Anda di halaman 1dari 6

‘Evanescent’ (adj) adalah kata sifat yang memiliki arti; lekas menghilang dan hanya bertahan

dalam kurun waktu singkat.


(fiksi, sosial, keluarga)

Kenangan masa lalu, Selasa 2010

Dia disana, tersenyum dibawah jatuhnya tetesan hujan dan tertawa. Dinginnya udara memeluknya erat.
Pakaiannya benar benar basah. Tidak ada yang bergabung, dia tidak peduli. Para 'kakaknya' hanya melihat dari
jauh. Terlalu takut jika 'ibu' mereka akan marah.

Sang mentari masih bersembunyi dibalik awan abu yang besar. Para daun ikut menari saat angin dingin
berhembus. Dia mencium aroma hujan. Sang langit masih menangis, namun dia tetap tertawa. Dia juga tidak
mengerti alasan dibalik tawanya. Mungkin, karena dia senang bertemu sang hujan. Atau mungkin dia tengah
menertawakan hidupnya. Dia tertawa seperti orang gila.

Dia hanya anak laki - laki, namun dia tidak mengerti bagaimana menjadi seorang anak laki – laki
seusianya. Rasa sakitnya membuat dia lebih dewasa dari yang seharusnya. Tertawa dan tersenyum dibawah hujan
mampu membuatnya menjadi anak - anak pada umumnya. Dia menutup mata coklatnya. Air matanya jatuh perlahan
secara bergantian dan membasahi kedua pipinya. Dia mencoba untuk tertawa lagi. Terlalu sakit. Tawanya pudar
sejalan dengan pudarnya hujan. Dunia seperti membencinya. Lalu gelap.

~~~

Senin 2020

Elusan lembut yang mendarat di rambutnya membuat dia terbangun dari salah satu kenangan di masa
lalu.“Bangun Musa, hari ini sekolah.” Suaranya selembut sutra. Membuat dia yang dipanggil menarik sedikit ujung
bibirnya, walau mata dan hidungnya belum bisa beradaptasi di ruangan bernuansa putih dengan aroma obat – obatan
yang menyengat. “Nggak ah bunda, Musa disini aja nemenin bunda.”

“Nggak Gitu dong Musa, hari ini hari pertama sekolah di tempat yang baru. Betah kok disana, bunda janji.
Semangat Musa!” Sang bunda terkekeh di balik kulit pucat dan matanya yang sayu. “Oke aku sekolah, tapi bunda
janji makan tepat waktu ya? Terus nanti kalau bunda sembuh, Musa mau ajak bunda ke pantai liat bintang, ya
bunda?” Perempuan cantik yang dipanggil bunda hanya tersenyum. “Musa berangkat dulu ya bunda, dadah bunda.”

~~~

“Ada anak baru cetar membahana banget yaampunnnnn.” Novi masuk menghambur kelas sambil berteriak
kegirangan seperti gadis yang baru dilamar direktur perusahaan.

“Cowok?” Tanya Kana yang saat ini ikut bergabung di kelompok kecil gadis penggosip kelas.

“YA IYALAH LO NGGAK LIHAT MUKA GUE SHINING, SHIMMERING, SPLENDID GINI? Kalo
cewek yang datang nggak mungkin gue seheboh ini. Kuy keluar liatin. Ayo cepet!” Lantas mereka langsung
berhamburan. Tak hanya mereka sebenarnya, tapi seluruh anak perempuan di kelas maupun anak perempuan kelas
lain berkumpul hanya demi melihat anak baru itu.

“EH WOI SI GANTENG ANGKATAN 59, SEANGKATAN! DAN CETARNYA LAGI DIA SEKELAS
SAMA KITA.” Novi kembali berteriak kegirangan dari luar kelas sambil berlarian masuk ke dalam kelas, berisik.
Semua orang duduk kembali di bangku masing – masing dengan senyuman lebar terutama para anak perempuan.
Seorang laki – laki tampan dengan rambut hitam pekat dan sepasang mata tajam bagai elang memasuki
kelas bersama Bu Norma. Semua orang mengagumi. Atmosfer dingin menyertai kedatangannya. Entah kenapa, ada
sesuatu yang tidak biasa yang menyertai kehadiran laki-laki itu. "Silahkan perkenalkan dirimu," ujar Bu Norma.

Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, "Nama saya Azkakelvin Alexander Musa.
Bisa dipanggil Musa." Hanya sampai disitu ia berbicara, setelah itu ia berhenti. Bu Norma menaikkan sebelah
alisnya, "Bisa kamu ceritakan sedikit tentang dirimu? Mungkin pindahan dari mana atau bagaimana? Atau hobi
mungkin?"

"Tidak perlu Bu. Mereka akan tahu sendiri." Bu Norma menatap Musa bingung, namun akhirnya ia
meminta Musa duduk di deretan belakang. Dia terlihat tidak peduli, langsung melangkahkan kakinya yang panjang
lalu duduk memperhatikan papan tentu dengan iringan tatapan memuja para gadis kelas. Tidak berguna, hanya
membuang-buang waktu. Percuma saja mengagumi laki-laki seperti itu, tidak akan membuat sang lelaki jatuh cinta
pada mereka dalam sekejap mata.

~~~

“Sore bunda.” Panggilan Musa membuat sang bunda sedikit tersentak lalu tersenyum, “Eh udah pulang,
gimana sekolahnya?”

“Biasa aja, nggak menarik.” Dia duduk disamping ranjang sambil mengunyah sebuah apel. Sang bunda
tertawa, hafal tentang karakter ‘anaknya’. “Halah masa? Nggak ada cewek cantik atau apa gitu? Biar kayak anak
lain yang pacaran nggak jelas sana sini.”

“Nggak ah, aku nggak mau kayak mereka. Aku nggak tertarik sama cinta bunda, cinta cuma bikin bodoh,
sangat bodoh. Lagian bunda juga bilang pacaran hal yang nggak jelas. Aku udah punya bunda, udah cukup buat aku
bun.” Musa menggerutu seperti anak kecil yang tidak dituruti saat membeli mainan. Sang bunda hanya tertawa
menanggapi “Iya deh iya”.

“Eh bunda udah makan? Kok nggak ada piring?”

“Nggak, bunda nggak enak makan”

“Tuh kan, bunda makan ya? Biar bunda sembuh. Aku mau nunjukin sesuatu, aku udah fasih main piano
loh bun, bunda nggak mau liat aku main piano? Ayo bunda sembuh dulu. Bentar ya bunda aku panggil suster.”
Musa melangkahkan kakinya keluar ruangan meninggalkan sang bunda yang menatapnya sendu, lalu membuang
nafas panjang.

“Nih bunda ayo makan, Musa suapin ya?” Senyuman cerah terbit di wajah seorang laki – laki yang
hampir dewasa itu. “Iya. Musa, bunda pengen jalan – jalan. Abis makan anterin bunda ya? Keluar aja, cari angin.
Bunda tiba – tiba pengen ngabisin waktu sama kamu”

“Iya bunda, tapi makan dulu ya?” Ia lalu menyuapkan semangkuk bubur dengan isian kacang dengan
lembut. Mereka banyak bercerita tentang masa lalu dan bercanda, hingga “Bun? Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?
Aku jelek ya?” Sang bunda memperhatikan dengan intens anak lelaki yang ada di hadapannya lalu tersenyum.

“Nggak kok kamu tu gantenggggg banget. Tapi Musa nanti kalo bunda pergi, janji jangan nakal ya?”
pernyataan tiba – tiba sang bunda membuatnya terkejut lalu kembali tersenyum. “Iya bunda, bunda sering bilang
kok pas aku kecil, aku gak lupa.” Dia hanya terkekeh. “Nah udah abis, aku ambilin kursi roda ya? Bunda minum
dulu.” Secepat kilat dia menghilang di balik pintu.

Langkah kakinya berderap menyusuri dinginnya lantai. “Permisi sus, tempat kursi roda di sebelah mana
ya?” Dia tersenyum ramah pada seorang suster. Sang suster hanya membisu. “Sus? Suster?”

“H-hah? Gimana mas?” Musa sedikit tertawa, “Saya tanya ruangan kursi roda suster.”

“Ohh disana dekat gudang mas, mau saya antar?” “Nggak usah sus makasih, fokus ya sus.” Dia terkekeh
kecil.
~~~

Cahaya jingga sang mentari dikala senja menemani mereka yang sedang berjalan – jalan disekitar taman
rumah sakit. Hingga sebuah piano hitam yang duduk manis di tengah lobby rumah sakit menarik perhatian sang
bunda. “Musa, katanya udah bisa main piano? Tuh ada piano. Mainin sana! Bunda mau lihat.” Sang bunda
tersenyum dengan wajah pucatnya. Wajah sang bunda cukup menarik perhatian Musa, lalu menepisnya dan
tersenyum. “Iya deh, tapi abis selesai bunda istirahat ya?”

Dingin, hal pertama yang Musa rasakan saat salah satu panca indranya menyentuh piano hitam itu.
Sayup – sayup mulai dia mainkan. Rivers flow in you, lagu yang mengalun lembut di sebuah lobby rumah sakit. Dia
mulai tenggelam dalam alunan, bersama sang bunda yang duduk disebelahnya dan beberapa suster yang menatap
kagum Musa bagai pangeran. Dentingannya lembut, sangat halus. Tapi entah mengapa hatinya merasa sakit.

“Makasih ya Musa.” Anak laki-laki itu tersenyum, dengan selesainya permainan indah sebuah lagu di
sore hari yang terasa sendu. Lantas ia mengambil tangan sang bunda yang terkulai lemas di lengannya,
menggenggamnya dengan erat. “Bunda, aku malu mau bilang ini. Tapi, aku sayang banget sama bunda. Bunda tetap
disini ya? Jangan kemana – mana, aku takut sendiri bunda.” Dia semakin erat menggenggam tangannya, bersamaan
dengan ucapan kalimat itu. Mungkin bagi beberapa orang dianggap memalukan. Lalu beberapa saat kemudian, sang
bunda menyandarkan kepalanya di bahu ‘anak laki – lakinya’ yang terkenal dingin. Saat menoleh, Musa tertawa
kecil, kemudian.

"Masuk yuk bunda, tidur di dalem. Jangan tidur disini, udah sore." Dia menepuk kecil pipinya,
menyuruhnya untuk terbangun. Tapi dia tidak menggubrisnya, apakah semengantuk itu?

"Bunda? Ayo bangun, kita masuk." Ulangnya. Tapi dia masih tidak merespon, bahkan saat dia guncang
kecil tangannya.Musa menyandarkan punggung kecilnya ke kursi roda, genggaman sang bunda terlepas ketika Musa
tak mengeratkan tangannya. Kemudian, dia berlutut di hadapannya, sembari menangkup pipi kiri sang bunda.
"Bunda.... ayo bangun! Jangan tidur disini."

Tubuhnya mulai gemetaran. Bahkan saat dia guncang pelan tubuhnya, menepuk-nepuk kedua pipinya,
sang bunda tak bergerak sedikit pun. "Bunda…” Panggilnya parau. Tidak mungkin kan... tolong, tolong katakan itu
tidak mungkin. "Bunda, jangan bercanda, aku nggak suka." Dia masih mengguncang lengan lemas yang terkulai di
samping tubuhnya.

Demi Tuhan, dia masih tidak mau berpikiran yang tidak-tidak. Sang bunda pasti hanya tertidur, dia
hanya sedang mengantuk. Tangannya yang menggenggam bahu sang bunda gemetar hebat. Musa mulai menangis,
panik dan cemas setengah mati. Musa tidak bisa memungkiri dan menolak lagi dia memeluk tubuh sang bunda,
memeluk lehernya, sembari masih menangis deras, suaranya lenyap. Suara tangisan memilukan itu, tidak terdengar.
Sunyi, suasana yang seperti ikut berduka.

"Selamat tidur bunda, aku sayang bunda." Bisiknya di telinga sang bunda.

Dia bangkit, mengusap pelan air mata di pipinya, lalu menoleh pada suster yang hampir menangis di
sana. “Suster, bantuin bunda ya? Bunda ketiduran.” Dia tersenyum walau matanya tidak. Merah dengan jejak air
mata yang masih disana.

~~~

“Eh bundanya Musa meninggal.” Novi yang berlari dari kantin menghambur kelas masih dengan mulut
yang penuh makanan. “Serius? Aaaa calon mertua.” Kana yang langsung nimbrung saat mendengar nama laki – laki
yang dia kagumi. “Halah alay, dia nggak jelas dan dia nggak waras.” Ucap Adriel salah satu siswa ekstrakurikuler
dance sekolah.

“Heh woi, ngapain fitnah orang?! Ganteng banget gitu masa nggak waras? Heran, mungkin lu yang
nggak waras. Bilang aja iri, kalah ganteng kan?” Masih Kana, seorang siswi yang membela meski dia tidak tau
tentang fakta sebenarnya. Seperti kebanyakan orang yang terlalu tergila - gila pada seorang manusia, lalu menutup
mata dari fakta yang ada.
"Dia itu psikopat tau. Dia gila! Pernah masuk rumah sakit jiwa habis bunuh ayahnya. Nah masalah
ayahnya dia ini belum jelas, cuma pas kejadian si Musa tidur disamping mayat laki – laki yang perutnya dibelah dari
dada sampe puser. Di TKP cuma ada barang bukti pisau daging yang ada sidik jarinya si Musa. Terus pas di rumah
sakit jiwa dia pernah makan serangga! Mau ngomong apalagi?!" Adriel kembali mendebat dengan mata melotot.
"Hah serius?" Beberapa murid di kelas berkerumun mendengar suara menggelegar Adriel di pagi hari.

Musa pernah masuk rumah sakit jiwa?

"Makanya dia nggak punya teman kan?” Tambahnya. "Ya dia anak baru. Wajar sih belum punya temen
cowok." Gustaf dengan es teh plastik di tangannya.

"Maksudnya pas SMP."

"Kok bisa tau?" Kana dengan rasa penasaran. "Ya iyalah, Adriel gitu. Udah curiga pas pertama dia
masuk kelas, ya gercep cari taulah kenapa dia misterius gitu. Jadi temen gue anak SMP Garuda, sekolahnya Musa
dulu waktu kelas 8. Dia juga anak pindahan waktu itu. Katanya dia sih banyak gosip yang nyebar kalau Musa pernah
masuk RS Jiwa 1 tahun karena kejiwaannya terganggu."

"Ah nggak percaya." Kana mengedikkan bahunya, tapi ia tetap ingin mendengarkan ocehan Adriel yang
sedang berapi – api. Karena kali ini ocehan Adriel lebih berfaedah dibanding ocehan Adriel tentang giveaway album
idolanya yang masih belum beruntung.

"Juga nggak percaya awalnya. Tapi si Alin juga bilang gitu pas baris tadi pagi. Nah, Kakaknya si Alin ini
sekolah di SMP Pancasila, itu SMP pertamanya si Musa waktu kelas 7. Jadi pas lagi belajar heboh gitu tiba-tiba
polisi datang nangkep dia. Cuma si Musa kan dibawah umur dan kejiwaannya terganggu, jadinya ya dimasukin ke
RS Jiwa deh. Pindah-pindah sekolahnya. Dia dianggap nggak naik kelas 1 tahun. Makanya dia lebih tua dari kita."
Adriel panjang lebar masih dengan wajah berapi – api.

“Lah dia lebih tua? Tapi wajahnya lebih muda dari lu El.” Gustaf duduk di meja dengan es batu sisa
minumannya yang dia kunyah. “HEH! Oh iya, satu lagi kata temen gue si Tazkia. Yang sekolah di SMP Garuda, si
Musa itu jenius kebangetan! Dia sampai ditawari beasiswa sekolah di Harvard Law School. Masih SMP loh
bayangin nggak? Dia lulus SAT anjir, nyumpah dengernya! SMP loh!!"

"SMP udah ditawarin kuliah?” Gustaf membelalakkan matanya tak percaya. Es sisa di plastiknya
tumpah. Dia menatap sedih es batu sisa yang berharga. “Masalahnya, ini Harvard! Universitas paling bergengsi di
dunia! Anak SMP? Ditawari Harvard?  Bisa masuk UI saja syukur, ini malah Harvard. Ikutan nyumpah gue woy.”
Lanjutnya.

"Iya tapi dia nolak. Katanya iseng aja ikut SAT cuma mau tau kemampuannya. Dia pengen sekolah
normal dulu kayak anak biasa katanya. Kalo gue si Musa, udah gue terima tuh beasiswa."

“BTW SAT apaan?” Novi yang menyimak tidak paham dengan kalimat tinggi Adriel.

“Scholastic Aptitude Test atau Scholastic Assessment Test. Tes ini tuh ujian saringan masuk yang dipake
sama sebagian besar perguruan tinggi dan universitas di Amerika Serikat tapi juga dipake di Inggris, Singapura,
Finlandia sama Australia. Tes ini bentuk pilgan dan yang punya tuh Dewan Perguruan Tinggi atau College Board di
sana. Kalo di Indonesia sama kayak SBMPTN.” Gustaf yang panjang lebar dengan wajah tengilnya.

"Buset! Gua ulangan pas KKM aja bangga, nggak kebayang jadi Musa. Gila-gila! Ciri psikopat emang
hahahaha. Btw, Law School?” Novi masih melotot kaget. "Iya Law School. Nggak tau deh gimana bisa dia
dibeasiswain, Law School pula!" Adriel menanggapi.

"Berarti dia punya hal yang berhasil bikin Harvard tertarik dong? Harvard nggak mungkin sembarangan
mau nerima calon mahasiswa coy, nggak pake sistem zonasi mereka. Mana anak SMP calon mahasiswanya." Gustaf
masih dengan rasa tidak percayanya.

"Nah kalau itu, nggak tau deh. Btw, Almarhumah Bundanya pengacara alumni Faculty of Law,
University of Oxford! Kece kan." Adriel menanggapi.
"Kece sih tapi psikopat gitu. Apa nggak diajari agama sama orang tuanya? Disuruh ikutan ngaji gitu atau
apa?" Novi dengan segala rasa penasarannya terhadap hidup orang lain.

"Kebetulan om gue psikiater di tempat si Musa di rehabilitasi dulu. Itu tuh anak yang katanya punya
penyakit mental alah apa lah itu namanya, pokoknya dia kayak orang gila gitu suka berhalusinasi nggak jelas terus
diatuh punya lebih dari satu kepribadian. Kayak pas dia di introgasi polisi, dia bilang kalo yang bunuh ayahnya tuh
bukan dia, tapi ’penyihir’. Pas ditanya ’penyihir’ ini siapa, dia nggak bisa jawab. Jadi polisi menarik kesimpulan
kalo dia punya penyakit mental. Menyendiri doang lagi"

"Iya iya, pasti tu kemasukan setan deh. Akibat nggak inget Tuhan kali hahaha. Oh iya, ruqyah aja kali ya.
Lagian tinggal bilang dia kerasukan setan aja apa susahnya sih? Pake alibi sakit mental segala. Heran.” Gustaf yang
berbicara tanpa berpikir. Ini membuktikan bahwa di Indonesia orang yang mentalnya bermasalah terkadang malah
dianggap tidak dekat dengan Tuhan. Padahal jika dilihat, mungkin mereka yang tidak dekat dengan Tuhan.

Musa masuk kelas tak lama setelah pembicaraan itu berakhir. Dengan langkah dingin dan berkharisma.
Namun matanya masih merah dan sedikit bengkak. “Eh tuh liat, masa bundanya meninggal dia udah masuk sekolah
kayak gitu?” Masih Adriel yang dihadiahi tatapan menusuk Kana. Kana berjalan sedikit berlari menuju kursi Musa,
lalu “Musa, jangan terlalu dipikir ya omongan mereka, suka nggak jelas emang.” Senyum manis terukir indah di
bibirnya.

“Terima kasih, tapi lain kali kamu tidak perlu membantu saya. Saya punya cara untuk membantu diri
saya sendiri. Saya ini aneh, sebelum kamu merasa lebih tidak nyaman lagi. Sebaiknya jangan pernah berbicara
dengan saya lagi.” Dengan datar dan dingin dia menatap mata Kana tanpa berkedip. Lalu kembali fokus pada buku
yang ia baca saat ini.

“Anjir ditolak kan lu? Mampus hahahha” Adriel yang tertawa melengking sesaat dari kejadian itu,
bersama Gustaf disebelahnya yang sedang tersedak es batu.

~~~

Salah satu kenangan masa lalu, Sabtu 2009.

Anak laki - laki itu didorong dengan keras. Punggungnya sukses mencium tembok hingga menimbulkan
bunyi dentuman. Dia terduduk di lantai yang dingin. Dia meringis sembari menatap nanar ke arah wanita tua dengan
sebagian rambut yang mulai memutih, wanita itu kini tengah memberinya tatapan murka yang begitu merendahkan.

"Kamu sakit”

Bagai pedang dingin yang menusuk tepat di jantung anak laki - laki yang masih berusia 8 tahun itu.
Tangannya mengepal, menatap tajam, nafasnya naik turun melambangkan kemarahan yang siap meledak di
dadanya.

"Aku nggak sakit Bu!"

"Terus apa?! Gila? Atau aneh?" Wanita tua yang dipanggil ibu itu menggeleng sambil tersenyum dingin
pada anak asuhnya di sebuah panti. Dia hanya sangat jengkel terhadap apa yang baru saja anak di depannya lakukan.
"Kamu tuh ngapain sih?! Makan serangga gitu hah?! Shame on you, Azka! You're sick! Kamu cuma anak nggak jelas
datang dari mana. Berdoa saja semoga ada orang yang mau mungut kamu dari panti ini."

"I hate you!" Desis anak laki-laki itu dengan nada penuh luka. Dia benci mendengar kalimat itu.

"No one loves you anyway, Azka"


Lalu pintu ditutup dengan keras dengan disusul oleh suara kunci yang diputar. Anak itu masih di
tempatnya, duduk sembari memeluk tubuhnya, tangannya masih mengepal, dadanya masih terasa begitu panas, ia
ingin menangis tetapi amarahnya jauh lebih besar. Sepasang mata cokelat terangnya menusuk tajam ke arah pintu.
Anak-laki laki itu memeluk tubuhnya sendiri. Dia membenci hidupnya, membenci segala hal yang terjadi dengan
dirinya dan masa lalunya. Apa yang baru saja ia lakukan memanglah sebuah perbuatan yang tidak sepantasnya
dilakukan anak seusianya. Tetapi, ia melakukan itu karena sebuah alasan kuat.

Anak itu memejamkan mata erat, berusaha sebisa mungkin mengusir rasa sesak yang menghujam
hatinya tanpa henti, membuatnya ingin segera tenggelam saja dari muka bumi. Dia membenci mendengar
perdebatan, ia membenci pertengkaran, dan ia membenci dirinya sendiri.

Napas bocah itu semakin tak terkendali. Sesak melanda dan ia sudah siap untuk menangis.

~~~

Kamis 2020

“MUSA! KELUAR DARI KELAS SAYA! Saya tidak suka anak malas tidak niat sekolah yang tidur di
kelas saya. Makanya jangan begadang main game, tidak kasian sama orang tua kamu?” Sesaat setelah itu, Musa
menatap tajam guru matematikanya. “Keluar Musa!” Dia berdiri dari tempatnya keluar kelas menuju UKS.

Pikirannya masih mendung. Dia memikirkan salah satu kenangan yang menjadi mimpinya barusan.
Kenangan tentang mimpi itu sama sekali tidak dia ingat. Dia masih melamun.

”Musa, ada yang nitip teh anget nih. Buat kamu katanya.” Sesaat seorang wanita muda berperawakan
seperti guru masuk dengan segelas teh yang nampak masih hangat. ”Dari siapa bu?”

”Nggak tau, cewek barusan. Udah minum aja. Dia suka kamu mungkin. Nanti kalo sakit lagi panggil aja,
ibu di ruang sana.” Katanya ramah sambil menunjuk salah satu ruangan di sana. Musa hanya tersenyum kecil lalu
meneguk teh hangatnya. 2 menit, 3 menit hingga menit ke 5 dia mulai merasa pusing. Sangat pusing penglihatannya
mulai mengabur, telinganya mendengung. Dia berusaha berdiri, memanggil guru yang tadi bertugas di UKS.
Kepalanya mulai sakit, dia ambruk. Lalu gelap. Bersama seorang gadis yang tersenyum miring di luar ruangan,
menyamar dengan seragam sekolah sambil berbisik

”Selamat tidur, Hermes”

~~~

Anda mungkin juga menyukai