Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Al-qur’an sebagai petunjuk bagi umat Islam secara garis besar mengandung dasardasar
tentang akidah, akhlak, dan syariah atau hukum bagi keberlangsungan kehidupan makhluk dijagat
raya ini. Pada masa nabi Muhammad segala permasalahan sesuatu hukum dapat diketahui
jawaban nya berdasarkan Nash Al-qur’an serta penjelasan beliau yang kemudian dikenal dengan
sunnah nya. Ketika zaman berkembang disinilah urgensi dari ijtihad untuk
mengkontekstualisasikan Al-qur’an dan sunnah nya sebagai pedoman hidup manusia. Fiqih yang
notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis merupakan sebuah
jendela yang digunakan untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Fiqih itu melalui
serangkaian proses yang umum kita kenal dengan ijtihad yang mengkaji dan memahami pokok-
pokok fiqih agar tetap dinamis, maka ini pijakan dari Ushul Fiqih. Sedangkan hukum-hukum
yang didapati dengan jalan ijtihad yang termasuk dalam ruang lingkup Fiqih itu disebut dengan
Hukum Syara’
2. pertanyaan
3.tujuan penulisan
2. Untuk mengetahui Perbedaan antara Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum Syara’
3. Untuk mengetahui Bagaimana pendapat ulama tentang Ushul Fiqih, Fiqih, dan Hukum
Syara’
BAB II.
PEMBAHASAN
Ushul fiqh terdiri dari 2 kata, yaitu Ushul dan fiqh, di dalam bahasa Arab Ushul
merupakan jamak dari Ashal yang mengandung arti “fondasi sesuatu,”. Kata Ushul Fiqh
merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul berarti pokok, dasar, pondasi. Yang kedua
adalah Fiqih yang berarti paham yang mendalam. Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian
kata ushul dan fiqih tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian
ushul bagi fiqih Menurut Muhammad al-Khudlary Beik, Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang
dengannya di istinbath-kan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil tertentu. Abdul Hamid Hakim
mengartikan Ushul Fiqh adalah dalil Fiqih secara Ijmali (global), seperti ucapan para ulama:
suatu yang dikatakan sebagai perintah adalah menandakan sebuah kewajiban, suatu yang
dikatakan sebagai larangan adalah menandakan sebuah keharaman, dan suatu yang dikatakan
sebagai perbuatan nabi Muhammad SAW, Ijma’ (konsensus para ulama), dan Qiyas (analogi)
adalah sebuah Hujjah (argumentasi).
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf juga mendefinisikan dengan ilmu tentang
kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukumhukum
syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dipihak lain, secara detail Abu
Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul fiqih adalah : “ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid
tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukumhukum dari nash dan dari dalil-
dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri. Oleh karenanya, ushul fiqih juga dikatakan
sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum Islam tentang cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’.Jadi dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa
ushul fiqh adalah: Pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana
untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Atau ushul fiqh adalah: himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk
mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci
2 . fiqih
Dalam Al-Quran tidak kurang dari 19 Ayat yang berkaitan dengan kata Fiqih dan
semuanya dalam bentuk kata kerja. Di dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
disebutkan: Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya niscaya
diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama. Dari Hadits ini,
dapat ditarik satu pengertian bahwa Fiqih itu berarti mengetahui, memahami dan mendalami
ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Pengertian fiqih dalam arti sangat luas sama dengan
pengertian syari’ah dalam arti yang sangat luas. kalangan Syafi’iyah mendefenisikan fiqih
sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah diperoleh melalui dalil-dalil yang
terperinci. Sementara itu kalangan Hanafiyah mendefenisikan fiqih dengan pengetahuan
seseorang tentang apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Kalangan syafiiyah muta’akhirin
seperti imam Ghazali memberikan defenisi fiqih adalah sumber bagi ilmu tentang akhirat. Ulama
sependapat bahwa didalam syariat Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua
tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukumhukum itu adakalanya
disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-
dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut
pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya,
karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Adapun untuk mengetahui hokum Islam
dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali
hukum yang terdapat didalam Nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam.
Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini disebut Fiqh. Dilihat
dari sudut bahasa Fiqh berasal dari kata فقهyang berarti “memahami dan mengerti”. Dalam
peristilahan syar’I ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum
syar’I amali (praktis) yang penetapan nya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam
terhadap dalil-dalilnya yang terperinci. Mengetahui tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah berdasarkan dalil. Dengan kata istidlal dalam defenisi di atas menggambarkan bahwa
fiqih merupakan hasil kreatifitas mujtahid dalam menggali dalil-dalil tentang suatu persoalan
hukum baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun sunnah. Hal itu diperoleh bukan melalui
taqlid. Disamping itu, bukan dikatakan fiqih bila mengetahui hukum Allah melalui ketentuan
yang termasuk dalam kategori ma’lum bi al-Dharurah. Dari penjelasan di atas penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa fiqih itu merupakan pemahaman mendalam yang menerangkan
tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari
dalil-dalil tafsil.
3.Hukum Syara’
Para ulama ushul membagi hukum Syar’i menjadi dua : hukum Taklifi dan hukum
Wadh’i :
a. Hukum taklif
Hukum taklifi adalah hukum Syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan atau
untuk ditinggalkan oleh mukallaf atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan
ditinggalkan. Hukum taklifi ini terbagi kepada lima pembagian : Wajib,
mandub/nadb/sunah, haram, makhruh, mubah.
1. wajib
Wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakan nya dan diberi
Iqab atau siksa jika meninggalkan nya, contoh nya mengerjakan lima rukun Islam.
Wajib ini terbagi 4:
a) .Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentu nya perbuatan yang dituntut : wajib
muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan nya, contohnya membaca
al-fatihah dalam sholat. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari
beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan, misal nya kafarat sumpah yang
memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian sepuluh orang miskin
atau memerdekakan budak.
b) .Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikan nya : Wajib muthlaq :
sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan orang mukallaf tanpa ditentukan
waktunya. Misalnya kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi yang
melanggar sumpah, lalu kafarat itu boleh dibayar kapan saja. Wajib al-muaqqat
dibagi 3 : wajib al-mu’aqqat bi waqtin mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktunya
secara khusus diperuntukan pada suatu amalan dan waktunya tidak bisa digunakan
untuk kewajiban lain. Contoh : puasa bulan ramadhan. abdulWajib almu’aqqat bi
waqtin muwasa’, yaitu kewajiban yang ditentukan waktu nya, tetapi waktunya ini
cukup lapang sehingga dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis,
contoh nya waktu-waktu yang ditentukan untuk melaksanakan sholat. Ketika
masuknya waktu sholat zhuhur, seseorang bisa melaksanakan sholat zhuhur dan
sholat sunnah.
c) Dilihat dari segi yang dibebani atau yang harus memperbuat nya : wajib aini, yaitu
wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukallaf, contoh nya puasa bulan
ramadhan. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang
anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakan nya. Apabila kewajiban
itu telah ditunaikan salah seorang mereka maka hilanglah tuntutan terhadap yang
lain nya, contoh : menyelenggarakan sholat jenazah.
d) Dilihat dari segi kadar (kuantitas) : wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang
ditentukan kadar atau jumlahnya, contoh nya jumlah zakat. Wajib ghairu
muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangan nya. Contoh nya
tolong menolong, membelanjakan harta dijalan Allah.
2. Mandub/nadb/sunah/mustahab
a) Sunat ‘aini, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi
mukallaf untuk dikerjakan, misal nya sholat sunat tarawih atau rawatib.
b) Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup
oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, contoh nya : mengucapkan salam
c) Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh rasul
atau lebih banyak dikerjakan rasul lebih banyak daripada tidak dikerjakan,
contoh nya : sholat sunat hari raya.
d) Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu
dikerjakan rasul, contoh nya : sholat sunat dhuha.
3. Haram
4. Makruh
Makhruh yaitu apa yang diminta oeh syar’i dari mukallaf itu menghentikan
pekerjaannya. Permintaan itu tidak pasti. Karena sighatnya itu sendirilah yang
menunjukkan demikian. Sebagaimana halnya apabila ada orang yang mengatakan,-
1
Halimuddin, Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin, (Jakarta : PT RINEKA
CIPTA, 2005), h. 134
Allah benci kepadamu begini. Atau ada larangan terhadapnya, dan larangan itu
dihubungkan kepada apa yang ditunjukkan, bahwa larangan itu adalah karena
benci. Bukan karena haram. Misalnya, jangan kamu menanyakan sesuatu, nanti
akan jelas olehmu keburukannya. Atau ada perintah untuk menjauhkan diri
daripadanya. Di sini ada qarinah yang menunjukkan demikian, misalnya firman
Tuhan yang berbunyi,- Tinggalkan berjual beli. Diminta memperhentikan
memperbuatnya itu karena sighatnya itu sendiri yang menunjukkan bahwa
permintaan yang diperintahkan itu adalah haram. Misalnya,- Diharamkan
kepadamu begini. Ada pula sighat larangan secara muthlak. Atau perintah dengan
menjauhkan diri daripadanya itu secara muthlak. Di sini orang mengambil dalil
dengan qarinah atas permintaan itu pasti atau tidak pasti. Dari qarinah itu
ditertibkan sanksi hukum terhadap perbuatan itu, dan ada pula yang tidak
ditertibkan. Dalam hal ini sebagian ahli ushul itu mengharamkan. Karena bila orang
meperbuatnya maka dia akan berdosa. Makhruh karena apa-apa yang diperbuatnya
itu tidak mendapat dosa. Hanya sekedar dicela.
5. Mubah
Mubah yaitu apa-apa yang disuruh pilih oleh syar’i kepada mukallaf antara
memperbuat dan meninggalkannya. Syar’i tidak meminta si mukallaf mengerjakan
perbuatan itu dan tidak pula untuk menghentikannya. Kadang-kadang ditetapkan
denga nash syar’i, boleh memperbuatnya. Apabila ada nash yang dikemukakan oleh
syar’i maka tidak berdosa memperbuatnya. Dengan ini ditunjukkan bahwa
diperbolehkan. Berfirman Tuhan dalam Al-Qur’an2:
Maka jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak berdosa keduanya tentang bayaran yang diberikan ( QS 2 : 229 )
1.Sabab
- Sabab al-waqti, seperti tegelincirnya matahari sebagai tanda wajib nya sholat zhuhur.
- Sabab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai sebagai sebab keharaman khamar.
- Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan seperti jual beli
yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja yang menyebabkan
terjadi nya Qishas.
- Sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan, seperti
tergelincir nya matahari sebagai sebab wajib nya sholat zhuhur.
- Sabab ghairu al-masyruth, yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam
pandangan syar’i, sekalipun didalam nya juga terkandung suatu kemaslahatan secara
zhahir
- Sabab yang tidak berpengaruh pada hukum, dimana antara sabab dan hukum tidak
ada keserasian, seperti waktu sebagai sebab wajib nya sholat.
- Sabab bagi hukum taklifi, contoh nya : muncul nya hilal sebagai pertanda kewajiban
berpuasa.
- Sabab untuk menentukan hak milik, melepaskan atau menghalalkan nya. Contoh
nya : akad nikah.
- Sabab al-syar’i, yaitu sebab yang hubungan nya dengan musabbab dihasilkan hukum
syar’i, contoh nya tergelincir matahari sebab wajib zhuhur.
- Sabab al-‘aqli, yaitu sebab yang hubungan nya dengan musabbab dihasilkan melalui
nalar manusia, seperti belajar sebab seorang berilmu.
- Sabab al-‘adi, yaitu sebab yang hubungan nya dengan musabbab didasarkan pada
hukum adat kebiasaan, contoh nya tubuh merasa tidak sehat karena sakit 3.
2. Syarath
Secara bahasa Syarat (( الشرطyang dalam bahasa Indonesia berarti ‘alamah
(tanda), secara terminologi para ulama ushul fiqih mendefenisikan : “Sesuatu yang
tergantung pada nya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri,
yang ketidaan nya hukum pun tidak ada”.Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’
tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung kepadanya apabila syarat tidak ada maka
hukumpun tidak ada. Tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan kecuali apabila telah
memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. Misalnya wudhu’ adalah salah satu syarat
sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu’. Akan tetapi, apabila seseorang
berwudhu’ maka tidak mesti ia harus melaksanakan shalat. Hubungan antara sabab
dengan syarath adalah syarat merupakan penyempurna bagi sabab, apabila ada sabab dan
3
3 Halimuddin, Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin, …, h. 140
syarth yang tidak terpenuhi, maka hukum tidak ada. Oleh sebab itu sebab mesti ada pada
hukum yang syarat-syarat nya terpenuhi dan tidak ada halangan yang menghambat
perberlakuan hukum tersebut. Contoh nya : pembunuhan sebagai sebab hukuman qishas
jika syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja atau dilakukan dengan rasa permusuhan.
a. Dari segi kaitan nya dengan sabab dan musabbab, dari sisi ini syarath terbagi
kepada 2 bentuk :
3. Penghalang
Secara etimologi المانعyang berarti berhenti dari sesuatu, yang dalam bahasa
Indonesia artinya penghalang. Yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan
tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan
kekerabatan menyebaban terciptanya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila
ayah wafat maka istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau
ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini
bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat
tersebut. Macam-macam mani’ atau penghalang:
a. Mani’ bagi hukum, disebabkan suatu hikmah yang menghendakinya berbeda dengan
hukum. Mani’ ini terbagi kepada 2 macam :
1. Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu yang
menyebabkan hilangnya akal, seperti dalam keadaan tidur dan gila
menyebabkan terhalang nya taklif.
2. Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa seseorang
untuk bersikap memilih. Misalnya keadaan sakit menghalangi seseorang
untuk melaksanakan shalat jum’at sekalipun apabila dilaksanakan
shalatnya sah.
b. Mani’ bagi Sabab, karena keberadaan Mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab,
misalnya utang menyebabkan batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak
mencapai satu nishab lagi (sabab wajib zakat)
4. Shihah
Yaitu sutu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab,
syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjekan shalat zhuhur setelah tergelincir
matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang
dilaksanakan ini hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak
terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.
5. Bathil
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada
akibat hukum yang ditimbulnya. Misalnya. Memeperjualbelikan minuman keras. Akad
ini dipandang batal, karena minuman ketas tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin berpendirian bahwa antara batal dan fasid adalah
dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu sama-sama tidak sah. 4
1. Dilihat dari sudut pengertian nya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi
tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum
wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan
sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
2. Hukum taklifi mempunyai sanksi hukum, sementara hukum wadh’i hanya
mempunyai konsekuensi hukum.
4
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, …, h. 275
5
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, …, h. 217-219
3. Hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, memilih
berbuat atau tidak, sedangkan hukum wadh’i mengandung keterkaitan antara dua
persoalan.
4. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan
atau meninggalkan nya, karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan
(masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf.
Sedangkan dalam hukum wadh’i kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj)
bisa dipikul, contoh nya menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan,
dan adakala nya diluar kemampuan mukallaf, contoh nya tergelincirnya matahari
bagi wajibnya shalat zhuhur
5. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum wadh’i
ditujukan kepada manusia siapa saja6
BAB III
6
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, …, hal.222
PENUTUP
A. Kesimpulan
ushul fiqh adalah: himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil
dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terinci .
hukum syara’ adalah seperangkat peraturan yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh
pilih atau wadha’ berdasarkan ketentuan Allah yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang
diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam
ilmu fiqih bertujuan untuk member pelajaran, pengetahuan, atau petunjuk tentang hukum
apa atau mana yang boleh dan yang dilarang serta menunjukan cara pelaksanaan suatu perintah.
Sedangkan ushul fiqih memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang system hukum dan
pengambilan hukum itu sendiri sedangkan hukum syara’ itu merupakan koleksi daya upaya para
Fuqaha untuk menetapkan syariat atas kebutuhan masyarakat
secara detail Abu Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul fiqih adalah : “ilmu yang
menjelaskan kepada Mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil
hukumhukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri
kalangan Syafi’iyah mendefenisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang
bersifat amaliyah diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci. Sementara itu kalangan Hanafiyah
mendefenisikan fiqih dengan pengetahuan seseorang tentang apa yang menjadi hak dan
kewajibannya. Kalangan syafiiyah muta’akhirin seperti imam Ghazali memberikan defenisi fiqih
adalah sumber bagi ilmu tentang akhirat.
Ahli Ushul Fiqih mendefenisikan hukum Syar’I sebagai Khitab (titah) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau
wadha’ (mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan Ahli Fiqih
mendefenisikan hukum Syar’I adalah efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentangperbuatan
seperti wajib, haram, dan mubah.
DAFTAR PUSTAKA
Epalyuardi blogspot.com
Halimuddin, Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin,
Halimuddin, Terjemahan Ilmu Ushul Fikih Syekh Abdul Wahab Khallaf oleh Halimuddin, ( PT RINEKA
CIPTA, 2005), Jakarta .