Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Guillain Barre Syndrome


2.1.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.7

2.1.2 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap
bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara
bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.2
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.2
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik.2
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa

2
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden
tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.2

2.1.3 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS
disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).3
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun3
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului
oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada
enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,
Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan
sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi
epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS.3

2.1.4 Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini
menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem

3
imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf
perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  Terdapat sejumlah teori mengenai
bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal
adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus
ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.3

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel

4
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan.  
Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.3
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.3
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. 10  Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan
berhenti dan pasien akan kembali pulih.3
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari
saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari
otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan
otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga
muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,

5
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer.3
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi
sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul
sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya
sendiri dinamai demyelinasi primer.3
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa
lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang
berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area
tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh
lebih cepat.4
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,
namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.4

6
2.1.5 Faktor Resiko
GBS dapat mempengaruhi semua kelompok usia, tetapi Anda berada di
risiko yang lebih besar jika:
- Seorang dewasa muda
- Seorang dewasa yang lebih tua
Guillain-Barre mungkin dipicu oleh:
- Paling sering, infeksi dengan campylobacter, jenis bakteri yang sering
ditemukan dalam makanan matang, khususnya unggas
- Operasi
- Virus Epstein-Barr
- Penyakit Hodgkin
- Mononucleosis
- HIV, virus penyebab AIDS
- Jarang, rabies atau imunisasi influenza.5

7
2.1.6 Gejala Klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat
ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi
mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.
Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial
diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan
20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Anak anak biasanya
menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak
untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi, terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya
merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah
bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan
untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan

8
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur
(blurred visions).

2.1.7 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan
pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun
bakteri.
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya
keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang
memanjang dan latensi distal yang memanjang .Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan

9
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS.
Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit . Biopsi
otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut
terlihat adanya denervation atrophy.

2.1.9 Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of


Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan :
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik :
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis :
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata

10
2.1.10 Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti
myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord
syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan
disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria,
diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen,
dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun
kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan
peningkatan sedangkan LCS normal.

2.1.11 Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien
sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
dan vasoaktive juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa. Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat
obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian
steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat
memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun
mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.

11
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari.
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk
mencegah terjadinya trombosis .

2.1.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.

2.1.13 Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali
timbul . 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan
beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

12

Anda mungkin juga menyukai