Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH EPIDEMIOLOGI GIZI

DETERMINAN MASALAH STUNTING PADA REMAJA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

KUMALA DHITIYA P21119107


ARMIN FITRIANI FEBRIYANTI P21119105
SAGNA NADILA PUTRI P21119109

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linear yang diakibatkan oleh multifaktor yang
kemungkinan besar dapat mengganggu metabolisme. Stunting disebabkan kurangnya asupan
zat gizi yang berasal dari berbagai jenis pangan, termasuk susu. Stunting juga dapat
disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak sehat seperti minuman karbonasi yang
mengganggu proses metabolisme dalam tulang. Faktor lain seperti sosial ekonomi yang
berpengaruh terhadap kejadian stunting adalah pengeluaran pangan, pendidikan orang tua,
pendapatan orang tua, dan status pekerjaan orang tua (Astri LD et al, 2006; Riyadi H et al,
2006; Arnelia et al, 2010).

Stunting adalah suatu kondisi pada anak yang memiliki panjang atau tinggi badan kurang
jika dibandingkan dengan umurnya (Trihono, Atmarita, Tjandrarini, Irawati, Utami,
Tejayanti & Nurlinawati 2015; TNP2K 2017; dan Pusdatin Kemkes RI 2018). Kondisi ini
diukur dengan tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U)
dengan z-score < -2 Standar Deviasi yang dibandingkan dengan pertumbuhan anak dari
WHO (Pusdatin Kemkes RI 2018). Anak stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, sanitasi, gizi ibu saat hamil,
sakit yang dialami ketika bayi, dan kurangnya asupan gizi ketika bayi. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI (2018) mengungkapkan bahwa balita stunting di masa
yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal.

Kejadian stunting akan terus berlanjut dari usia masa balita sampai usia remaja, jika tidak
ada perbaikan gizi yang baik. Data dari Kementerian Kesehatan RI (2018) menyebutkan
stunting pada remaja umur 16-18 tahun di Indonesia sebesar 37% pada tahun 2017. Kasus
remaja stunting di Jawa Timur sendiri mencapai 37,1%. Di Kota Surabaya, prevalensi
stunting tahun 2015 adalah 19,3%, kemudian naik menjadi 28,57% (2018) atau memiliki
selisih 9,27%. Fakta itu tentu menjadi permasalahan bagi masyarakat Surabaya. Sebagai ibu
kota Jawa Timur, Surabaya merupakan pusat dari seluruh kegiatan sosial dan ekonomi
warga dalam dan luar Jawa Timur. Heterogenitas dan banyaknya orang menggantungkan
hidup di Ibu Kota Jawa Timur karena didukung oleh berbagai macam fasilitas dan mobilitas
yang mudah, Surabaya masih memiliki permasalahan gizi yang tidak dapat dihindarkan,
seperti stunting (Damayanti, Muniroh & Farapti 2016).

Usia remaja yang semakin meningkat menjadi alasan penting memperhatikan kelompok ini,
karena akan diikuti dengan peningkatan permasalahan gizi dan kesehatan pada kelompok
usia selanjutnya. Masa remaja merupakan perode pertumbuhan dan pematangan yang cepat
dalam perkembangan manusia, dimana status gizi remaja putri, calon ibu, berkontribusi
signifiikan terhadap status gizi masyarakat. Data WHO menunjukkan sekitar satu per lima
dari penduduk dunia adalah remaja yang berumur 10-19 tahun, dan sekitar 900 juta berada
di negara berkembang dan berkategori LMICs (WHO, 2008).

Stunting sangat terkait dengan gangguan perkembangan intelektual selama masa kanak-
kanak, dan perawakan pendek pada masa dewasa, hasil ini menekankan perlunya
pencegahan retardasi pertumbuhan melalui promosi dari perawatan pra kehamilan dan
menyusui, serta pengendalian penyakit infeksi 2 (Adair dan Guilkey, 1997). Stunting pada
remaja merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang
dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Semba et al,
2008). Banyak penyebab terjadinya stunting diantaranya adalah defisiensi mikronutrien.
Salah satu mikronutrien yang mempengaruhi status gizi (stunting) yaitu zat besi (Fe).

Negara-negara dengan kategori low-income and middle-income countries (LMICs) masih


menunjukkan tren stunting yang meningkat signifikan meskipun ada kemajuan yang dicapai
dari pengurangan kemiskinan. Peningkatan gizi kurang disertai dengan kelebihan berat
badan dan obesitas, besarnya masalah stunting dengan banyaknya laporan penelitian yang
ada, belum mampu menekan masalah gizi ini. Untuk itu penting bagi peneliti dan 4 pembuat
kebijakan menilai lebih lanjut tentang studi stunting secara menyeluruh dengan melihat
determinan atau faktor-faktor yang menyebabkan stunting masing-masing negara sehingga
lebih tepat menangani kejadian stunting pada remaja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari stunting pada remaja ?
2. Apa faktor penyebab terjadinya stunting pada remaja?
3. Bagaimana ciri dan dampak stunting pada remaja ?
4. Apa saja upaya pencegahan stunting pada remaja ?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan makalah ini dibuat adalah :
1. Untuk mengetahui definisi dari stunting pada remaja
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya stunting pada remaja
3. Untuk mengetahui ciri dan dampak stunting pada remaja
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan stunting pada remaja
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Stunting Pada Remaja


Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita karena kekurangan gizi kronis pada 1000
Hari Pertama Kehidupan (HPK). Hal ini salah satunya disebabkan oleh kualitas kesehatan
anak-anak dan remaja yang kurang mendapatkan asupan gizi seimbang juga remaja putri
yang mengalami anemia karena kekurangan zat besi. Masa remaja adalah masa pertumbuhan
dan perkembangan pada fisik dan mental serta aktivitas yang menyebabkan meningkatnya
kebutuhan asupan zat-zat gizi (Husaini, 2006). Perubahan fisik karena pertumbuhan yang
terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya. Ketidak cukupan kebutuhan
asupan zat-zat gizi pada remaja mengakibatkan timbulnya masalah-masalah gizi.

Stunting merupakan kondisi yang merefleksikan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan


linear akibat keadaan gizi dan kesehatan yang subnormal. Stunting diidentifikasi dengan
membandingkan tinggi seorang anak dengan standar tinggi anak pada populasi yang normal
sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Anakanak stunting menghadapi
kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan,
miskin, kurang sehat, dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Stunting merupakan
suatu keadaan tubuh pendek atau sangat pendek yang menjadi masalah di Indonesia,
gambaran status kondisi gizi kurang yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan
perkembangan sejak awal kehidupan. Berdasarkan Data World Health Statistics 2013,
Indonesia menduduki urutan ketiga prevalensi stunting tertinggi di Asean yaitu sebesar
37,2%. Jenis kelamin, usia, pendidikan orang tua, status ekonomi keluarga merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada remaja.

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010, stunting merupakan hasil
kekurangan gizi kronis dan sering mengakibatkan perkembangan mental tertunda. Hal ini
dapat mempengaruhi produktivitas ekonomi di tingkat nasional. Wanita dewasa yang
mengalami stunting juga berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
hal ini dapat berkontribusi terhadap siklus malnutrisi antar generasi selanjutnya.

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Stunting Pada Remaja


Stunting pada remaja terjadi karena masalah gizi saat balita atau pra-sekolah. Malnutrisi
yang terjadi pada masa balita yang mengindikasikan stunting, akan berakibat pada
pertumbuhan dan perkembangan remaja terhambat. Stunting disebabkan kurangnya asupan
zat gizi yang berasal dari berbagai jenis pangan, termasuk susu. Stunting juga dapat
disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak sehat seperti minuman karbonasi yang
mengganggu proses metabolisme dalam tulang. Faktor lain seperti sosial ekonomi yang
berpengaruh terhadap kejadian stunting adalah pengeluaran pangan, pendidikan orang tua,
pendapatan orang tua, dan status pekerjaan orang tua.

Pola konsumsi makan remaja putri merupakan salah satu penyebab terjadinya defisiensi
asupan Fe, dikarenakan remaja putri cenderung ingin menjaga bentuk badan, sehingga
membatasi konsumsi makanan yang menyebabkan kurangnya asupan zat gizi. Asupan
makanan yang kurang dapat menyebabkan cadangan besi dalam tubuh tidak seimbang
dengan kebutuhan zat besi untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Akibat dari
hal tersebut yang terjadi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kadar Hb terus
berkurang dan menimbulkan masalah gizi lain, contohnya anemia gizi besi dan stunting
(WHO, 2011). Stunting merupakan salah satu indikator malnutrisi kronik yang terjadi akibat
defisiensi asupan zat gizi atau penyakit infeksi yang terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Hal tersebut yang memungkinkan stunting menjadi salah satu faktor penyebab anemia
(WHO, 2010).

Masa remaja membutuhkan zat besi yang cukup untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan
zat gizi di akibatkan oleh growth spurt. Zat besi berpengaruh pada kadar Hb remaja putri
yang sedang dalam pertumbuhan, karena peningkatan kebutuhan zat besi pada remaja putri
diakibatkan oleh menstruasi. Darah yang keluar saat menstruasi harus diganti dengan
pembentukan atau produksi sel darah merah (Haemoglobin) dengan meningkatkan asupan
zat besi sebagai salah satu komponen utamanya. Kadar Hb yang rendah dapat
mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif remaja. Perkembangan kognitif yang
terhambat merupakan salah satu dampak jangka pendek dari stunting (WHO, 2013).
Dampak dari rendahnya status besi (Fe) dapat menghambat pertumbuhan remaja putri
(Badriah, 2011).

2.3 Ciri dan Dampak Stunting Pada Remaja

Remaja didefinisikan sebagai periode kehidupan antara Usia 11 sampai 21 tahun. Usia 13
sampai 15 tahun tergolong dalam periode remaja awal. Dalam periode ini, lebih mendalami
perubahan biologis, emosional, sosial, dan kognitif dari anak – anak menuju ke
dewasa. Perkembangan fisiologis, emosional, dan kedewasaan kognitif dicapai pada periode
remaja.

Stunting yang terjadi di usia remaja dapat menjadi indikator bahwa pada masa anak-anak,
remaja tersebut mengalami kekurangan gizi karena biasanya anak stunted akan menjadi
remaja atau dewasa stunted. Salah satu dampak jika seorang anak kekurangan gizi kronis
yaitu terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan atau gangguan pertumbuhan linear
sehingga anak gagal dalam mencapai potensi tinggi badan yang mengakibatkan anak
menjadi stunted. Salah satu zat mikronutrien yang berpengaruh pada pertumbuhan anak
adalah seng. Stunted juga merupakan manifestasi dari defisiensi seng. Prevalensi defisiensi
serum seng lebih tinggi pada anak yang stunted dibandingkan dengan anak yang tidak
stunted. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi defisiensi seng berkorelasi dengan
rendahnya Z-Score TB/U.

Kejadian stunting pada remaja memerlukan perhatian, karena apabila tidak teratasi akan
berdampak pada penurunan kemampuan intelektual, gangguan fungsi imun, gangguan
metabolisme, berkurangnya ukuran tubuh pada saat dewasa yang berkaitan dengan
penurunan kapasitas kerja, meningkatkan stress oksidatif dan kerusakan sel dikarenakan
produksi reactive oxygen species (ROS) yang berlebihan, berkurangnya antioksidan, atau
kombinasi dari keduanya serta peningkatan risiko penyakit degeneratif seperti jantung,
diabetes melitus, dan hipertensi di masa mendatang karena berisiko mengalami obesitas.

Dampak jangka panjang dari stunting pada kesehatan remaja putri adalah berupa perawakan
tubuh pendek, peningkatan resiko obesitas, dan penurunan kesehatan reproduksi, sedangkan
dampak pada hal perkembangan ialah penurunan prestasi dan kapasitas belajar, serta
penurunan kemampuan dan kapasitas kerja (WHO, 2013).

2.4 Upaya Pencegahan Stunting Pada Remaja

Upaya percepatan pencegahan stunting akan lebih efektif apabila intervensi gizi spesifik
dan intervensi gizi sensitif dilakukan secara konvergen. (TNP2K, 2018) Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta
gizi pada remaja, berupa pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang dilaksanakan oleh
kementerian kesehatan melalui pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) termasuk
pemberian layanan konseling dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan
pendidikan dan keterampilan hidup sehat (PKHS).(TNP2K, 2017).

Salah satu bentuk partisipasi kader anak usia sekolah dan remaja dalam pelaksanaan
upaya kesehatan bagi anak usia sekolah dan remaja bertujuan untuk memupuk kebiasaan
hidup sehat agar memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melaksanakan prinsip
hidup sehat aktif berpartisipasi dalam program peningkatan kesehatan, baik di sekolah, di
rumah maupun dalam lingkungan masyarakat. (Kesehatan, 2018) Remaja menjadi salah satu
peluang untuk meningkatkan upaya pencegahan stunting. Sebagai salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan ialah melalui optimalisasi peran remaja dalam pencegahan

stunting melalui komunikasi, informasi dan edukasi mengenai stunting. Edukasi ini
dilakukan dengan pembahasan mengenai stunting, apa itu stunting, penyebab
dan cara mencegahnya khususnya untuk remaja selain itu juga membahas mengenai peran
dan urgensi dari kesehatan remaja yang dapat berkontribusi dalam mencegah stunting.

Para remaja diberikan motivasi tentang perannya sebagai agen perubahan, penyebar
informasi kesehatan dan role model bagi remaja lainnya. Pada sesi ini fasilitator kembali
membantu memberikan masukan, dorongan dan semangat sampai ada yang berani
mengangkat tangan dan menunjukkan komitmen kesediaan untuk menjadi remaja yang siap
berkontribusi untuk mencegah stunting.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stunting pada remaja terjadi karena masalah gizi saat balita atau pra-sekolah. Malnutrisi
yang terjadi pada masa balita yang mengindikasikan stunting, akan berakibat
pada pertumbuhan dan perkembangan remaja terhambat. Stunting disebabkan kurangnya
asupan zat gizi yang berasal dari berbagai jenis pangan, termasuk susu. Stunting juga dapat
disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak sehat seperti minuman karbonasi yang
mengganggu proses metabolisme dalam tulang. Faktor lain seperti sosial ekonomi yang
berpengaruh terhadap kejadian stunting adalah pengeluaran pangan, pendidikan orang tua,
pendapatan orang tua, dan status pekerjaan orang tua.

Upaya percepatan pencegahan stunting akan lebih efektif apabila intervensi gizi spesifik
dan intervensi gizi sensitif dilakukan secara konvergen. (TNP2K, 2018) Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta
gizi pada remaja, berupa pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang dilaksanakan oleh
kementerian kesehatan melalui pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) termasuk
pemberian layanan konseling dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan
pendidikan dan keterampilan hidup sehat (PKHS).(TNP2K, 2017).

3.2 Saran
Adapun saran dari penulis untuk pembaca adalah Saran perlu adanya metode penilitian lebih
lanjut akan upaya peningkatan diskusi terhadap pemuda sebagai salah satu cara
memaksimalakan potensi generasi dalam membentengi  dirinya dari radikalisme agama
yang berkembang. Penulis berharap makalah ini bsa menjadi referensi bagi pembaca
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Aditiyanti. (2010). Faktor determinan stunting pada anak usia 24-59 di Indonesia. Info
Pangan dan Gizi, 19 (2), 42-43.

Almatsier S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. , Jakarta: Gramedia.

Arnelia, Muljati, S., & Puspitasari, DS. (2010). Pencapaian pertumbuhan linier dan status
pubertas remaja dengan riwayat gizi buruk pasa usia dini. PGM, 33.

Budiastutik, I., & Rahfiludin, M. Z. (2019). Faktor Risiko Stunting pada anak di Negara
Berkembang Risk Factors of Child Stunting in Developing Countries. 122–126.

Kemenkes RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kemenkes RI

Sulastri D (2012) Faktor Determinan Kejadian Stunting pada Anak Usia Sekolah di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Majalah Kedokteran Andalas, 36(1): 39– 50.

Uliyanti, Tamtomo, D. ., & Anantanyu, S. (2017). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN Uliyanti1. Jurnal
Vokasi Kesehatan, 3(2), 1–11

Anda mungkin juga menyukai