Anda di halaman 1dari 8

Fenomena konflik tentang HAM di Papua ini selalu menjadi bagian hidup yang tidak terlepas dari

perjuangan hidup kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian yang selama ini tidak menjadi
bagian dari hidupnya, baik secara jasmaniah, maupun rohaniah demi membebaskan jiwa manusia kulit
hitam, rambut talingkar bagaikan lilitan konflik yang mengancam keberadaanya di tanah Papua dan
Indoensia umumnya. Atas dasar perspektif inilah ajaran gereja dan hukum internasional hadir membela
dan memperjuangkan nilai kemanusiaan yang memilki hak dan martabat yang lebih tinggi, sehingga
harus dilindungi dan diberi kebebasan untuk hidup sebagai manusia merdeka secara integral. Oleh
karena itu, pengalaman sejarah ini menjadi alasan dasar untuk diangkat sebagai masalah aktual
sekaligus fundamen dalam segala bentuk konflik di tanah Papua. Dengan beberapa alasan mendasar
seperti memperjuangkan nilai pribadi sebagai orang Papua yang sering tidak dihargai dan dihormati
sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Pemajuan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak semata menjadi tugas Komnas HAM dan
pemerintah, tetapi juga lembaga keagamaan seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Mereka memiliki peran penting, secara khusus dalam hal mendorong hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan. “Sebab itu, dalam waktu dekat Komnas HAM akan menggelar acara dialog dengan
mengundang tokoh-tokoh agama, karena kami melihat kasus yang menyangkut agama seakan terjadi
balas-membalas, belum lagi penyebaran hoaks yang menambah keruh suasana. Perspektif agama
menjadi sangat penting sehingga ketegangan yang kian meningkat akibat isu agama dapat diredakan,”
ujar pimpinan baru Komnas HAM periode 2017-2020 ini.
Pentingnya peran lembaga keagamaan dalam rangka penegakan HAM yang saat ini mengalami
kemunduran, juga disampaikan Munafrizal Manan. Sebab itu, untuk menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya penegakkan HAM perlu melibatkan tokoh-tokoh agama.
 JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Dalam panel diskusi tentang “Perubahan Iklim dan Hak Asasi
Manusia” yang diadakan di kantor PBB di Jenewa, Swiss, Sekretaris Umum Dewan Gereja Dunia (World
Council of Churches/WCC), Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit, mengatakan, meskipun kondisi saat ini sedang
buruk, kita punya hak untuk berharap. Ini bukan merupakan sikap pasif, tetapi sebagai proses aktif terhadap
keadilan dan perdamaian. Pada konteks ini, hak asasi manusia punya peran penting.
“Perubahan iklim yang terjadi merupakan fakta tentang sesuatu yang kita imani ketika melihat dunia
sebagai ‘ciptaan’. Ini merupakan tanggung jawab kita sebagai pelayan gereja,” kata Tveit.
“Kita bersama-sama di planet biru ini sebagai sesama manusia. Tindakan kita tentu punya dampak, baik
positif maupun negatif, terhadap kehidupan orang lain. Oleh sebab itu, kita perlu memandang hal ini dalam
perspektif hak asasi manusia universal,” ia menambahkan
para Uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyelenggarakan sidang
pada tanggal 5-14 November 2018 di Bandung. Sidang tahun ini dimulai dengan seminar sehari
bertema Keterlibatan Gereja dalam Melindungi Hak Asasi Manusia. Dengan seminar tersebut, kami
dan peserta lain semakin memahami kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, menyadari
panggilan Gereja untuk mewartakan Kabar Gembira dan peran serta Gereja yang lebih nyata dalam
melindungi hak asasi manusia.
Kita bersyukur kepada Allah karena bangsa Indonesia telah menerima dan memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Ditetapkannya Pancasila sebagai
ideologi bangsa menggambarkan bahwa para pendiri bangsa ini mempunyai komitmen besar
untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kini penghargaan terhadap hak asasi manusia itu secara lebih tegas tertuang dalam UU No.39 Tahun
1999. Hak asasi manusia dipahami sebagai seperangkat hak yang melekat dalam diri manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.
Paus Fransiskus menyampaikan pidatonya di Myanmar dalam pertemuannya dengan penasihat
negara, Aung San Suu Kyi, Selasa (28/11/2017). Dia mengatakan bahwa Mynamar telah mengalami
konflik sipil dan permusuhan sejak lama.
Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Pidato di Myanmar, Paus Fransiskus Minta
Hak Asasi Manusia Dihormati ",
Tanpa menyinggung kelompok minoritas Rohingya, Paus mengatakan bahwa proses perdamaian dan
rekonsiliasi nasional akan sulit diwujudkan tanpa adanya komitmen terhadap keadilan dan
menghormati hak asasi manusia (HAM). Ini seolah menyinggung pihakt atau otoritas di Myanmar
untuk menegakkan HAM setelah negara itu menjadi sorotan organisasi internasional atas pembersihan
etnis.
"Perbedaan agama seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan dan menimbulkan saling tidak percaya,
melainkan menjadi kekuatan untuk bersatu, memaafkan, toleransi, dan membangun bangsa," kata
Paus, seperti dikutip dari Reuters.
Romo Benny Susetyo menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo terkait komitmennya dalam
penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam 100 hari masa kerja. Menurutnya, persoalan HAM
tidak akan tuntas jika pemerintah terus mengejar sektor ekonomi. Romo Benny menuturkan,
lemahnya penegakan HAM pada tiga bulan pemerintahan Jokowi akan berdampak pada peradaban
bangsa. Pemerintah diminta untuk sadar tentang persoalan HAM jika konsep Nawacita memang
memprioritaskan kemanusiaan dan keadilan.
Mother Teresa adalah seorang yang dipandang humanis dan tokoh iman, karena seluruh hidupnya dihabiskan
untuk memperjuangkan hak-hak rakyat miskin dan tertindas di India kota Kalkuta. Ia pernah
mengatakan “jika saja para politisi mau berlutut dan berdoa, maka pasti dunia akan tertata lebih
baik”. Dikatakannya demikian karena bertolak dari pengalamannya sendiri atas praktek politik kotor yang
dipraktekkan oleh pemerintah. Pada waktu itu, keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sama sekali
tidak nampak dan bahkan pemerintah lebih beraksi untuk menindas dan memojokkan rakyatnya sendiri.
Banyak rakyat yang dibiarkan begitu saja dan lebih sadis tindakan pembunuhan tanpa alasan yang jelas pun
marak
Realitas itu menghantar Mother Teresa untuk menentukan arah panggilannya yang amat kokoh. Mother
Teresa tampil untuk menolong dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Mother Teresa tampil dan
melawan kekuasaan pemerintah yang hanya bersikap menindas. Ia melawan agar keadilan dapat ditegakkan
untuk semua manusia, tanpa terkecuali. Manusia harus diberlakukan sebagaimana sebagai manusia dan bukan
sebagai binatang, karena manusia adalah citra Allah (Imago Dei) yang hadir di dunia.

Anda mungkin juga menyukai