Anda di halaman 1dari 2

PRAKTIK BISNIS YANG BERETIKA

Kriteria untuk menilai apakah suatu bisnis itu beretika dapat dilihat berdasarkan
tiga hal, yaitu hati nurani, empati, dan audit sosial (Bertens, 2000).
Bisnis yang baik didasarkan pada hati nurani, di mana hati nurani akan memilih
mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menjalankan suatu bisnis.
Di samping itu, dalam bisnis yang beretika diperlukan empati yang berperan
sebagai patokan moral oleh pelaku bisnis. Dengan kata lain, pelaku bisnis tidak
melakukan sesuatu kepada pebisnis lain jika perbuatan itu dinilai juga merugikan
dirinya dan bisnisnya sendiri (Sunyoto, 120: 2016).
Kemudian hal terakhir yang menjadi unsur sebagai penilaian bisnis itu beretika
adalah audit sosial. Dalam hal ini, bisnis dikatakan beretika ketika mendapat
penilaian dari masyarakat umum bahwa bisnis itu baik. Penilaian masyarakat
tersebut tidak bisa terlepas dari objektivitas masyarakat yang secara langsung
mengamati perilaku bisnis perusahaan di mana perusahaan itu beroprasi.
Praktik bisnis yang tidak beretika telah menunjukkan kepada kita bahwa jika
bisnis hanya dilakukan dengan tujuan maksimalisasi keuntungan, maka akan
membuat bisnis berujung pada kehancuran. Kasus global seperti Enron, Arthur
Anderson, WorldCom, dan yang lain telah menunjukkan bahwa secara umum jika
segolongan pelaku bisnis menjalankan kegiatan tanpa memerhatikan etika, maka
akan berakibat secara sistemik pada perekonomian baik dalam skala nasional
maupun internasional (Putri, 121: 2016).
Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan
beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis perusahaan di Indonesia, di
antaranya (Khaihatu, 2006)
 Persoalan moralitas pemangku kepentingan dalam praktik bisnis.
 banyak perusahaan besar mengotori lingkungan alam dari praktik
bisnisnya.
Persoalan moralitas pemangku kepentingan dalam praktik bisnis (komisaris,
direksi, karyawan) sering menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Persoalan
besar lainnya menyangkut lingkungan adalah masalah pelestarian sumber alam
sehubungan dengan praktik bisnis, di mana bisnis dalam hal ini diduga
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan alam.
Kelompok environmentalist menyatakan bahwa banyak perusahaan besar
mengotori lingkungan alam dari praktik bisnisnya dengan tidak mendaur
ulang atau menyaring limbah industri dalam proses produksi bahkan
membuangnya tanpa proses pengolahan lebih lanjut sehingga membahayakan
kehidupan manusia dan cenderung berakibat kepunahan flora dan fauna di sekitar
lokasi pabrik milik perusahaan. Di samping itu, stabilitas perekonomian suatu
negara bergantung kepada perputaran roda perusahaan. Kehancuran perusahaan
akan berakibat buruk dan terjadinya krisis ekonomi suatu negara.
Beberapa persoalan tersebut antara lain disebabkan karena etika bisnis, nilai-nilai
dan moral yang tidak diterapkan oleh suatu perusahaan sehingga memicu
kehancuran perusahaan dan lingkungannya. Untuk itu, etika bisnis menjadi suatu
keharusan yang mesti diterapkan oleh suatu perusahaan.
Etika bisnis merupakan pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memerhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara
universal dan secara ekonomi atau sosial. Baik dan buruk erat kaitannya dengan
perilaku manusia, dalam hal ini manusia sebagai subjek dari pengelola bisnis
haruslah berpedoman kepada moral atau nilai-nilai yang telah dijunjung oleh
organisasi bisnis (Budi Untung, 2012).
Menurut Von Der Embse dan R.A Wagley ada tiga pendekatan dasar dalam
merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu (Wagley, 1988):
1. Utilitarian Approach. Setiap tindakan harus didasarkan pada
konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya
mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada
masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya
serendah-rendahnya;
2. Individual Rights Approach. Setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya
memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun
tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan
menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain;
3. Justice Approach. Para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang
sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan
baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

REFERENSI
Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budi Untung. (2012). Hukum dan Etika Bisnis, Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Danang Sunyoto & Wika Harisa Putri . 2016. Hukum Bisnis. Bandung: PT Refika
Aditama Anggota Ikapi.
Kaihatu, T. S. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8, No.1 : 1-9, Maret.
Von der Embse, T.J. & Wagley, R.A. (1988). Managerial Ethics: Hard Decisions
on Soft Criteria. SAM Advanced Management Journal (07497075). 53 (1),
4-9.

Anda mungkin juga menyukai