Anda di halaman 1dari 9

Pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah di Lingkungan NU

Senin, 13 April 2015 07:05 Taushiyah

Bagikan

Pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah di Lingkungan NU

Oleh KH Abdurrahman Wahid

Beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di
Tanah Air. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan
organisasi kaum ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. <>Ada yang
didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah
dialog (musawarah) para ulama berbagai kelompok.

Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-
perguruan tinggi agama dan non-agama, organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan
kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah di
lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-
ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja. Yaitu ajaran tauhid kedua imam Asy’ari dan Al-Maturidi
saja. Asa yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama (ijma’ = konsesus) tentang madzhab fiqh
dan akhlaq al-tasawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak
termasuk asa ke-ahlussunnah-an.

Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik
untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdlatul Ulama dan warga organisasi-
organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh umat Islam
sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf (meniru kaum salaf) hingga kepada
masa sebelum perbentukan madzhab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan
Khulafaur Rasyiddin. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada
nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan
langsung dari aqwal fi qutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persyatuan di kalangan
umat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara
kesatuan dan persatuan itu.

Tetapi kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Andai kita tinggalkan perumusan yang
sudah ada tentang al-Usus al-tsalatsah fi I’tiqadi ahlissunnah wal Jamaah (bertauhid mengikuti Imam al-
Asy’ari dan al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu madzhab empat dan berakhlaq sesuai dengan
perumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali) dan kita ambil patokan paling
sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan persatuan dan kesatuan umat Islam tetap
belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan umat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam
soal-soal luar aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam
masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlussunnah wal Jam’ah di lingkungan
Nahdlatul Ulama menggunakan segala kelengkapan (alat) dan istimbath al-ahkam, termasuk usulul al-
fiqh, qawaid al-fiqh, dan hikmat al-tasry’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka,
sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath dari (pengambilan lnagsung dari dalam naqli tanpa
terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut di atas dalil naqli itu) dalam mengambil keputusan.
Biar bagaimanapun juga, tiak akan ada kesepakatan cara (wasail, metode) di kalangan kaum muslimin,
dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara’) di antara mereka sebagai akibat sebagaimana
diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah.

Menciptakan Saling Penghargaan

Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang berbeda-beda itu,
melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu.
Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk
menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang
tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat
dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah
bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya
bukanlah dengan mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak
berabad-abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah
diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah
menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-ashlu baqau ma kana ala
makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu
dalam kehidupan nyata sekarang.

Dua Bentuk Kerja Utama

Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah aqidah itu
sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’lim) Ahlussunnah wal Jamaah.
Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut.

Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi
pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar umum
penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini meliputi pengkajian
wilayah (dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people), dari Afrika Barat hingga ke
Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti,
untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an.
Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah,
meliputi bidang-bidang berikut;

1. Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam

2. Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan

3. Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat

4. Pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’)

5. Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan
budaya

6. Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan

7. Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan.

Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk
perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hiup, dan sistem nilai
(manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak
hidup Ahlussunnah wal Jamaah (syakhsyiyatu ma tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah).

Kehidupan Masa Kini

Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di atas, akan
dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tidak hanya terbatas
di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang eifisien, diperlukan sebuah
kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka
umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukan unsur-unsur berikut.
Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadatun kulluha).
Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan,
karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan (al-wadhifat al-khalqiyyat) untuk
mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas
umat manusia lah untuk memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara
kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil
yang berkuasa melalui cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan
bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.

Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera. Kejujuran sikap ini
meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa
depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak
terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup
mata terhadap kesalahan sendiri); dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia
untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu
memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain,
bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam
perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian
kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara.

Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu
lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil
terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang
bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan
menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.

Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada penyusunan
sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan
yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa mendatang, strategi perjuangan itu, yang
unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak
kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan
yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat.

Dua Sendi

Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan kedua sendi yang
tidak boleh tidak harus dimiliki.
Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada
penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam
sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat,
pendidikan keterampilan, dan seterusnya.

Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya dipusatkan
pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan
rendah.

*) Tulisan ini pernah dimuat sebagai kata pengantar dalam buku “Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah
Kritik Historis” karya KH Said Aqil Siroj (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008).

Pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah di Lingkungan NU

Oleh KH Abdurrahman Wahid

Beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di
Tanah Air. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan
organisasi kaum ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. <>Ada yang
didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah
dialog (musawarah) para ulama berbagai kelompok.

Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-
perguruan tinggi agama dan non-agama, organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan
kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah di
lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-
ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja. Yaitu ajaran tauhid kedua imam Asy’ari dan Al-Maturidi
saja. Asa yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama (ijma’ = konsesus) tentang madzhab fiqh
dan akhlaq al-tasawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak
termasuk asa ke-ahlussunnah-an.

Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik
untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdlatul Ulama dan warga organisasi-
organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh umat Islam
sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf (meniru kaum salaf) hingga kepada
masa sebelum perbentukan madzhab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan
Khulafaur Rasyiddin. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada
nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan
langsung dari aqwal fi qutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persyatuan di kalangan
umat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara
kesatuan dan persatuan itu.

Tetapi kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Andai kita tinggalkan perumusan yang
sudah ada tentang al-Usus al-tsalatsah fi I’tiqadi ahlissunnah wal Jamaah (bertauhid mengikuti Imam al-
Asy’ari dan al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu madzhab empat dan berakhlaq sesuai dengan
perumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali) dan kita ambil patokan paling
sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan persatuan dan kesatuan umat Islam tetap
belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan umat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam
soal-soal luar aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam
masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlussunnah wal Jam’ah di lingkungan
Nahdlatul Ulama menggunakan segala kelengkapan (alat) dan istimbath al-ahkam, termasuk usulul al-
fiqh, qawaid al-fiqh, dan hikmat al-tasry’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka,
sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath dari (pengambilan lnagsung dari dalam naqli tanpa
terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut di atas dalil naqli itu) dalam mengambil keputusan.
Biar bagaimanapun juga, tiak akan ada kesepakatan cara (wasail, metode) di kalangan kaum muslimin,
dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara’) di antara mereka sebagai akibat sebagaimana
diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah.

Menciptakan Saling Penghargaan

Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang berbeda-beda itu,
melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu.
Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk
menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang
tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat
dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah
bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya
bukanlah dengan mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak
berabad-abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah
diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah
menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-ashlu baqau ma kana ala
makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu
dalam kehidupan nyata sekarang.
Dua Bentuk Kerja Utama

Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah aqidah itu
sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’lim) Ahlussunnah wal Jamaah.
Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut.

Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi
pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar umum
penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini meliputi pengkajian
wilayah (dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people), dari Afrika Barat hingga ke
Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti,
untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an.

Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah,
meliputi bidang-bidang berikut;

1. Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam

2. Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan

3. Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat

4. Pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’)

5. Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan
budaya

6. Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan

7. Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan.


Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk
perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hiup, dan sistem nilai
(manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak
hidup Ahlussunnah wal Jamaah (syakhsyiyatu ma tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah).

Kehidupan Masa Kini

Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di atas, akan
dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tidak hanya terbatas
di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang eifisien, diperlukan sebuah
kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka
umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukan unsur-unsur berikut.

Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadatun kulluha).
Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan,
karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan (al-wadhifat al-khalqiyyat) untuk
mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas
umat manusia lah untuk memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara
kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil
yang berkuasa melalui cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan
bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.

Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera. Kejujuran sikap ini
meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa
depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak
terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup
mata terhadap kesalahan sendiri); dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia
untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu
memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain,
bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam
perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian
kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara.

Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu
lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil
terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang
bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan
menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.
Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada penyusunan
sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan
yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa mendatang, strategi perjuangan itu, yang
unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak
kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan
yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat.

Dua Sendi

Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan kedua sendi yang
tidak boleh tidak harus dimiliki.

Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada
penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam
sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat,
pendidikan keterampilan, dan seterusnya.

Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya dipusatkan
pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan
rendah.

*) Tulisan ini pernah dimuat sebagai kata pengantar dalam buku “Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah
Kritik Historis” karya KH Said Aqil Siroj (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008).

Anda mungkin juga menyukai