajib Pajak untukpemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang
diminta.Keadilan dalam pemungutan pajak dibedakan menjadi dua, antara lain :
Keadilan Horizontal.
Keadilan Horizontal berarti beban pajak yang sama kepada WajiPajak yang
memperoleh penghasilan dengan jumlah tanggungan yang sama pula tanpa membedakan
jenis penghasilan atau sumberpenghasilan.
Keadilan Vertikal.
Keadilan Vertikal berarti pemungutan pajak adil. Jika wajib pajak dalam kondisi ekonomi
yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama.
b) Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang. UU Pajak yang
baik senantiasa dapat memberikan kepastian hokum kepada wajib pajak, kapan ia harus
membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek pajak dan berapa
besarnya pajak.
c) Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dipungut pada saat yang tepat,
yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang atau saat sedekat-dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
d). Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang pajak yang baru
para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif lebih kecil
dibandingkan dengan uang pajak yang masuk. Akomodasi prinsip keadilan di dalam
pembentukan undang-undang secara umum bukanlah monopoli ketentuan Hukum Pajak
11
belaka, lebih dari itu, prinsip tersebut juga harus melandasi setiap perumusan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas
perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu
dari lima asas material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana
dikemukakan oleh Van der Vlies. I.C van der Vliesdi mengatakan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.
o Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en
duitdelijke systematiek)
o Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
o Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
o Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel).
o Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de
individuale rechtsbedeling).
12
konsiderannya hanya untuk memberikan kemudahan, tetapi tidak menyebutkan untuk
menciptakan keadilan sebagai tujuan setiap hukum.
Pengenaan Pajak Penghasilan dengan tarif 1% dan bersifat final dapat menimbulkan
ketidak adilan, tetapi karena ini sudah menjadi ketentuan maka kita harus menganggap itulah
keadilan, dalam arti keadilan legalis atau keadilan yang ditetapkan dalam peraturan. Rochmat
Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti berpendapat bahwa setiap orang harus diperlakukan
secara adil, tidak boleh dibedakan yang satu dengan yang lain, dalam keadaan yang sama.
Dalam undang undang pajak, prinsip nondiskriminasi ini harus dipegang teguh. Apa yang
diartikan sama, harus ditentukan dalam undang-undang dan diberikan tolak ukurnya. Di
samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga dinilai
penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut Santoso Brotodihardjo : “hukum
pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini
diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus
dan wajib pajak”
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi, menurutnya , “agar
dapat terpenuhi asas keadilan, maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak
yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu- individu memiliki
hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak”. Untuk mengetahui pentingnya keadilan
dalam pemungutan pajak haruslah diketahui terlebih dahulu fungsi dan tujuan hukum itu
sendiri, seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Bahwa
hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan tujuan akhir dari hukum
melainkan lebih baik disebut fungsi hukum, sedangkan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan
dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan
falsafah hidup yang menjadi dasar hidup bermasyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada
keadilan.
Berdasarkan pendapat tersebut maka tujuan hukum positif di Indonesia adalah tujuan
bangsa Indonesia yang tercantum untuk memajukan dalam Pembukaan UUD, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Menurut Sudikno
Mertokusumo fungsi hukum adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia, caranya
dengan ditegakkan jika terjadi pelanggaran. Penegakan tersebut merubah norma hukum
13
menjadi nyata. Penegakkan hukum harus memperhatikan tiga unsur yaitu: Kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan. Dalam Pasal 23A UUD NKRI 1945 (amandemen) "Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Menurut A.M. Fatwa perubahan Pasal 23A karena sesuai dengan prinsip kedaulatan
rakyat, pemerintah tidak boleh memaksakan berlakunya ketentuan bersifat kewajiban
material yang mengikat dan membebani rakyat tanpa terlebih dahulu disetujui oleh rakyat itu
sendiri melalui wakil-wakilnya di DPR. Selain ketentuan perpajakan yang diatur dengan
undang-undang, rencana penerimaan perpajakan tiap tahunnya juga diatur dalam undang-
undang APBN. Dalam Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak memang
pelaksanaannya bisa dipaksakan, tetapi tetap harus adil, ukuran adil salah satunya dapat
diukur dengan jika aturan itu diatur dengan undang-undang karena undang-undang adalah
kesepakatan bersama antara rakyat selaku pemilik kedaulatan negara dengan pemerintah
sebagai penyelenggara pemerintahan. Ahli hukum lainnya, R. Otje Salman dalam bukunya
Ikhtisar Filsafat Hukum mengemukakan bahwa para pakar hukum membedakan keadilan
dalam enam macam yaitu, keadilan distributif, komutatif, vindikatif, kreatif, protektif, dan
legalis. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif, memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya, bukan
persamaan melainkan kesebandingan.
b. Keadilan komutatif, memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa
harus mengingat jasa perseorangan.
c. Keadilan vindikatif, memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih
sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.
d. Keadilan kreatif, memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif
dalam menghasilkan karya ciptanya.
e. Keadilan protektif, memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia,
sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenangwenang.
f. Keadilan legalis, keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang.
14
Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan
dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis,
sosiologis, dan yuridis.
Muara filosofis peraturan undang-undang adalah keadilan. Tetapi para ahli hukum
juga mendefinisikan keadilan legisme yaitu keadilan berdasarkan undang-undang, seperti PP
46 Tahun 2013 merupakan undang-undang organik yang merupakan amanat Undang-Undang
PPh, jadi PP 46 Tahun 2013 juga memenuhi keadilan legisme.
Sejarah pemungutan pajak pada umumnya secara singkat dapat diawali pada jaman
purbakala. Pada jaman itu orang menganggap sangat bijaksana dan berbudi luhur untuk
secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan kehidupan negaranya, seperti
halnyadengan pikiran rakyat dari negara Yunani purba. Pandangan seperti ini dianggap
sebagai pandangan yang baik sampai pada abad pertengahan yaitu antara tahun 476 Masehi,
tahun jatuhnya kerajaan Romawi Barat dan tahun 1492 yaitu tahun diketemukannya benua
Amerika, sehingga pungutan pajak secara paksa belum dikenal. Pengeluaran-pengeluaran
para raja pada waktu itu dibiayai dengan penghasilan dan kekayaan pribadi, bahkan
pengeluaran-pengeluaran bagi keperluan negara pun ditutup dengan penghasilan dan
kekayaan pribadi para raja.hanya dalam keadaan yang sangat mendesak sekali apabila
pengeluaran pengeluaran akan melebihi pendapatan pribadi raja, baru kemudian raja
menyampaikan permintaan kepada rakyat akan sumbangan berupa barang atau uang.
15
Permintaan raja seperti itu dalam Bahasa Belanda disebut “bede”. Lambat laun sifat
permintaan itu berubah menjadi suatu paksaan. Proses sifat paksaan tersebut dimulai setelah
kerajaan-kerajaan memperluas wilayahnya dengan cara menundukkan suku-suku bangsa lain,
karena rakyat yang berada dibawah kekuasaannya tanpa ada paksaan tidak akan memberikan
sumbangan untuk memelihara berlangsungnya negara. Pelaksanaan pemungutan pajak pada
waktu itu diserahkan kepada alat-alat bersenjata yang pada saat tertentu mendatangi pasar-
pasar atau menghadang pedagang-pedagang di persimpangan jalan untuk meminta sebagian
harta kekayaannya bagi keperluan pemeliharaan negara. Pemungutan pajak secara sewenang-
wenang tersebut dalam jaman modern sekarang sudah tidak pada tempatnya. Jaman sekarang
pelaksanaan pemungutan pajak harus didasarkan pada asas-asas dan norma-norma hukum,
dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal seperti :
1. Keadilan, dalam arti bahwa pungutan itu harus bersifat umum, merata dan
menurut kekuatan.
2. Elonomis dapat diterima, yakni pungutan itu tidak akan merusak sumber
sumber kemakmuran rakyat.
3. Dapat mencapai tujuannya, dalam arti pungutan itu jangan sampai
mengakibatkan adanya kemungkinan penyelundupan atau pengurangan hasil
karena tarifnya terlalu tinggi.
Hukum pajak dalam kebijakan di bidang perpajakan haus mengabdi kepada keadilan.
Keadilan inilah yang kita namakan asas pemungutan pajak yang termasuk dalam lapangan
filsafah hukum (Rechtfilosofich) di samping asas-asas lainnya seperti yurudis, ekonomis, dan
finansiil. Lepas dari kenyataan bahwa pada proses pembuatan peraturan perundang-undangan
pajak harus selalu memegang teguh asas keadilan sering kali juga dipersoalkan, yaitu apakah
pemungutan pajak yang dilakukan oleh suatu negara berdasarkan atas keadilan. Dari abad ke
abad selalu timbul pertanyaan di dalam benak banyak orang, apakah dasar hukum kewajiban
membayar pajak. Istilah lainnya adalah atas dasar apa negara seakan-akan memberi hak
kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan sebutan pajak.
Sesuai dengan tujuan hukum, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan hukum
pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. Persoalan keadilan ini
harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya,
maupun prakteknya sehari-hariinilah sendi pokok yang harus diperhatikan baik-baik oleh
setiap negara dalam melancarkan usahanya melakukan pemungutan pajak. Dengan demikian,
16
syarat mutlak bagi pembuat undang-undang pajak merupakan juga syarat mutlak bagi
aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakan hal tersebut merupakan
pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula. Sebaliknya menurut sejarah,
pemungutan pajak tidak selalu mengabdi kepada keadilan. Seperti pada jaman para raja, ada
suatu pemungutan pajak yang tidak terbatas tetapi tetap dirasakan adil pada waktu itu, tetapi
pada saat sekarang ini tidak demikian karena pemungutan pajak didasarkan pada peraturan
perundang-undangan agar dapat mencerminkan rasa keadilan. Contoh lainnya, pada jaman
dahulu suatu negara yang kalah dalam peperangan harus membayar sejumlah uang atau hasil
bumi setiap tahun kepada yang menaklukkannya, hal seperti ini pada waktu dahulu dianggap
adil, tetapi pada negara modern waktu sekarang ini hal tersebut dinilai tidak adil.
Menurut Charles Merriam E, seperti yng dikutip Satjipto Rahardjo, keadilan atau adil
akan terbayang apabila di dalam perumusannya haruslah mengandung beberapa unsur :
1. A system of understanding
17
Di Indonesia keadilan yang diikuti dalam pemungutan pajak adalah keadilan “umum
dan merata”. Karena kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan diskriminasi, baik dari
aspek social ekonomi, keyakinan, maupun status kewarganegaraan. Hal tersebut terlihat dari
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak adalah : “orang pribadi atau
badan yang menurut perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak tertentu”. Ketetapan Pasal 1
ayat (1) ini dikuatkan oleh penjelasan Pasal 16 B ayat (1) yang menegaskan bahwa salah satu
prinsip yang harus dipegang teguh dalam undang-undang pajak adalah diberlakukan dan
diterapkan perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus
dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya diskriminasi dalam pemungutan pajak. Keadilan dalam perpajakan memiliki tiga
dimensi, antara lain :
1. Keadilan Secara Vertikal, hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan
yang berbeda-beda. Secara umum pajak itu baik kalau pajak tersebut “progressief”, yaitu
persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan
tingkat pendapatannya. Pembebanan masih dapat diterima kalua dikenakan secara
proporsional, yaitu kalau persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak sama untuk
semua tingkatan pendapatan. Pajak tidak baik apabila pembebananya “regresif”,
maksudnya adalah persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak mengalami
penurunan dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan. Meskipun pandangan tersebut
diterima secara luas, tetapi terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa pajak
itu dinilai adil kalau bebannya proporsional atas pendapatan atau kekayaan. Apabila
dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, baik penyimpangan progresif atau
maupun regresif akan berakibat negatif.
18
3. Keadilan Secara Geografis, maksudnya pembebanan pajak harus adil antara penduduk
di berbagai daerah. Orang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena
mereka tinggal di suatu daerah tertentu seperti halnya kadang kadang terjadi pada
perbatasan kota. Dihubungkan dengan keadilan vertikal, horizontal dan geografis, maka
pemungutan pajak di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Wajib Pajak bernama X masih bujangan. Dalam tahun pajak 2004 mempunyai
penghasilan kena pajak sebesar Rp. 10.000.000,- ia akan dikenakan pajak penghasilan
dengan satu tarif pajak, ialah : Rp. 10.000.000,- x 5% = Rp. 500.000,-/ pajak peghasilan
b. Wajib Pajak bernama Y, masih bujangan, selama tahun pajak 2004 mempunyai
penghasilan kena pajak Rp. 30.000.000,-, selanjutnya yang bersangkutan akan dikenakan
pajak dengan dua tarif pajak penghasilan yaitu 5% dan 10%. Adapun tentang proses
penentuan besarnya pajak adalah sebagai berikut :
19
Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenai tarif yang lebih tinggi dari pada penyerahan kedua,
maupun penyerahan karena warisan kendaraan bermotor.
Sehubungan dengan ketentuan tarif tersebut, maka wajib pajak yang memiliki
Penghasilan Kena Pajak dengan jumlah yang sama (misalnya masing-masing Rp.
25.000.000) akan dikenakan presentase tarif pajak yang sama (keadilan horizontal) yaitu
masing-masing 5% x Rp. 25.000.000,- meskipun status wajib pajak berbeda (pegawai,
pedagang atau petani). Tetapi bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak lebih
banyak jumlahnya dari pada wajib pajak yang lain, maka dia akan dikenakan presentase tarif
pajak lebih dari satu macam (menggunakan tarif progresif atau keadilan vertikal). Keadilan
horizontal berlaku pula dalam pemungutan pajak daerah, seperti pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor yang tidak didasarkan atas status wajib pajak. Hal tersebut ditegaskan
dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 1 ayat (10) : “Pajak
Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak yang dipungut atas
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor”. Semua pemilik kendaraan bermotor
20
tanpa melihat statusnya (pria, wanita, usia, agama) setiap tahun akan dikenakan pajak
kendaraan bermotor.
Pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya didasarkan atas satu tempat
domisili wajib pajak tetapi didasarkan pada berbagai tempat domisili, sehingga wajib pajak
yang berdomisili di perkotaan, pedesaan, pegunungan, maupun di pantai apabila memenuhi
persyaratan peraturan perundng-undangan perpajakan akan dikenakan pajak. Semua wajib
pajak yang berdomisili di berbagai tempat di Indonesia terebut dibelakukan satu peraturan
perundang-undangan perpajakan yang sama. Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek
keadilan geografis dipergunakan juga sebagai salah satu pedoman pelaksanaan pemungutan
pajak selama ini (baik pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah). Dalam pembahasan
yang sama, menurut Prof. R. Mansury, menjelaskan bahwa dalam pemungutan pajak juga
harus mencakup aspek keadilan vertikal dan keadilan horizontal, dengan syarat-syarat
sebagai berikut :
c. Nett Income, yang menjadi ability to pay adalah jumlah neto setelah dikurangi semua
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.
d. Personal Exemption, untuk wajib pajak orang pribadi suatu pengurangan untuk
memelihara diri Wajib Pajak, dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
disebut PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak.
e. Equal Treatment For The Equals, jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi
penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa
membedakan jenis-jenis pengasilan atau sumber penghasilan.
21
2. Syarat Keadilan Vertikal
a. Unequal treatment for the unequals, yang membedakan besarnya tariff adalah jumlah
seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena
perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.
b. Progression, apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus
membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang prosentasenya lebih
besar Adil dalam peraturan perundang-undangan diantaranya adalah dengan mengenakan
pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
orang atau badan. Sedangkan adil dalam pelaksanaan adalah dengan memberi hak bagi
wajib pajak untuk mengajukan keberatan, banding maupun mengajukan permohonan
penundaan dalam pembayaran.
22