Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia Allah SWT. Tim penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah dengan judul Kedudukan Istihsan dan Istihsab. Sebuah makalah yang
ditunjukkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepaa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para pengikutnya
yang telah berjuang menegakkan ajaran agama islam dalam rangka menebar kemaslahatan
bagi alam semesta.
Sebagai landasan hukum islam, ushul fiqh menempati posisi yang sangat urgen dalam
struktur kajian keislaman. Karena itu, pembuatan makalah ini sebagai upaya untuk
mengetahui dan mengkaji Kedudukan Istihsan dan Istihsab.
Melalui makalah ini pembaca diharapkan dapat memahami tentang kedudukan-kedudukan
suatu istihsan dan istihsab. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah
keilmuan islam khususnya kedudukan istihsan dan istihsab serta semoga segala kebaikan
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini menjadi amal shaleh dan mendapat
ridho Allah SWT. Amiin.
PENDAHULUAN.
Latar Belakang.
Dewasa ini seiring dengan berkembanganya zaman banyak permasalahan -permasalahan
timbul yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW sehingga perlu dipecahkan dan
semuanya itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-hadits.Sumber-sumber hukum
(Mashadirul Ahkam) ada yang disepakati dan ada pula yangtidak disepakati. Ada sumber
pokok (Mashadir Ashliyah) yaitu Al-Qur’an dan As-SunnahRasul-Nya dan ada sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok yang disepakatioleh jumhur fuqaha (Mashadir
Thabi’iyah) yaitu: Ijma dan Qiyas. Adapula yang di ikhtilafioleh tokoh-tokoh ahli ijtihad
sendiri yaitu: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf,Saddudzari’ah, dan Madzhab
sahabi.Walaupun para fuqoha telah menentukan Ijma’ dan Qiyas sebagai metode
untukmenemukan hukum yang dipautkan pada sumber pokok (al-Qur’an dan al-Hadits)
namunpara tokoh ahli ijtihad juga menemukan metode lain yang tujuannya untuk
mendapatkanhukum yang baik dan benar berdasarkan sumber pokok dengan hukum yang
menyesuaikanperkembangan zaman karena seperti yang kita ketahui bahwasannya hukum-
hukum yangdihasilkan dari ijtihad bersifat relatif dan elastis.

B. rumusan masalah.
1. Pengertian istihsan dan istihsab.
2. Macam-macam istihsan dan istihab.
3. Dalil tentang istihsan dan istishab.

C. Tujuan penulisan.
1.Untuk mengetahui pengertian istihsan dan istishab.
2.Untuk mengetahui macam-macam istihsan dan istishab.
3. Untuk mengatui dalil keabsahan hokum.
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Istihsan dan Istishab.


1.  ISTIHSAN
a. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau menilai
sesuatu sebagai baik.  Sedangkan menururt istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum
yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil
syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut
sandaran istihsan. Secara terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih
Hanafi) menyatakan. “Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih
kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan
kemaslahatan umat manusia.”
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab
Khalaf, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada
ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu
adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan
pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpanagan itu.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung
dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang
dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena
tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
b.  Macam-macam Istihsan
Dari definisi-definisi diatas secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri
dari dua macam yaitu:
1.)    Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan
kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. 
Contohnya : air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa
minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena
sisa minuman tersebut telah tercampur dengan air liurnya, yaitu meng-qiyas-kan kepada
dagingya.
2.)   Istihsan Istitsna’i
Istihsan Istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.
Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat
dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut:
1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan
sunnah.
2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk
diamalkan.
4. Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf
yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
5. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).
Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu
masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada
ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya
kemudharatan.

c. Dasar Hukum Istihsan


Berdasarkan ayat al-Qur’an yaitu “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadis Rasulullah yakni Anas
r.a berkata “Rasulullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah lebih mudah
ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-
rukunnya”. (HR. Ibnu Bar)
Pendapat istihsan menurut Mazhab Hanafi berbeda dengan Mazhab Syafi’i. Menurut Mazhab
Hanafi istihsan ialah semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi’i istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫ احسنه‬X‫الذين يستمعون القول فيتبعون‬                             
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang
yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18).
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬                                                               
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah. Hadits Nabi saw:
‫ َرَأوْ ا َسيًِّئا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيٌِّئ‬ ‫فَ َما َرَأى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما‬.                           
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
2. ISTISHAB
a. Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab berarti ‫طلب الصحبة واستمرارها‬ yaitu meminta kebersamaan, atau
berlanjutnya kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya. Istishab menurut
bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.  Sedangkan menurut istilah ulama
ushul fiqh adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum itu.
Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
‫استبقاءالحكم الذ ى ثبت بد ليل فى الما ضى قا ئما فى الحا ل حتى يو جد د ليل يغير ه‬.
“Membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan
masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain yang
merubahnya”.
Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad Hukum
Islambememberikan defenisi tentang Istishab yaitu:
“Ketetapan masa lampau tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya,
ketentuan masa lampau tetap berlaku hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil
hukum baru yang mengubah kedudukan hukum lampau tersebut”.
Semua definisi yang dikemukakan oleh ulama diatas menuju pada kesamaan arti yang
didasari oleh tiga segi/aspek yaitu :
a.       Segi Waktu
b.       Segi ketepatan
c.       Segi dalil
Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang dan
mendatang.  Dari segi ketetapan ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan.  Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa lalu
merupakan kunci dari Istishab. Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan,
Istishab tidak berlaku lagi.
b.       Macam-macam Istishab

Secara umum Istishab dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :


1.      Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat.
2.      Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab kedalam tiga
macam yaitu :
1.      Istishab al-bara’at al-ashliyyat
2.      Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm batta yatsbuta khilafuh
3.      Istishab al-hal al-sabiqat.
Dalam rangka untuk memperjelas pembagian istishab secara umum seperti yang dikatakan
oleh Ali Hasab Allah, sebaliknya istilah tersebut disederhanakan sebagai berikut : Istishab
hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat menjadi Istishab akal dan Istishab hukm
syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib menjadi Istishab Syara’.[7]
Sedangkan menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1.      Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah
(boleh).  Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang
mu’amalat.  Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari
sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak
ada dalil yang melaranganya.  Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
... ‫هو الذي خلق لكم ما في االرض جميعا‬
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di  bumi untuk umat manusia dalam
pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi
kehidupan.  Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan perbuatan tersebut berbahaya
bagi manusia.

2.      Istishab al-baraah al-ashliyah


Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif
sampai ada dalil yang mengubah status itu.  Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat
pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya
bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti
yang jelas.  Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status
tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3.      Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya.  Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta
bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti
dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada
pihak lain.
4.      Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti   yang mengubahnya.  Misalnya: sifat hidup yang dimiliki
seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.[8]
      Di  dalam penerapan Istishab yang disepakati itu (1,2,3) terjadi perbedaan, yang
diantaranya dapat terlihat pada masalah-masalah berikut :
1.      Apabila seseorang dalam keadaan berwudhu’, kemudian ia ragu bahwa ia berhadas.  Menurut
Malik orang tersebut tidak boleh shalat sebelum ia berwudhu’ lagi.  Yang demikian
disebabkan bertentangan dua macam asal :
a.       Tetapnya sifat wudhu’ berdasarkan Istishab dan tidak bisa dihilangkan oleh syak.
b.      Bahwa tanggung jawabnya ialah melaksanakan kwajiban shalat.
      Dengan berpegang pada Istishab beban kewajiban shalat hanya bisa bebas apabila telah
dilaksanakan menurut tata caranya dengan wudhu yang tsabit secara yakin, sedang wudhu
orang tersebut berada dalam setatus ragu dan keraguan terhadap suci meniadakan syarat
sahalat.  Ulama’ selain Malik menetapkan orang tidi boleh shalat karena wudhu’nya tidak
hilang/batal.  Dalam pendapat ini, pendapat Imam Malik lebih berhati-hati dan lebih patut
diterima.
2.      Apabila seorang menjatuhkan talak kepada istriny, kemudian ia ragu apakah ia menjatuhkan
talak satu atau talak tiga.  Dalam kasus ini Jumhur Fuqaha berpendapat jatuh talah satu,
sedangkan Imam Malik mangatakan talak tiga, dengan alasan disini terjadi pertentangan dua
asal :
a.       Tetap halalnya (jatuh satu) sebelum tsabit berubahnya.  Disani terjadi kegu-raguan apakah
tsabit-nyayang mengubah itu yaitu talak.  Dari segi ini, maka tetap halal (jatuh satu).
b.      Bahwa talak bila dijatuhkan maka tsabit dengan yakin.  Tetapi, keraguan terjadi  apakah
tsabit rujuk atau tidak, sedangkan rujuk (jatuh satu) tidak tsabit dengan terjadinya keragu-
raguan.
      Dalam hal ini pendapat Jumhur lebih diterima karena kehalalan dalam masalah nikah
adalah diyakini dan tidak bisa hilang kecuali dengan yakin dan bukan ragu-ragu.  Tidak boleh
dikatakan bahwa asal dalam keharaman dengan sebab talak dan diragukan tentang kehalalan.
3.      Apabila seorang menjatuhkan talak kepada salah seorang istrinya kemudian ia ragu kepada
istri yang mana dijatuhkan talak itu.  Menurut Malikiyah jatuh talak kepada dua istrinya,
karena tsabitnya talak terjadi dengan yakin.  Maka talak itu terjadi dengan yakin terhadap
salah seorang istrinya sedangkan jalan untuk menentukan salah satunya tidak ada, maka
jatuhnya talak terhadap kedua istrinya berdasarkan Istishab dengan hukum talah yang tsabit
dengan yakin tadi.  Tetapi Jumhur Fuqaha menetapkan bahwa yang tsabit dengan yakin
adalah nikah, maka ia tidak hilang dengan sebab keraguan  tentang adanya talak yang
mencegah hukum akad nikah (hukum perkawinan) yang tsabit.
Dari kaidah-kaidah Istishab dan perbedaan Fuqaha dalam penerapannya, jelaslah bahwa :
1.      Istishab itu bukan dalil syara’ dan bukan sumber istidlal, tetapi hanyalah pengamalan
terhadap dalil-dalil yang sudah ada dan pengakuan terhadap hukum yang sudah tsabit yang
tak terdapat sesuatu yang mengubahnya.
2.      Istishab menjadi landasan kaidah yang ketiga seperti yang ditegaskan  oleh Ibn Hazmin yaitu
:
a.       Apa yang tsabit dengan yakin, tidak bisa hilang kecuali dengan yakin sepertinya.
b.      Apa yang tsabit halalnya , tidak menjadi haram kecuali dengan dalil yang merubahnya atau
dengan sesuatu yang mengubah sifatnya.
c.       Bahwa setiap yang tak ada dalil syara’, masih tetap berlaku menurut hukum asal.

 c.       Dasar Hukum Istishab


Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk
mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab
bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia
hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang
mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab.
d.       Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa
tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah  dijadikan landasan
hukum.  Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al-
washf.  Dalam hal ini ada dua pendapat :
1) Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat
dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun
dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.
2) Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya
berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan
hak yang baru. 

B.    Syarat dan Rukun Istihsan dan Istishab


1.      Syarat dan Rukun Istihsan
Dalam penetapan hukum Istihsan ini, para Ulama Fiqh menetapkan persayaratan sebagai
berikut:
a. Tidak boleh bertentangan dengan Maqasid Syariah, dalil-dalil kulli, dan juz’i yang
qath’i wurud dan dalalahnya, dari nash al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat rasional artinya harus ada penelitian dan
pembahasan, hingga yakin hal tersebut memberikan manfaat atau menolak
kemudaratan, bukan kemaslahatan yang dikira-kirakan.
c. Kemaslahatan tersebut bersifat umum
d. Pelaksanaanya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
2.      Syarat dan Rukun Istishab
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan istishab memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:
a) Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi
perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan
berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak
B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat perkawinan dengan A dan nelum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum
yang ditetapkan dengan Istishab.
b) Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang
mengubahnya.           
c) Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum
itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-
binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
d) Hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang
ditetapkan dengan ragu-ragu.
C.     Perbedaan Pendapat tentang Istihsan dan Istishab sebagai Sumber dan Metodologi
1. Kedudukan Istihsan sebagai Sumber dan Metodologi
Terdapat pebedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sabagai salah satu
metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah
dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yan kuat dalam menetapkan hukum
syara’. Alasan mereka adalah:
a. Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempatan dari umat
manusia , yaitu firman Allah dalam surat al Baqarah, 2: 185, yang berbunyi,
“....Allah mengendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu.....”
Dalam surat az Zumar, 39:55, Allah berfirman: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu...”
b. Rasulullah dalam riwayatnya Abdullah bin Mas’ud mengatakan: Sesuatu yang dipandang
baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
c. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yan
terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum dengan sesuai kaidah umum
dari qiyas adakalanya membawa kesusahan bagi umat manusia, sedangkan syari’at islam
ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia, Oleh sebab itu, apabila
seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum
atau qiyas tidak diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat
memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Ulama  Syafi’iyyah,
Zhahiriyyah. Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’ (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009). Alasan mereka,
sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah :
d. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau Sunnah) dan
pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula
qiyas.
e. Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-
Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang
dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah
sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4:59 Istihsan, menurut Imam al-Syafi’i tidak
termasuk dalam al-Quran atau Sunnah.
f. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja .
Firman Allah SWT pada surah al-Maidah (5): 49:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”

2. Kedudukan Istishab sebagai Sumber dan Metodologi


Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil
syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil.
Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab
bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus
untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama
sekali tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu
tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan
ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada,
mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia
tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah
dibatalkan.
Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa
istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada,
selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang
mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah
ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan.
Secara sederhana menurut para ulama ushul fiqih berbeda pendapat   tentang kuhujahan
istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
a.       Menurut ulama mutakalimin (ahli kalam) istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk
menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang harus pula
berdasarkan dalil.
b.      Menurut mayoritas ulama hanafiyah khususnya muta’akhirin (generasi belakangan)
istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelum dan
menganggap hukum itu tetap berlaku. Pada masa yang akan datang tetapi tidak bisa
menetapkan hukum yang akan ada.
c.       Ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zahiriyah dan syi’ah berpendapat
bahwa istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk mentapkan hukum yang sudah ada,
selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul
berkata  :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa “.  Yaitu mengetahui atas
suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. 
Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan  dan tradisi manusia
dalam segala pengelolaan  dan ketetapan mereka.  Maka barang siapa yang mengetahui
seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas
kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi
menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab. Ulama yang menerima dan ulama yang
menolaknya.  Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam
mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara
mereka.  Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil
yang mngubahnya.  Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.
Firman Allah SWT pada surah al-Maidah (5): 87 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

DAFTAR PUSTAKA

Effendi satria dkk.2005.ushul fiqih.jakarta:kencana

Suwarjin.2012.ushul fiqih.yogyakarta:teras

Syafe’I rachmat.1999.ilmu ushul fiqih:pustaka setia

www. alhafidzahsin.2013.kamus fiqih:Jakarta:amzah

Anda mungkin juga menyukai