Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
21086030007
202
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari awal kelahirannya hingga kini, Islam tidak bisa dipisahkan dari
penganutnya yang memiliki kultur. Untuk itu, dalam memahami Islam kita dapat
menggunakan kerangka pemikiran Islam wahyu dan Islam budaya. Islam wahyu,
adalah Islam konseptual sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an dan hadits
Nabi SAW. Islam budaya dapat kita telusuri dari pemahaman dan implementasi
penganutnya terhadap teks-teks otoritatif (Al Qur’an dan hadits Nabi SAW), dan
kehidupan sosial budayanya.
Dalam kerangka pemikiran untuk mengkaji agama kita dapat melakukan
pendekatan melalui dua paradigma, yaitu melalui pendekatan teologis normatif dan
deskriptif aktual. Pendekatan teologis normatif secara harfiah dapat diartikan
sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.1
Pendekatan ini dalam memahami agama menggunakan cara berfikir
deduktif, yaitu cara berpikir yang diyakini benar adanya, sehingga tidak perlu
dipertanyakan terlebih dahulu melainkan dimulai dari suatu keyakinan bahwa
agama itu benar yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.2
Pendekatan teologis normatif untuk selanjutnya disebut sebagai pendekatan
normatif. Sedangkan paradigma deksriptif aktual, menggunakan perangkat ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang di masyarakat untuk memahami
Islam seperti pendekatan sosiologi, antropologi, sains, ekonomi, filsafat, sejarah,
psikologis, dan sebagainya.
Dalam hal ini penulis memaparkan kajian Islam melalui pendekatan
normatif, yakni melalui paradigma teologi Islam (kalam).
1
Abuddin Nata, op.cit. hlm. 28.
2
Ibid. hlm. 34
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
dinamakan Ilmu Tauhid ialah karena bagian yang terpenting daripadanya yaitu
menetapkan sifat Wahdah (Esa) bagi Allah baik dalam zat dan perbuatan-Nya
menciptakan seluruh alam serta menetapkan bahwa Dia-lah satu-satunya tempat
kembali semua yang ada, dan penghabisan segala tujuan. Keyakinan (Tauhid) inilah
yang menjadi tujuan paling agung dari pada diutusnya Nabi Muhammad saw.
b. Ilmu Kalam
Ilmu Kalam pada dasarnya ialah ilmu yang membahas segala yang berkaitan
dengan keyakinan tentang Tuhan. Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para
ulama, antara lain:
Al Kalam ialah ilmu yang membahas tentang zat Allah Ta’ala, sifat-sifatnya
dan hal-hal yang mungkin dari al mabda’ dan al ma’ad menurut undang-
undang keislaman.3
Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang penetapan aqidah- aqidah
keagamaan ( Agama Islam) dengan dalil-dalil yang yakin.4
Ilmu Kalam ialah ilmu yang mengandung argumentasi-argumentasi tentang
aqidah iman dengan menggunakan dalil-dalil aqli dan menolak pembawa
bid’ah, penyeleweng aqidah dari mazhab salaf dan ahlu sunnah. Inti dari pada
aqidah ini ialah Tauhid.5
Walaupun masih ada batasan pengertian lainnya, akan tetapi pada dasarnya
adalah sama, yaitu berkisar pada persoalan keyakinan tentang Tuhan dan keesaan-
Nya, baik dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya, tentang Rasul-Rasul, sifat-sifat-Nya,
baik yang wajib, mustahil jaiz bagi-Nya, serta kebenaran keutusannya demikian
juga tentang kebenaran berita yang dibawanya sekitar alam ghaib, seperti akhirat
dan isinya.
3
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, Al Ta’rifat Liddari At tunisyiyah,
1971, hlm: 98
4
Ibid, hlm:102
5
Ibnu Khaldun, Mukhadimah juz 3, (Libanon Al-Arabi, 1967), hlm:169
3
Arti Kalam dalam Bahasa Arab ialah perkataan, firman, ucapan dan
pembicaraan. Dalam ilmu nahwu atau ilmu bahasa al Kalam ialah kata-kata yang
tersusun (kalimat) yang mengandung pengertian. Dalam kalangan ahli tafsir dan
ahli agama umumnya, Kalam diartikan Firman Allah, Kalamullah yaitu wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan dikumpulkan menjadi
Al-Qur’an. Kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Allah yaitu sifat
berbicara (berfirman).
Perkataan al Kalam yang menunjukkan suatu cabang ilmu agama yang
berdiri sendiri seperti yang dikenal sekarang ini, untuk ini pertama kali dipakai pada
masa Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Al Makmun (198-218 120-833H),
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah setelah mereka mempelajari buku-
buku filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa itu, dimasa
mereka memadukan methode filsafat dengan Ilmu Kalam sehingga menjadi ilmu
yang berdiri sendiri yang dinamakan dengan “Ilmu Kalam”. Sejak itu dipakailah
istilah Al Kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.
Sebelum itu, pembicaraan mengenai beberapa tema yang berkaitan dengan
masalah aqidah Islam disebut dengan istilah “Al Fiqhu Fiddin” sebagai imbangan
dari “Al Fiqhu Fil Ilmi” yang berisi pembicaraan tentang Fiqh (ilmu hukum),
mereka (para ahli kalam) berkata; ”Pembicaraan tentang dasar-dasar Agama lebih
utama dari pada pembicaraan tentang Fiqh. Karena itu Abu Hanifah menamakan
kitabnya tentang aqidah Al Fiqhu al Akbar.6
6
Ibid, hlm: 3
4
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Ahli debat yang pintar
dalam kata-kata ini disebut Mutakallimin.
Ilmu ini banyak menggunakan dalil-dalil akal (ratio), dimana bekasnya
nampak jelas dari perkataan setiap para ahli yang turut berbicara tentang ilmu itu,
dan sedikit sekali menggunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah Rasul), kecuali
setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu.
Dalam membicarakan dalil tentang pokok-pokok (usul) agama lebih
menyerupai logika (mantiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh ahli pikir
dalam menjelaskan seluk-beluk hujjah tentang pemikirannya. Kemudian istilah
mantiq diganti dengan “Kalam”. Untuk membedakan antara kedua ilmu itu, maka
pembuktian-pembuktian seperti itu dinamakan Ilmu Kalam.
7
Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, Terjemahan H. Pirdaus, hlm: 28.
5
b. Ma’rifatul Wasithoh; beriman dengan utusan-utusan, Malaikat, kitab-kitab
dan kewajiban-kewajiban, bagian ini dinamakan “Qismun nubuwwat”.
c. Ma’rifatul Ma’ad; beriman dan mempercayai hari kebangkitan, hisab,
balasan dan sebagainya. Bagian ini dinamakan “Qismussam’iyyat”.8
2. Ilmu Ushuluddin
Ilmu Kalam dinamakan juga Ilmu Ushuluddin atau Ilmu Aqaid artinya ilmu
yang membahas tentang pokok-pokok ajaran Agama Islam. Dinamakan demikian
karena soal keyakinan ini benar-benar menjadi dasar atau pokok dalam agama dan
itulah yang menjadi pembahasan. Ilmu Ushuluddin ada kalanya dinamakan juga
Theologi Islam (Theos artinya Tuhan, dan logosartinya ilmu) Karena pokok
pembahasannya adalah mengenai ketuhanan yang menjadi dasar agama Islam. Ilmu
Kalam disebut juga Ilmu Ma’rifat yaitu ilmu untuk mengenal Allah swt. dengan
pembahasan berdasarkan dalil naqli dan aqli, sehingga dengan demikian kita benar-
benar dapat mengenal Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah Islam
dengan penuh keyakinan yang positif dan konkrit.
8
Taib Thahir, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1985), hlm: 81.
9
M. Yusran Asmuni. Op cit, hlm. 157.
6
4. Aliran Utama dan Pendekatanya
a. Aliran Khawarij
Khawarij adalah dalam Teologi Islam yang muncul pada masa Ali ra.
Menurut Ibn Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij
adalah setiap orang yang keluar dari iman yang hak dan telah disepakati para
jama’ah baik ia keluar pada masa sahabat, Khulafa al-Rasyiddin, ataupun pada
masa Tabi’in.
Namun Khawarij berasal dari kata ‘kharaja” yang berarti keluar. Nama ini
diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Khawarij
sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali yang
meninggalkan barisannya, karena tidak setuju terhadap sikap Ali yang mau
menerima tahkim sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Merekapun pada umumnya terdiri dari orang-
orang Arab Baduwi. Kehidupan di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan
mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun pemikiran. Namun
mereka keras hati. Mereka dalam memahami Al-Qur’an dan hadir, secara literal
atau lafziyah serta harus melaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dalam
pandangan mereka bercorak sederhana, sempit ditambah dengan sikap fanatik,
membuat mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap ajaran ia menurut
paham mereka.10
Secara umum aliran pokok Khawarij adalah:
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir
2) Orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan pelaku tahkim termasuk
menerima dan membenarkannya dihukumkan kafir
3) Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat
4) Tokoh utama dalam aliran ini adalah Abdullah Ibnu Wahab al-Rasyidi, beliau
ini pimpinan kelompok yang memisahkan diri dari kelompok Ali, kemudian
Urwah Ibn Hudair, Musraid Ibn Saat, Hausarah al-Asadi, Qaraib Ibn Marwah.
10
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm. 105.
7
b. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan. Karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui
keadaan Iman seseorang.
Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi mereka akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan dan ada
kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak akan masuk
neraka sama sekali.
Adapun golongan Murji’ah yang ekstrem tokohnya Jahm Ibn Shafwan.
Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian
menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman
tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi di dalam hati sanubari. 11
Adapun ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Iman hanya membenarkannya (pengakuan) di dalam hati.
2) Orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir, ia tetap
mu’min selama ia mengakui syahadatain.
3) Hukum terhadap manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.12
4) Pimpinan utama aliran ini adalah Hasan Ibn Bilal al-Mujani, Abu Sallat al-
Samman dan Dirar Ibn Umar, dan selanjutnya Muhammad Ibn Ali Ibn Abi
Thalib, Jahm Ibn Sofyan.
11
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka CIpta, 1997), hlm. 4.
12
Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam dalam Islam, (Jakarta: t.p.,
1997), hlm. 66.
8
berpendapat bahwa tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini muncul
di Irak.13
Adapun Doktrin-doktrin aliran ini adalah:
1) Manusia memiliki kekuasaan penuh atas dirinya tanpa Qudrat dan Iradat Allah.
Dengan kata lain, manusia itu sendiri yang menentukan perbuatannya, apakah
ia mau berbuat baik atau berbuat jahat.
2) Menolak adanya Qadar dan Takdir Allah dalam segala usaha dan perbuatan
manusia.
3) Ummat Islam yang berdosa besar tidak dihukum sebagai kafir, namun juga
tidak digolongkan sebagai mukmin melainkan hanya sebagai muslim.14
Kata Jabbariyah berasal dari kata Jabbara yang berarti memaksa. Di dalam
al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabbariyah berasal dari kata Jabbara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya. Dengan kata lain, manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris
Jabbariyah disebut Falalism atau Predestination, yaitu paham yang menyebutkan
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar
Tuhan. Aliran Jabbariyah ini lahir di Khurasan.15
Adapun ajaran-ajaran pokok aliran ini antara lain
1) Al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana yang lain, yang fana dan tidak abadi.
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat kelak.
3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
Tokoh utama dalam aliran ini adalah Ma’abad al-Jauhani, Ghailan al-
Dimasyqy. Dan tokoh utama Jabariyah adalah Tsalut Ibn ‘Asham, Jahm Ibn
Shafwan, Ja’ad Ibn Dirham, Husain bin Muhammad al-Najjar.
d. Aliran Mu’tazilah
13
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2007, hlm.
70.
14
Ibid, hlm. 71
15
Ibid, hlm. 63
9
Aliran ini muncul pada abad ke II Hijriah, aliran Mu’tazilah lahir pada masa
pemerintahan bani Umayyah. Kata Mu’tazilah mengandung persepsi yang berbeda
tentang asal usul kemunculannya. Secara harfiah, kata “itazala” berarti terpisah,
memisahkan diri atau menjauhinya. Mu’tazilah atau Mu’tazilin berarti orang-orang
yang memisahkan diri.16
Asy Sahrastani mengemukakan bahwa Mu’tazilah muncul dari adanya
pertanyaan yang diajukan kepada Hasan al-Basri (guru Washil bin Atha’) ketika
Hasan al-Basri sedang mengadakan pengajian dalam majlis yang dipimpinnya,
seseorang mengajukan pertanyaan tentang persoalan qadr dan persoalan tentang
kedudukan pelaku dosa besar. Pada dasarnya motif pertanyaan ditujukan meminta
penjelaan dan kepastian dari pandangan Hasan al-Basri tentang pelaku dosa besar.
Dimana Khawarij mengatakan pelaku dosa besar adalah kafir, sedangkan Murji’ah
mengatakan tetap mu’min.
Secara spontan Washil langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan kepada gurunya tanpa menyadari bahwa Hasan al- Basri sendiri
belum mengomentari dari pertanyaan yang ada, akan tetapi Washil tanpa diminta
berpendapat langsung mengemukakan. “Saya berpendapat bahwa pelaku dosa
besar itu bukan mu’min dan bukan pula kafir tetapi mengambil posisi di antara
kedua-duanya (al-manzilah bain manzilatain). Kemudian berdiri dan menjauhkan
diri ke suatu sudut masjid dan disitulah I kembali menjelaskan pendiriannya pada
sejumlah orang yang berasal dari jama’ah Hasan al-Basri. Dengan adanya peristiwa
itu Hasan al-Basri berkata “Washil memisahkan diri dari kita, maka Washil
kelompok yang digelari kaum Mu’tazilah”.17
Harun Nasution mengemukakan bahwa menurut versi Mas’ud dalam
menganalisis sejarah munculnya kasus Hasan al-Basri bukan pada tingkat peradilan
akan tetapi, dia menilik pada substansial pemahaman yang beredar dikalangan umat
Islam. Menurut Mas’ud mereka disebut Mu’tazilah karena aliran ini berpendapat
bahwa pelaku dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir tetapi mengambil dua
posisi.
16
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, op. cit, hlm. 115.
17
Ibid, hlm. 117.
10
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh tokoh besar aliran
ini. Abi Huzail al-Allah :
1) At-Tauhid (keesaan Allah).
2) Al-Adl (Keadilan Tuhan).
3) Al-Wa’ad al-Wa’id (janji dan ancaman).
4) Al-Manzilah bain Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
5) Amar ma’ruf nahi munkar.18
Berikut beberapa tokoh Aliran Al-Mu’tazilah:
1) Wasil Bin Atha, nama lengkapnya adalah Abu Huzail bin Atha, lahir di Madinah
8 Hijriah (689 M) dan wafat tahun 131 Hijriah (749 M) di Basrah. Washil
adalah orang yang cerdas, pandai dan tekun belajar. Dia adalah murid Hasan
al-Basri, beliau hidup pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin
Marwan, Usman bin Abdul Malik.
2) An-Nazzam. Nama lengkapnya adalah Abi Ishak Ibrahim bin Sabbar bin Hari
al-Baikhi dikenal dengan nama an-Nazzam. Beliau adalah seorang Mawali, ia
merupakan murid dan berguru pada Huzmi bin Allaf. Kemudian an-Nazzam
mendirikan mazhab tersendiri dengan mengistimbatkan namanya yaitu aliran
Nazzamiyah. Ia lahir di Basrah pada tahun 185 H dan tinggal di Bahdad dan
meninggal dalam usia yang relatif muda sekitar umur tiga puluh enam tahun,
pada tahun 221 H.
3) Al-Allaf nama lengkapnya adalah Abdul Hujail Muhammad bin al-Huzail al-
Allaf. Sebutan al-Al Allaf di perolehnya karena rumahnya di kampung penjual
makanan binatang (‘alaf - makanan binatang), ia berguru pada usman at-tawil,
murid Wasil. Puncak kebesarannya di capai pada masa ke khalifahan al-
Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan
mengenai soal agama aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan
orang-orang Zindiq (orang yang pura-pura Islam) dan perdebatan dengan
kelompok Majusi, Zoroaster.
18
M. Yusran Asmuni, op. cit, hlm. 106.
11
e. Aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Term Ahlusunnah wal Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan
terhadap sikap mereka yang menyiarkan ajaran-ajaran itu.
Aliran ini dinisabkan kepada pendirinya yaitu Abu Hasan al-Asy’ari, ia
dilahirkan di kota Basrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943
M). Pada waktu kecilnya al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah
terkenal, Abu Ali al-Jubba’i untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah. Aliran ini
dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan tidak umurnya digunakan untuk
mengarang buku-buku ke Mu’tazilahan.19
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah namun keraguan selalu
muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Setelah
merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah.
Peristiwa itu terjadi ketika ia berusia 40 tahun menjelang akhir hayat al-Jubba’i.
Sejak itu al-Asy’ari gigih menyebarkan paham baru sehingga terbentuk
mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan Ahlussunah wal Jama’ah,
pengikut al-Asy’ari sendiri disebut Asy’ariyah.20
Ajaran-ajaran Ahlussunah wal Jama’ah antara lain:
1) Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di Akhirat
2) Sifat-sifat Tuhan seperti Kudrat, Iradat, Ilmu, Hayat dan seterusnya adalah
sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan tetapi bukan juga lain dari zat
3) Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qadim, sedang Al-Qur’an yang
berupa huruf dan suara adalah baru
19
Salihun a. Nasir, hlm. 154.
20
Ibid, hlm. 161-162
12
4) Menurut paham ini muslim berbuat dosa besar dan meninggal dunia sebelum
sempat bertobat tetap mu’min tidak kafir, tidak pula berada di antara mu’min
dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah.21
21
A. Hanafi, Op cit, hlm 180.
22
Ahmad Hanafi, Opcit., hlm. 17.
23
Ibid. hal.18
13
mengalami kebuntuan pemahaman, konsep jabar dan ikhtiyar menjadi perdebatan
yang berkepanjangan.
Sejarah perjalanan nalar Ilmu Kalam ideologis ini telah melahirkan berbagai
kerumitan dan persoalan dalam kehidupan umat Islam, bahkan pertumpahan darah.
Nalar ilmu kalam itu lahir bukan untuk menjawab problem aktual umat Islam,
namun nalar Ilmu Kalam hanya tertuju pada problem ketuhanan dan pembelaan
terhadap aliran-aliran akidahnya sendiri, sehingga apabila lahir sebuah nalar Ilmu
Kalam yang berbeda dengan alirannya walaupun memiliki argumentasi keagamaan
yang kuat akan dianggap salah dan sesat, bahkan wajib dimusnahkan.24
24
Moh Dahlan, “Nalar Ilmu Kalam Emansipatoris”, Jurnal Religi, Vol. III, No. 1, Januari
2012, hlm. 42-60.
25
Ibid.
14
dan peduli dengan dinamika perubahan sosial yang dibawa oleh arus kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, pemanfaatan bantuan metodologi ilmu-
ilmu sosial, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, etnografi,
disamping pendekatan historis dan filosofis, mutlak diperlukan. 26
Realitas sosiologis umat Islam yang jatuh dalam kondisi keterbelakangan
selama beberapa abad, berakibat lemahnya rasa percaya diri berhadapan dengan
superioritas peradaban Barat. Kenyataan tersebut menggugah kembali kesadaran
bagi para pemikir kalam untuk segera melakukan pembaruan dalam pemikiran
kalam, agar pemikiran kalam ada relevansinya dengan aspek kekinian semakin
tampak. Hal ini perlu dilakukan semata-mata karena menyadari begitu penting dan
strategisnya peran yang diemban pemikiran kalam yang harus mengikuti
mainstream pemikiran kontemporer. Pemikiran kalam mestinya bergumul dengan
pemikiran filsafat Barat kontemporer, problema-problema sosial politik,
pendidikan, iptek, dan lain sebagainya. Hal ini agar ilmu kalam tidak melulu lekat
pada upaya apologetik “membela Tuhan”. Sebagaimana yang dimaksud oleh Hasan
Hanafi ketika ia mengatakan bahwa kita tidak perlu memikirkan Tuhan yang ada di
langit. Sebab Ia tidak butuh pemikiran kita. Energi pemikiran kita, sebaiknya
dipergunakan untuk menyelesaikan problema-problema kemanusiaan kita yang
masih banyak dan belum terselesaikan. Dengan kata lain, Hasan Hanafi
menginginkan adanya paradigma baru pemikiran kalam yang jelas-jelas lebih
memihak manusia ketimbang memihak Tuhan.27
26
M.Kursani Ahmad, “Pemikiran Kalam dalam Konteks kekinian” Jurnal Ilmu
Ushuludin, Vol. 2, No.1, 2012, hlm. 105-122.
27
Ibid.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
Daftar Pustaka
Dahlan, Abdul Aziz. 1997. Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam dalam Islam,
Jakarta: t.p., 1997.
Dahlan, Muhammad. 2012 “Nalar Ilmu Kalam Emansipatoris”, Jurnal Religi, Vol.
III, No.1, Januari.
Jurjani, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad. 1971. Al Ta’rifat Liddari at tunisyiyah.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2007. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia..
17